ANALISIS PERHITUNGAN PENGARUH LINTANG DAN PERUBAHAN UFUK DALAM KONVERSI WAKTU SALAT PADA KALENDER PBNU

dokumen-dokumen yang mirip
: Jarak titik pusat benda langit, sampai dengan Equator langit, di ukur sepanjang lingkaran waktu, dinamakan Deklinasi. Jika benda langit itu

BAB IV ANALISIS PEDOMAN WAKTU SHALAT SEPANJANG MASA KARYA SAĀDOE DDIN DJAMBEK. A. Analisis Metode Hisab Awal Waktu Salat Saādoe ddin Djambek dalam

BAB IV ANALISIS METODE HISAB AWAL WAKTU SALAT AHMAD GHOZALI DALAM KITAB ṠAMARĀT AL-FIKAR

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN HISAB IRTIFA HILAL MENURUT ALMANAK NAUTIKA DAN NEWCOMB

TATA KOORDINAT BENDA LANGIT. Kelompok 6 : 1. Siti Nur Khotimah ( ) 2. Winda Yulia Sari ( ) 3. Yoga Pratama ( )

BAB IV ANALISIS. A. Landasan Penyusunan Konversi Kalender Waktu Shalat Antar Wilayah. Dalam Kalender Nahdlatul Ulama Tahun 2016

MENGENAL GERAK LANGIT DAN TATA KOORDINAT BENDA LANGIT BY AMBOINA ASTRONOMY CLUB

BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN TIM HISAB DAN RUKYAT HILAL SERTA PERHITUNGAN FALAKIYAH PROVINSI JAWA TENGAH

BAB IV ANALISIS TENTANG METODE PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT DENGAN JAM BENCET KARYA KIAI MISHBACHUL MUNIR MAGELANG

BAB IV ANALISIS METODE HISAB AWAL WAKTU SALAT DALAM KITAB ILMU FALAK METHODA AL-QOTRU KARYA QOTRUN NADA

PERHITUNGAN AWAL WAKTU SHALAT DATA EPHEMERIS HISAB RUKYAT Sriyatin Shadiq Al Falaky

BAB IV ANALISIS METODE HISAB WAKTU SALAT DALAM PROGRAM SHOLLU VERSI 3.10

BAB IV ANALISIS FORMULA PENENTUAN ARAH KIBLAT DENGAN THEODOLIT DALAM BUKU EPHEMERIS HISAB RUKYAT 2013

Hisab Awal Bulan Syawwal 1434 H

BAB IV ANALISIS HISAB AWAL WAKTU SALAT DALAM PROGRAM JAM WAKTU SALAT LED. A. Algoritma penentuan awal waktu Salat dalam Program Jam Waktu

BAB IV ANALISIS SISTEM HISAB AWAL WAKTU SALAT PROGRAM MAWAAQIT VERSI A. Analisis Sistem Hisab Awal Waktu Salat Program Mawaaqit Versi 2001

A. Analisis Fungsi dan Kedudukan Deklinasi Bulan dan Lintang Tempat dalam menghitung Ketinggian Hilal menurut Kitab Sullam an-nayyirain

BAB IV ANALISIS METODE HISAB AWAL WAKTU SALAT AHMAD GHOZALI DALAM KITAB IRSYÂD AL-MURÎD. A. Analisis Metode Hisab Awal Waktu Salat Ahmad Ghozali dalam

JADWAL WAKTU SALAT PERHITUNGAN TIM HISAB DAN RUKYAT HILAL SERTA PERHITUNGAN FALAKIYAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

BAB IV ANALISIS PENGGUNAAN DAN AKURASI BENCET DI PONDOK PESANTREN AL-MAHFUDZ SEBLAK DIWEK JOMBANG SEBAGAI PENUNJUK WAKTU SALAT

BAB IV UJI AKURASI AWAL WAKTU SHALAT SHUBUH DENGAN SKY QUALITY METER. 4.1 Hisab Awal Waktu Shalat Shubuh dengan Sky Quality Meter : Analisis

Meridian Greenwich. Bujur

5. BOLA LANGIT 5.1. KONSEP DASAR SEGITIGA BOLA

BAB IV ANALISIS SISTEM HISAB AWAL BULAN KAMARIAH ALMANAK NAUTIKA DAN ASTRONOMICAL ALGORITHMS JEAN MEEUS

BAB IV ANALISIS TERHADAP HISAB RUKYAT WAKTU SALAT ASAR. A. Analisis Kedudukan Bayang-Bayang Matahari Awal Waktu Salat

BAB IV ANALISIS KOMPARATIF METODE HISAB AWAL WAKTU SALAT AHMAD GHAZALI DALAM KITAB ANFA AL-WASÎLAH DAN NOOR AHMAD DALAM KITAB SYAWÂRIQ AL-ANWÂR

BAB IV ANALISIS ASTRONOMI HISAB AWAL WAKTU SALAT DALAM KITAB SYAWĀRIQ AL-ANWĀR

APLIKASI SEGITIGA BOLA DALAM RUMUS-RUMUS HISAB RUKYAT

METODE PENENTUAN ARAH KIBLAT DENGAN TEODOLIT

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN SAADOEDDIN DJAMBEK TENTANG ARAH KIBLAT. A. Penentuan Arah Kiblat Pemikiran Saadoeddin Djambek

BAB IV ANALISIS UJI VERIFIKASI PERHITUNGAN AWAL WAKTU SALAT ZUBAIR UMAR AL-JAILANI DALAM KITAB AL-KHULASAH AL-WAFIYAH

BAB IV APLIKASI DAN UJI AKURASI DATA GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) DAN AZIMUTH MATAHARI PADA SMARTPHONE BERBASIS ANDROID UNTUK HISAB ARAH KIBLAT

BAB IV ANALISIS KELAYAKAN PANTAI KARTINI JEPARA SEBAGAI TEMPAT RUKYAT AL-HILAL A. Faktor yang Melatarbelakangi Penggunaan Pantai Kartini Jepara

BAB IV ANALISIS PENENTUAN ARAH KIBLAT DALAM KITAB. A. Analisis Penentuan Arah Kiblat dengan Bayang- bayang Matahari dalam

BAB I PENDAHULUAN. beraktifitas pada malam hari. Terdapat perbedaan yang menonjol antara siang

KUMPULAN SOAL & PEMBAHASAN OSK OSP OSN DLL KOORDINAT BENDA LANGIT (By. Mariano N.)

BAB IV ANALISIS METODE HISAB AWAL WAKTU SALAT DALAM KITAB ANFA AL-WASÎLAH, IRSYÂD AL-MURÎD, DAN ṠAMARÂT AL-FIKAR KARYA AHMAD GHOZALI

BAB V PENUTUP. beberapa kesimpulan yang akan penulis uraikan. 1. Perhitungan Awal Waktu Salat dalam Aplikasi Digital Falak

BAB IV ANALISIS HISAB WAKTU SALAT DALAM KITAB ILMU FALAK DAN HISAB KARYA K.R. MUHAMMAD WARDAN

BAB IV ANALISIS METODE PENGUKURAN ARAH KIBLAT SLAMET HAMBALI. A. Analisis Konsep Pemikiran Slamet Hambali tentang Metode

BAB IV ANALISIS TERHADAP URGENSI KETINGGIAN TEMPAT DALAM FORMULASI PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT

BAB IV ANALISIS PENGGUNAAN BINTANG SEBAGAI PENUNJUK ARAH KIBLAT KELOMPOK NELAYAN MINA KENCANA DESA JAMBU KECAMATAN MLONGGO KABUPATEN JEPARA

METODE PENGUKURAN ARAH KIBLAT DENGAN SEGITIGA SIKU-SIKU DARI BAYANGAN MATAHARI SETIAP SAAT

)فتح الباري البن حجر - ج / 2 ص 311(

BAB IV ANALISIS METODE HISAB AWAL BULAN KAMARIAH QOTRUN NADA DALAM KITAB METHODA AL-QOTRU

BAB IV ANALISIS SISTEM HISAB AWAL BULAN QAMARIAH DR. ING. KHAFID DALAM PROGRAM MAWAAQIT. A. Analisis terhadap Metode Hisab Awal Bulan Qamariah dalam

BAB III DALAM PEDOMAN WAKTU SHALAT SEPANJANG MASA. Radjo adalah salah seeorang ahli falak kelahiran Bukittinggi (29 Rabi ul Awal

BAB III PENENTUAN ARAH KIBLAT DENGAN THEODOLIT DALAM BUKU EPHEMERIS HISAB RUKYAH 2013

BAB IV ANALISIS PENENTUAN ARAH KIBLAT DENGAN LINGKARAN JAM TANGAN ANALOG. A. Prinsip Penentuan Arah Kiblat dengan Menggunakan Lingkaran Jam

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN HISAB ARAH KIBLAT KH. NOOR AHMAD SS DALAM KITAB SYAWAARIQUL ANWAAR

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN SAADOE DDIN DJAMBEK TENTANG PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH

AS Astronomi Bola. Suhardja D. Wiramihardja Endang Soegiartini Yayan Sugianto Program Studi Astronomi FMIPA Institut Teknologi Bandung

BAB I PENDAHULUAN. benda-benda langit saat ini sudah mengacu pada gerak nyata. Menentukan awal waktu salat dengan bantuan bayang-bayang

PROGRAM APLIKASI FALAKIYAH DENGAN fx-7400g PLUS

Halaman Jud ul. Oleh. Drs. H. Nabhan Maspoetra, MM

DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN

BAB IV ANALISIS KOMPARASI ISTIWAAINI KARYA SLAMET HAMBALI SEBAGAI PENENTU ARAH KIBLAT DENGAN THEODOLIT

(Fenomena Matahari di Atas Ka bah) Pandapotan Harahap NIM: Abstrak

BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN ARAH KIBLAT DENGAN MENGGUNAKAN AZIMUT PLANET. A. Algoritma Penentuan Arah Kiblat dengan Metode Azimut Planet

BAB III SISTEM HISAB ALMANAK NAUTIKA DAN ASTRONOMICAL ALGORITHMS JEAN MEEUS. Astronomical Algortihms karya Jean Meeus. Pembahasan lebih memfokuskan

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN SLAMET HAMBALI TENTANG PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT. A. Analisis Konsep Pemikiran Slamet Hambali dalam Penentuan Awal

BAB II HISAB AWAL BULAN QAMARIYAH

PROGRAM APLIKASI FALAKIYAH DENGAN fx-7400g PLUS

JADWAL SHALAT WAKTU SHALAT DALAM PERSPEKTIF SYAR I DAN ASTRONOMI 21/05/2011 HISAB DAN DASAR PENENTUAN. Mempersembahkan : Oleh : Mutoha Arkanuddin

BAHAN AJAR ILMU FALAK I. Dosen Pengampu : H. ACHMAD MULYADI, M.Ag. ajar Ilmu Falak 11

A. Peta 1. Pengertian Peta 2. Syarat Peta

APLIKASI DERET FOURIER UNTUK MENGETAHUI WAKTU TERBIT, KULMINASI, DAN TERBENAM MATAHARI SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

BAB III PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT DENGAN JAM ISTIWA DALAM. pada hari Kamis Kliwon, tanggal 14 Desember 1932 M/ 19 Rajab 1351 H.

PENENTUAN AWAL AKHIR WAKTU SHOLAT

BAB IV ANALISIS METODE RASHDUL KIBLAT BULAN AHMAD GHOZALI DALAM KITAB JAMI U AL-ADILLAH

BAB II HAL-HAL YANG BERHUBUNGAN DENGAN ARAH KIBLAT

Sabar Nurohman Prodi Pendidikan IPA FMIPA UNY

BAB IV KELAYAKAN PANTAI PANCUR ALAS PURWO BANYUWANGI SEBAGAI TEMPAT RUKYAH DALAM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH

PROGRAM APLIKASI FALAKIYAH Bagian IV : APLIKASI PERHITUNGAN UNTUK PENGGUNAAN SUNDIAL MIZWALA dengan Casio Power Graphic Fx-7400g Plus

BAB IV UJI KOMPARASI DAN EVALUASI QIBLA LASER SEBAGAI ALAT PENENTU ARAH KIBLAT. A. Konsep Penentuan Arah Kiblat Dengan Qibla Laser Setiap Saat Dengan

BAB I PENDAHULUAN. Mengenai waktu pelaksanaannya Allah hanya memberikan Isyarat saja, seperti

RANCANG BANGUN INDIKATOR JAM SHOLAT ABADI MENGGUNAKAN ATMEL 89S52

BAB III METODE PENENTUAN ARAH KIBLAT ISTIWAAINI DAN THEODOLITE. 5 Agustus 1954 di sebuah desa kecil bernama Bajangan, kecamatan

1. Fenomena Alam Akibat Perubahan Kedudukan Bumi, Bulan, terhadap Matahari. Gerhana Matahari

Peta Topografi. Legenda peta antara lain berisi tentang : a. Judul Peta

BAB III PEMIKIRAN SAADOE DDIN DJAMBEK TENTANG WAKTU SALAT DI DAERAH KUTUB. A. Biografi Intelektual Saadoe ddin Djambek

BAB IV ANALISIS TENTANG METODE PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT DENGAN JAM ISTIWA DALAM KITAB SYAWARIQ AL-ANWAR

SOAL DAN JAWAB ILMU PELAYARAN ASTRONOMI AHLI NAUTIKA TINGGKAT III

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PENENTUAN KETINGGIAN HILAL PERSPEKTIF ALMANAK NAUTIKA DAN EPHEMERIS

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 2 JUNI 2011 M PENENTU AWAL BULAN RAJAB 1432 H

INFORMASI ASTRONOMIS HILAL DAN MATAHARI SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 8 DAN 9 SEPTEMBER 2010 PENENTU AWAL BULAN SYAWWAL 1431 H

Abdul Rachman dan Thomas Djamaluddin Peneliti Matahari dan Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DITJEN MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH DIREKTORAT PEMBINAAN SMA

BAB III PEMIKIRAN SAADOE DDIN DJAMBEK TENTANG PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH. Saadoe ddin yang dikenal dengan datuk Sampono Radjo, ia memiliki

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 3. Mengenal Planet Bumilatihan soal 3.2

1 ZULHIJJAH 1430 HIJRIYYAH DI INDONESIA Dipublikasikan Pada Tanggal 11 November 2009

SISTEM KOORDINAT GEOGRAFIK

BAB IV ANALISIS FUNGSI DAN AKURASI JAM MATAHARI PERUMAHAN KOTABARU PARAHYANGAN PADALARANG JAWA BARAT

BAB III HISAB KETINGGIAN HILAL MENURUT KITAB SULLAM AN-NAYYIRAIN DAN ALMANAK NAUTIKA

BAB III SISTEM HISAB ALMANAK NAUTIKA DAN NEWCOMB. Pada bab ini kajian yang akan penulis kemukakan adalah penjelasan

PROYEKSI PETA DAN SKALA PETA

SAINS BUMI DAN ANTARIKSA

BAB I PENDAHULUAN. sebagai a little mosque on the tundra oleh media Kanada, menjadi

BAB III METODE PENGUKURAN ARAH KIBLAT SLAMET HAMBALI. A. Sejarah Intelektual Slamet Hambali

II. TINJUAN PUSTAKA. lim f(x) = L berarti bahwa bilamana x dekat tetapi sebelah kiri c 0 maka f(x)

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN PENGARUH LINTANG DAN PERUBAHAN UFUK DALAM KONVERSI WAKTU SALAT PADA KALENDER PBNU A. Analisis Konversi Awal Waktu Salat Pada Kalender PBNU sebagaimana yang telah dipaparkan dalam bab tiga tentang metode hisab yang dipakai oleh LF-PBNU, maka penulis menerapkan beberapa perbandingan antara jadwal waktu salat yang menggunakan sistem konversi dengan jadwal waktu salat yang dihitung dengan perhitungan awal waktu salat dengan data lokal suatu daerah. Berikut ini adalah contoh konversi awal waktu salat kabupaten Banyuwangi dengan sistem ephemeris dengan nilai konversi yang ada pada tabel pada kalender PBNU dengan markaz Jakarta. Pada contoh yang penulis ambil adalah pada waktu-waktu deklinasi Matahari berada di katulistiwa, deklinasi Matahari pada titik balik Utara dan Selatan. Jadwal waktu salat DKI Jakarta, Tanggal 20 Maret 2014 Lintang Bujur Deklinasi : 6 10 LS : 106 49 BT : -0 11 49.12 (5 GMT) Tanpa ihtiyat Ihtiyat 1-2 menit Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Duha Terbit 4:39:45,13 12:00:17,79 15:10:36,21 18:04:16,78 19:12:40,84 6:14:19,45 5:56:13,65 04:41 12:02 15:12 18:06 19:14 06:16 05:55 86

87 Jadwal waktu salat Banyuwangi, Tanggal 20 Maret 2014 (Perhitungan waktu lokal) Lintang Bujur Deklinasi : 8 14 LS : 114 23 BT : -0 11 49.12 (5 GMT) Tanpa ihtiyat Ihtiyat 1-2 menit Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Duha Terbit 4:09:03,17 11:30:01,79 14:43:11,16 17:34:2,74 18:42:46,15 5:44:4,71 5:25:53,95 04:11 11:32 14:45 17:36 18:44 05:46 05:24 Jadwal waktu salat Banyuwangi berdasarkan nilai konversi -00:30 dengan markaz acuan Jakarta: Waktu Jakarta Nilai Konversi Waktu Banyuwa ngi Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Duha Terbit 04:41 12:02 15:12 18:06 19:14 06:16 05:55-00:30-00:30-00:30-00:30-00:30-00:30-00:30 04:11 11:32 14:42 17:36 18:44 05:46 05:25 Selisih 00:00 00:00 00:03 00:00 00:00 00:00 00:01 Jadwal waktu salat DKI Jakarta, Tanggal 21 Juni 2014 Lintang Bujur Deklinasi : 6 10 LS : 106 49 BT : 23 26 05,35 (5 GMT)

88 Tanpa ihtiyat Ihtiyat 1-2 menit Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Duha Terbit 4:37:45,47 11:54:26,19 15:16:24,48 17:48:08,65 19:02:23,59 6:20:30,57 6:00:43,71 04:39 11:56 15:18 17:50 19:04 06:22 05:59 Jadwal waktu salat Banyuwangi, Tanggal 21 Juni 2014 (Perhitungan waktu lokal) Lintang Bujur Deklinasi : 8 14 LS : 114 23 BT : 23 26 05,35 (5 GMT) Tanpa ihtiyat Ihtiyat 1-2 menit Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Duha Terbit 4:10:55,26 11:24:10,19 14:44:26,12 17:14:15,26 18:28:41,89 5:53:58,89 5:34:05,09 04:12 11:26 14:46 17:16 18:30 05:55 05:33 Jadwal waktu salat Banyuwangi berdasarkan nilai konversi -00:30 dengan markaz acuan Jakarta Waktu Jakarta Nilai Konversi Waktu Banyuwa ngi Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Duha Terbit 04:39 11:56 15:18 17:50 19:04 06:22 05:59-00:30-00:30-00:30-00:30-00:30-00:30-00:30 04:09 11:26 14:48 17:20 18:34 05:52 05:29 Selisih 00:03 00:00 00:02 00:04 00:04 00:03 00:04

89 Jadwal waktu salat DKI Jakarta, Tanggal 22 Desember 2014 Lintang Bujur Deklinasi : 6 10 LS : 106 49 BT : - 23 26 03,09 (5 GMT) Tanpa ihtiyat Ihtiyat 1-2 menit Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Duha Terbit 4:11:11,15 11:51:07,02 15:18:28,76 18:06:22,54 19:21:58,99 5:55:35,83 5:35:51,48 04:13 11:53 15:20 18:08 19:23 05:57 05:34 Jadwal waktu salat Banyuwangi, Tanggal 22 Desember 2014 (Perhitungan waktu lokal) Lintang Bujur Deklinasi : 8 14 LS : 114 23 BT : - 23 26 03,09 (5 GMT) Tanpa ihtiyat Ihtiyat 1-2 menit Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Duha Terbit 3:36:27,02 11:20:51,02 11:48:14,03 17:39:46,79 18:56:03,84 5:21:45,56 5:01:55,22 03:38 11:22 14:50 17:41 18:58 05:23 05:00

90 Jadwal waktu salat Banyuwangi berdasarkan nilai konversi -00:30 dengan markaz acuan Jakarta Waktu Jakarta Nilai Konversi Waktu Banyuwa ngi Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Duha Terbit 04:13 11:53 15:20 18:08 19:23 05:57 05:34-00:30-00:30-00:30-00:30-00:30-00:30-00:30 03:43 11:23 14:50 17:38 18:53 05:27 05:04 Selisih 00:05 00:01 00:00 00:03 00:05 00:04 00:04 Dari hasil perhitungan tersebut, dapat diperoleh nilai selisih waktu hasil perhitungan waktu salat Banyuwangi berdasarkan acuan lokal tempat dengan hasil konversi: 20 Maret 2014 Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Duha Terbit 00:00 00:00 00:03 00:00 00:00 00:00 00:01 21 Juni 2014 22 Desember 2014 00:03 00:00 00:02 00:04 00:04 00:03 00:04 00:05 00:01 00:00 00:03 00:05 00:04 00:04 Selisih bujur yang dipakai untuk sistem konversi awal waktu salat hanya bisa untuk mengkonversi beda waktu rata-rata (yaitu waktu matahari rata-rata/jam arloji) Sedangkan waktu salat berkaitan dengan posisi matahari sebenarnya yang tampak guna menghitung sudut waktu mataharinya (Waktu Hakiki/ Istiwak). Waktu Hakiki / Waktu Istiwak dalam istilah astronomi disebut dengan Apparent Solar Time (AST)

91 atau dalam literatur bahasa Arab disebut Al-Waqt As-Syamsi> Az}-Z{a>hiri> Al-Mah}alli> adalah waktu yang didasarkan pada peredaran Matahari hakiki (yang sebenarnya)/ Matahari yang tampak, yaitu pada waktu Matahari mencapai titik kulminasi atas ditetapkan pukul 12.00. waktu Zuhur yaitu ketika Matahari menempati titik kulminasi, ketika terbenam maka didefinisikan ketika pukul 18.00. waktu tengah malam adalah ketika pukul 24.00 tepat, dan terbit adalah pukul 06.00. waktu-waktu ibadah seperti salat sebenarnya menggunakan sistem waktu ini (At}-T}a> i, 2007: 235-236). Waktu Matahari pertengahan/ rata-rata (Solar Mean Time, Az-Zama>n Asy-Syamsi> Al-Mutawassit} ) atau dikenal dengan Waktu Sipil (Civil Time, Az-Zama>n Al- Madani>) adalah waktu yang didasarkan kepada peredaran Matahari khayal yang menjadikan perjalanan Matahari seakan-akan stabil, artinya tidak pernah terlalu cepat dan tidak pernah terlambat. Dengan demikian maka waktu pertengahan dengan waktu hakiki kadang bisa bersamaan dan bisa pula tidak bersamaan. Suatu ketika waktu pertengahan mendahului waktu hakiki dan pada saat yang lain waktu pertengahan didahului oleh waktu hakiki. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang membutuhkan waktu yang teratur, maka perlu dibuat jam Matahari tiruan yang seolah-olah bergerak dengan kecepatan yang konstan dan teratur di sepanjang khatulistiwa dengan pedoman jam Matahari rata-rata yaitu sehari semalam selalu konstan 24 jam (Marsito, 1960: 70). Dari tabel di atas, selisih yang diperoleh dari perhitungan ketiga tanggal diatas, yaitu dengan mengambil waktu pada tiga deklinasi Matahari yang berbeda dan diambil dari

92 dua tempat yang memiliki beda lintang sekitar 2, menghasilkan nilai selisih bervariasi yaitu sekitar 1-5 menit. Artinya dengan melihat data tersebut, semestinya dalam mengkonversi jadwal waktu salat tidak semata-mata hanya dengan memperhitungkan perbedaan bujur tempat, melainkan juga memperhatikan beda lintang. Hal tersebut dikarenakan ketika matahari berada pada nilai deklinasi berbeda dengan lintang suatu kota, maka akan menimbulkan bayangan yang berbeda dengan kota lainnya yang berbeda lintang saat Matahari berkulminasi. Sedangkan panjang bayangan yang timbul saat kulminasi akan menjadi tambahan untuk perhitungan awal masuk salat Asar. Apabila panjang bayangan suatu benda pada suatu lintang kota tertentu yang dijadikan pedoman untuk penambahan bayang benda untuk perhitungan waktu Asar pada kota lain yang memiliki lintang berbeda misalnya, maka hal tersebut akan menghasilkan waktu yang yang berbeda jika dibandingkan dengan perhitungan waktu salat secara lokal. Ketika waktu-waktu salat ini didasarkan pada konversi waktu pertengahan (rata-rata) yang menggunakan selisih beda bujur, tidak melibatkan elemen lintang yang menjadi bagian dalam perhitungan awal salat, maka akan terjadi selisih. B. Pengaruh Lintang Dan Perubahan Ufuk dalam Waktu Salat 1. Pengaruh Perubahan Lintang Pada perhitungan awal waktu salat, diperlukan beberapa hal yaitu variabel atau elemen yang berkaitan data suatu tempat maupun berkaitan data Matahari. Data tempat meliputi lintang dan bujur tempat serta ketinggan suatu tempat. Data mengenai Matahari meliputi Equation ot Time, deklinasi, semidiameter

93 Matahari, serta refraksi. Data yang diperlukan untuk mencari waktu kulminasi Matahari adalah perata waktu (Equation of Time) dengan rumus WKM=12 e. Waktu kulminasi Matahari digunakan sebagai acuan untuk menghitung waktu-waktu salat yang lainnya. Variabel selanjutnya adalah koreksi waktu daerah (KWD). Koreksi waktu daerah digunakan untuk mencari selisih waktu daerah (Zona waktu) dengan waktu lokal suatu daerah. Rumus koreksi waktu daerah adalah KWD = (Bujur Daerah Bujur Tempat) / 15. Kemudian untuk mencari sudut waktu yang digunakan untuk menentukan awal waktu-waktu salat adalah dengan menggunakan rumus, Cos t = -tan tanϕ. tanδ + sin h : Cos ϕ. Cos δ. Rumus waktu Zuhur adalah 12 e + KWD + i, dari rumus tersebut maka dapat diketahui bahwa perhitungan awal waktu Zuhur hanya memerlukan elemen perata waktu untuk mengetahui waktu kulminasi dan bujur untuk mengetahui selisih bujur zona waktu dan bujur tempat dan penambahan nilai ih}tiyat}. Waktu Zuhur tidak terpengaruh oleh perubahan lintang tempat. Hal tersebut dikarenakan pada saat kulminasi, seluruh daerah yang berada pada lingkaran meridian yang sama, akan mengalami kulminasi Matahari pada saat yang bersamaan. Sedangkan waktuwaktu salat yang lain memerlukan sudut waktu (t) yang dapat diperoleh dari rumus yang melibatkan variabel lintang, deklinasi dan tinggi Matahari. Sudut waktu yaitu busur sepanjang ekuator langit yang di hitung dari titik meridian pengamat sampai dengan titik dari garis vertikal benda langit yang berpotongan terhadap ekuator. Dinamakan demikian karena sudut waktu

94 menggambarkan rentang waktu yang membentang antara waktu kulminasi benda langit hingga posisi tertentu. Perubahan nilai lintang, deklinasi dan tinggi Matahari akan mempengaruhi nilai t. Semakin besar nilai selisih jarak deklinasi dan lintang tempat, maka akan semakin besar nilai t. Semakin kecil nilai h, maka semakin besar nilai t. Penentuan waktu Asar secara normatif di tentukan oleh panjang bayangan benda. Dengan pendekatan trigonometri, maka dapat dipergunakan untuk menentukan posisi h matahari berdasarkan bayang benda. Terbentuknya panjang bayang benda dipengaruhi oleh posisi Matahari terkait dengan deklinasi matahari dan lintang suatu tempat. Deklinasi Matahari yang selalu berubah menjadikan jarak zenit Matahari dan tinggi kulminasi matahari ikut berubah. Jarak zenit Matahari adalah jarak sepanjang lingkaran busur dari Matahari sampai ke Zenit. Sedangkan tinggi kulminasi adalah jarak yang dihitung dari horizon sampai dengan kedudukannya yang tertinggi. Besar kecilnya jarak zenit (zm) ditentukan oleh nilai dari lintang suatu tempat dan deklinasi Matahari berikut nilai positif (berada di lintang atau deklinasi utara) dan negatifnya (di lintang atau deklinasi selatan). Bila nilai keduanya sama-sama negatif maupun samasama positif, maka jarak zenit adalah nilai selisih dari deklinasi dan lintang, namun bila berbeda (positif-negatifnya), maka jarak zenitnya adalah akumulasi nilai absolute keduanya. Hasil Zm tidak berpengaruh, hanya jika bernilai positif maknanya Matahari berada di utara titik zenit. Tapi jika bernilai negative artinya Matahari berada di selatan titik zenit (Hambali, 2011: 56).

95 Rumus mencari jarak zenit adalah ϕ δ dimana ϕ adalah lintang tempat dan δ adalah deklinasi Matahari. Selain itu jarak zenit juga bisa diukur dari horizon yang disimbolkan dengan hm. Dikarenakan jarak zenit dari horizon sebesar 90, maka dapat bisa dikatakan 90 ϕ δ (Fathurrohman, 2012: 49). ZPH = 90 ZPH = Zm + Hm Hm = 90 - Zm Zm = 90 - Hm Perubahan deklinasi Matahari yang menjadikan jarak terhadap zenitnya berubah-ubah. kondisi tersebut berimplikasi padaa keadaan bayangan Matahari yang mengenai benda yang tegak lurus dengan permukaan Bumi saat kulminasi. Semakin besar selisih lintang tempat dengan deklinasi Matahari, maka semakin panjang bayangan yang ditimbulkan oleh sinar matahari terhadap benda tersebut. Begitu juga sebaliknya, jika makin tinggi kedudukan Matahari, makaa makin pendek bayangan benda tersebut. Suatu benda tidak akan memunculkan bayangan saat kulminasi jika jarak zenit Matahari bernilai

96 nol, atau nilai deklinasi Matahari sama dengan besar lintang suatu tempat di permukaan Bumi (Djambek, 1974: 9). Gambar 4.1. Kedudukan Matahari terhadap Dua Benda dengan Lintang Berbeda Saat Kulminasi. Pada gambar tersebut mengilustrasikan panjang bayangan yang dibentuk oleh sinar Matahari saat berkulminasi di deklinasi terjauh. Garis EQ merupakan ilustrasi ekuator, U adalah titik utara dan S adalah titik selatan. Posisi A adalah benda yang berdiri tegak lurus dengan permukaan Bumi yang jarak zenitnya lebih kecil dibandingan benda yang berdiri di titik B. Dari gambar tersebut dapat dilihat semakin besar selisih jarak antara Matahari dengan lintang tempat, semakin panjang bayangan yang di bentuk sebagaimana yang tergambar bayangan B lebih panjang dibandingkan dengan bayangan yang terbentuk pada A. kondisi tersebut dikarenakan jarak zenit yang lebih besar akan membantuk sudut yang lebih besar. Setelah melewati merpass, Matahari terus bergerak ke arah barat. Semakin menjauhi meridian, maka bayangan yang terbentuk dari sinar

97 matahari terhadap benda semakin memanjang. Bila panjang benda tersebut telah mencapai satu kali panjang bayangan benda tersebut (ditambah bayangan yang terbentuk saat kulminasi), maka awal waktu Asar telah masuk. Namun Djambek (1974: 9-10) memilih pendapat awal masuk Asar adalah dua kali panjang bayangan benda selain bayangan saat kulminasi. Hal tersebut guna mengatasi permasalahan untuk waktu Asar di daerah lintang yang besar yang mendekati kutub. Kondisi tersebut dikarenakan ketika daerah sirkumpolar utara musim dingin, yaitu saat Matahari berada di deklinasi selatan, jarak zenit Matahari akan sangat besar. Hal tersebut akan mangakibatkan bayang-bayang memanjang lebih cepat dari pada ketika Matahari berkedudukan tinggi di langit (ketika nilai jarak zenitnya kecil). Saadoe ddin Djambek menerangkan jika menggunakan kriteria Asar dengan panjang benda sepanjang benda tersebut, maka waktu Asar akan masuk terlalu cepat dan waktu Zuhur menjadi lebih pendek. Menurut Azhari (2007: 66) panjang bayangan asar tergantung pada musim atau posisi tahunan Matahari. Bahkan pada musim dingin bayangan bisa lebih panjang dari benda pada saat kulminasi. Jika yang diperlukan adalah mengetahui berapa besar sudut awal waktu Asar (ha) saat panjang bayangan sepanjang bendanya ditambah bayangan saat kulminasi, maka dapat digunakan perbandingan sisi dengan kaidah sudut tangen yaitu perbandingan panjang atau tinggi suatu benda dengan panjang bayangan.

98 Gambar 4. 2 Panjang Bayangan Saat Awal Asar α adalah sudut yang dibentuk oleh benda dengan sinar garis matatahari pada saat kulminasi. Jika x adalah Panjang bayangan dari benda yang panjangnya 1 satuan, maka x = panjang tongkat dikali tan α, dengan α= δ - ϕ Tan α = Depan : Samping = x : 1 x = Tan α. 1 Jika panjang bayangan asar adalah sepanjang bayangan benda ditambah bayangan saat kulminasi (x + 1), maka sudut ha adalah: Cotan ha Tan ha ha atau = (x + 1) :1 = 1 : (x +1) = tan -1 (x + 1) -1 ha = arc tan (x + 1) -1 Penentuan awal waktu Magrib, Isya dan Subuh sangat dipengaruhi oleh posisi Matahari terhadap ufuk. Sehingga memerlukan penambahan

99 koreksi dalam menentukan h Matahari. Koreksi ketinggian Matahari pada waktu-waktu salat tersebut terdiri dari koreksi semi diameter matahari, refraksi dan kerendahan ufuk (Dip). Dalam perhitungan waktu salat PBNU kriteria yang digunakan sesuai dengan kriteria standar Kemenag RI, yaitu Magrib = -1, Isya = -18 dan Subuh = -20. Berikut ini contoh perbedaan waktu salat pada saat deklinasi sama tetapi dengan lintang berbeda yang mengambil jadwal waktu salat Jakarta pada 5 Maret 2014 yaitu saat deklinasi - 6 05 (5 GMT) mendekati lintang kota Jakarta -6 10 dibandingankan dengan daerah yang di perkirakan sebujur dengan beda lintang 1-3. Tabel. 4.1. Perbedaan waktu salat terhadap perubahan lintang (ϕ) dengan nilai deklinasi (δ) tetap Lintang Deklinasi (δ) : -6 5 10,84 (5 GMT) λ =106 49 (ϕ) Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Dhuha Terbit -3 10 04:42:16,15 12:04:17,55 15:10:10,15 18:09:35,47 19:18:08,76 06:17:04,54 05:58:56,92 + 04:44 12:06 15:12 18:11 19:20 06:19 05:57 Ihtiyat -4 10 04:41:42,53 12:04:17,55 15:08:34,58 18:10:01,04 19:18:40,41 06:16:39,34 05:58:30,53 + 04:43 12:06 15:10 18:12 19:20 06:18 05:57 Ihtiyat -5 10 04:41:07,24 12:04:17,55 15:06:53,04 18:10:26,74 19:19:13,55 06:16:14,34 05:58:04,00 + 04:43 12:06 15:08 18:12 19:21 06:18 05:57 Ihtiyat -6 10 04:40:30,25 12:04:17,55 15:05:36,31 18:10:52,06 19:19:48,02 06:15:49,52 05:57:37,32 + 04:42 12:06 15:07 18:12 19:21 06:17 05:56 Ihtiyat -7 10 04:39:51,52 12:04:17,55 15:07:43,96 18:11:18,63 19:20:24,39 06:15:24,87 05:57:10,45 + 04:41 12:06 15:09 18:13 19:22 06:17 05:56 Ihtiyat -8 10 04:39:11,02 12:04:17,55 15:09:45,93 18:11:44,86 19:21:02,18 06:15:00,39 05:56:43,04 + 04:41 12:06 15:11 18:13 19:23 06:17 05:55 Ihtiyat -9 10 04:38:28,07 12:04:17,55 15:11:42,95 18:12:11,29 19:21:41,58 06:14:36,01 05:56:16,13 Ihtitat 04:40 12:06 15:13 18:14 19:23 06:16 05:55

100 Berikut ini contoh waktu-waktu salat daerah Jakarta pada saat deklinasi berbeda: Tanpa ihtiyat Ihtiyat 1-2 menit Jadwal waktu salat DKI Jakarta, Tanggal 20 Maret 2014 Lintang : 6 10 LS Bujur : 106 49 BT Deklinasi : -0 11 49.12 (5 GMT) Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Duha Terbit 4:39:45,13 12:00:17,79 15:10:36,21 18:04:16,78 19:12:40,84 6:14:19,45 5:56:13,65 04:41 12:02 15:12 18:06 19:14 06:16 05:55 Jadwal waktu salat DKI Jakarta, Tanggal 21 Juni 2014, Deklinasi : 23 26 05,35 (5 GMT) Tanpa ihtiyat Ihtiyat 1-2 menit Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Duha Terbit 4:37:45,47 11:54:26,19 15:16:24,48 17:48:08,65 19:02:23,59 6:20:30,57 6:00:43,71 04:39 11:56 15:18 17:50 19:04 06:22 05:59 Jadwal waktu salat DKI Jakarta, Tanggal 22 Desember 2014, Deklinasi : - 23 26 03,09 (5 GMT) Tanpa ihtiyat Ihtiyat 1-2 menit Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Duha Terbit 4:11:11,15 11:51:07,02 15:18:28,76 18:06:22,54 19:21:58,99 5:55:35,83 5:35:51,48 04:13 11:53 15:20 18:08 19:23 05:57 05:34 Dari tabel jadwal waktu salat di atas, menunjukan bahwa perubahan lintang dan deklinasi akan berpengaruh pada hasil perhitungan waktu salat.

101 2. Pengaruh Perubahan Ufuk Perubahan ufuk memberikan pengaruh terhadap h Matahari dalam perhitungan waktu salat. Perubahan ufuk merupakan koreksi yang berpengaruh terhadap perhitungan waktu salat. Dengan mengacu kepada h Matahari yang dipergunakan oleh PBNU dalam perhitungan waktu salat, menurut penulis nilai koreksi untuk h Matahari untuk waktu Magrib, Isyak dan Subuh nilai koreksi semi diameter, refraksi dan dip dianggap tetap, sehingga tidak memerlukan koreksi lagi. Akan tetapi walaupun nilai refraksi dan semi diameter dapat diasumsikan tetap, untuk nilai dip (perubahan ufuk) akan senatiasa berubah karena bergantung kepada posisi pengamat berada, terutama terkait dengan ketinggian (elevasi) tempat. Waktu-waktu salat yang terpengaruh oleh perubahan ufuk hanya Magrib, Isya, dan Subuh. Asar dan Zuhur tidak terpengaruh oleh perubahan ufuk karena acuan kedua salat ini tidak diidentikan dengan posisinya terhadap ufuk. Salat zuhur mensyaratkan posisi matahari telah bergeser dari meridian atau biasa disebut dengan zawal. Salat asar ditandai dengan panjang bayangan terhadap suatu benda tersebut. Untuk mengamati obyek langit tenggelam maupun terbit, maka seorang pengamat perlu memahami tentang ufuk. Ufuk adalah batas pandang yang menunjukan perpotongan bola langit dengan permukaan Bumi bagi pengamat. Mengingat kondisi Bumi yang berbentuk bola yang tidak rata, Bumi terdiri dari lautan dan daratan, maka tempat terbaik untuk melihat ufuk adalah pada tempat terbuka, tanpa penghalang pandangan. Batas pandang itu

102 sesungguhnya adalah garis singgung melalui mata pengamat terhadap permukaan Bumi, sehingga apabila ketinggian mata pengamat dari permukaan Bumi berubah, maka keadaan ufuknya pun akan berubah pula. Namun dalam data-data astronomis yang tercantum, misalnya dalam ephemeris atau almanak nautika, data-data tersebut dihitung dari titik tengah suatu benda langit terhadap titik tengah pusat Bumi. Sehingga apabila dalam perhitungan, perlu adanya beberapa koreksi seperti ketinggian tempat pengamat maupun refraksi. Perubahan ufuk yang dimaksud adalah perubahan nilai dip yang diperoleh berdasarkan ketinggian pengamat. Nilai dip dapat diperoleh dengan pendekatan rumus: Dip = 1,76 h : 60, dimana h merupakan ketinggian tempat dan Dip dalam satuan menit busur. Berdasarkan pendekatan rumus tersebut, nilai h menjadi faktor penting dalam menentukan besar kecilnya nilai Dip. Dari referensi tentang ketinggian tempat yang beredar, ketinggian tempat diukur dengan acuan 0 meter di atas permukaan laut. Akan tetapi penentuan ketinggian tempat akan mengalami permasalah jika suatu daerah tidak dapat memperoleh ufuk pandang berupa laut, sehingga diperlukan koreksi terhadap ketinggian tempat. Menentukan ufuk di laut relatif lebih mudah dibandingkan di daratan. Ufuk di daratan tidak semulus ufuk pada lautan yang tampak jelas. Meski dalam perhitungan ketinggian nantinya tetap harus dimasukan koreksi-koreksi, namun di daratan, menentukan ufuk cenderung lebih sulit. Hal tersebut

103 dikarenakan daratan dibumi tidak benar-benar rata. Kontur tanah atau topografi satu daerah dengan daerah lainnya berbeda. Bahkan untuk didaerah yang memiliki kontur tanah yang rata berupa dataran, namun menentukan ufuk tempat tersebut juga menjadi kesulitan akibat dari banyaknya penghalangpenghalang seperti bangunan dan pepohonan pada batas pandang pengamat. Sehingga untuk menentukan ufuk sebagai pengamatan benda langit terbenam dan terbit menjadi hal yang penting. Terlebih jika dikaitkan dengan ibadah umat Islam yang didasarkan pada posisi Matahari terhadap ufuk suatu tempat di Bumi. Nilai koreksi dalam jadwal waktu-waktu salat biasanya dihitung berdasarkan referensi ketinggian rata-rata air, dalam artian bahwa titik nol ketinggian suatu tempat berdasarkan rata-rata permukaan air laut. Ketika dalam kenyataannya bentuk permukaan bumi tidak benar-benar rata, yaitu terdapat perbedaan ketinggian permukaan antara daerah satu dengan lainnya, maka perlu adanya kajian yang memadai yang dapat menjelaskan pengaruh perbedaan ketinggian tempat terhadap perubahan ufuk bagi pengamat saat mengamati terbit dan tenggelam Matahari (Qas}im, 1983: 145). Melihat kenyataan bahwa ada beberapa persoalan ketika harus menentukan ufuk suatu tempat, Penentuan ketinggian suatu tempat untuk kepentingan jadwal waktu salat disuatu wilayah harus ditentukan berdasarkan pertimbangan yang paling mendekati kenyataan posisi Matahari terhadap ufuq

104 mar i secara teoritis maupun pertimbangan postulat/ dalil keabsahan awal masuknya waktu-waktu salat. Pengukuran ketinggian suatu tempat bila direferensikan terhadap ketinggian rata-rata air laut, sejatinya tidaklah sulit pada masa sekarang ini. Untuk mengetahui ketinggian tempat bisa menggunakan bantuan alat seperti altimeter atau GPS (Global Positioning System) 1. Instrument pengukur tersebut akan mendasarkan ketinggian dengan referensi ketinggian rata-rata air laut sebagai titik acuan nol meter. Perhitungan waktu salat Magrib selama ini yang dipakai yaitu dengan pembulatan ketinggian (altitude) Matahari sebesar - 1 (nilai tersebut sudah termasuk refraksi, semi diameter Matahari dan dip). Hal tersebut dimaksudkan untuk kepraktisan di dalam perhitungan tenggelamnya Matahari sebagai tanda awal waktu salat Magrib 2 (Fathurrohman, 2012: 44). Dalam kenyataannya Bumi memiliki topografi atau relief permukaan yang tidak rata. Didaratan, bahkan dalam satu wilayah, memiliki ketinggian permukaan yang berbeda-beda. Untuk menentukan posisi ketinggian suatu wilayah sebagai pedoman ketinggian yang kaitannya dengan perhitungan jadwal awal waktu salat, tidak semestinya men-generalisasi ketinggian suatu tempat diukur dari titik nol permukaan air laut. Hal tersebut harus didasarkan 1 GPS adalah alat ukur koordinat dengan menggunakan satelit untuk mendapatkan posisi lintang, bujur, ketinggian tempat, jarak dan lain-lain (Azhari, 2012: 72). 2 Lihat juga Muslih & Mansyur (2011:95), posisi kedudukan Matahari pada awal waktu Magrib dari ufuk sepanjang lingkaran vertical yang dirumuskan: h Magrib : 0 - (SD+Ref+Dip), namun dikatakan perhitungan semacam ini diterapkan untuk pengamatan hilal. Untuk keperluan waktu salatkhususnya Magrib cukup dengan pembulatan -1

105 pada pandangan ufuk suatu wilayah. Sebagian besar wilayah di Indonesia, ufuknya tidak benar-benar ke laut. Penentuan ufuk suatu tempat semestinya mempertimbangkan jarak ufuk yang merupakan batas kelengkungan Bumi yang bisa terlihat bila tanpa halangan yang di dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Dalam beberapa referensi, ada beberapa perincian dalam menentukan ketinggian Matahari saat tenggelam berkaitan dengan ketinggian tempat. Di antaranya yaitu: a. Hambali (2011: 141), Izzuddin (2012: 84), Abd. Shomad (1991: 32), Nawawi (2010: 26) dan Bimas Islam Kemenag RI (2013: 82-83) dalam menentukan awal waktu Magrib adalah dengan menghitung posisi piringan atas Matahari menyentuh horizon pandang. Hal tersebut bila diterjemahkan dalam perhitungan maka titik tengah Matahari menyentuh horizon pandang adalah 0 di kurangi dengan refraksi Matahari rata-rata saat tenggelam adalah 0 34, semi diameter Matahari rata-rata 0 16 dan kerendahan ufuk (tergantung ketinggian tempat tersebut terhadap permukaan rata-rata air laut). Sehingga nilai h Magrib adalah: 0 - (Ref+SD+Dip). b. Maskufa (2010: 100-101) menerjemahkan waktu terbenam yaitu ketika jarak zenith Matahari pada saat itu mencapai 90 +(34 +16 +10 ) untuk wilayah yang terletak di tepi pantai, atau ketinggian Matahari pada saat itu yaitu -1. Sedangkan tempat-tempat lain menyesuaikan ketinggian tempat dan pengaruhnya terhadap kerendahan ufuk.

106 c. JAKIM (2001: 13-14) dan Man dkk. (2013: 60) mendefinisikan Matahari tenggelam yaitu ketika Matahari mencapai jarak zenit 90 +(SD+Ref) yaitu 90 + (16 +34 ) = 90 50. Dalam referensi tersebut tidak dijelaskan tentang faktor kerendahan ufuk. d. Sama seperti JAKIM, Azhari (2007: 67) mendefinisikan Matahari tenggelam yaitu ketika Matahari mencapai jarak zenit 90 +(SD+Ref) yaitu 90 + (16 +34 ) = 90 50, atau jarak zenith Matahari 91 bila ditambah koreksi ketinggian empat 30 m dari permukaan laut. e. Zainal (2004: 124) mendefinisikan Matahari tenggelam pada saat jarak zenit 90 50. Untuk wilayah dengan ketinggian diatas 100 meter, diberlakukan koreksi kerendahan ufuk. Beberapa referensi di atas yang menyertakan dip sebagai koreksi kerendahan ufuk, semuanya mengambil acuan titik nol meter dari rata-rata permukaan air laut untuk ketinggian tempat suatu wilayah. Bentuk Bumi menyerupai bola yang sangat besar dan tidak rata yang sedikit pepat di daerah kutub-kutubnya. Sehingga Bumi memiliki jarak kelengkungan yang menjadi batas pandang mata pengamat dipermukaan Bumi. Batas pandang maksimal dari mata pengamat sampai ke batas kelengkungan Bumi tersebut menjadi horizon pandang (ufuq mar i) ketika pengamat di laut lepas, atau daratan jika mengabaikan penghalang-penghalang seperti bangunan-bangunan, pepohonan atau perbukitan.

107 Gambar. 4.3. Ufuk Pengamat Gambar 4.3. mengilustrasikan hubungan pengamat terhadap ufuk. Dalam gambar tersebut, ufuk pengamat berada pada titik H bukan pada titik D yang merupakan penghalang mata observer mencapai pandangan ke ufuq mar i. Waktu tenggelam Matahari menjadi pedoman awal waktu salat Magrib. Waktu tenggelam tersebut berkaitan dengan kedudukan ufuk. Jarak pengamat terhadap ufuk dipengaruhi oleh Matahari terhadap ketinggian tempat pengamat diatas permukaan Bumi. Kebutuhan menyusun jadwal waktu salat yang bisa digunakan dalam satu wilayah (semisal satu kabupaten), selain memperhatikan aspek letak geografis wilayah tersebut, seharusnya juga memperhatikan aspek topografi wilayahnya yang berpengaruh terhadap nilai koreksi kerendahan ufuk. Koreksi kerendahan ufuk terjadi akibat dari perubahan ufuk suatu wilayah oleh faktor ketinggian tempat. Hal berimplikasi pada penentuan awal waktu-waktu salat Magrib, Isya dan Subuh.

108 Penentuan ketinggian suatu wilayah untuk kepentingan jadwal waktu salat dapat memperhatikan atau pun mempertimbangkan dua hal: a) Faktor Pemangat (Observer) Tanda-tanda yang menjadi landasan awal waktu-waktu salat yang ditunjukan dalam nas} adalah bersifat lokal, tidak seperti dalil puasa yang menjadikan kenampakan hilal sebagai acuan awal kewajiban puasa bagi kaum muslim di suatu negri. Hal tersebut karena ibadah puasa berkaitan dengan kalender, yaitu masuknya awal bulan Ramadan ketika pergantian tanggal saat Magrib awal bulan tersebut. Tanggal berkaitan dengan hari, dan hari memiliki durasi yang panjang. sedangkan salat, menjadikan fenomena gerak semu harian Matahari sebagai dasar acuan masuknya waktu-waktu salat. Waktu-waktu salat dengan acuan lokal tiap-tiap pengamat sebenarnya adalah yang paling ideal. Hal tersebut karena menyandarkan pada posisi Matahari yang paling aktual terhadap posisi pengamat. Namun, menyandarkan waktu-waktu salat terhadap posisi pengamat di satu titik di permukaan Bumi akan menjadikan permasalahan. Hal tersebut karena keadaan pengamat selalu bergerak dinamis. Dengan kondisi demikian setiap orang harus mengobservasi sendiri fenomena Matahari, atau menghitung tiap-tiap lokasi seseorang berdiri dipermukaan Bumi. Untuk keperluan pembuatan jadwal waktu salal, hal tersebut jelas tidak memungkinkan. Mengambil acuan tiap titik seseorang berdiri di

109 permukaan Bumi, maka wakti-waktu salat akan sangat bersifat lokal. Sedangkan jadwal waktu salat dibuat untuk keperluan umum bagi setiap orang yang berada di jangkauan wilayah yang dibuat jadwal waktu salatnya. Dengan demikian pertimbangan posisi personal pengamat disuatu wilayah tidak bisa dijadikan pedoman jadwal waktu salat. b) Faktor Wilayah Tujuan dibuatnya jadwal awal waktu-waktu salat adalah untuk mempermudah umat Islam dalam menjalankan ibadah. Hal tersebut dimaksudkan agar setiap muslim tidak harus mengobservasi sendiri posisi Matahari atau menghitung jadwal waktu-waktu salatnya secara personal. Jadwal waktu salat harus mencakup satu wilayah secara keseluruhan., sehingga tidak ada pada satu wilayah tersebut yang tidak ter-cover. Topografi dalam suatu wilayah terkadang tidak sama. bahkan misalnya dalam satu wilayah kabupaten, suatu wilayah memiliki ketinggian permukaan tanah yang sangat berbeda. Misalnya kabupaten Tegal, untuk wilayah kota Tegal memiliki ketinggian 3 mdpl. Namun, meski dalam satu wilayah bujur yang sama dan dalam satu kabupaten, desa Guci kecamatan Bumijawa yang letaknya di gunung Slamet memiliki ketinggian sekitar 1500 mdpl dan berjarak ±40 Km dari pusat kota Tegal. Luas wilayah desa Guci hanya sekitar 210 Ha dengan kontur tanah berbukit (http://www.tegalkab.go.id/detailpariwisata. php?id=94). Berbeda dengan Bandung, meskipun berada pada ketinggian sekitar 700 mdpl, namun kota

110 bandung berupa kaldera yang luas. Sehingga kota Bandung cederung memiliki ketinggian yang hampir sama (Peta terlampir). Dengan kondisi setiap wilayah yang memiliki ciri khas ketinggian yang berbeda-beda, maka pembuatan jadwal waktu salat untuk wilayah harus mempertimbangkan hal tersebut. pertimbangan tersebut diantaranya yaitu: 1) Acuan Daerah Tertinggi atau Terendah Jadwal waktu salat yang mengacu pada ketinggian tempat terendah dari suatu wilayah akan berimplikasi pada perbedaan waktu tenggelam Matahari di daerah dengan elevasi tinggi. Saat daerah dataran yang lebih rendah Matahari telah tenggelam, pada daerah dengan elevasi yang tinggi Matahari belum tenggelam. Hal ini disebabkan jika ketinggian elevasi suatu tempat direferensikan terhadap luas dataran terendah sampai ke ufuk, maka ufuk akan semakin turun. Akibatnya, ketika memaksakan waktu salat seluruh wilayah daerah tersebut dengan acuan titik terendah, maka bagi seseorang yang tinggal di dataran tinggi salat belum masuk pada waktunya. Begitu pula jika waktu berbuka puasa dengan acuan tenggelamnya Matahari daerah terrendah, maka waktu berbuka daerah elevasi tinggi belum masuk ke waktu sebenarnya. Sebaliknya, bila jadwal waktu berbuka hanya didasarkan pada ketinggian tempat yang tertinggi

111 wilayah tersebut, maka di daerah dataran terendah wilayah tersebut sudah terlebih dahulu masuk waktu berbuka. 2) Acuan Ketinggian Rata-Rata Untuk mengatasi perbedaan elev1asi suatu wilayah akibat dari topografi muka Bumi yang beragam, maka bisa menggunakan ketinggian rata-rata wilayah tersebut. Hal tersebut untuk mengakomodir daerah-daerah elevasi tinggi dan rendah pada wilayah itu. Acuan ini dapat diterapkan jika perbandingan titik terendah dan titik tertinggi suatu wilayah tidak memiliki perbedaan yang tajam. Misalnya, wilayah Tegal yang memiliki ketinggian terendah wilayah 3 mdpl dan ketinggian tertinggi 1500 mdpl, maka penggunaan acuan ketinggian rata-rata tidak dapat mewakili perbedaan ketinggian tersebut. Akan tetapi jika perbedaan ketinggian wilayah tidak tajam, maka acuan ketinggian rata-rata dapat dipergunakan. Misalnya wilayah Jombang yang memiliki ketinggian terendah wilayah 40 mdpl dan ketinggian tertinggi 235 mdpl, maka acuan ketinggian rata-rata dapat dipergunakan. 3) Acuan jarak kelengkungan sampai ke ufuk Bumi berbentuk seperti bola memiliki jarak kelengkungan berupa busur yang menjadi batas pandang mata pengamat dipermukaan Bumi. Batas pandang maksimal dari mata pengamat sampai ke batas kelengkungan Bumi tersebut menjadi horison pandang (ufuq h}issi).

112 Gambar.4.4. Batas kelengkungan ufuk daerah datar Titik H adalah ufuq mar i bagi pengamat di titik S. Garis sinar OH merupakan jarak pengamat sampai ke ufuk yaitu sebesar = 2, dan h merupakan ketinggian mata pengamat terhadap permukaan Bumi. Gambar. 4.5. Batas kelengkungan Bumi dengann penghalang Jika pengamat berada di permukaan Bumi yang berupa dataran, kemudian sebelum memenuhi jarak kelengkungann yang seharusnya menjadi ufuk pengamat terdapat penghalang berupa bangunan, pepohonan atau pun bukit, maka ufuk pengamat tersebut tetap mengacu pada batas kelengkungan Bumi sebagaimana teori batas jarak pengamat ke ufuk. Pada gambar 4.4, titik D bukan merupakan ufuk pengamat yang menjadikan Matahari seolah-olah terbenam di titik I. Ufuk pengamat

113 tetap mengacu pada kelengkungan batas jarak ke ufuk yang ditunjukan oleh titik H pada gambar. Gambar. 4.6. Ufuk di wilayah perbukitan Pada kasus seperti yang ditunjukan gambar 4.5, yaitu ketika suatu daerah berada diperbukitan dimana dataran tempat tersebut tidak terlalu luas untuk menjangkau batasan jarak ufuk yang dibentuk oleh kelengkungan Bumi, maka ufuk daerah tersebutt didasarkan pada ketinggian tempat tersebut sampai ke daerah dibawahnya yang datar. Ketinggian tersebut menjadi koreksi nilai dip untuk perhitungan waktu terbit dan tenggelam. Berdasarkan ketiga acuan pertimbangan dalam penentuann ketinggian suatu tempat, maka dapat diperoleh nilai dip yang mendekati hasil yang lebih baik. Bumi Bahkan dalam memiliki topografi atau relief permukaan yang tidak rata. satu wilayah, memiliki ketinggian permukaan yang berbeda- beda. Penentuan ufuk suatu tempat semestinya mempertimbangkan jarak ufuk wilayah tersebut yang bisa terlihat bila tanpa halangan. Ufuk merupakan batas

114 kelengkungan Bumi yang di dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Semakin tinggi daerah tersebut, maka ufuknya semakin turun. Dengan mengacu kepada kriteria yang digunakan dalam jadwal waktu salat PBNU yang sesuai dengan kriteria Kemenag RI dalam penentuan ketinggian Matahari, maka dapat diketahui bahwa nilai dip untuk Maghrib adalah sebesar 0 10 atau nilai h sama sekitar 30 m dengan asumsi nilai refraksi 0 34 dan semi diameter 0 16. Oleh karena itu, untuk daerah yang memiliki ketinggian tempat 30 m, maka tidak perlu mendapatkan koreksi ketinggian atau dip kembali. Akan tetapi, untuk ketinggian daerah yang melebihi 30 m harus mendapatkan koreksi dip. Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa nilai dip sangat tergantung kepada ketinggian tempat atau dengan kata lain penentuan tinggi tempat harus mempertimbangkan parameter ketinggian tertinggi dan terendah suatu daerah, ketinggian rata-rata maupun jarak kelengkungan. Dalam hal ini, penulis menggunakan acuan kelengkungan bumi dalam menentukan ketinggian suatu tempat. Acuan dalam penentuan jarak kelengkungan bumi ini diperoleh dengan pendekatan rumus : d=. Sebagai acuan dalam penentuan luasan daerah terhadap pengaruh jarak horizon yang dipergunakan sebagai acuan penentuan ketinggian tempat, dapat dipergunakan nilai h = 30 m, yang diperoleh dari nilai koreksi untuk h Magrib. Hal ini agar sesuai dengan ketinggian rata-rata yang digunakan untuk h = -1 yaitu sekitar = 30 m.

115 Nilai jari-jari Bumi untuk dimasukan dalam perhitungan ini adalah mengambil jari-jari Bumi pada lintang -7, karena pulau Jawa berada pada lintang sekitar -6 sampai -8. Nilai jari-jari Bumi dapat diambil dari tengahtengah pada lintang tersebut. Nilai negatif hanya untuk menunjukan bahwa tempat tersebut berada di selatan Katulistiwa. Dalam perhitungan tanda negatif dibuang. Jari-jari Bumi pada lintang 7 / -7 adalah : sin(90 ϕ) = cosϕ r = R sin (90⁰-7⁰) atau r = R Cos 7⁰ = 6378,1. Cos 7⁰ = 6378,1. 0,992546151 = 6330,56 km. Jadi jari-jari lingkaran Bumi pada lintang 7 / -7 adalah 6330,56 km. Jika nilai h = 30 m, maka dapat diperoleh nilai d adalah: d = 2 h = 2 x 6330,56 km x 30 m = 2 x 6330.56 x = (12,661 x 30) = 19,5 km Jarak horizon pada ketinggian 30m dari mata pengamat dari permukaan Bumi adalah 19,5 km. Jika suatu daerah memiliki jarak wilayah datar dari Timur ke Barat sejauh 19,5 km, maka lokasi tersebut dapat dijadikan

116 sebagai acuan dalam menghitung ketinggian tempat. Dengan kata lain, daerah yang memiliki jarak 19,5 km terhadap kelengkungan bumi, lokasi tersebut sama dengan 0 meter untuk acuan penentuan ketinggian wilayah-wilayah diatasnya. Berikut ini contoh waktu-waktu salat kota Jakarta dengan ketinggian 1-1600 m:

122 117 Tabel.4. 2. Pengaruh ketinggian tempat terhadap perhitungan waktu salat Kriteria KH. Slamet Hambali Ketinggian H H Maghrib Maghrib H Isyak Isyak h Subuh Subuh h Terbit Terbit 1-0 52 19,24 18:03:46,39-17 19 00 19:09:55,78-19 00 00 04:42:30,24-0 52 19,24 05:56:44,04 50-1 3 00,34 18:04:29,38-17 31 26,7 19:09:37,47-19 31 26,7 04:42:48,57-1 3 00,34 05:56:01,05 100-1 08 9,64 18:04:50,12-17 36 36 19:11:06,64-19 36 36 04:41:19,37-1 08 9,64 05:55:40,31 200-1 15 27,04 18:05:19,45-17 43 53,41 19:11:35,99-19 43 53.41 04:40:50,01-1 15 27,04 05:55:10,98 300-1 21 02,68 18:05:41,95-17 49 29,05 19:11:51,31-19 49 29,05 04:40:27,48-1 21 02,68 05:54:48,48 400-1 25 45,64 18:06:06,93-17 54 12 19:12:17,49-19 54 12 04:40:08,49-1 25 45,64 05:54:29,05 500-1 29 54,92 18:06:17,64-17 58 21,29 19:12:34,22-19 58 21,29 04:39:51,75-1 29 54,92 05:54:12,79 600-1 33 40,03 18:06:32,76-18 02 6,66 19:12:49,34-20 02 6,66 04:39:36,62-1 33 40,03 05:53:57,67 700-1 37 07,55 18:06:45,65-18 05 33,91 19:13:03,25-20 05 33,91 04:39:22,71-1 37 07,55 05:53:43,77 800-1 40 20,45 18:07:00-18 08 46,82 19:13:16,21-20 08 46,82 04:39:09,75-1 40 20,45 05:53:30,84 900-1 43 21,64 18:07:11,74-18 11 48 19:13:28,35-20 11 48 04:38:57,06-1 43 21,64 05:53:18,69 1000-1 46 13 18:07:23,23-18 14 39,47 19:13:39,85-20 14 39,37 04:38:46,01-1 46 13 05:53:07.00 1100-1 48 55,99 18:07:34,16-18 17 22,36 19:13:50,79-20 17 22,36 04:38:35,16-1 48 55,99 05:52:56,27 1200-1 51 31,73 18:07:44,06-18 19 58,09 19:14:01,24-20 19 58,09 04:38:24,71-1 51 31,73 05:52:45,83 1300-1 54 01,01 18:07:54,62-18 22 27,56 19:14:11,26-20 22 27,46 04:38:14,68-1 54 01,01 05:52:35,81 1400-1 56 26,83 18:08:04,26-18 24 51,19 19:14:20,09-20 24 51,19 04:38:05,04-1 56 26,83 05:52:26,17

123 118 1500-1 58 43,81 18:08:13,55-18 27 09,87 19:14:20,09-20 27 98,7 04:37:55,72-1 58 43,81 05:52:16,87 1600-2 00 57,64 18:08:22,55-18 29 24 19:14:39,21-20 29 24 04:37:46,72-2 00 57,64 05:52:07,88 Ket: h Isya & Subuh dengan kriteria KH. Slamet Hambali h Isya = -17 - (SD + Ref + Dip) h Subuh = -19 - (SD + Ref + Dip) Ref Magrib = 0 34 Ref Isya = 0 3 SD = 0 16 Tabel. 4.3. Pengaruh ketinggian tempat terhadap perhitungan waktu salat criteria Abd. Salam Nawawi Ketinggian h H Maghrib Maghrib H Isyak Isyak h Subuh Subuh h Terbit Terbit 1-0 52 19,24 18:03:46,39-18 1 45,6 19:12:47,93-20 1 45,6 4:39:38,04-0 52 19,24 05:56:44,04 50-1 3 00,34 18:04:29,38-18 12 26,7 19:13:30,95-20 12 26,7 4:38:55,00-1 3 00,34 05:56:01,05 100-1 08 9,64 18:04:50,12-18 17 36 19:13:51,07-20 17 36 4:38:34,24-1 08 9,64 05:55:40,31 200-1 15 27,04 18:05:19,45-18 24 53,41 19:14:21,05-20 24 53,41 4:38:04,88-1 15 27,04 05:55:10,98 300-1 21 02,68 18:05:41,95-18 30 29,05 19:14:43,58-20 30 29,05 4:37:42,35-1 21 02,68 05:54:48,48 400-1 25 45,64 18:06:06,93-18 35 12 19:15:02,56-20 35 12 4:37:23,36-1 25 45,64 05:54:29,05 500-1 29 54,92 18:06:17,64-18 39 21,29 19:15:19,29-20 39 21,29 4:37:06,62-1 29 54,92 05:54:12,79

124 119 600-1 33 40,03 18:06:32,76-18 43 6,66 19:15:34,41-20 43 6,66 4:36:51,05-1 33 40,03 05:53:57,67 700-1 37 07,55 18:06:45,65-18 46 33,91 19:15:48,32-20 46 33,91 4:36:37,58-1 37 07,55 05:53:43,77 800-1 40 20,45 18:07:00-18 49 46,82 19:16:01,27-20 49 46,82 4:36:24,63-1 40 20,45 05:53:30,84 900-1 43 21,64 18:07:11,74-18 52 48 19:16:13,42-20 52 48 4:36:12,47-1 43 21,64 05:53:18,69 1000-1 46 13 18:07:23,23-18 55 39,37 19:16:24,92-20 55 39,37 4:36:00,97-1 46 13 05:53:07.00 1100-1 48 55,99 18:07:34,16-18 58 22,36 19:16:35,86-20 58 22,36 4:35:50,03-1 48 55,99 05:52:56,27 1200-1 51 31,73 18:07:44,06-19 00 58,09 19:16:46,31-21 00 58,09 4:35:39,57-1 51 31,73 05:52:45,83 1300-1 54 01,01 18:07:54,62-19 03 27,46 19:16:56,34-21 03 27,46 4:35:29,54-1 54 01,01 05:52:35,81 1400-1 56 26,83 18:08:04,26-19 05 51,19 19:17:05,98-21 05 51,19 4:35:19,09-1 56 26,83 05:52:26,17 1500-1 58 43,81 18:08:13,55-19 08 9,53 19:17:15,28-21 08 9,53 4:35:01,59-1 58 43,81 05:52:16,87 1600-2 00 57,64 18:08:22,55-19 10 24 19:17:25,01-21 10 24 4:35:00,86-2 00 57,64 05:52:07,88 Ket: h Isya & Subuh dengan kriteria Abd. Salam Nawawi h Isya = -18 - Dip h Subuh = -20 - Dip

120 3. Konversi Awal Waktu Salat Antar Daerah dengan Pertimbangan Selisih Bujur Perbedaan bujur antar suatu daerah bisa digunakan sebagai konversi waktu antar daerah waktu rata-rata pada jam kronologi. Jam kronologi mendasarkan pada rentang waktu peredaran semu rata-rata harian Matahari. Akan tetapi dalan masalah konversi awal waktu salat, tidak semestinya hanya berdasarkan pada perbedaan bujur semata. Hal tersebut berkaitan dengan posisi sudut waktu matahari yang dipengaruhi posisi geografis suatu wilayah dan deklinasi. Selain itu, konversi awal waktu salat juga semestinya memperhatikan posisi elevasi suatu tempat yang mempengaruhi perubahan ufuknya. Perbedaan bujur daerah memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap masuknya awal waktu salat. Hal tersebut dikarenakan Matahari bergerak menurut pandangan pengamat dari timur ke barat. Sehingga perbedaan tiap nilai derajatnya mempengaruhi perbedaan waktu-waktu hakiki daerah di timur dan barat. Bumi berotasi secara sempurna 360 derajat membutuhkan waktu sekitar 24 jam, jika 360 = 24 j maka, setiap 1 jam adalah 15.Jadi setiap 1 derajat busur bila dikonversikan ke dalam satuan waktu maka akan bernilai 4 menit waktu. Sehingga perbedaan antar daerah di barat dan timur setiap 1 derajat bujur adalah 4 menit satuan waktu. dengan rumus Adapun jarak dari setiap satu derajat bujur dapat dicari dengan 2π, yang mana nilai r tergantung dari lintang suatu tempat. Jarak 1 pada lintang 0 di lingkaran khatulistiwa adalah

121 2π6378,1 = 111,319 km. jika suatu tempat berada di lintang 7 LS/LU, maka harus dicari terlebih dahulu nilai dari r nya dengan rumus = cosϕ sehingga nilai r adalah =6378,1cos7 = 6330,55861, jadi jari-jari lingkaran pada lintang 7 adalah 6330,6 km. untuk mengetahui jarak tiap satu derajat busur di lintang 10 maka masukan nilai r yang telah dicari ke rumus 2π,sehingga 2π6330,6 = 110,49, jadi jarak tiap satu derajat bujur pada lintang 7 adalah 110,49 km. Konversi jadwal waktu salat dalam kalender PBNU hanya menggunakan acuan selisih bujur, sehingga akan memberikan nilai selisih 4 menit waktu setiap 1⁰ bujur. Dengan perhitungan waktu salat dengan markaz Jakarta pada lintang 6⁰10 LS dan 106⁰49 BT menunjukkan bahwa lokasi yang berada di sebelah Timur Jakarta pada jarak 110,49 km atau sama dengan 1⁰ bujur terdapat selisih 4 menit waktu. Begitupun juga untuk wilayah di sebelah Barat bujur Jakarta akan memiliki selisih waktu yang sama pada setiap perbedaan derajatnya. Dalam peredaran semu harian Matahari, waktu terbit dimulai dari arah Timur dan terbenam di arah Barat. Hal ini menunjukkan untuk wilayah Timur pulau Jawa akan mengalami perubahan waktu lebih cepat dari pada wilayah Barat. Dengan kata lain, dengan acuan Jakarta -yang terletak di wilayah pulau Jawa bagian- dengan bujur 106⁰49 BT, wilayah di sebelah Timur bujur Jakarta yang memiliki nilai bujur lebih besar dari 106⁰49 akan

122 dikurangi nilai waktunya. Misalnya kabupaten Banyuwangi dengan bujur 114⁰23 BT terletak di sebelah timur Jakarta sehingga selisih waktu akan dikurangkan dari waktu Jakarta. Selisih waktu Banyuwangi terhadap Jakarta: 114⁰23-106⁰49 = 7⁰34, selisih waktu = 4 menit x 7⁰34 = 30 16 Jadi selisih waktu di Banyuwangi akan mengalami perubahan waktu 30 menit 16 detik lebih cepat dari Jakarta. Penggunaan selisih waktu ini yang dipergunakan dalam pembuatan konversi waktu salat yang dipergunakan oleh PBNU dengan acuan Jakarta sehingga untuk daerah di sebelah Timur Jakarta akan dikurangi sebesar selisih bujur dan untuk wilayah di sebelah Barat Jakarta akan ditambah dengan perbedaan selisih bujur. Penggunaan nilai konversi ini dapat berlaku jika lokasi berada pada lintang yang sama, akan tetapi jika terdapat selisih perbedaan lintang akan berpengaruh terhadap perbedaan waktu yang semakin besar. Sebagai contoh dengan acuan bujur, deklinasi, dan tinggi Matahari yang sama dengan lintang yang berbeda akan diperoleh hasil perhitungan waktu salat yang berbeda pula sebagaimana tabel 4.4. Tabel. 4.4. Perbedaan waktu salat dengan deklinasi, bujur, h Matahari tetap dan lintang berbeda. Lintang Deklinasi (δ) : -6 5 10,84 (5 GMT) λ =106 49 (ϕ) Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Dhuha Terbit -6 10 04:40:30,25 12:04:17,55 15:05:36,31 18:10:52,06 19:19:48,02 06:15:49,52 05:57:37,32 + 04:42 12:06 15:07 18:12 19:21 06:17 05:56

123 Ihtiyat -7 10 04:39:51,52 12:04:17,55 15:07:43,96 18:11:18,63 19:20:24,39 06:15:24,87 05:57:10,45 + 04:41 12:06 15:09 18:13 19:22 06:17 05:56 Ihtiyat -8 10 04:39:11,02 12:04:17,55 15:09:45,93 18:11:44,86 19:21:02,18 06:15:00,39 05:56:43,04 + Ihtiyat 04:41 12:06 15:11 18:13 19:23 06:17 05:55 Berdasarkan tabel tersebut, waktu salat pada lintang -6⁰10 untuk daerah Jakarta, lintang -7⁰10 untuk kabupaten Sukabumi dan lintang -8⁰10 untuk daerah selintang Banyuwangi terdapat selisih waktu yang bervariasi. Dengan acuan lintang Jakarta diperoleh: Tabel. 4.5. Selisih waktu salat berdasarkan perbedaan lintang untuk acuan Jakarta, kabupaten Sukabumi dan daerah selintang Banyuwangi tanpa ihtiyat. Daerah Deklinasi (δ) : -6 5 10,84 (5 GMT) λ =106 49 Subuh Zuhur Asar Magrib Isya Dhuha Terbit Jakarta 04:40:30,25 12:04:17,55 15:05:36,31 18:10:52,06 19:19:48,02 06:15:49,52 05:57:37,32 Sukabumi 00:00:38,37 0 00:02:7,65 00:00:26,57 00:00:36,37 00:00:24,65 00:00:26,87 Selintang Banyuwa ngi 00:01:19,23 0 00:04:9,62 00:00:52,8 00:01:14,16 00:00:49,13 00:00:54,28 Berdasarkan tabel dapat diketahui terdapat selisih yang bervariasi dengan nilai selisih tertinggi untuk waktu Asar sebesar 2 menit 7,65 detik untuk lintang Sukabumi dan 4 menit 9,62 detik. Untuk perbedaan waktu salat ini dapat diakomodir dengan penambahan nilai ihtiyat sebesar 1-2 menit sehingga wilayah pada lintang Sukabumi dan selintang Banyuwangi dapat tercukupi. Akan tetapi nilai ihtiyat tersebut tidak dapat mencukupi untuk

124 waktu Asar karena selisih yang diperoleh mencapai 4 menit, walaupun dengan menambahkan ihtiyat menjadi 15: 07, masih terdapat selisih sebesar 43,96 detik untuk Sukabumi dan bisa diabaikan. Sedangkan untuk selintang Banyuwangi terdapat sisa selisih sebesar 2 menit 9,62 detik. Nilai selisih ini perlu mendapat pertimbangan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dengan perhitungan waktu salat dengan menggunakan sistem yang digunakan PBNU, nilai konversi harus ditambahkan dengan koreksi selisih lintang. Nilai selisih yang ditambahkan diperoleh dengan memperhitungkan waktu salat pada lintang -6 10 dan bujur 106 49 yang diwakili kota Jakarta, lintang -7 10 dan bujur 106 49 yang diwakili Sukabumi, serta lintang -8 21 dan bujur 106 49 yang merepresentasikan lintang Banyuwangi dan sebujur Jakarta. Adapun perhitungan waktu salat yang dilakukan sebagai berikut: Tabel.4.6. Perhitungan waktu salat untuk lintang -6 10 dan bujur 106 49 tahun 2014 Bulan Zuhur Asar Magrib Isya Subuh Terbit Dhuha Januari 12:02:06 15:26:59 18:15:58 19:30:09 4:25:11 5:48:14 6:11:56 Februari 12:06:53 15:20:17 18:16:34 19:27:04 4:38:21 5:57:12 6:19:52 Maret 11:52:55 15:00:39 17:57:51 19:06:21 4:31:25 5:47:59 6:10:08 April 11:52:48 15:12:05 17:52:36 19:01:51 4:35:37 5:53:00 6:15:28 Mei 11:49:05 15:11:13 17:44:52 18:56:53 4:32:50 5:53:18 6:16:44 Juni 11:53:12 15:15:10 17:46:55 19:01:05 4:36:36 5:59:29 6:23:39 Juli 11:58:42 15:20:51 17:53:16 19:06:29 4:42:19 6:04:08 6:27:58 Agustus 11:57:15 15:18:25 17:55:13 19:05:30 4:40:45 5:59:17 6:22:07 September 11:48:01 15:01:55 17:50:45 18:59:12 4:28:47 5:45:17 6:07:26 Oktober 11:38:32 14:44:36 17:46:20 18:55:45 4:13:07 5:30:44 5:53:06 Nopember 11:37:16 14:59:06 17:49:48 19:02:38 4:03:13 5:24:44 5:48:03 Desember 11:47:49 15:14:57 18:02:51 19:18:20 4:08:15 5:32:47 5:56:52

125 Tabel.4.7. Perhitungan waktu salat untuk lintang -7 10 dan bujur 106 49 Per tanggal 15 tahun 2014 Bulan Zuhur Asar Magrib Isya Subuh Terbit Dhuha Januari 12:02:06 15:26:45 18:17:50 19:32:22 4:22:55 5:46:22 6:10:08 Februari 12:06:53 15:19:00 18:17:39 19:28:24 4:36:58 5:56:07 6:18:51 Maret 11:52:55 15:02:35 17:58:02 19:06:43 4:31:01 5:47:48 6:10:00 April 11:52:48 15:12:34 17:51:47 19:01:10 4:36:17 5:53:49 6:16:21 Mei 11:49:05 15:10:45 17:43:14 18:55:22 4:34:21 5:54:56 6:18:27 Juni 11:53:12 15:14:14 17:44:51 18:59:07 4:38:34 6:01:33 6:25:47 Juli 11:58:42 15:20:06 17:51:23 19:04:43 4:44:05 6:06:01 6:29:56 Agustus 11:57:15 15:18:27 17:54:02 19:04:26 4:41:49 6:00:28 6:23:22 September 11:48:01 15:03:12 17:50:31 18:59:07 4:28:51 5:45:31 6:07:44 Oktober 11:38:32 14:42:44 17:47:04 18:56:42 4:12:08 5:30:00 5:52:26 Nopember 11:37:16 14:58:34 17:51:25 19:04:34 4:01:14 5:23:07 5:46:30 Desember 11:47:49 15:14:59 18:04:56 19:20:47 4:05:44 5:30:42 5:54:51 Tabel.4.8. Perhitungan waktu salat untuk lintang -8 21 dan bujur 106 49 Per tanggal tahun 2014 Bulan Zuhur Asar Magrib Isya Subuh Terbit Dhuha Januari 12:02:06 15:26:29 18:19:26 19:34:16 4:20:57 5:44:46 6:08:36 Februari 12:06:53 15:17:48 18:18:34 19:29:34 4:35:46 5:55:12 6:17:58 Maret 11:52:55 15:04:07 17:58:11 19:07:04 4:30:39 5:47:39 6:09:53 April 11:52:48 15:12:55 17:51:05 19:00:37 4:36:50 5:54:31 6:17:06 Mei 11:49:05 15:10:17 17:41:51 18:54:06 4:35:36 5:56:19 6:19:54 Juni 11:53:12 15:13:23 17:43:06 18:57:29 4:40:12 6:03:18 6:27:37 Juli 11:58:42 15:19:25 17:49:48 19:03:14 4:45:34 6:07:36 6:31:36 Agustus 11:57:15 15:18:25 17:53:01 19:03:33 4:42:41 6:01:29 6:24:26 September 11:48:01 15:04:12 17:50:19 18:59:05 4:28:52 5:45:43 6:07:59 Oktober 11:38:32 14:41:02 17:47:41 18:57:32 4:11:16 5:29:23 5:51:51 Nopember 11:37:16 14:58:02 17:52:48 19:06:14 3:59:31 5:21:44 5:45:10 Desember 11:47:49 15:14:56 18:06:42 19:22:54 4:03:33 5:28:56 5:53:08 Dari hasil perhitungan, terdapat dapat diperoleh nilai selisih antara hasil perhitungan waktu salat lintang -6 10 dengan lintang -7 10 dan antara