Selangkah Menuju Hutan Adat To Kulawi Uma di Moa PENGANTAR Kebijakan Pemerintah Daerah Kab Sigi, tentang pengakuan Masyarakat adat dan hutan adat merupakan bagian dari pelaksanaan kebijakan REFORMA AGRARIA yang masuk dalam bagian RPJMD Kab, Sigi periode 2016-2021. Sebagaimana ditegaskan dalam produk hukum konsideran SK 189.1-521 Tahun 2015 : Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat To Kaili dan To Kulawi di Kabupaten Sigi Bahwa : 1. pengakuan, penghormatan dan perlindungan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dan hak tradisionalnya merupakan amanat KONSTITUSI (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945) sebagaimana Pasal 18b dan Pasal 28i 2. pemberian pengakuan adalah penerimaan atas realitas social budaya masyarakat kabupaten Sigi. Sebaliknya, Tidak mengakui berarti mengingkari realitasi social budaya yang ada di dalam masyarakat Sigi 3. pengakuan MHA serta Hak Asal usulnya merupakan langkah perlindungan terhadap masyarakat dan kehidupanya. Karena memberikan kepastian hukum dan landasan yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mendapatkan pengakuan atas haknya. Misalnya hak atas HUTAN ADAT 3. Keputusan Bupati Nomor. 189-014 Tahun 2017 tentang perlindungan dan pengakuan Masyarakat Hukum Adat Kulawi di Marena, kecamatan Kulawi. Selanjutnya keputusan Bupati Sigi Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat yang sementara dalam proses ditahun 2018 yang difasiltasi oleh Karsa institute Palu dan Kemitraan Jakarta melalui Program Peduli terdiri dari Masyarakat Hukum adat: 1. Masyarakat hukum adat To Kulawi Uma di Moa Kec, Kulawi Selatan 2. Masyarakat hukum adat To Kulawi Uma di Masewo, Kec,Pipikoro 3. Masyarakat Hukum Adat To Kulawi di Ngata Toro, Kec. Kulawi. Saat ini produk hukum Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang telah tersedia antara lain: 1. Perda No 15 Tahun 2014 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat 2. Keputusan Bupati Sigi Nomor 189.1-521 Tahun 2015 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat To Kaili dan To Kulawi di Kabupaten Sigi
a. sejarah komunitas To Kulawi Uma di Moa Komunitas Masyarakat Adat To Kulawi Uma di Moa (To I Moa), salah satu suku asli berbahasa Uma yang mendiami lembah yang diapit oleh pegunungan Bulu Moa bagian barat, di bagian timur Bulu Pepa, dibagian Selatan Bulu Kalari dan di bagian Utara Bulu Lampo. Pada awalnya pemukiman To i Moa berada di sekitar hutan pegunungan Boku dan Haluboko di sepanjang pinggiran sungai koro (Lariang) yang kini telah menjadi kawasan hutan negara dengan fungsi Konservasi dan Lindung. Moa yang kini menjadi desa, dulunya merupakan huaka dan dodoha komunitas masyarakat adat To Kulawi Uma di Moa yang dimanfaatkan sebagai tempat berladang dan berburu bagi komunitas masyarakat adat Moa yang tinggal di Boku dan Haluboko. Pada tahun 1911, Walter Kauderen (antropolog) berkunjung ke daerah Kulawi bagian selatan dan menemukan komunitas yang berbahasa Uma (sub rumpun suku Kulawi) yang sudah berdiam di kampung Boku, Haluboko, dan sebagian ada di Moa untuk berladang yang dipimpin oleh seorang Totua ngata (kepala suku) yang bernama Sangkila. Kemudian pada masa pemerintahan kolonial Belanda masuk diwilayah tersebut, menggabungkan dua pemukiman besar Boku dan Haluboko menjadi sebuah ngata/desa secara permanen sebagai cara untuk melokalisir penduduk saat itu, sehingga memudahkan pemerintahannya berjalan, dengan membangun rumah tinggal penduduk dan membuka areal persawahan penduduk di sekitar wilayah Moa. b. sistim zonasi wilayah adat Sesuai dengan kearifan lokal To Kulawi Uma di Moa dulunya mengenal pembagian zonasi pemanfaatan lahan dan perlindungan terhadap wilayah adatnya meliputi : a) pongataa: permukiman (perumahan, fasilitas umum sekolah, fasilitas umum, baruga, dsb). b) polidaa :persawahan (diusahakan untuk budidaya padi sawah, minatani, ternak itik). c) pampa: kebun campuran, kombinasi tanaman keras dan musiman tanaman pangan Palawija (pokopia, pocoklat,ubi kayu, ubi jalar, sayur-sayuran, tanaman penghasil bumbu dapur, tanaman buah-buahan, kayu-kayuan, pandan (tanaman penyedap atau bahan kerajinan). d) lamara :lokasi penggembalaan, umumnya berupa hutan sekunder yang sudah tua (Oma tua), namun tidak menutup kemungkinan di hutan primer (ponulu). Keberadaan lamara harus ditunjang dengan adanya Kana (tempat minum) dan Potampoa (tempat berkubang). e) bonea :ladang (ditanamai padi, jagung, sayur-sayuran, tanaman penghasil bumbu dapur), setiap bulan ladang juga memberi hasil ikutan berupa jamur. f) bilingkia: bekas ladang berusia dibawah 1 tahun, permukaan lahan ditutupi oleh tumbuhan herba berumur pendek, alangalang, dan sedikit belukar, seringkali bagian tertentu dari tanah di bilingkia dipilih untuk menanam tanaman musiman seperti sayur-sayuran, rica dan tanaman pelengkap bumbu dapur lainnya. g) oma bou: bekas ladang berusia antara 1-2 tahun. Dominasi alang-alang dipermukaan tanah mulai digantikan oleh tumbuhan berkayu berupa semak, belukar dan anakan pohon kecil. h) oma Nete: bekas ladang berusia 3-10 tahun. Lahan mulai didominasi pohon-pohon kayu ukuran kecil (tiang), menggantikan dominasi semak dan belukar. i) oma tua : bekas ladang berusia diatas 10 tahun, anakan pohon besar (batang) tumbuh melampui pepohonan kecil sehingga mulai membentuk strata pepohonan. j) ko olo :kawasan Hutan yang dicagarkan (karena pertimbangan ekologis, wilayah aliran sungai, mata air, kana (sumber air panas mengandung sulfur tempat minum khusus untuk kerbau), daerah rawan longsor/erosi atau karena alasan budaya dan spiritual (situs purbakala, tempat-tempat dikeramatkan dll). k) ponulu: hutan primer, yang terdapat didekat permukiman atau lahan-lahan pertanian dapat dimanfaatkan sebagai tempat berburu serta mengambil rotan, kayu ramuan rumah, damar, obat-obatan dan hasil hutan lainnya. Sewaktu-waktu ponulu dapat saja peruntukannya untuk lahan-lahan pertanian dan perkebunan. l) wana:kawasan hutan primer yang letaknya jauh dari permukiman atau lokasi pertanian, Wana hanya digunakan sebagai tempat berburu, mengambil getah damar atau gaharu. Pengambilan rotan, tumbuhan obat juga dapat dilakukan disini meskipun dalam skala yang terbatas; m) wanangkiki: yakni kawasan hutan pegunungan atas (upper mountain forest) terletak di puncak gunung tinggi jauh dari permukiman penduduk, ditumbuhi pohon berbatang keras, berukuran kerdil. Batang, dahan, daun pepohonan dan lantai hutan diselimuti lumut. c. sistim penguasaan lahan Masyarakat adat To Kulawi Uma di Moa, mengenall hak kepemilikan atas sumber daya alam dalam dua bentuk yakni : 1. Hak kepemilikan bersama atau kolektif yang dalam bahasa Kulawi disebut Huaka. Huaka adalah hak kepemilikan seluruh masyakarat adat yang mencakup tanah dan segala sumber daya yang ada dalam wilayah keadatan To Kulawi Uma di Moa. Huaka juga mencakup kawasan hutan, wanangkiki, wana, ponulu dengan segala apa yang ada didalamnya,misalnya: rotan, damar, gaharu dan kayu yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan rumah dan lain-lain. Karena kedudukan Huaka ini merupakan kepemilikan bersama Ngata, maka ia tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan kepada siapapun juga yang bukan warga masyarakat adat setempat. 2. Hak kepemilikan pribadi/individu/keluarga yang disebut Dodoha. Hak kepemilikan yang masuk dalam kategori Dodoha adalah bentuk pemilikan tanah dan sumber daya alam yang menjadi milik pribadi/individu/keluarga, contoh: Popanolua. Hutan yang dibuka oleh seseorang atau keluarga tertentu akan menjadi milik pribadi atau keluarga yang pertama kali membuka hutan atau Moponulu dan ini biasanya diperoleh menurut pembagian lembaga adat atau pewarisan orang tua dan ada juga yang dimiliki melalui transaksi jual-beli. Peta wilayah adat To Kulawi uma di Moa Peta wilayah adat To Kulawi Uma di Masewo
d. Peluang dan Tantangan dalam mendorong Hutan Adat Peluang : - Pengakuan MHA dan Hak atas Hutan Adat langkah untuk menghormati dan memuliakan rakyat sebagaimana cita-cita pendiri bangsa yang diamanatkan dalam konstitusi. - Rata-rata, rasio jumlah petugas kehutanan dengan luas kawasan hutan sekitar 4 : 30.000 sangat kecil. Sehingga keikut sertaan masyarakat akan meningkatkan kapasitas perlindungan Hutan. - Pengakuan MHA dan Hak atas Hutan Adat adalah peluang terbaik untuk memperbaiki tata kelola pemerintah (good governance) pada bidang hutan dan lahan - Pengakuan MHA dan Hak atas Hutan Adat merupakan peluang untuk memulai peradaban pengelolaan kawasan konservasi yang baru dimana peran rakyat di kedepankan sebagai subjek. Secara teknis sudah saatnya mempertimbangkan pembangunan Kemitraan/Kerjasama Konservasi di Areal Hutan Adat yang berfungsi Konservasi. Yang setara dengan kemitraan Konservasi di Kawasan Konservasi Negara Tantangan : - Tantangan Pertama : Pengakuan MHA dan Hutan Adat, tidak lagi terletak pada Hambatan Teknis, maupun regulasi. Melainkan paradigmatik. Apalagi jika menyangkut pengakuan Hutan Adat di kawasan konservasi; - Tantangan Kedua: dalam konteks konservasi di Hutan adat, terdapat tantangan untuk memulihkan dan men-set up system social dan kelembagaan adat dalam menjalankan pengelolaan konservasi. Tantangan lebih kompleks jika memperhitungkan peningkatan populasi masyarakat dari luar menjadi bagian masyarakat adat. Luas wilayah yang dipetakan untuk menjadi wilayah adat To Kulawi Uma di Moa seluas, 34.485 ha (tiga puluh empat ribu, empat ratus delapan puluh lima) hektar, dengan batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Desa Pilimakujawa Kecamatan Kulawi Selatan Kabupaten Sigi; sebelah selatan berbatasan dengan Desa Mamu Kecamatan Pipikoro Kabupaten Sigi, Desa Runde Kecamatan Lore Selatan, Desa Lengkeka, Desa Tuare, Desa Kageroa Kecamatan Lore Barat Kabupaten Poso, dan Desa Tedeboe Kecamatan Rampi, Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan; sebelah timur berbatasan dengan Desa Hanggira Kecamatan Lore Tengah, Desa Tuare, Lengkeka dan Kageroa Kecamatan Lore Barat, Kabupaten Poso;dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Banasu, Masewo, Mapahi dan Tuwo Tani Jaya Kecamatan Pipikoro Kabupaten Sigi. Sedangkan wilayah yang di usulkan untuk menjadi hutan adat seluas 7.738,05 hakter, yang statusnya hutan Negara dengan fungsi konsrvasi dan lindung. Dok: Karsa institute palu Sebelum ditetapkan menjadi hutan Negara, wilayah yang di usulkan menjadi hutan adat oleh komunitas To Kulawi Uma di Moa, terdapat kampung tua masyarakat yang hingga saat sekarang masih seriing dijadikan sebagai tempat ritual oleh masyarakat adat. Sedangkan untuk bekas bakas sawah dimasa lalu di daerah (Boku,kahompoa,sabulu dan huluboko) serta pohon kopi yang sudah di tanam sejak tahun 1960 juga masih dapat kita jumpai. Meskipun demikian masyarakat adat To Kulawi Uma di Moa sudah tidak dapat lagi memanfaatkannya disebabkan wilayah tersebut masuk dalam kawasan Hutan Negara e. Hutan adat sebagai solusi perbaikan penghidupan. Pemerintah Kabupaten Sigi sejauh ini sangat mendukung pelibatan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan melalui program RAPS. Pengakuan wilayah adat oleh pemerintah dapat mengamankan hak-hak komunal (huaka) dan melindungi sumberdaya dari ancaman pihak luar. Dok: karsa institute palu, Cross learning tim peduli di kampung tua Boku, lokasi hutan adat, To Kulawi Uma di Moa 2017 Dok: karsa institute palu, Groundchek BPSKL,BPDas,KPH di kampung tua Boku hutan adat To kulawi Uma di Moa,2018 Dok karsa: penyerahan dokemen usulan wilayah adat,2017 Ket foto: Kiri, Direktur karsa institute palu, Bupati Sigi, Kepala Desa Moa danlembaga adat Pasca groundchek lokasi usulan wilayah Hutan Adat oleh BPSKL bersama dengan tim maka tahapan selanjutnya adalah tahapan verifikasi dari Kementrian LHK di 3 (tiga) wilayah calon hutan adat. di Kabupaten Sigi. @Peduli Adat@kemitraan_phg@karsainstitutepalu.
[Type text] Page 5