PROFIL PELAYANAN INFORMASI OBAT TERHADAP PASIEN DENGAN RESEP ANTIBIOTIKA DI APOTEK KOTA BANDAR LAMPUNG Yulyuswarni Jurusan Farmasi Poltekkes Tanjungkarang Abstrak Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ( drug oriented) ke pasien ( patient oriented) yang mengacu kepada pharmaceutical care. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.pelayanan kefarmasian dinilai banyak pengamat masih dibawah standar.intensitas penggunaan antibiotika yang relative tinggi dan tidak diikuti dengan pemberian informasi obat yang cukup, memicu terjadinya resistensi antibiotika. Penelitian ini bertujuanuntuk mengetahui profil pemberian informasi obat terhadap pasien dengan resep antibiotika pada 30apotek di Kota Bandar Lampung,meliputijenis tenaga kefarmasian yang memberikan informasi obat, teknik komunikasi verbal dan non verbal serta komponen informasi obat yang diberikan kepada pasien. Penelitian dilakukan dengan metode survey deskriptif.pengumpulan data dilakukan melalui observasi partisipasif menggunakan ceklist dan metoda sampling simple random sampling.data kemudian dianalisis menggunakan analisis univariat. Hasil penelitian menunjukkan 83,3% informasi obat diberikan oleh tenaga kefarmasian non Apoteker. Teknik komunikasi verbal tenaga kefarmasian yang memberikan informasi obat terhadap pasien dengan resep antibiotika 73,3% dinilai tidak baik dan pertanyaan terbuka yang digunakan dalam rangka penggalian informasi hanya sebatas untuk siapa obat diberikan sedangkan 73,3% teknik komunikasi non verbal dinilai baik. Komponen informasi obat yang diberikan kepada pasien dengan resep antibiotika hanya 3 komponen yaitu nama obat, dosis, indikasi/cara pakai. Kata Kunci : PIO, Antibiotika, komunikasi PROFILE OF DRUG INFORMATION SERVICES TO PATIENTS WITH ANTIBIOTIC RECIPES IN APOTEK BANDAR LAMPUNG CITY Abstract The current pharmaceutical service has shifted its orientation from patient oriented drugs to pharmaceutical care. Pharmacy service activities that initially focused only on the management of drugs as a commodity into a comprehensive service that aims to improve the quality of life of patients. Pharmaceutical services are considered by many observers are still below standar.intensitas use of antibiotics are relatively high and not followed by the provision of adequate drug information, The occurrence of antibiotic resistance. This study aims to determine the profile of drug information to patients with prescription antibiotics at 30apotek in Bandar Lampung City, covering the type of pharmaceutical personnel who provide drug information, verbal and non verbal communication techniques and components of drug information provided to patients. The research was conducted by descriptive survey method. Data collection was done through participant observation using checklist and simple random sampling method. Data was analyzed using univariate analysis. The results showed that 83.3% of the drug information was given by non pharmacist pharmacists. Pharmaceutical verbal communication techniques that provide drug information to patients with prescribed antibiotics 73.3% considered not good and open questions used in order to extract information only limited "for whom the drug is given" while 73.3% of non-verbal communication techniques are considered good. Components of drug information given to patients prescribed with antibiotics are only 3 components namely drug name, dose, indication / how to use. Key word : PIO, Antibiotic, comunication Korespondensi : Yulyuswarni, Jurusan Farmasi Politeknik Kesehatan Tanjungkarang, Jl. Soekarno-Hatta No. 1 Bandar Lampung, mobile: 081369025859 e-mail: yulyuswarni89@gmail.com 590 Jurnal Analis Kesehatan : Volume 6, No. 1 Maret 2017
Yulyuswarni : PROFIL PELAYANAN INFORMASI OBAT TERHADAP PASIEN DENGAN RESEP ANTIBIOTIKA DI APOTEK Pendahuluan Pelayanan kefarmasian merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan. Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ( drug oriented) ke pasien ( patient oriented) yang mengacu kepada Pharmaceutical care. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah melaksanakan pemberian informasi, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhirnya sesuai harapan dan terdokumentasi dengan baik. Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan ( medication error). Untuk itu apoteker harus berupaya mencegah dan meminimalkan masalah yang terkait obat (Direktorat Bina Farmas i dan Klinik, 2008) Ketidak patuhan ( non compliance) dan ketidaksepahaman ( non corcondance) pasien dalam menjalankan terapi merupakan salah satu penyebab kegagalan terapi.hal ini sering disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman pasien tentang obat dan segala sesuatu yang berhubungan dengan penggunaan obat untuk terapinya. Oleh karena, untuk mencegah penggunaan obat yang salah ( drug misuse) dan untuk menciptakan pengetahuan dan pemahaman pasien dalam penggunaan obat yang akan berdampak pada kepatuhan pengobatan dan keberhasilan terapi maka sangat diperlukan pelayanan informasi obat untuk pasien dan keluarga melalui konseling obat ( Direktorat Bina Farmasi dan Klinik, 2007) Pemberian konseling pasien rawat jalan dapat diberikan saat pasien mengambil obat di apotek, puskesmas dan di sarana kesehatan lainnya. Kegiatan ini bisa dilakukan di counter pada saat penyerahan obat, tetapi lebih efektif bila dilakukan di ruang khusus yang disediakan untuk konseling(direktorat Bina Farmasi dan Klinik, 2007). Apoteker diwajibkan memberikan pelayanan farmasi yang komprehensif diseluruh kelompok terapi obat.antibiotika adalah salah satu kelompok terapi yang perlu mendapatkan perhatian.intensitas penggunaan antibiotika yang relative tinggi menimbulkan berbagai permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi bakteri terhadap antibiotika. Antibiotika Amoxicillin menempati urutan ke 8 dari 10 obat yang terbanyak diresepkan selama tahun 2010 di AS dengan jumlah peresepan 52, 3 juta resep.( http://health.kompas.com, 2010) Hasil penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN-Study) terbukti dari 2494 individu di masayarakat, 43 % Eschericia coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotika antara lain : ampisilin (34%), kotrimoksazol (29%) dan kloramfenikol (25%). Hasil penelitian dari 781 pasien yang dirawat di rumah sakit didapatkan 81% Eschericia coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotika yaitu ampisilin (73%), kotrimoksazol (56%), kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%) dan gentamisin (18%). Bakteri resisten antibiotik tersebut terjadi akibat penggunaan antibiotik yang tidak bijak dan penerapan kewaspadaan standar (standard precaution) yang tidak benar di fasilitas pelayanan kesehatan. (http://www.binfar.depkes.go.id, 2011) Intensitas penggunaan antibiotika yang relatif tinggi dan penggunaan yang salah akibat ketidaktahuan pasien karena tidak adanya informasi dari tenaga kesehatan memberikan andil untuk terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotika (Direktorat Bina Farmasi dan Klinik, 2007). Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai profil pelayanan informasi obat yang diberikan oleh tenaga kefarmasian di apotek terhadap pasien dengan resep antibiotika, teknik komunikasi verbal dan non verbal petugas, serta komponen informasi obat yang diberikan petugas apotek terhadap pasien yang mendapatkan resep antibiotika, mengingat tingginya resiko resistensi akibat kesalahan dalam penggunaan antibiotika. Metode Penelitian ini menggunakan metode survey deskriptif dengan populasi seluruh apotek yang berada di Kota Bandar Lampung yaitu sebanyak 188 apotek. Sampel dipilih secara simple random sampling sebanyak 30 apotek. Pengumpulan data dilakukan dengan obervasi partisipatif yaitu peneliti sekaligus pengamat bertindak sebagai pasien Jurnal Analis Kesehatan : Volume 6, No. 1 Maret 2017 591
mengunjungi apotek terpilih dengan membawa resep yang mengandung obat antibiotika. Segera setelah mendapatkan pelayanan, teknik komunikasi verbal dan non verbal serta komponen informasi obat yang diberikan dicatat dalam lembar data (cek list), sedangkan informasi jenis tenaga kefarmasian petugas yang memberikan informasi obat dicatat dalam lembar kuesioner yang ditanyakan langsung oleh peneliti.analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisa univariat yaitu analisa yang dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian Hasil Dan Pembahasan Penelitian Profil Pelayanan Informasi Obat Terhadap Pasien dengan Resep yang dilakukan dengan cara observasi partisipatif terhadap 30 Apotek di Kota Bandar Lampung diperoleh hasil sebagai berikut: 1. Jenis tenaga kefarmasian yang memberikan pelayanan informasi obat di Apotek Kota Bandar Lampung Tabel 1. Distribusi Fekuensi Jenis Tenaga Kefarmasian yang Memberikan Pelayanan Informasi Obat terhadap Pasien dengan Resep Tenaga Kefarmasian Frekuensi Persen Apoteker 5 16.7 Asisten Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian 5 16.7 Non Kefarmasian 20 66.7 Berdasarkan hasil observasi terhadap 30 Apotek di Bandar Lampung 83,33% yang memberikan pelayanan informasi obat terhadap pasien dengan resep antibiotikadi Apotek Kota Bandar Lampung dari tenaga non Apoteker. 2. Teknik Komunikasi Verbal Tabel 2. Teknik Komunikasi Verbal Petugas Kefarmasian dalam Pelayanan Informasi Obat Terhadap Pasien dengan Resep Antibiotika di Apotek Kota Bandar Lampung Teknik Komunikasi Verbal Frekuensi Persen-tase Tidak Baik 22 73.3 Baik 8 26.7 Dari tabel diatas diketahui tenaga kefarmasian yang memberikan pelayanan informasi obat dengan teknik komunikasi verbal tidak baik sebanyak 73.3% Tidak ada satupun tenaga kefarmasian yang menggali informasi tentang bagaimana penjelasan dokter tentang obat yang diberikan, cara pemakaian, tindakan yang sudah dilakukan, riwayat alergi. Penggalian informasi yang dilakukan dengan pertanyaan terbuka ( open ended question) hanya sebatas untuk siapa obat diberikan. 3. Teknik Komunikasi Non Verbal Petugas Kefarmasian dalam Pelayanan Informasi Obat Terhadap Pasien dengan Resep Antibiotika di Apotek Kota Bandar Lampung Tabel 3. Teknik Komunikasi Non Verbal Petugas Kefarmasian dalam Pelayanan Informasi Obat Terhadap Pasien dengan Resep Teknik Komunikasi Non Verbal Frekuensi Persentase Tidak Baik 8 26.7 Baik 22 73.3 Berdasarkan tabel diatas petugas kefarmasian yang memberikan pelayanan informasi obat dengan teknik komunikasi non verbal baik sebanyak 73,3%. 4. Komponen Informasi Obat yang disampaikan Tabel 4. Komponen Informasi Obat yang Diberikan oleh Petugas Kefarmasian dalam Pelayanan Informasi Obat terhadap Pasien dengan Resep Antibiotika di Apotek Kota Bandar Lampung Komponen Persentase N Informasi Obat Tidak Baik 20 66.7 Baik 10 33.3 Komponen informasi obat yang diberikan tenaga kefarmasian termasuk di nilai tidak baik sebanyak 66.7 %untuk peduli dan memberikan perhatian pribadi kepada pengguna jasa.pelayanan yang empatik sangat memerlukan sentuhan/perasaan pribadi. Dimensi empati adalah dimensi yang 592 Jurnal Analis Kesehatan : Volume 6, No. 1 Maret 2017
Yulyuswarni : PROFIL PELAYANAN INFORMASI OBAT TERHADAP PASIEN DENGAN RESEP ANTIBIOTIKA DI APOTEK memberikan peluang besar untuk menciptakan pelayanan yang surprise yaitu sesuatu yang tidak diharapkan pengguna jasa tetapi ternyata diberikan oleh penyedia jasa.hasil uji statistik diperoleh p-value sebesar 0,005 yang artinya ada hubungan yang signifikan antara dimensi empati pegawai terhadap kepuasan pasien. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Purwastuti (2005) dan Samosir (2009) yang menyatakan bahwa empati petugas farmasi memiliki hubungan yang signifikan terhadap kepuasan pasien dan akan meningkatkan pemanfaatan instalasi farmasi. Demikian juga Dahlan (2006) dan Hermanto (2010) menyatakan bahwa empati petugas memiliki hubungan yang signifikan terhadap kepuasan pasien di rumah sakit. Hasil analisa multivariat dengan menggunakan regresi logistik didapatkan variabel yang paling dominan mempengaruhi kepuasan pasien rawat jalan adalah dimensi bukti fisik (tangibles). Besarnya pengaruh tersebut adalah sebesar 4,024 yang artinya peluang ketersediaan sarana fisik yang baik akan mempengaruhi kepuasan pasien sebesar 4,024 kali untuk puas terhadap pelayanan Instalasi Farmasi dibandingkan dengan kesediaan sarana fisik ( tangibles) yang tidak baik setelah dikontrol oleh faktor keandalan (reliability), daya tanggap pegawai (responsivenes), jaminan/ kepastian (assurance), dan empati pegawai (empaty). Hal senada disampaikan Ifmaily (2006) yang menyatakan penampilan fisik IFRS ternyata berhubungan secara bermakna terhadap minat beli obat ulang di instalasi farmasi RS Ibnu Sina Padang. Demikian juga Samosir (2009) menyatakan bukti fisik merupakan variabel mutu pelayanan yang paling dominan mempengaruhi pemanfaatan instalasi farmasi di RS. Pandan Medan.Dahlan (2006) dalam penelitiannya menyebutkan terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kondisi lingkungan dengan kepuasan pasien. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan signifikan antara 5 dimensi mutu yaitu sarana fisik (tangibles) yang tidak baik setelah dikontrol oleh faktor keandalan (reliability), daya tanggap pegawai ( responsivines), jaminan/kepastian (assurance), dan empati pegawai ( empaty) dengan kepuasan pasien rawat jalan di rumah sakit swasta X di Bandar Lampung tahun 2011 Variabel dimensi bukti fisik paling dominan (OR=4,0 24) berhubungan dengan kepuasan pasien rawat jalan yang mendapatkan pelayanan farmasi di instalasi farmasi Rumah Sakit. Saran bagi rumah sakit X hasil penelitian ini kiranya dapat menjadi masukan dalam merumuskan kebijakan dan strategi peningkatan mutu pelayanan farmasi terutama dimensi bukti fisik yang merupakan variabel paling dominan berhubungan dengan kepuasan pasien. Peningkatan sarana fisik seperti kebersihan dan kenyamanan ruang tunggu, ketersediaan peralatan penunjang, penampilan pegawai dan lain-lain. Pada dimensi mutu keandalan, diharapkan dapat memperbaiki mutu pelayanan terutama terkait akurasi dokumen, evaluasi terhadap harga obat /pemilihan obat sesuai kondisi keuangan pasien (farmakoekonomi) serta peningkatan pelayanan informasi obat. Pada dimensi ketanggapan, diharapkan dapat mengevaluasi dan memperbaiki waktu tunggu di instalasi farmasi. Pada dimensi jaminan/kepastian, diharapkan dapat meningkatkan keramahan, ketelitian dan kehati-hatian petugas, serta peningkatan pengetahuan petugas terhadap informasi obat. Bagi peneliti berikutnya, disarankan untuk melakukan penelitian dengan variabel indikator kepuasan yang lebih spesifik dan sampel yang lebih besar sehingga dapat diketahui kebutuhan pasien yang sesungguhnya dan rumah sakit dapat menyusun langkah kebijakan dalam upaya meningkatkankan mutu pelayanan dan kepuasan pasien. Daftar Pustaka 1. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007, Pedoman Konseling Pelayanan Kefarmasian di Sarana Kesehatan, Jakarta. 2008, Petunjuk Teknis Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (SK No. 1027/Menkes/SK/X/2004), Jakarta. 2. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Kefarmasian, 2011, Peraturan Menteri Kesehatan RI No.2406/Menkes/Per/XII/2011,[online].Te rsedia (http://www.binfar.depkes.go.id/dat/perme nkes_antibiotik.pdf), [25 Agustus 2013] 3. Kementerian Kesehatan RI, 2009, Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Kefarmasian, Jakarta Jurnal Analis Kesehatan : Volume 6, No. 1 Maret 2017 593
4. Kompasiana, Obat ini Paling Banyak Diresepkan, [Online] Tersedia (http://health.kompas.com/read/2011/04/21 /1039593/10.Obat.Ini.Paling.Banyak.Dires epkan, [20 Oktober 2013] 5. Sukorini Anila Impian, Azza Faturrahman dan Hanni PP, 2009, Teknik Berkomunikasi Farmasis Dalam Melakukan Pelayanan Informasi Obat Kepada Klien Apotek, Kongres Ilmiah ISFI XVII, Jakarta 594 Jurnal Analis Kesehatan : Volume 6, No. 1 Maret 2017