BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuhan merupakan keanekaragaman hayati yang selalu ada di sekitar kita, baik itu yang tumbuh secara liar maupun yang sengaja dibudidayakan. Sejak zaman dahulu, tumbuhan sudah digunakan sebagai tanaman obat, walaupun penggunaannya disebarkan secara turun-temurun maupun dari mulut ke mulut (Widyawati, 2011). Dewasa ini, didukung dengan penelitian ilmiah, tumbuhan secara fungsional tidak lagi dipandang sebagai bahan konsumsi maupun penghias saja, tetapi juga sebagai tanaman obat yang multifungsi. Mengingat biaya pengobatan yang tidak terjangkau oleh semua orang, pengobatan alamiah dengan tanaman obat tradisional dipandang sebagai alternatif yang terjangkau dan kembali ke alam. Bahkan fungsinya sebagai tanaman obat sudah dikomersialkan sebagai lahan penghasilan yang sangat menguntungkan (Widyawati, 2011). Indonesia memiliki potensi sumber daya rotan tertinggi di dunia. Dari 530 jenis rotan dunia, lebih kurang 316 jenis terdapat di berbagai wilayah hutan Indonesia. Di wilayah hutan Sumatera terdapat 132 jenis, Jawa 29 jenis, Kalimantan 138 jenis, Sulawesi 86 jenis, Maluku dan Papua 47 jenis (Kemenhut, 2013). Keanekaragaman jenis rotan yang tercatat, terangkum ke dalam 13 genus. Genus Daemonorops memiliki jumlah jenis terbanyak kedua setelah genus Calamus, yaitu 115 jenis (Dransfield dan Manokaran, 1996; Purwanto, dkk., 1
2005). Genus Daemonorops (lebih dikenal jernang) yang menghasilkan getah, berjumlah 12 jenis. Jenis Jernang yang menghasilkan getah terbanyak dan bernilai ekonomis tinggi adalah Daemonorops draco (Willd.) Blume (Purwanto, dkk., 2005). Potensi rotan jernang di Indonesia tersebar di Sumatera dan Kalimantan. Di Sumatera, rotan jernang dijumpai di Provinsi Aceh, Riau, dan Jambi. Sedangkan di Kalimantan, terdapat di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan (Kemenhut, 2013). Jernang adalah resin yang merupakan hasil sekresi buah rotan jernang. Resin tersebut menempel dan menutupi bagian luar buah rotan, dimana untuk mendapatkannya diperlukan proses ekstraksi. Musim berburu jernang dilakukan pada bulan September sampai dengan Desember (Elvidayanty dan Erwin, 2006). Buah rotan jernang yang sudah tua berwarna cokelat kemerahan. Buah yang menghasilkan banyak jernang adalah buah yang tua namun belum terlalu masak. Secara umum, antara satu sampai dua bulan sebelum buah masak potensi jernang yang terbentuk sangat optimal. Apabila buah yang dipetik sudah masak, maka jernang yang terkandung dalam buah rotan terlah berkurang karena dapat mencair dengan sendirinya dan membusuk (Matangaran, 2012). Jernang cukup dikenal sebagai obat tradisional dan digunakan untuk pengobatan haemostatik, antidiare, antiulcer, antimikroba, antivirus, antitumor, antioksidan, dan antiinflamasi (Gupta, 2008). Kegunaan jernang di Indonesia adalah sebagai bahan pewarna cat dan obat-obatan, misalnya mengobati luka akibat gatal-gatal dan juga sebagai ramuan yang dioleskan di kening ibu-ibu yang baru melewati proses persalinan (Yetty, dkk., 2013). Choy, dkk., (2008), 2
melaporkan bahwa ekstrak etanol dari jernang Daemonorops draco ini ketika diuji efek antiinflamasinya secara in vitro, menunjukkan hasil yang positif. Inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal kerusakan sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan asal. Inflamasi melakukan tugas pertahanannya dengan megencerkan, menghancurkan, atau menetralkan agen berbahaya (misalnya, mikroba atau toksin). Tanda-tanda terjadinya inflamasi adalah panas (kalor), merah (rubor), pembengkakan (tumor), nyeri (dolor) dan hilangnya fungsi (functio laesa) akibat adanya perluasan mediator dan kerusakan yang diperantarai leukosit (Robbins, dkk., 2007). Salah satu obat untuk inflamasi adalah natrium diklofenak. Natrium diklofenak merupakan obat golongan antiiflamasi nonsteroid (AINS). Obat golongan ini dapat menimbulkan efek samping apabila dikonsumsi dalam jangka panjang. Penggunaan obat ini dapat meningkatkan insiden terjadinya perdarahan dan perforasi pada saluran pencernaan bagian atas (Christianie, dkk., 2008). Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menguji efek antiinflamasi ekstrak etanol kulit buah rotan terhadap tikus jantan yang diberikan secara oral, untuk mengetahui pada dosis berapa ekstrak yang terbaik dan membandingkannya dengan obat sintesis. 3
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah: a. apakah ekstrak etanol kulit buah rotan memiliki efek sebagai antiinflamasi terhadap radang buatan pada telapak kaki tikus yang diinduksi dengan karagenan? b. apakah ekstrak etanol kulit buah rotan memiliki efek antiinflamasi yang sama dengan natrium diklofenak? 1.3 Hipotesis Berdasarkan perumusan masalah di atas maka hipotesisnya adalah: a. ekstrak etanol kulit buah rotan memiliki efek antiinflamasi terhadap radang buatan pada telapak kaki tikus yang diinduksi dengan karagenan. b. ekstrak etanol kulit buah rotan memiliki efek antiinflamasi yang sama dengan natrium diklofenak. 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: a. efek antiinflamasi ekstrak etanol kulit buah rotan terhadap radang buatan pada telapak kaki tikus yang diinduksi dengan karagenan. b. efek antiinflamasi yang sama dengan natrium diklofenak. 4
1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan memberikan informasi tentang kulit buah rotan yang berkhasiat sebagai antiinflamasi, sehingga ke depan tanaman ini dapat dikembangkan sebagai sediaan fitofarmaka dengan efek samping yang relatif kecil dibanding obat antiinflamasi dari bahan kimia sintesis. 1.6 Kerangka Pikir Penelitian Penelitian dilakukan terhadap tikus putih jantan. Varibel bebas terdiri dari serbuk simplisia kulit buah rotan, CMC 0,5%, natrium diklofenak dosis 4,5 mg/kg bb, serta ekstrak etanol kulit buah rotan dengan variasi dosis 100 mg/kg bb, 200 mg/kg bb, dan 400 mg/kg bb. Variabel terikat meliputi karakteristik simplisia, skrining fitokimia simplisia dan ekstrak, serta volume telapak kaki tikus yang terinduksi karagenan 1%. Terdapat beberapa parameter dalam penelitian ini yaitu makroskopik, mikroskopik, kadar air, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar abu total, kadar abu tidak larut asam, alkaloid, flavonoid, tanin triterpen/steroid, glikosida, serta untuk pengujian antiinflamasi parameternya adalah persen radang rata-rata dan persen inhibisi radang rata-rata yang dapat dilihat pada Gambar 1.1. 5
Adapun kerangka pikir penelitian ini: Variabel bebas Variabel terikat Parameter Serbuk simplisia kulit buah rotan Ekstrak etanol kulit buah rotan Ekstrak etanol kulit buah rotan dosis 100 mg/kg bb Karakteristik Simplisia Kandungan Kimia - Makroskopik - Mikroskopik - Kadar air - Kadar sari yang larut dalam air - Kadar sari yang larut dalam etanol - Kadar abu total - Kadar abu yang tidak larut dalam asam 1. Alkaloid 2. Flavonoida 3. Tannin 4. Saponin 5. Triterpen/ steroida 6. Glikosida Ekstrak etanol kulit buah rotan dosis 200 mg/kg bb Ekstrak etanol kulit buah rotan dosis 400 mg/kg bb CMC 0,5% (kontrol negatif) Volume telapak kaki tikus yang terinduksi karagenan 1% Persen radang rata-rata Persen inhibisi radang rata-rata Natrium diklofenak 4,5 mg/kg bb (kontrol positif) Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian 6