Oleh Mery Fanada,SPd,SKM,M.Kes Widyaiswara Muda Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan



dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN. Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya

BAB II TINJAUAN TEORI. dengan orang lain (Keliat, 2011).Adapun kerusakan interaksi sosial

BAB II TINJAUAN TEORI. pengecapan maupun perabaan (Yosep, 2011). Menurut Stuart (2007)

BAB I PENDAHULUAN. berat sebesar 4,6 permil, artinya ada empat sampai lima penduduk dari 1000

BAB II KONSEP DASAR. serta mengevaluasinya secara akurat (Nasution, 2003). dasarnya mungkin organic, fungsional, psikotik ataupun histerik.

TERAPI MODALITAS DALAM KEPERAWATAN JIWA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satunya adalah masalah tentang kesehatan jiwa yang sering luput dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku

BAB II TUNJAUAN TEORI. orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins, 1993)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang sebenarnya tidak ada stimulus dari manapun baik stimulus suara,

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. D DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI DI RUANG MAESPATI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan pesan yang

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Serambi Akademica, Vol. III, No. 2, November 2015 ISSN :

BAB I PENDAHULUAN. siklus kehidupan dengan respon psikososial yang maladaptif yang disebabkan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang

BAB II KONSEP TEORI. Perubahan sensori persepsi, halusinasi adalah suatu keadaan dimana individu

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organisation (WHO),

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari panca indera tanpa adanya

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. H DENGAN PERUBAHAN PERSEPSI SENSORI HALUSINASI PENDENGARAN DI RUANG SENA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB II TINJAUAN TEORI. menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam

BAB I PENDAHULUAN. keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan

BAB 1 PENDAHULUAN. sendiri. Kehidupan yang sulit dan komplek mengakibatkan bertambahnya

BAB II TINJAUAN TEORI. (DepKes, 2000 dalam Direja, 2011). Adapun kerusakan interaksi sosial

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya

BAB 1 PENDAHULUAN. Operasi adalah tindakan pengobatan yang banyak menimbulkan kecemasan,

BAB 1 PENDAHULUAN. pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering

RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GANGGUAN SENSORI PERSEPSI: HALUSINASI

GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP DASAR. orang lain maupun lingkungan (Townsend, 1998). orang lain, dan lingkungan (Stuart dan Sundeen, 1998).

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa Menurut World Health Organization adalah berbagai

BAB 1 PENDAHULUAN. sehat, serta mampu menangani tantangan hidup. Secara medis, kesehatan jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organitation (WHO), prevalensi masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini kemajuan yang pesat dalam berbagai bidang kehidupan

BAB II TINJAUAN TEORI. Kecemasan adalah respon emosional terhadap penilaian yang

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Jiwa menurut Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun

BAB II TINJAUAN TEORI. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tidak muncul sama sekali. Namun jika kondisi lingkungan justru mendukung

BAB 1 PENDAHULUAN. pembedahan yang dilakukan adalah pembedahan besar. Tindakan operasi atau

/BAB I PENDAHULUAN. yang dapat mengganggu kelompok dan masyarakat serta dapat. Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap peningkatan kualitas

BAB II KONSEP DASAR. tanda-tanda positif penyakit tersebut, misalnya waham, halusinasi, dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini membahas aspek yang terkait dengan penelitian ini yaitu : 1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan dinamisnya kehidupan masyarakat. Masalah ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi berkepanjangan juga merupakan salah satu pemicu yang. memunculkan stress, depresi, dan berbagai gangguan kesehatan pada


BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan jiwa bukan hanya sekedar terbebas dari gangguan jiwa,

NASKAH PUBLIKASI ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sakit merupakan keadaan dimana terjadi suatu proses penyakit dan

Koping individu tidak efektif

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik positif yang. menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. utuh sebagai manusia. Melalui pendekatan proses keperawatan untuk

LAPORAN PENDAHULUAN (LP) ISOLASI SOSIAL

BAB II TINJAUAN TEORI. Adapun definisi lain yang terkait dengan halusinasi adalah hilangnya

BAB II TINJAUAN KONSEP

BAB I PENDAHULUAN. meliputi keadaan fisik, mental, dan sosial, dan bukan saja keadaan yang bebas dari

BAB 1 PENDAHULUAN. dimana salah satu upaya yang dilakukan oleh rumah sakit adalah mendukung rujukan

BAB 1 PENDAHULUAN. mandiri untuk menangani kegawatan yang mengancam jiwa, sebelum dokter

BAB 1 PENDAHULUAN. deskriminasi meningkatkan risiko terjadinya gangguan jiwa (Suliswati, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai

Skizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia?

1. Dokter Umum 2. Perawat KETERKAITAN : PERALATAN PERLENGKAPAN : 1. SOP anamnesa pasien. Petugas Medis/ paramedis di BP

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa (Mental Disorder) merupakan salah satu dari empat

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

HUBUNGAN PELAKSANAAN INTERVENSI KEPERAWATAN DENGAN PENGENDALIAN DIRI PASIEN HALUSINASI DI RUMAH SAKIT JIWA

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Menuju era globalisasi manusia disambut untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengendalian diri serta terbebas dari stress yang serius. Kesehatan jiwa

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut World Health Organitation (WHO), prevalensi masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. stressor, produktif dan mampu memberikan konstribusi terhadap masyarakat

PROSES TERJADINYA MASALAH

SATUAN ACARA PENYULUHAN MANAJEMEN NYERI PADA LUKA POST OPERASI

BAB I PENDAHULUAN. rumah sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

BAB I PENDAHULUAN. Keadaan sehat atau sakit mental dapat dinilai dari keefektifan fungsi

BAB II TINJAUAN TEORI. sebenarnya tidak ada stimulus dari manapun, baik stimulus suara, bayangan, bau-bauan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dirasakan sebagai ancaman (Nurjannah dkk, 2004). keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan ke lingkungan, kedalam

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

BAB I PENDAHULUAN. genetik, faktor organo-biologis, faktor psikologis serta faktor sosio-kultural.

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH

BAB I PENDAHULUAN. mengalami gangguan kesehatan jiwa (Prasetyo, 2006). pasien mulai mengalami skizofenia pada usia tahun.

1. Bab II Landasan Teori

BAB I PENDAHULUAN. Semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

BAB 1 PENDAHULUAN. sisiokultural. Dalam konsep stress-adaptasi penyebab perilaku maladaptif

HUBUNGAN PENGGUNAAN MEKANISME KOPING DENGAN INTENSITAS NYERI PADA PASIEN POST OPERASI FRAKTUR FEMUR DI UNIT ORTHOPEDI RSU ISLAM KUSTATI SURAKARTA

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI (HALUSINASI) Mei Vita Cahya Ningsih. Pengertian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1966 merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Penurunan angka kematian ibu merupakan salah satu masalah besar di negeri

BAB I PENDAHULUAN. efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional (Videbeck, 2011).

BAB II TINJAUAN TEORI. maupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung (isolasi diri).

PENGKAJIAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA DI UNIT RAWAT INAP RS JIWA

Transkripsi:

PERAWAT DALAM PENERAPAN THERAPI PSIKORELIGIUS UNTUK MENURUNKAN TINGKAT STRESS PADA PASIEN HALUSINASI PENDENGARAN DI RAWAT INAP BANGAU RUMAH SAKIT ERNALDI BAHAR PALEMBANG 2012 Oleh Mery Fanada,SPd,SKM,M.Kes Widyaiswara Muda Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan ABSTRAK Terapi psikoreligius atau terapi religius adalah sebuah terapi dengan pendekatan terhadap kepercayaan yang dianut oleh pasien. contoh terapi ini adalah terapi shalat dan zikir. Pada tahun 1984 WHO memasukan dimensi spiritual keagamaan sama pentingnya dengan dimensi fisik, psikologis dan psikososial. Seiring dengan itu terapi-terapi yang dilakukan pun mulai menggunakan dimensi spiritual keagamaan, sebagai bagian dari terapi modalitas khususnya untuk keperawatan jiwa. Berdasarkan penelitian Larson oleh Dadang Hawari meyebutkan bahwa terapi Religius Shalat dan Zikir dalam penurunan tingkat stres pasien Halusinasi di ruang Bangau Rumah Sakit Erladi Bahar Palembang. Penelitian ini bersifat deskriftif dengan pendekatan kualitatif, pengumpulan data dengan menggunakan wawancara mendalam, dan observasi. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2012 di Ruang Bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatra Selatan. Hasil penelitian informan dengan wawancara mendalam dan Observasi menujukan bahwa untuk pelaksanaan Terapi Religius Shalat dan Zikir ini belum berjalan secara optimal. Hal ini dikarnakan masih terdapat kendala-kendala yang ditemukan. Hasil penelitian ini diharapkan bagi perawat ruangan diharapkan mampu mengingatkan kualitas sumber daya manusia dibidang kesehatan jiwa, terutama pemahaman tentang Terapi Religius Shalat dan Zikir dalam hubungannya dengan penurunan tingkat stress pasien Halusinasi Kata kunci : Terapi Psikoreligius Shalat dan Zikir. Halusinasasi Pendengaran,stres ABSTRACT Spiritual or religious therapy is a therapeutic approach to the beliefs held by patients. Examples of this therapy is the therapeutic prayer and remembrance. In 1984 the WHO include the spiritual dimension of religion is as important as the physical, psychological and psychosocial. Along with that, the therapeutic are performed began using religious spiritual spiritual dimension, as part of a therapeutic modality, especially for nursing soul. Based on research by dadang hawari larson mentioned that the religious prayer and remembrance therapy can lower stress levels of psychiatric patients. This study aims to determine the provision of religious therapy prayer and remembrance in decreased stress levels in the patient s hallucinations paradise Ernaldi Bahar hospital Palembang. This was a descriptive qualitative approach, collecting data by using in depth interview, and observation. The research was conducted in july 2012 in room paradise Hospital Ernaldi Bahar Palembang. The results of informants with in-depth interview and observations showed that for the implementation of prayer and remembrance religious therapy is not running optimally. This is because there are constraints that are found. The results of this study is expected to nurse the room is expected to improve the quality of human resources in the field of mental health, especially an understanding of therapy religious prayer and remembrance in conjunction with a reduction in stress levels of patient hallucinations. Key word : Psikoreligius's therapy Pray and Recitation. Halusinasasi is Hearing,stress

1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Kesehatan Jiwa adalah bagian internal dari upaya kesehatan yang bertujuan menciptakan p erkembangan jiwa yang sehat secra optimal baik intelektual maupun emosional (Kusumawati & Hartono, 2011 ). Menurut Yosep (2007), Masalah kesehatan jiwa mempunyai lingkup yang sangat luas dan kompleks serta saling berhubungan satu dengan lainnya. Apabila individu tidak mampu mempertahankan keseimbangan atau mempertahankan kondisi mental yang sejahtera, maka individu tersebut akan mengalami gangguan, dan apabila gangguan tersebut secara psikologis maka akan mengakibatkan individu mengalami gangguan jiwa. Dalam masyarakat umum skizofrenia tedapat 0,2 0.8 % dan retardasi mental 1 3 % WHO melaporkan bahwa 5 15 % dari anak anak antara 3 15 tahun mengalami gangguan jiwa yang persistent dan mengganggu hubungan sosial. Bila kira kira 40 % penduduk negara kita ialah anak anak di bawah 15 tahun (di negara yang sudah berkembang kira kira 25 %), dapat digambarkan besarnya masalah ( ambil 5 % dari 40% dari katakan saja 120 juta penduduk, maka di negara kita terdapat kira kira 2.400.000 orang anak yang mengalami gangguan jiwa). Pada skizofrenia terdapat 90 % gejalanya halusinasi, halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran dan hal ini merupakan suatu gejala yang hampir tidak dijumpai pada keadaan lain (Maramis, 2005). Berdasarkan data yang diambil dari hasil rekapitulasi Rekam medik di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Jiwa Daerah Propinsi Sumatra Selatan pada tahun 2009 jumlah keseluruhan pasien jiwa adalah sebanyak 4313 pasien dan 413 pasien yang mengalami halusinasi. Tahun 2010 jumlah pasien gangguan jiwa 4858 pasien, yang mengalami halusinasi 667. tahun 2011 jumlah pasien jiwa 4885 pasien, yang mengalami halusinasi 752 pasien. Skizofrenia yang mempunyai gejala utama penurunan persepsi sensori yaitu Halusinasi. Halusinasi merupakan hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara.(kusumawati & Hartono, 2011). Bagi mereka yang mengalami Halusinasi juga tidak luput dari masalah stres yang dapat muncul dalam kehidupan nya seharihari. Salah satu jenis stresor yang dapat muncul adalah stresor sosial dimana stres dan kecemasan akan meningkat bila terjadi penurunan stabilitas. Stress merupakan sebagai reaksi fisik, mental, dan kimiawi dari tubuh terhadap situasi yang menakutkan, mengejutkan. Membingungkan, membahayakan dan merisaukan seseorang ( Grenberg, 1984 dalam Yosep, 2007). Kondisi untuk menimalisi komplikasi atau dampak dari Halusinasi membutuhkan peran perawat yang optimal dan cermat untuk melakukan pendekatan dan membantu klien untuk memecahkan masalah yang dihadapinya dengan memberikan penatalaksaan untuk mengatasi Halusinasi. Penatalaksaan yang diberikan antra lain meliputi farmakoligis dan nonfarmakologis. Penatalaksaan farmakologis antara lain dengan memberikan obat-obatan antipsikotik. Adapun penatalaksanaan nonfarmakologis dari halusinasi dapat meliputi pemberian terapi-terapi antara lain terapi modalitas. (Direja, 2011) Terapi Modalitas adalah terapi dalam keperawatan jiwa, dimana perawat mendasarkan potensi yang dimiliki pasien sebagai titik tolak terapi atau penyembuhan. Ada beberapa jenis terapi modalitas, antara lain: terapi individual, terapi lingkungan (milliu therapi), terapi biologis atau terapi somatik, terapi kognitif, terapi keluarga, terapi prilaku, terapi bermain ( Yosep, 2007 ) Pada tahun 1984 WHO memasukan dimensi spiritual keagamaan sama petingnya dengan dimensi fisik, psikologis dan psikososial. Seiring dengan itu terapi-terapi yang dilakukan pun mulai mengunakan dimensi spiritual keagamaan, sebagai bagian dari terapi modalitas. Terapi yang demikian disebut dengan terapi holistik artinya terapi yang melibatkan

fisik, psikologis, psikososial dan spritual.(yosep, 2007). Salah satu bentuk Terapi Spiritual atau Terapi Religius ini antara lain Terapi Shalat dan Zikir. Dalam Terapi Shalat ini semua gerakan, sikap dan prilaku dalam Shalat dapat melemaskan otot yang kaku, mengendorkan tegangan sistem syaraf, menata dan menkonstruksi persendian tubuh, sehingga mampu mengurangi dampak positif terhadap kesehatan kesehatan syaraf dan tubuh jika zikir yang dilafalkan sacara baik dan benar sesuai aturan dalam ilmu tajwid dan dipahami artis dan dihayati maknanya disertai dengan kesungguhan (Wibisono, 1985 dalam Yosep, 2007 ). Terapi religius pada kasus-kasus gangguan jiwa ternyata membawa manfaat. Angka rawat inap pada klien gangguan jiwa skizofrenia yang mengikuti kegiatan keagamaa lebih rendah bila dibandingkan dengan mereka yang tidak mengetahuinya. (Chu dan Klein, 1985 dalam Yosep, 2007) Dari fenomena diatas peneliti tertarik untuk mengkaji dan membuktikan secara ilmiah tentang bagaimana penerapan therapi psikoreligius dalam menurunkan tingkat stress pasien halusinasi oleh perawat di ruang Bangau di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang. 1.2. Rumusan Masalah Melihat fenomena latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah belum diketahuinya penerapan therapi psikoreligius terhadap penurunan tingkat stres pasien Halusinasi oleh perawat di ruang Bangau di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang. 1.3. Pertanyaan Penelitian Dari permasalahan tersebut diatas maka timbul suatu pertanyaan penelitian yaitu ʻʼ Bagaimana penerapan therapi psikoreligius dalam penurunan tingkat stres oleh perawat pasien halusinasi oleh perawat di ruang Bangau? 1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Untuk mendapatkan informasi yang mendalam tetang bagaimana penerapan therapi psikoreligius terhadap penurunan tingkat stres pasien halusinasi oleh perawat di Ruang Bangau di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang tahun 2012. 1.4.2 Tujuan khusus 1. Untuk mendapatkan informasi mendalam mengenai penerapan Terapi Shalat. 2. Untuk mendapatkan informasi mendalam penerapan Terapi Zikir 3. Untuk mendapatkan informasi mendalam tentang tingkat stres pasien Halusinasi setelah mengikuti Terapi Shalat 4. Untuk mendapatkan informasi mendalam tentang tingkat stres pasien Halusinasi setelah mengikuti Terapi Zikir 2. Tinjauan Pustaka 2.1. Konsep Dasar kesehatan Jiwa 2.1.1. Definisi kesehatan Jiwa Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1966, tentang Kesehatan jiwa, kesehatan jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain. Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan memperhatikan semua segi-segi dalam kehidupan manusia dan dalam hubungannya dengan orang lain. (kusumawati, 2011), sedangkan menurut who kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik positif yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadiannya. Direja, (2011) Seseorang yang sehat jiwa mempunyai ciriciri sebagai berikut: 1. Merasa senang terhadap dirinya serta 1. Mampu menghadapi situasi. 2. Mampu mengatasi kekecewaan dalam hidup. 3. Puas dengan kehidupannya sehari-hari. 4. Mempunyai harga diri yang wajar. 5. Menilai dirinya secara realistis, tidak berlebihan dan tidak pula merendahkan. 2. Merasa nyaman berhubungan dengan orang lain serta 1. Mampu mencintai orang lain 2. Mempunyai hubungan pribadi yang tetap 3. Dapat menghargai pendapat orang lain yang berbeda

4. Merasa bagian dari suatu kelompok 5. Tidak "mengakali" orang lain dan juga tidak membiarkan orang lain "mengakali" dirinya 3. Mampu memenuhi tuntutan hidup serta 1. Menetapkan tujuan hidup yang realistis 2. Mampu mengambil keputusan 3. Mampu menerima tanggung jawab 4. Mampu merancang masa depan 5. Dapat menerima ide dan pengalaman baru 6. Puas dengan pekerjaannya 2.1.2 Perawat Pasien dengan gangguan jiwa perlu bantuan tenaga kesehatan yang khusus yang dapat mengatasi masalah kesehatan jiwanya. Tenaga kesehatan tersebut adalah seorang perawat. 2.1.2.1. Definisi Perawat Perawat adalah seseorang telah menyelesaikan program pendidikan keperawatan, berwenang dinegara bersangkutan untuk memberikan pelayanan, dan bertanggung jawab dalam peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit serta pelayanan terhadap pasien. (Internasional Council of Nursing, 1965) Menurut Undang-undang RI. No.23 tahun 1992 menyatakan bahwa perawat adalah seseorang yang memiliki kemampuan serta ketrampilan dan mempunyai kewenangan melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya, yang diperoleh melalui pendidikan perawatan. 2.1.2.2 Peran Perawat Peran Perawat menurut CHS (Consorsium Hight Science) 1989 (dalam Nurhasanah, 2010) adalah tingkah laku yang diharapkan oleh seseorang terhadap orang lain dalam suatu sistem, antara lain: 1. Pemberi asuhan keperawatan. 2. Pembela pasien. 3. Pendidik tenaga perawat dan masyarakat. 4. Koordinator dalam pelayanan pasien. 5. Kolaborator dalam membina kerja sama dengan profesi lain dan sejawat. 6. Konsultan atau penasehat pada tenaga kerja dan pasien. 7. Pembaharu sistem, metodologi, dan sikap. Peran perawat menurut Lokakarya Nasional tahun 1983 adalah: 1. Pelaksana pelayanan keperawatan. 2. Pengelola pelayanan keperawatan dan institusi Pendidikan. 3. Pendidik dalam keperawatan. 4. Peneliti dan pengembang keperawatan. 2.1.2.3 Fungsi Perawat Fungsi adalah pekerjaan yang harus dilaksanakan sesuai dengan peranannya. Tujuh fungsi perawat menurut Phaneuf (1972) antara lain: 1. Melaksanakan instruksi dokter (fungsi dependen). 2. Observasi gejala dan respons pasien yang berhubungan dengan penyakit dan penyebabnya. 3. Memantau pasien, menyusun, dan memperbaiki rencana keperawatan secara terus-menerus berdasarkan pada kondisi dan kemampuan pasien. 4. Mencatat dan melaporkan keadaan pasien. 5. Melaksanakan prosedur dan teknik keperawatan. 6. Supervisi semua pihak yang ikut terlibat dalam perawatan pasien. 7. Memberikan pengarahan dan penyuluhan untuk meningkatkan kesehatan fisik dan mental. (Nurhasanah, 2010). 2.2 Konsep Dasar Halusinasi 2.2.1 Definisi Halusinasi Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya rangsangan dari luar. Walaupun tampak sesuatu yang khayal, halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari

kehidupan mental penderita yang terepsesi. Halusinasi dapat terjadi karena dasar-dasar organic fungsional, psikotik maupun histerik.( Yosep, 2007) Halusinasi adalah sensasi panca indra tanpa adanya rangsangan. Klien merasa melihat, mendengar, membau dan ada rasa kecap meskipun tidak ada suatu rangsang yang tertuju pada kelima indra tersebut ( Damaiyanti, 2008 ) Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal ( pikiran ) dan rangsangan eksternal (dunia luar).klien memberikan persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara (Kusumawati dan Hartono 2011). 2.2.2 Penyebab Halusinasi Menurut Yosep (2007) penyebab halusinasi ada faktor predisposisi dan faktor presipitasi : a. Faktor predisposisi a. Genetik b. Neurobiology c. Neurotransmitter d. Abnormal perkembangan saraf e. Psikologis b. Faktor presipitasi a. Proses pengolahan informasi yang berlebihan b. Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal c. Adanya gejala pemicu. 2.2.5. Tahapan Halusinasi Menurut Direja (2011) Halusinasi melalui empat fase, yaitu sebagai berikut : 1.Fase 1 (Non-psikotik) Pada tahap ini, halusinasi mampu memberikan rasa nyaman pada klien, tingkst orientasi sedang. secara umum pada tahap ini halusinasi merupakan hal yang menyenangkan bagi klien a. Karakteristik : Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan,mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan kecemasan, Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada dalam control kesadarn b. Perilaku yang muncul : Tersenyum atau tertawa sendiri, Menggerakan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, Respons verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi 2. Fase II (Non-psikotik) Pada tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan mengalami tingkat kecemasan berat. secara umum halusinasi yang ada dapat menyebabkan antipasti. a. Karakteristik : Pengalaman sensori menakutkan atau merasa dilecehkan oleh pengalam tersebut, Mulai merasa kehilangan control, Menarik diri dari orang lain b. Perilaku yang muncul : Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah, Perhatian terhadap lingkungan menurun, konsentrasi terhadap pengalaman sensori pun menurun, Kehilangan kemampuan dalam membedakan antara halusinasi dan realita. 3. Fase III (Psikotik) Klien biasanya tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, tingkat kecemasan berat, dan halusinasi tidak dapat ditolak lagi a. Karakteristik : Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya, Isi halusinasi menjadi atraktif, Klien menjadi kesepian bila pengalaman sensori berakhir b. Perilaku yang muncul : Klien menuruti perintah halusinasi, Sulit berhubungan dengan orang lain, Perhatian terhadap lingkungan sedikit atau sesaat, Tidak mampu mengikuti perintah yang nyata, Klien tampak tremor dan berkeringat a. Fase IV ( Psikotik ) Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan biasanya klien terlihat panik Prilaku yang muncul : Resiko tinggi mencederai, Agitasi / kataton, Tidak mampu merespons rangsangan yang ada. 2.2.6. Data penting yang perlu didapat saat pengkajian 1. Jenis Halusinasi Berikut adalah jenis-jenis halusinasi, data objektif dan data subjetifnya.data objektif dapat dikaji dengan cara mengobservasi perilaku pasien, sedangkan data subjektif dapat dikaji dengan melakukan cara wawancara dengan pasien

2. Isi Halusinasi Data tentang isi halusinasi dapat diketahui dari hasil pengkajian tentang jenis halusinasi 3. Waktu, Frekuensi, dan situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi. Perawat perlu juga perlu mengkaji waktu, frekuensi, dan situasi munculnya halusinasi yang dialami pasien.hal ini dilakukan untuk menentukan intervensi khusus pada waktu terjadinya halusinasi, menghindari situasi yang menyebabkan munculnya halusinas. sehingga pasien tidak larut dengan halusinasinya. dengan mengetahui frekuensi terjadinya halusinasi dapat direncanakan frekuensi tindakan untuk mencegah terjadinya halusinasi. (Damaiyanti, 2011) 2.2.7 Tindakan keperawatan pasien dengan halusinasi Ada 5 tindakan keperawatan pasien dengan halusinasi menurut Damaiyanti, (2011) 1. Membina hubungan saling percaya perawat-klien a.sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal b. Perkenalkan diri dengan sopan c. Tanyakan nama lengkap klien dengan nama panggilan yang disukai klien. d. Jelaskan tujuan pertemuan e. Jujur dan menepati janji 2. Klien dapat mengenali halusinasi a. Adakan kontak yang sering dan singkat secara lengkap b. Bantu klien mengenal halusinasinya c. Jika menemukan klien yang sedang halusinasi, tanyakan apakah ada suara yang didengar d. Jika klien menjawab ada, lanjutkan apa yang dikatakan e. Katakan bahwa perawat percaya klien mendengar suara itu, namun perawat swndiri tidak mendengharny ( dengan anda bersahabat tanpa menuduh / menghakimi ) f. Katakan bahwa klien lain juga ada seperti klien g. Katakan bahwa perawat akan membantu klien 3. Klien dapat mengontrol halusinasinya a. Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi ( Tidur, marah, menyibukan diri, dan lain-lain) b. Diskusikan manfaat cara yang dilakukan klien, jika bermanfaat beri pujian c. Diskusikan cara baru untuk memutus / mengontrol timbulnya halusinasi d. Bantu klien memilih dan melatih cara memutuskan halusinasi secara bertahap e. Beri kesempatan untuk melakukan cara yang telah dilatih. Evaluasi hasil dan beri pujian jika berhasil f. Anjurkan klien mengikuti terapi aktivitas kelompok orientasi realita,stimulus persepsi. 4. Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasi. a. Anjurkan klien untuk memberi tahu keluarga keluarga jika mengalami halusinasi b. Diskusikan dengan keluarga, gejala halusinasi yang dialami klien, cara yang dapat dilakukan klien dan keluarga untuk memutuskan halusinasi, caramerawat anggota yang halusinasi dirumah beri kegiatan jangan biarkan sendiri. 5. Klien memanfaatkan obat dengan baik a. Diskusikan dngan klien dan keluarga tentang dosis, frekuensi, dan manfaat obat

b. Anjurkan klien minta sendiri obat pada perawat dan merasakan manfaatnya c. Anjurkan klien bicara dengan dokter tentang manfaat dan efek samping obat yang dirasakan d. Diskusikan akibat berhenti obatobatan tanpa konsultasi. a. Perasaan negativistik b. Kemampuan berkonsentrasi menurun tajam c. Perasaan takut yang tidak dapat dijelaskan, tidak mengerti mengapa. 5. Stress Tingkat V Tahapan ini merupakan keadaan yang lebih mendalam dari tahapan IV diatas yaitu : a. Keletihan yang mendalam b. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang sederhana saja terasa kurang mampu c. Gangguan sistem pencernaan lebih sering, sukar buang air besar, atau sebaliknya feses cair dan sering kebelakang d. Perasaan takut yang semakin menjadi, mirip panik 6. Stress Tingkat VI Tahapan ini merupakan tahapan puncak yang merupak keadaan gawat darurat. Tidak jarang penderita dalam tahapan ini dibawa ke ICCU. gejala-gejala pada tahapan ini cukup mengerikan diantaranya : a. Debar jantung terasa amat keras, hal ini disebabkan zat adrenalin yang dikeluarkan, karena stress tersebut cukup tinggi dalam peredaran darah. b. Nafas sesak, megap-megap c. Badan gemetar, badan dingin keringat bercucuran d. Tenaga untuk hal-hal yang ringan sekalipun tidak kuasa lagi, pingsan atau collaps. Bilamana diperhatikan maka tahapan stress diatas menunjukan manifestasi dibidang pisik dan psikis. Dibidang fisik berupa kelelahan, sedangkan dibidang psikis berupa kecemasan dan depresi. Hal ini dikarenakan penyediaan energi fisik maupun mental yang mengalami defisit terus menerus. Sering buang air kecil dan sukar tidur merupakan pertanda dari depresi. 2.3.3. Cara Mengelola Stress Sebenarnya stress akan lebih mudah dimanage jika lebih awal menyadari gejalagejalanya. Beberapa tipe praktis berikut dapat dilakukan saat stress melanda. a. Saat ketegangan melanda jiwa, mandilah dengan air hangat agar syaraf-syaraf berelaksasi. b. Perbanyaklah zikir, sebab dengan berzikir kita mengingat allah, dan hanya dengan mengingat allah-lah hati menjadi tenang. c. Bacalah al-quran dan renungkanlah maknanya, inshaalah hati akan lekas terobati, sebab al-quran adalah obat hati yang mujarab d. Perbanyaklah doa kepada allah. Amalkanlah doa penghilang stress dengan keyakinan penuh bahwa allah akan menghilangkan stress. e. Berolahragalah. Selain secara fisik menyehatkan, olahraga dapat me refresh jiwa saat bertemu dengan orang lain diluar rutinitas hidup. Dengan kata lain olahraga dapat menjadi srana untuk memenuhi kebutuhan psikologis sebagai mahluk sosial. f. Kurangilah mengkonsumsi kafein, karena zat ini dapat meningkatkan intensitas tekanan darah dan dapat menimbulkan kegelisahan. g. Istirahat yang cukup pada malam hari, sesuaikan dengan kebutuhan tidur. h. Lakukanlah refreshing, meskipun hanya sekedar jalan-jalan cara ini efektif untuk mengurangi kejenuhan, i. Bercandalah dan bercengkramalah dengan orang-orang tercinta. 2.4 Terapi Modalitas 2.4.1 Definisi Terapi Modalitas Terapi modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa. Terapi ini diberikan dalam upaya mengubah perilaku pasien dan perilaku yang maladaptif menjadi perilaku adaptif. (Kusumawati dan Hartono, 2011). Terapi modalitas keperawatan jiwa dilakukan untuk memperbaiki dan mempertahankan sikap klien agar mampu bertahap dan bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat sekitar dengan harapan klien dapat terus bekerja dan tetap

berhubungan dengan keluarga, teman, dan sistem pendukung yang ada ketika menjalani terapi. (Nasir et.all, 2011) Menurut Direja, (2011) terapi modalitas bertujuan agar pola perilaku atau keperibadian seperti keterampilan koping, gaya komunikasi dan tingkat harga diri secara bertahap dapat berkembang. Mengingat bahwa klien dengan gangguan jiwa membutuhkan pengawasan yang ketat dan lingkungan suffortif yang aman. Beberapa terapi keperawatan didasarkan ilmu dan seni keperawatan jiwa. 2.4.2 Jenis Jenis Terapi Modalitas Ada beberapa jenis terapi modalitas,menurut Dahlia, (2009) antara lain: a. Terapi individual Terapi individual adalah penanganan klien gangguan jiwa dengan pendekatan hubungan individual antara seorang terapis dengan seorang klien. Suatu hubungan yang terstruktur yang terjalin antara perawat dan klien untuk mengubah perilaku klien. b. Terapi Lingkungan Terapi lingkungan adalah bentuk terapi yaitu menata lingkungan agar terjadi perubahan perilaku pada klien dari perilaku maladaptive menjadi perilaku adaptif. Perawat menggunakan semua lingkungan rumah sakit dalam arti terapeutik. Bentuknya adalah memberi kesempatan klien untuk tumbuh dan berubah perilaku dengan memfokuskan pada nilai terapeutik dalam aktivitas dan interaksi. c. Terapi Biologis Penerapan terapi biologis atau terapi somatik didasarkan pada model medical di mana gangguan jiwa dipandang sebagai penyakit. Ini berbeda dengan model konsep yang lain yang memandang bahwa gangguan jiwa murni adalah gangguan pada jiwa semata, tidak mempertimbangkan adanya kelaianan patofisiologis. Tekanan model medical adalah pengkajian spesifik dan pengelompokkasn gejala dalam sindroma spesifik. d. Terapi Kognitif Terapi kognitif adalah strategi memodifikasi keyakinan dan sikap yang mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Proses yang diterapkan adalah membantu mempertimbangkan stressor dan kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi pola berfikir dan keyakinan yang tidak akurat tentang stressor tersebut. Gangguan perilaku terjadi akibat klien mengalami pola keyakinan dan berfikir yang tidak akurat. Untuk itu salah satu memodifikasi perilaku adalah dengan mengubah pola berfikir dan keyakinan tersebut. Fokus auhan adalah membantu klien untuk reevaluasi ide, nilai yang diyakini, harapan-harapan, dan kemudian dilanjutkan dengan menyusun perubahan kognitif e. Terapi Keluarga Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh anggota keluarga sebagai unit penanganan (treatment unit). Tujuan terapi keluarga adalah agar keluarga mampu melaksanakan fungsinya. Untuk itu sasaran utama terapi jenis ini adalah keluarga yang mengalami disfungsi f. Terapi kelompok Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk dalam kelompok, suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media kelompok. Dalam terapi kelompok perawat berinteraksi dengan sekelompok klien secara teratur. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran diri klien, meningkatkan hubungan interpersonal, dan mengubah perilaku maladaptive g. Terapi perilaku Anggapan dasar dari terapi perilaku adalah kenyataan bahwa perilaku timbul akibat proses

pembelajaran. Perilaku sehat oleh karenanya dapat dipelajari dan disubstitusi dari perilaku yang tidak sehat. Teknik dasar yang digunakan dalam terapi jenis ini adalah: Role model, Kondisioning operan, Sensitisasi sistematis, Pengendalian diri, Terapi aversi atau releks kondisi h. Terapi bermain Terapi bermain diterapkan karena ada anggapan dasar bahwa anak-anak akan dapat berkomunikasi dengan baik melalui permainan dari pada dengan ekspresi verbal. Dengan bermain perawat dapat mengkaji tingkat perkembangan, status emosional anak, hipotesa diagnostiknya, serta melakukan intervensi untuk mengatasi masalah anak tersebut i. Terapi psikoreligius/spritual terapi psikoreligius/ spritual adalah terapi yang biasanya melalui pendekatan keagamaan. 2.4.3 Terapi Psikoreligius Menurut Wicaksana, (2012) Untuk terapi spiritual gangguan mental bisa dibagi dua golongan besar saja, yaitu nonpsikotik dan psikotik. Untuk non psikotik banyak jenisnya, seperti gangguan cemas, gangguan somatoform, depresi, gangguan kepribadian, dll. Sedangkan gangguan psikotik adalah : Skizofrenia (5 tipe), Gangguan Afektif Berat dengan gejala psikotik ( Bipolar manik dan Depresi Berat), Skizoafektif, Psikosis Polimorfik Akut, Gangguan Waham Menetap, Psikosis Non Organik lainnya dan Gangguan Psikotik Organik. a. Ciri gangguan psikotik Ego yang collaps atau disfungsi, penalaran runtuh, adanya waham (pikiran terdistorsi), halusinasi (pendengaran, visual, penciuman, tactil), gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), tingkah laku kacau atau katatonik, gangguan daya nilai realitas, da tidak adanya kesesuaian antara pikiran dengan perasaan dan tindakan. Karena hal itu semua maka pada psikotik, penderita tidak mampu mengarahkan kemauannya secara sadar, tidak mempunyai tilikan diri, dan tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pemberian terapi spiritual akan diinterpretasikan secara salah karena gejala-gejala itu semua berpengaruh kuat pada proses pikirnya. Misalnya, akan timbul rasa bersalah atau berdosa dan tidak berguna, yang berlanjut ke usaha bunuh diri. Atau munculnya kembali waham paranoid karena merasa mau dijejali ide-ide agama oleh musuh-musuhnya secara terencana b. Kriteria terapi psikoreligius pada pasien jiwa 1. Bila dengan pengobatan antipsikotik selama 2-4 mg, gejala-gejala waham, halusinasi, inkoherensi dan tingkah laku kacau (gaduh gelisah) sudah mereda. 2. Ego dan penalaran sudah mulai berfungsi kembali sehingga interpretasi terhadap ide-ide sudah tepat. 3. Status mental tidak rentan/rapuh atau emosi sudah stabil 4. Bila perlu dengan skor Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS) yang sudah minimal. Variasi pasien psikotik yang siap menerima terapi spiritual, sepeerti: skizofrenia tak terinci (F20.3) yang sudah membaik, sudah lebih 6 bulan tidak ditengok atau diambil keluarganya, pasien masuk dengan gejala samar skizofrenia residual, pasif apatis, keluarga hanya tidak mau merawatnya di rumah dengan alasan apapun, pasien psikotik yang waham dan halusinasinya sudah reda, tapi masih impulsif dan cenderung lari pulang, pasien depresi berat dengan gejala psikotik yang waham dan halusinasinya sudah reda meski harus hati-hati karena terapi spiritual bisa menyulut waham bersalah dan berdosanya, psikosis polimorf akut (E23.0) yang dalam 3-5 hari sudah reda gaduh gelisah dan halusinasinya, tapi keluarga belum berani mengambil. Wicaksana, (2012) Pada konfrensi yang diadakan di canbera pada tahun 1980, dengan tema Role Of Religion In The Prevetion Of Drug Addiction. Pada kelompok-kelompok yang terkena narkotik,alkohol, dan zat adiktif (NAZA) itu sejak dini komitmen agama nya lemah. Hal ini dibandingkan penelitian dengan orang kuat

komitmen agamanya. Kesimpulannya remajaremaja yang sejak dini komitmen agama nya lemah memiliki resiko terkena (NAZA) empat kali lebih besar dibandingkan anak-anak remaja yang sejak dini komitmen agamanya kuat. Inilah salah satu contoh peranan agama karna agama itu membawa ketenangan. Contoh tentang peranan peranan agama yang lain adalah di sejumlah rumah sakit jiwa ada uji perbandingan terapi yang di terapkan kepada para penderita penyakit jiwa skizofrenia, yakni antara cara konvensional (dengan obat dan sebagainya) dan dengan cara pendekatan keagamaan, hasilnya hasilnya kelompok skizofrenia yang terapinya ditambah degngan keagamaan waktu perawatannya lebih pendek dan gejala-gejala nya lebih cepat hilang. Salah satu bentuk Terapi Spiritual atau Terapi Religius ini antara lain Terapi Shalat dan Zikir. Dalam Terapi Shalat ini semua gerakan, sikap dan prilaku dalam Shalat dapat melemaskan otot yang kaku, mengendorkan tegangan system syaraf, menata dan menkonstruksi persendian tubuh, sehingga mampu mengurangi dampak positif terhadap kesehatan kesehatan syaraf dan tubuh jika zikir yang dilafalkan sacara baik dan benar sesuai aturan dalam ilmu tajwid dan dipahami artis dan dihayati maknanya disertai dengan kesungguhan (Wibisono, 1985 dalam Yosep, 2007 ). 2.4.3.1 Terapi Shalat Dan Dzikir Pada Kesehatan Jiwa a. Shalat Shalat merupakan ibadah utama dalam islam bahkan dalam rukun islam nabi Muhammad menyebutkan sebagai yang kedua setelah kalimat syahadat (syahadatain). Nabi Muhammad pernah berwasiat, islam dibangun dengan lima pilar, bersaksi tiada tuhan selain allah dan Muhammad adalah utusan allah, menegakan Shalat, membayar zakat, berhaji ke ka bah dan berpuasa dibulan ramadhan (Hr.Bukhari dan Muslim). Shalat juga mengandung dimensi spiritual,. kita dapat hidup hanya dengan jasad, tetapi tanpa ruh, niscaya kurang sempurna. Setelah memenuhi syarat dan rukun sholat maka telah sah Shalat kita. Namun, jika Shalat didirikan tanpa menghayati makna bacaan dan gerakan dengan khusyuk niscaya kita belum mendapatkan hakikat shoalat itu sendiri. Betapa pentingnya kekhusyukan sholat sehingga allah berfirman dan memohonlah pertolongan (kepada allah) dengan sabar dan Shalat, dan sesungguhnya Shalat itu sangat berat kecuali bagi mereka yang khusyuk (Qs.Al-Baqarah) Menurut M. Thobroni, (2011) melakukan Shalat lima waktu sehari dapat dipandang sebagai bentuk praktis dari olahraga. Keseluruhan gerakan dalam sholat bersifat tenang, berulang-ulang, dan melibatkan semua otot persendian sehingga dapat menjaga keseimbangan energi. Hal tersebut disebabkan oleh pembakaran kalori dengan teratur. Menurut M. Thobroni, (2011) Gerakan shalat mempunyai manfaat bagi kesehatan jiwa adalah sebagai berikut : 1. Ketika takhbiratul ikhram, Kita berdiri tegak mengangkat kedua tangan sejajar telinga lalu melipatnya depan perut dan dada bagian bawah. Gerakan ini melancarkan aliran darah, getah bening dan kekuatan otot lengan. Posisi jantung dibawah otak, memungkinkan darah mengalir lancar keseluruh tubuh, Kala kita bediri tubuh akan terasa ringan karena berat tubuh tertumpu pada kedua kaki, sedangkan otot-otot punggung sebelah atas dan bawah dalam keadaan kendur. Punggung dalam keadaan lurus dengan pandangan terpusat pada tempat sujud. Pikiran berada dalam keadaan terkendali. Pusat otak, atas dan bawah, menyatu membentuk kesatuan tujuan. 2. Rukuk Rukuk merupakan satu metode untuk menguatkan otot-otot pada persendian kaki yang dapat meringankan tegangan pada lutut. Saat rukuk, seseorang meregangkan otot punggung sebelah bawah, otot paha, dan otot betis secara penuh. Tekanan akan terjadi pada otot lambung, perut dan ginjal sehingga darah akan terpompa ke atas tubuh. Secara spiritual, Rukuk dapat membentuk seseorang untuk tidak hidup dalam kesombongan, merendahkan dan menundukkan diri, dan senatiasa berusaha dalam memperluas hati dan memperbarui Kekhusyukan sholat, merasakan dirinya hina dan merasakan kemuliaan allah. 3. i tidal I tidal adalah variasi postur setelah rukuk dan sebelum sujud. Kala kita melakukan gerakan berdiri bungkuk lalu berdiri sujud

merupakan latihan pencernaan yang baik. Dengan melakukan gerakan itu organ pencernaan didalam perut mengalami pemijatan dan pelonggaran secara bergantian. Hal ini memberikan dampak tertentu, yakni pencernaan menjadi lebih lancar. Postur tubuh kembali tegak sehingga memberika tekanan pada aliran darah untuk bergerak keatas. Hal ini dapat membuat tubuh mengalami relaksasi dan melepaskan ketegangan. Hal serupa juga terjadi ketika berdiri setelah sujud. Dengan relaksasi dari ketegangan, dapat menyehatkan dan menenangkan fikiran dari segala beban persoalan, tetapi juga memiliki kesempatan untuk merumuskan jalan keluar, serta merancang rencana-rencana masa depan yang lebih matang. 4. Sujud Gerakan sujud diyakini dapat membawa kedamaian, keselarasan, kesesuaian, ketenangan dan kebahagiaan. Ketika seseorang melakukan sujud, badan dari belakang rata kedepan, kedua telapak tangan ditempelkan pada lantai/tanah, dan kaki ditekuk, Nabi saw pernah bersabda, jangan kau usap kerikil yang menempel dimukamu karena hal itu menjadi mutiara disurga kelak Wasiat tersebut memberi makna bahwa betapa secara kesehatan, wajah (muka) yang terkena kerikil dalam keadaan sujud dapat menjadi sumber pijat refleksi yang berufungsi melancarkan peredaran darah dan mengendurkan saraf-saraf dibagian wajah. Jika saraf-saraf muka kendur dan peredaran darahnya akan menjadi lancar, Dengan demikian, saat sujud diyakini bukan saja menetralisisr potensi pusing dan beban pikiran, tetapi juga dengan peredaran darah yang lancar dapat menyebabkan pikiran menjadi cerah dan cerdas. Dengan asupan darah yang cukup, otak menjadi lebih bergairah untuk mencerna berbagai persoalaan dan dapat bekerja secara baik. 5. Duduk iftirosy Duduk iftirosy (tahiyat awal) dan tawaruk (tahiyat akhir) juga dipandang menjadi proses pada pangkal paha yang terhubung dengan saraf. Ketika duduk, biasanya kita menekukkan jari-jari kaki kanan. Gerakan ini dapat menjadi pijat refleksi terhadap saraf-saraf kaki dan memperlancar peredaran darah hingga ke saraf kepala. Dengan duduk tahiyat, tubuh akan mengalami relaksasi dan merangsang otototot pangkal paha sehingga dapat mengurangi rasa nyeri dan sakit pada pangkal paha. Ketika kita mengalami relaksasi, semua aliran peredaran darah lancar dan jiwa kita menjadi tenang. Kita diharapakan dapat berfikir dengan jernih dalam menghadapi situasi apapun. Kita tidak mulah tertekan, tegang, dan panik meskipun didera beragam persoalan 6. Salam Gerakan diatas semakin lengkap jika diahiri dengan salam, yakni dengan cara memutar kepala kekanan dan kekiri. memutar kepala kekanan dan kekiri diyakini menjadi proses relaksasi mujarab untuk semakin meregangkan ketegangan otot sekitar leher sehingga aliran peredaran darah menjadi lancar. Denga cara itu kepala menjadi tersa lebih ringan,fresh, dan mudah mencerna apa yang sedang difikirkan. Kita dapat menjadi lebih fokus terhadap apa yang menjadi bahan pemikiran kita, menjadi lebih hening, dan jernih dalam memandang setiap persoalan. Ada ketenangan dan keheningan yang ditanamkan dalam gerakan tersebut. M. Thobroni, (2011) b. Dzikir Dzikir dan bacaan dalam shalat membuat hati seseorang menjadi tenang. Keadaan tenang dan rileks mempengaruhi kerja sistem syaraf dan endokrin. Pada orang yang stress dan tegang, corteks adrenal akan terangsang untuk mensekresi cortisol secara berlebihan sehingga terjadi peningkatan metabolisme tubuh secara mendadak, apabila hal ini berlangsung lama maka akan menurunkan sistem immunitas tubuh. Dengan bacaan do a dan berdzikir orang akan menyerahkan segala permasalahan kepada allah, sehingga beban stress yang di himpitnya mengalami penurunan. Yosep, (2007) 2.4.3.2 Manfaat Terapi Psikoreligius Pada Klien Jiwa Manfaat komitmen agama tidak hanya dalam penyakit fisik, tetapi juga dibidang kesehatan jiwa. Dua studi epidemologik yang luas telah dilakukan terhadap penduduk. Untuk mengetahui sejauh mana penduduk menderita psychological distress. Dari studi tersebut diproleh kesimpulan bahwa makin religius maka maakin terhindar kalian dari stress Linaen (1970) dalam Yosep, (2007). Kemudian dikemukakan lebih mendalam komitmen agama

seorang telah menujukan taraf kesehatan jiwanya. Terapi keagamaan (intervensi religi) pada kasus-kasus gangguan jiwa ternyata juga membawa manfaat. Misalnya angka rawat inap pada klien skizofrenia yang mengikuti kegiatan keagamaan lebih rendah bila dibandingkan dengan merka yang tidak mengikutinya, (Chu dan Klien, 1985 dalam Yosep, 2007). Kegiatan keagamaan/ibadah/shalat, menurunkan gejala psikiatrik, Riset yaang lain menyebutkan bahwa menurunnya kunjungan ke tempat ibadah, meningkatkan jumlah bunuh diri di USA,Kesimpulan dari berbagai riset bahwa religiusitas mampuh mencegah dan melindungi dari penyakit kejiwaan, mengurangi penderitaan meningkatkan proses adaptasi dan penyembuhan. (Mahoney et.all, 1985 dalam Yosep, 2007). Menurut Darajat, (1983) dalam Yosep, (2007), perasaan berdosa merupakan faktor faktor penyebab gangguan jiwa yang berkaitan dengan penyakit-penyakit psikosomatik. Hal ini di akibatkan karena seseorang merasa dosa yang tidak bisa terlepas dari perasaan tersebut kemudian menghukum dirinya. Bentuk psikosomatik tersebut dapat berupa matanya menjadi tidak dapat melihat, lidahnya menjadi bisu, atau menjadi lumpuh. Kekosongan spritual,kerohanian, dan rasa keagamaan yang sering menimbulkan permasalahan masalah psikososial dibidang kesehatan jiwa para pakar berpendapat bahwa untuk memahami manusia seutuhnya baik dalam keadaan sehat maupun sakit, pendekatannya tidak lagi memandang manusia sebagai mahkluk biopsikososial, tetapi sebagai makhluk biopsikososiospritual. 2.5. Pengukuran Mutu Pelayanan Menurut Aziz (2007), mutu pelayanan dapat diukur dengan menggunakan tiga variabel, yaitu input, proses, dan output/outcome. 1. Input adalah segala sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan seperti tenaga, dana, obat, fasilitas peralatan, teknologi, organisasi, dan informasi. 2. Proses adalah interaksi profesional antara pemberi pelayanan dengan konsumen (pasien dan masyarakat). Setiap tindakan medis/keperawatan harus selalu mempertimbangkan nilai yang dianut pada diri pasien. Setiap tindakan korektif dibuat dan meminimalkan resiko terulangnya keluhan atau ketidakpuasan pada pasien lainnya. Interaksi profesional selalu memperhatikan asas etika terhadap pasien, yaitu: a. Berbuat hal-hal yang baik (beneficence) terhadap manusia khususnya pasien, staf klinis dan nonklinis, masyarakat dan pelanggan secara umum. b. Tidak menimbulkan kerugian (nonmaleficence) terahadap manusia. c. Menghormati manusia (respect for person) menghormati hak otonomi, martabat, kerahasian, berlaku jujur, terbuka, empati. d. Berlaku adil (justice) dalam memberikan layanan. 3. Output/outcome adalah hasil pelayanan kesehatan atau pelayanan keperawatan, yaitu berupa perubahan yang terjadi pada konsumen termasuk kepuasan dari konsumen. Tanpa mengukur hasil kinerja rumah sakit/keperawatan tidak dapat diketahui apakah input dan process yang baik telah menghasilkan output yang baik pula (Aziz.2007). Bagan 2.1 Kerangka Teoritis Input Proses Bagan 2.1 : A. Aziz hidayat 3. Kerangka Pikir dan Definisi Istilah Output 3.1. Kerangka Konsep Berdasarkan tinjauan kepustakaan yang telah dikemukakan sebelumnya maka yang akan diteliti adalah penerapan therapi psikoreligius dalam menurunkan tingkat stress pada pasien halusinasi oleh perawat di rawat inap Bangau rumah sakit Dr. Ernaldi Bahar Palembang. Kerangka pikir ini dalam menetapkannya menggunakan pendekatan teori sistem diambil dari Aziz, (2007) yang terdiri dari input, proses

dan output.dari uraian diatas maka kerangka pikir yang diajukan dalam penelitian ini dengan modifikasi pada teori adalah terlihat pada bagan. Input - Dokter - Obat-obatan - Fasilitas lain Keterangan: Gambar 3.1 Kerangka Pikir Proses Penerapan therapi spritual a. Shalat b.dzikir : Area yang diteliti Out put - Pasien halusinasi dapat mengontrol stress dengan therapi spritual. 3.2. Definisi Istilah 1. Halusinasi : adalah persepsi sensorik tentang suatu objek, gambaran dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya ransangan yang dapat meliputi semua sistem penginderaan(pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, pengecapan / rasa. 2. Terapi Psikoreligius / Spiritual : adalah sebuah terapi dengan pendekatan terhadap kepercayaan yang dianut oleh klien dan lebih cendrung untuk menyentuh satu sisi spiritual manusia. 3. Terapi Shalat : adalah terapi doa berupa gerakan-gerakan yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. 4. Therapi Dzikir : adalah terapi yang mengunakan media dzikir mengingat Allah yang bertujuan untuk menenangkan hati dan memfokuskan fikiran. 5. Stres : adalah reaksi/respons tubuh terhadap stresor psikososial (tekanan mental/beban kehidupan) 4. Metode Penelitian 4.1. Desain penelitian Penelitian ini menggunakan desain studi kualitatif dengan menggunakan pendekatan pengamatan dan diskusi yang cermat dan mendalam untuk mendapatkan informasi mengenai penerapan terapi psikoreligius pada pasien halusinasi oleh perawat di ruangan Bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar palembang. 4.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di ruang bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang, penelitian akan dilaksanakan pada bulan April dan Mei 2012. 4.3. Sumber Informasi Informasi yang ingin diperoleh dari informan adalah perawat di ruang bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar palembang, informan utama adalah perawat di ruang Bangau. Adapun sumber informasi dalam penelitian ini adalah terdiri atas: 4.3.1. Kepala ruangan di ruang Bangau 4.3.2. Perawat Di ruang Bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang Adapun kriteria informan : 1. Kepala ruangan dan perawat di ruangan Bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar provinsi Sumatera Selatan. 2. Berperan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien halusinasi. 3. Karateristik individu: a) Pendidikan minimal D-III & S1 keperawatan b) Berpengalaman minimal 1 tahun di ruang inap bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar 4. Memahami tentang konsep terapi religius 5. Bersedia menjadi informan

Adapun informasi yang ingin diperoleh dari informasi dapat dilihat pada tabel. Tabel 4.1 Informasi yang ingin diperoleh dari informan No Informasi Informasi Yang Diinginkan 1. Kepala ruangan 1. Pandangan kepala ruangan terhadap terapi psikoreligius. 2. Penerapan terapi psikoeligius di ruangan inap bangau. 3. Pengawasan terhadap penerapan terapi psikoreligius di ruangan bangau. 2. Perawat di ruang inap bangau RS. Dr. Ernaldi Bahar Palembang 1. Pengetahuan perawat tentang pengertian, tujuan dan fungsi terapi spritual. 2. Tahap-tahap terapi spritual: - Shalat - Dzikir 4.4. Cara Pengumpulan Data Informasi dikumpulkan dengan menggunakan wawancara mendalam (indepth interview) dan observasi. Wawancara mendalam merupakan suatu cara mengumpulkan data atau informasi, dengan cara langsung bertatap muka dengan informan.dengan maksud mendapatkan gambaran lengkap dengan topik yang diteliti (Sugiyono, 2009). Informasi dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam. Agar informasi dapat terkumpul dengan lengkap, terinci dan jelas maka jalannya diskusi direkam dengan menggunakan tape recorder dan dicatat oleh seorang asisten peneliti yang membantu penelitian dan pencatatan pada waktu wawancara Tabel 4.2 Informasi yang dikumpulkan menurut sumber, metode, jumlah kegiatan dan jumlah informasi No. 1. Sumber Informasi Kepala ruangan Metode Pengumpulan Data Wawancara Mendalam 1 Jumlah 2. Perawat di 5 5 ruang inap bangau Total Informan 6 1 4.5. Pengolahan Data dan Jenis Keabsahan Informasi Informasi yang didapatkan adalah informasi primer, karena peneliti langsung memperoleh data dari sumber informasi yaitu Kepala ruangan dan Perawat di ruang Bangau RS. Dr. Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan. Untuk pengolahan data dari hasil wawancara mendalam dilakukan: 1. Mengumpulkan catatan 2. Menyusun atau membuat transkrip 3. Interpretasi data. Untuk menjamin keabsahan informasi dalam penelitian ini dilakukan uji validasi data yaitu dengan: 1. Triangulasi sumber Adalah untuk menguji kredibilitas data yang di lakukan dengan cara mengecek data yang di peroleh melalui beberapa sumber. a. Cross-check (pengoreksian ulang) antara informasi yang berbeda dari hasil sumber lain. b. Informasi yang berbeda, yaitu informasi dari perawat di ruang bangau RS Dr.Ernaldi Bahar. 2. Triangulasi Metode, yaitu dengan membandingkan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam 4.6. Teknik Analisis Data Informasi segera dianalisis tanpa menunggu semua informan diwawancarai.

Informasi yang diperoleh dengan mencatat dan direkam dengan tape recorder, kemudian dibuat transkrip indepth dan matrik setelah dikumpulkan sesuai dengan pertanyaan dan tujuan penelitian. Informasi dianalisa secara manual yang disusun untuk menemukan alternatif pemecahan masalah. 5. Hasil Penelitian 5.1 Gambaran Umum Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang 5.1.1 Sejarah Singkat Sejarah Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan diawali tahun 1923 yaitu Rumah Sakit yang dibangun oleh Belanda di Palembang yang letaknya di jalan Keranggo Wiro Sentiko yang sekarang Kodam II Sriwijaya. Rumah Sakit ini dipindahkan lagi pada Tahun 1942 di daerah Suka Bangun, berdasarkan SK Menkes No. 4287 / Pal / Peg / 1958 dan diresmikan pada tepatnya tanggal 18 Agustus 1958 menjadi Rumah Sakit Jiwa Suka Bangun. Tahun 1978 tepatnya tanggal 1 April, berlaku SK Menkes tentang susunan Organisasi dan tata kerja Rumah Sakit Jiwa Pusat Palembang. Tahun 2001 tepatnya tanggal 22 Juni 2001, diundangkan peraturan daerah dan Rumah Sakit Jiwa diserahkan ke daerah Provinsi Sumatera Selatan, namun pada tanggal 24 Mei 2006 nama Rumah Sakit Jiwa diganti menjadi Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan hingga sekarang. 5.1.2Visi, Misi, Tujuan, Moito, dan Nilai 5.2. Visi dan Misi Rumah Sakit. 5.2.1. Visi Terwujutnya Rumah Sakit Ernaldi Bahar sebagian pusat pelayanan rujukan kesehatan yang prima dan pusat pendidikan kesehatan jiwa yang terkemuka di sumatera selatan. 5.2.2. Misi 1. Memberikan pelayanan kesehatan yang komprehensif sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 2. Melaksanakan pembinaan kesehatan jiwa masyarakat. 3. Meningkatkan mutu sumber daya manusia, sarana dan prasarana. 4. Memfasilitasi pendidikan kesehatan jiwa yang dinamis. 5.3.3. Tujuan Menciptakan masyarakat Sumatera Selatan yang sehat, mandiri dan produktif secara mental dan fisik. 5.3.4. Motto Ramahlah satu langkah, satu senyuman Kreatiflah satu langkah, satu ide langsung action 5.3.5. Nilai Kebersamaan, Peduli, dan Kepercayaan. 5.2 Gambaran Unit Rawat Inap Bangau Unit Rawat Inap Bangau adalah ruang rawat inap kelas tiga juga merupakan ruang yang menjalankan program pemerintah provinsi dan pemerintah kota yaitu jamsoskes dan jamkesmas. Ruang bangau terdiri dari 6 jenis ruangan yaitu ruang kepala ruangan, ruang perawat, ruang istirahat, ruang tidur, toilet, ruang makan pasien, ruang bebas, teras. Toliet bangau dipisahkan antara perawat dan pasien, jumlah tempat tidur 33 bed disertai laken tanpa bantal dan selimut, ruang makan pasien bangau dicampur dengan ruang makan pasien merpati. Jumlah pasien sampai bulan april 2012 berjumlah 61 pasien, jumlah pegawai di ruang bangau berjumlah 12 pegawai. Terdiri dari 1 kepala ruangan dan 11 perawat pelaksana. dengan rincian kualifikasi pendidikan sebagai berikut : 1. Sarjana Keperawatan : 3 Orang 2. D III keperawatan : 7 Orang 3. D III Kebidanan : 1 Orang 4. SPK : 1 Orang 5.3 Karakteristik Informan Informasi dalam wawancara mendalam yang dilakukan observasi sebagai informan berumur 25-54 tahun dengan pendidikan rendah D III dan tertinggi SI Keperawatan Ners. Pekerjaan sehari-hari informan adalah sebagai Kepala Ruangan bangau dan perawat pelaksana, dan yang dilakukan observasi adalah pasien halusinasi berumur 20-45 tahun Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 5.2 Karakteristik Informan kunci dan informan dalam Wawancara Mendalam dan Observasi Menurut Umur, Pendidikan dan Pekerjaan No Inisi Umur Pendid Jabatan. al (Thn) ikan 1 H 49 S1 Kepala ruangan 2 EK 32 SI Perawat pelaksana 3 E 32 SI Perawat pelaksana 4 A 29 D III Perawat Pelaksana 5.4 Pemberian Terapi Religius oleh Perawat untuk Menurunkan Tingkat Stres Pasien Halusinasi Pendengaran 5.4.1 Hasil Wawancara Mendalam tentang pemberian Terapi Shalat dan Terapi Dzikir 5.4.1.1 Pengetahuan informan tentang jumlah pasien Halusinasi di ruangan bangau. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan, diperoleh keterangan dari informan mengenai jumlah pasien Halusinasi sebagai berikut: "... kalo untuk sekarang kalo kriteria pasien halusinasi itu 6 orang dengan masalah utama pasien adalah halusinasi tersebut... ( E K ) "... emm...oiya kalo untuk pasien halusinasi ini ada 8 orang dek ya...( E ) "... kalo jumlah pasien halusinasi di ruangan e...ada 8 untuk saat ini...(a) Berdasarkan petikan wawancara di atas, ketiga informan menjawab pertanyaan peneliti dan memberikan informasi tentang jumlah pasien Halusinasi di ruang bangau. Dari semua ketiga informasi dari informan tersebut berbeda dalam menyebutkan jumlah pasien Halusinasi di ruangan. Informan EK" menyebutkan bahwa jumlah pasien Halusinasi adalah 6 orang, sedangkan informan "E" dan informan 'A" menyebutkan jumlah pasien Halusinasi adalah 8 orang. Hal ini dikarenakan saat dilakukan wawancara dengan ketiga informan tersebut dilakukan dalam waktu yang berbeda jadwal shift mereka. 5.4.1.2 Pengetahuan informan tentang pelaksanaan Terapi Religius Shalat dan Dzikir Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan, diperoleh keterangan tentang pelaksanaan Terapi Religius Shalat dan Dzikir sebagai berikut: "... kita sih ada dong...kalo dengan pasien jiwa tiap hari ada jadwal terapi bagi pasien tersebut. Kalo hari Senin dan hari Rabu kemudian hari Kamis itu bentuknya terapi kerja tiap hari Kamis itu ada Terapi Religius kemudian untuk hari Selasa, hari Jumat itu terapi gerak dan hari Sabtu itu terapi musik bagi pasien yang ada di rumah sakit ini... (EK) "...untuk pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir ini ada ya... dilakukan oleh pihak rehab di ruang Terapi Religius Hasana..tetapi kalo untuk pelaksanaan shalat bersama biasanya dilakukan oleh pasien sendiri secara berjamaah di ruang TAK dan Religius yang ada di ruangan ini. (E) "...ada. Terapi Religius bisa dilakukan di RS ini setiap hari Kamis...pasienpasien itu dilakukan Terapi Religius di mushola yang ada di Erba... (A) Berdasarkan petikan wawancara di atas ketiga informan menjawab pertanyaan peneliti dan memberikan informasi bahwa Terapi Religius sudah diberikan di Rumah Sakit Ernaldi Bahar dan ruang rawat inap. Tetapi ketiga informan tidak menyebutkan dengan detail pelaksanaan dari masing-masing terapi yaitu Terapi Shalat dan Dzikir. Dari semua informasi dari ketiga informan memiliki kesimpulan jawaban yang sama bahwa untuk pelaksanaan Terapi Religius Shalat dan Dzikir

ini memang dilaksanakan di Rumah Sakit Ernaldi Bahar ini tetapi dalam hal ini, pengetahuan ketiga informan tentang Terapi Shalat dan Dzikir masih terbatas, belum optimal. 5.4.1.3 Pengetahuan informan untuk kriteria pasien yang akan mengikuti Terapi Religius Shalat dan Zikir Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan, diperoleh keterangan dari informan mengenai kriteria pasien yang akan mengikuti Terapi Religius sebagai berikut: kriteria pasien yang akan mengikuti Terapi Religius Shalat dan Dzikir ini sesuai dan tergolong cukup optimal. 5.4.1.4 Pengetahuan informan untuk Kewenangan dalam Pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir Berdasarkan hasil wawancara hasil wawancara mendalam dengan informan, diperoleh keterangan dari informan mengenai pihak-pihak yang berwenang dalam pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir ini sebagai berikut: "... kalo untuk kewenangan melakukan terapi religius itu, secara protap itu kewenangan berdasar pada e... petugas atau perawat yang dimana tuh..e... di rehabilitasi tapi..e..perawat juga ada pelajaran ataupun mahasiswa ada bidang ilmu untuk melakukan terapi religius ini tetapi untuk rumah sakit ini untuk saat sekarang, protap dan e..kewenangan itu ada di rehabilitasi untuk melakukan terapi religius tersebut... ( E ) "... di keperawatan kan TAK kita sudah ditentukan tapi format TAK nya untuk keperawatan untuk terapi musik, religius shalat dan dzikir itu belum., kalo untuk pemberian terapi religius, perawat tidak berwenang hanya sebagai observer dilakukan oleh orang rehab... emm...untuk kewenangan itu ada direhab karena untuk di keperawatan format Terapi Religius ini belum ada untuk perawat eemm masih dalam proses... ( E ) "... kalo kewenangan itu untuk terapi religius perawat di ruangan berkoordinasi dengan dokter, jadi setiap pasien yang akan dilakukan tindakan terapi religius biasanya biasanya sudah harus tau pasien mana yang sudah bisa dilakukan terapi religius, jadi perawat yang tau kondisi pasien yang bisa dilakukan terapi religius atau tidak diantar ke mushola nanti orang rehab yang menerima disana..... ( A ) Berdasarkan informasi di atas dapat diketahui bahwa ketiga informan menjawab pertanyaan dari peneliti dengan jawaban yang berbeda tetapi pada intinya sama, yaitu yang lebih memiliki kewenangan dalam pemberian Terapi Religius ini adalah pihak Rehabilitasi. Jadi dari keterangan di atas tentang pengetahuan informan tentang pihak yang berwenang dalam pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir ini tergolong baik. Karena keempat informan mengetahui dan dapat menyebutkan pihak yang memiliki kewenangan dalam pemberian Kegiatan Terapi Religius Shalat dan Dzikir ini sesuai dengan kebijakan di Rumah Sakit Ernaldi Bahar. 5.4.1.5 Pengetahuan Pengaturan Jadwal Pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir Berdasarkan hasil wawancara Hasil wawancara mendalam dengan informan, diperoleh keterangan dari informan mengenai pengetahuan jadwal pemberian Terapi Religius Salat dan Zikir adalah sebagai berikut: "... kita sich ada donk kalo dengan pasien jiwa tiap hari ada jadwal terapi bagi pasien tersebut. Kalo hari Senin dan hari Rabu kemudian hari Kamis itu bentuknya terapi kerja tiap hari Kamis itu ada terapi Religius kemudian untuk hari Selasa, hari Jumat itu terapi gerak dan hari Sabtu itu terapi musik bagi pasien yang ada di rumah sakit ini... (EK) "... kalo waktu rehab itu antara jam 8-9 pagi hari Kamis di ruang terapi religius dan alatnya sudah tersedia oleh rehab pengaturan jadwal biasanya hari Kamis pagi jam 8

persiapan sampai jam 10 pagi di ruang Terapi Religius Hasana dibimbing oleh orang-orang rehab juga berkolaborasi dengan perawat dan dokter Perawat mengantar pasien dan obsevasi pasien. ( E ) "...kalo di ruangan ada tempat sholatnya kami sediakan juga sajadah..kalo di lingkungan Erba ini ada mushola jadi tiap hari pasien bisa sholat di tempat yang disediakan terus untuk terapi pasien setiap hari Kamis di musholla RS bersama pasien lain...(a ) Berdasarkan informasi di atas dapat diketahui bahwa ketiga informan mampu menjawab pertanyaan peneliti. Pada informan "EK", E, dan "A" dapat menyimpulkan bahwa untuk pengaturan jadwal pemberian Terapi Religius ini adalah setiap hari Kamis dimulai dengan persiapan jam 8 pagi dilakukan di musolla/ruang. Terapi Religius yang dipimpin oleh tim dari unit Rehabilitasi. Sedangkan pada keterangan dari informan 'A" menambahkan keterangan bahwa untuk pelaksanaan Terapi Shalat dan Dzikir ini juga bisa dilakukan di ruangan Bangau sendiri. Yang dimaksud ruangan ini adalah ruangan TAK dan Religius yang terdapat di ruang Bangau. Dalam hal ini keterangan para informan tergolong bervariasi tetapi tergolong baik karena dari semua keterangan informan sesuai dengan jadwal pengaturan Terapi Religius di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang. 5.4.1.6 Tahapan dan Proses Kerja dari Pemberian Terapi Religius Salat dan Zikir Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan, diperoleh keterangan dari informan mengenai tahapan dan proses kerja dari pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir adalah sebagai berikut : a. Terapi Salat "... kalo untuk perawat untuk melakukan terapi religius ini cuma dari sekedar pengetahuan, dari pangalaman kan kami belum pernah melakukan di ruangan tapi menurut pengetahuan kami untuk terapi itu pastilah kita yang pertama lakukan persiapan untuk pasien-pasien yang melakukan terapi religius,seperti kontrak waktu dulu...e..dikatakan terapi jam 9, sebelumnya kita kontrak waktu dulu kemudian kita orientasikan dimana akan dilakukan terapi kemudian pada kerjanya kita arahkan untuk menuju tempat terapi religius...memang disini ada tempat tersendiri untuk terapi religius..e..kemudian setelah terapi religius kita evaluasi pasien tersebut apa yang didapat,apa yang direspon pasien tersebut terhadap terapi yang diberikan oleh yang memberikan terapi lalu kelihatan nanti perubahan setelah dilakukan terapi religius tersebut...( EK ) "... untuk tahapan ini kan ada 4, tahap persiapan, orientasi, kerja dan terminasi. Tahap persiapan perawat atau pihak rehab memilih dan menyiapkan pasien-pasien yang mana, yang seperti apa yang akan mengikuti terapi ni, disiapkan tempat juga sarana dan prasarana untuk mendukung kegiatan ini, misalnya mukena bagi perempuan, sarung, sajadah,peci untuk pasien yang lakilaki...terus tahap orientasi kita lakukan informed consent dan kita catat kita nilai juga keadaan pasien sebelum mengikuti kegiatan ini..lalu tahap kerja kita kerjakan bersama-sama misalnya Shalat dan Dzikir.Sebelumnya kita kasih contoh gerakan Shalat yang benar itu seperti apa, kita lihat apakah pasien mampu mengikuti gerakan Shalat kita tadi...emm,,, terus tahap terakhir yaitu tahap terminasi ya...kita observasi kita tanyakan pada pasien tentang apa yang ia rasakan setelah ikut kegiatan ini. Untuk prosesnya setau saya dari ee...proses kerja dari pemberian terapi ini baik yang di rehab atopun di

b. Terapi Zikir ruangan sama saja, gerakan-gerakan shalat itulah yang diperhatikan bagaimana niat dan doanya sebelumnya diawali wudhu dulu dan lain-lain,ceramah kadang juga diberikan oleh dokter kalo untuk di reha. ( E ) "... ntar dulu dek ye?? kalo shalat dan dzikir aku tak tau makmano lah ye? kurang tau? tapi untuk terapi shalat dan dzikir disediakan waktu misalnya untuk shalat jam berapa, disediakan waktu., kalo untuk dzikir gak ngerti dek soal tata caranya...tapi mungkin bersamaan dengan shalat...aku tak tau?. (A) "...proses kerja dari terapi zikir...emmm...sepertinya sama seperti proses pada terapi salat dari persiapan sampai terminasi ya... ( EK) "...sepengetahuan saya kayaknya sama seperti proses dan tahapan pada tercapi salat tadi..emm..ya..karena zikir ini dilakukan oleh pasien setelah salat kan?... (E) "....kalo untuk dzikir gak ngerti dek soal tata caranya...tapi mungkin bersamaan dengan shalat...aku tak tau?... (A) Berdasarkan informasi di atas dapat diketahui bahwa ketiga informan dapat menjawab tentang proses kerja dari pemberian Terapi Religius dengan informasi yang berbedabeda. Pada informan "EK" dan "E" menyebutkan tentang poses dan tahapan pelaksanaan pemberian Terapi Religius ini yang dimulai dari tahap persiapan hingga tahap terminasi tetapi kedua informan ini menyebutkan tentang proses kerja dari kegiatan Terapi Zikir sama seperti proses pada Terapi Salat. Sedangkan pada informan 'A" menyebutkan bahwa ia mengatakan kurang mengetahui mengetahui tentang Terapi Shalat dan Dzikir. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan ketiga informan dalam Terapi Shalat dan Dzikir ini belum optimal. 5.4.1.7 Kendala-kendala yang dihadapi dalam proses Terapi Religius Shalat dan Dzikir Berdasarkan hasil wawancara Hasil wawancara mendalam dengan informan, diperoleh keterangan dari informan mengenai Kendala-kendala yang dihadapi dalam proses pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir adalah sebagai berikut: "... Di ruangan kalo sampai saat ini belum dilakukan dalam terapi religius karena kita juga melakukan kegiatan tersebut mungkin belum mendukung dari sarana dan prasarana dalam terapi religius itu kendala yang paling utama disini adalah SDM nya karena anggapan manajemen di RS yang melakukan terapi religius ini mesti ada orang yang memang orang yang khusus untuk melakukan terapi ini..e...dalam hal ini apalagi religius biasanya orang-orang yang berhubungan dengan hal-hal keagamaan jadi disini kendala untuk memilih orangorang tersebut kita kan kekurangan.. tapi intinya kita sebagai perawat itu bisa melakukan terapi religius sesuai dengan agama dan kepercayaan mereka masing-masing... ( E K )... kendalanya palingan ya keterbatasan waktu juga jumlah perawat ruangan untuk memberikan terapi ini di ruangan, dalam arti mengajarkan shalat, dzikir, sebab ini dalam wewenang pihak rehabilitasi... (E) "... emm...kalo untuk terapi ini tidak ada ya karena sudah ada sarana dan prasarana, mencukupi jadi ya..e... tidak ada...( A )

Berdasarkan informasi di atas dapat diketahui bahwa dalam menyebutkan kendalakendala yang dihadapi dalam pemberian Terapi Religius ini ketiga informan mampu menjawab pertanyaan dari peneliti dan ketiga informan memberikan informasi dengan informasi yang berbeda. Pada informasi yang diperoleh dari informan "EK" dan "E" dapat diketahui masih ada kendala-kendala yang dihadapi dalam proses pelaksanaan Terapi Religius seperti kendala yang berasal dari SDM nya itu sendiri yaitu keterbatasan waktu,tenaga juga anggapan Rumah Sakit sendiri bahwa hanya orang-orang tertentu yang bisa melakukan tindakan ini. Sedangkan pada informan 'EK" menyebutkan bahwa tidak terdapat kendala-kendala yang berarti karena sudah tersedia sarana dan prasarana yang sudah mencukupi. 5.4.2 Tingkat stres pasien sebelum dan sesudah mengikuti Terapi Shalat Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan, diperoleh keterangan dari informan mengenai pengaruh Terapi Shalat terhadap perubahan tingkat stres pasien adalah sebagai berikut: "...pada pasien halusinasi untuk terapi religius ada perubahan yaitu saya temui kalo hari Kamis setelah pulang dari melakukan terapi religius tersebut kita tanyakan pada pasiennya bagaimana perasaan setelah mengikuti terapi, ada ceramah, dzikir biasanya yang dilakukan petugas rehabilitasi, mereka mengatakan enak dan kelihatan lebih tenang dan beranggapan o..mungkin ini bias kalo begini terus halusinasi saya bisa hilang..jadi signifikan perubahan setelah dilakukan terapi ini...mereka jadi lebih giat melakukan kegiatan salat di ruangan ini...(ek) "...emm..lebih tenang..lebih ada indikasi untuk pulang manfaat ada donk, yang jelas pulang dari terapi ini pasien tampak lebih tenang, gitu..ceria, tingkah laku terkendali untuk pasien halusinasi khususnya ya halusinasinya itu berkurang dia sudah mulai tenang..begitu juga untuk pasien yang shalat di ruangan..... ( E ) "...untuk salat, ada sich perubahannya biasanya pasien cenderung lebih tenang kooperatif bisa mengontrol emosi... (A) Berdasarkan informasi di atas dapat diketahui bahwa ketiga informan mengetahui dan mampu menyebutkan tentang perubahan yang tampak pada pasien setelah diberikan tindakan Terapi Shalat ini. Ketiga informan menyebutkan bahwa setelah dilakukan kegiatan Terapi Shalat ini keadaan pasien menjadi lebih baik, tenang dan tidak ada indikasi stres berat. Pengetahuan informan dalam hal ini bisa dikatakan cukup baik karena sesuai dengan hasil chek list observation. 5.4.3 Tingkat stres pasien sebelum dan sesudah mengikuti Terapi Zikir Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan, diperoleh keterangan dari informan mengenai pengaruh Terapi Zikir terhadap perubahan tingkat stres pasien adalah sebagai berikut: "... emm...untuk dzikir saya rasa sama saja efeknya seperti salat, membawa ketenangan, pikiran lebih konsentrasi, tingkat stress menurun karena beban kita semakin berkurang jika kita berzikir ini kan sama saja halnya seperti mengingat dan mengadukan masalah kita ke Allah tapi sepertinya pasien jarang melakukan zikir yang seperti zikrullah itu, palingan mereka berdoa untuk keluarga, orang tua, tapi kalo bimbingan zikir di rehab saya juga kurang tau..mungkin juga dilaksanakan kali ya...(ek) "...kalu untuk dzikir sepertinya lebih kepada doa untuk pasien sendiri..setau saya mereka juga dzikir dengan dzikrullah jika dibimbing khusus oleh dokter dan orang rehab gitu...dampaknya sama seperti salat,pasien lebih tenang"...( E ) "...setelah berdzikir dan sholat misalnya kalo dia marah kan bias berdoa. Pokoknya ada pengaruhnya ke arah lebih baik, lebih positif....( A )