Bab IV Masyarakat Atauro Pra Pariwisata Pengantar Dalam bab ini, saya ingin menuliskan hasil penelitian saya yang merupakan hasil dari berbagai wawancara yang saya lakukan terhadap masyarakat lokal Sub-Distrik Atauro, Timor Leste. Informasi yang tertulis dalam bab ini memberikan gambaran dan pernyataan yang kuat dari perspektif penduduk lokal Atauro mengenai pandangan mereka tentang kehidupan mereka sebelum pariwisata masuk. Pariwisata mulai berkembang di pulau Atauro ± tahun 2001/2002. Bab ini mengenai pengalaman masyarakat lokal sebelumnya. Kehidupan masyarakat Atauro sebelum masuknya industri pariwisata sangat bergantung pada alam pulau Atauro yaitu laut dan daratan. Konsep kehidupan masyarakat Atauro adalah bekerja untuk hidup artinya bahwa saat mereka melakukan pekerjaan, mereka hanya berfikir untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Masyarakat Atauro secara sosial ekonomi sebenarnya tidak terbagi ke dalam pengelompokan pekerjaan tertentu. Karena pengaruh iklim, masyarakat hidup sebagai nelayan, petani kebun dan sekaligus peternak. Untuk bekerja, mereka mengandalkan peralatan yang masih tradisional. Di saat cuaca didominasi oleh turunnya hujan pada bulan Desember hingga April, masyarakat Atauro bekerja menjadi petani kebun dan peternak. Sementara pada bulan mei hingga oktober, mereka akan beralih profesi untuk melaut. Pada bagian selanjutnya, saya akan menggambarkan secara lebih mendetil pola hidup masyarakat Atauro dalam beberapa topik. Topik-topik tersebut adalah: 37
Basis Kehidupan Masyarakat Petani Sebelum Pariwisata Kehidupan masyarakat pulau Atauro tidak pernah terlepas dari mata pencaharian nelayan, berkebun, dan beternak. Hal tersebut terikat erat dengan keadaan geografis pulau tersebut. Keadaan tanah mayoritas padas tepi pantai dan lokasi yang hanya dapat diakses dengan perahu, kapal, atau melalui udara dengan menggunakan helikopter. Situasi seperti ini tidak memberikan pilihan banyak bagi masyarakat lokal Atauro untuk beraktifitas ekonomi. Mengingat faktor tersebut, nenek moyang para penduduk Atauro mewariskan kehidupan sebagai nelayan dan petani serta peternak. Dengan alasan tersebut, Pulau Atauro yang memiliki keterikatan strategis dengan sumber daya alam laut memberikan akses termudah kepada penduduknya untuk menjadi nelayan, petani kebun dan peternak. Pertanian berbasis kebun dan bukan sawah menjadi salah satu unsur yang dominan di pulau Atauro karena keadaan tanah yang bukan vulkanik, dan musim kemarau panjang, yang terjadi dalam bulan Mei Oktober. Namun demikian, dalam beberapa tahun terakhir ini kondisi cuaca makin tidak menentu karena kemarau cenderung lebih panjang sampai pada bulan November. Para petani memanfaatkan lahan mereka seluas kurang lebih setengah hektar sampai 1 hektar untuk ditanami antara lain jagung, ubi, kacangkacangan, pepaya, pisang, kelapa, dan lain sebagainya. Untuk meningkatkan kesuburan tanah, masyarakat memanfaatkan pupuk organik, seperti hasil pembuangan sampah daun kering, dan kotoran binatang bagi mereka yang memiliki binatang peliharaan. Perlengkapan yang digunakan untuk mengolah tanah sehari-hari antara lain linggis, cangkul, parang, pisau dan sebagainya. Hasil pertanian di Atauro tidak jauh dari kondisi tanah mereka. Keadaan tanah tersebut tidak mendukung untuk pertanian yang berlimpah. Meskipun masyarakat sudah berupaya meningkatkan kesuburan tanah dengan memanfaatkan pupuk organik namun hasilnya tidak terlalu maksimal. Hasil yang minim tersebut sebagian besar dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari dan dijual kepada penduduk yang bukan petani. Kadang-kadang pembeli datang kepada mereka di rumah 38
masing-masing atau kalau tidak para petani akan membawa hasil kebunnya ke pasar pada hari jumat seperti yang ditunjukkan pada gambar ke 4. Pendapatan para petani dari hasil kebun sangat tidak menentu serta tidak bisa mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Hasil atau pendapatan dari produksi para petani sebesar US$ 5- US$ 10 dalam 1 minggu (setara dengan US$ 20 - US$ 40 per bulan). Salah satu informan saya, ibu Zelia, mengatakan: Pendapatannya selalu berubah tergantung pada iklimnya, kalau iklimnya baik maka hasilnya juga sangat memuaskan tapi kalau iklimnya buruk maka hasilnya juga tidak memuaskan bagi pekerjaan kami sebagai bertani. Sumber Foto: Tom Grundy (2012) Gambar 4.1: masyarakat lokal menjual hasil kebun di pasar Tradisional Sebagai petani/ kebun saja penghasilan mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu disamping bertani kegiatan lain yang mereka lakukan adalah melaut dan juga beternak. Mereka melaut ketika musim kemarau panjang. Pada saat musim kemarau panjang, ombak lebih tenang dan memungkinkan mereka untuk mendapatkan hasil laut. Sama halnya dengan tujuan bertani, tujuan utama mereka melaut adalah untuk mencari makan buat kehidupan sehari-hari. Kalau penghasilan dari hasil melaut itu 39
banyak maka sebagian dijual dan sebagian untuk dimakan. Ketika melaut pada umumnya mereka mencari ikan, gurita, siput. Selain sebagai petani kebun dan nelayan, sebagian kecil masyarakat Atauro juga beternak sebagai tabungan untuk kehidupan mereka. Rumah tangga-rumah tangga tertentu yang dapat menyisihkan sebagian dari pendapatan berjualan hasil kebun dan hasil menangkap ikan membeli ternak sebagai tabungan. Pada umumnya masyarakat memelihara ayam, kambing, atau babi. Ternak yang di peliharaan oleh masyarakat tersebut tidak begitu banyak antara 2-5 ekor Ternak itu adalah merupakan tabungan atau simpanan yang baru akan dijual ketika mereka mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang mendesak. Bagi masyarakat ini kebutuhan-kebutuhan mendesak itu antara lain adalah; pertama untuk memenuhi kebutuhan adat. Adat yang dimaksud disini adalah acara pernikahan, sebagai contoh, sang pria mau melamar sang wanita, sang pria tersebut akan mempersiapkan uang, maskawin, belis, dan juga binatang-binatang seperti sapi, babi atau kambing. Begitupun dengan acara kelahiran, acara kematian, upacara adat ritual dan lain sebagainya. Karena sebagian besar dinamika kehidupan masyarakat Atauro masih diwarnai oleh nilainilai atau sistem-sistem sosiobudaya tradicional yang kuat. Kedua, tabungan dimanfaatkan untuk pendidikan. Di pulau Atauro sekolah tertinggi hanya sampai jenjang SMP. Ketika seseorang bermaksud meneruskan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi seperti SMA atau Universitas, dia harus ke kota Dili. Oleh karena itu, penting bagi para orang tua yang bercita-cita anaknya meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi untuk menabung. Ternak yang mereka pelihara akan dijual ketika sudah tiba waktunya bagi anggota keluarga untuk meneruskan pendidikan ke kota Dili. Basis Kehidupan Masyarakat Nelayan Sebelum Pariwisata Pola kehidupan masyarakat nelayan tidak jauh berbeda dari pola kehidupan masyarakat petani/kebun dimana mereka sama-sama 40
tergantung pada alam secara turun temurun sejak nenek moyang mereka. Para nelayan ini menempati wilayah di sekitar pesisir. Dari berbagai hasil wawancara dengan masyarakat nelayan Atauro, para informan menjelaskan bahwa pendapatan mereka hanya cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Mereka terlihat terlampau sulit untuk hanya memenuhi kebutuhan keluarga dengan pantas hanya dengan hasil laut. Dengan alasan tersebut, mereka melakukan usaha pemenuhan kebutuhan tambahan melalui beternak, bertani/berkebun di ladang mereka. Mengutip dari salah satu nelayan Jaco Marquez (57): Dengan nelayan saja tidak bisa merespon kebutuhan hidup kami sehari-hari, tetapi disamping nelayan kami juga bertani dan juga bertenak. Para masyarakat nelayan Atauro juga masih menggunakan peralatan-peralatan laut yang sederhana dalam mencari hasil tangkapan mereka. Perlengkapan tersebut mayoritas masih bersifat tradisional seperti: perahu, senapan, kacamata tradisional yang di buat dari kayu, jaring, dan juga alat penangkapan ikan tradisional lain yang dibuat/modifikasi oleh masyarakat Atauro sendiri. Seperti yang kita lihat pada gambar 4.2 di bawah ini. Sumber foto: tatoli ba kultura (https://www.flickr.com/photos/tatolibakultura) Gambar 4.2. Alat penangkapan ikan tradisional oleh masyarkat nelayan Atauro 41
42 Sumber foto: Daniel J.Groshong/ Tayo foto group 2011 Gambar 4.3 Nelayan tradisional Atauro Dari berbagai jenis hasil laut yang ditangkap oleh masyarakat nelayan antara lain adalah; gurita, cumi-cumi, udang, siput, berbagai jenis ikan dan lain sebagainya yang biasa dikonsumsi orang. Hasil alam tersebut (ikan ataupun jenis tangkapan yang lain) mereka jual kepada masyarakat Atauro dan dari penghasilan tersebut, setelah mereka sisihkan untuk membeli perlengkapan berlayar, mereka manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari antara lain untuk kebutuhan makan dan biaya sekolah putra putri mereka. Pasar tradisional menjadi tempat yang utama dalam penjualan ikan meskipun ada pilihan-pilihan lain yang dijalankan oleh para nelayan, seperti yang diucapkan oleh salah seorang nelayan bapak Jaco Marquez: Cara menjual ikan dengan banyak cara kadang orang datang langsung ke tempat saya, kadang saya turun langsung ke masyarakat setempat dengan membawa ikan, dan juga dijual di pasar, kadang saya juga ada langganan di restoran di pusat kota (Dili), tetapi kalo ikan itu saya jual masih ada sisanya maka jalan keluarnya adalah di bikin kering ikannya, terus di jual lagi
Seperti yang kita lihat pada gambar dibawah ini menunjukkan bahwa bagaimana cara menjual ikan oleh masyarakat nelayan di subdistrik Atauro. Sumber foto: tatoli ba kultura (https://www.flickr.com/photos/tatolibakultura) Gambar 4.4 alat penangkapan ikan tradisional oleh masyarkat nelayan Atauro Sumber foto Penelitian (2014) Gambar 4.5 cara menjual hasil laut oleh masyarakat nelayan Atauro Pada umumnya para nelayan memanfaatkan hari pasar yaitu hari jumat untuk menjual hasil tangkapan. Namun demikian, di luar hari pasar, tidak jarang para pembeli menunggu para nelayan dipantai untuk membeli hasil tangkapannya secara langsung. Ketika hasil banyak, beberapa akan membawa tangkapan ke kota Dili menjual kepada para langganan mereka. Sebagai alternatif ketika sisa hasil 43
tangkapan tidak semua terjual, para nelayan mengeringkan ikan mereka, sehingga ikan kering tersebut dapat dijual lagi pada hari-hari berikutnya, seperti yang dituturkan salah seorang nelayan Adao: Cara menjual ikan dengan banyak cara kadang orang datang langsung ke tempat saya, kadang saya turun langsung ke masyarakat setempat dengan membawa ikan, dan juga dijual di pasar, tetapi kalo ikan itu saya jual masih ada sisanya maka jalan keluarnya adalah di bikin kering ikannya trus di jual lagi. Dari hasil penjualan mereka, para nelayan dapat menghasilkan US $ 50.00 dalam keseluruhan transaksi hari tersebut. Harga ikan mereka patok menurut standar para nelayan sendiri berdasarkan besar kecilnya hasil tangkapan mereka. Hasil yang didapat para nelayan tersebut tidak menentu sebab keadaan cuaca yang mempengaruhi keadaan ombak lautan sangat mempengaruhi produktivitas para nelayan. Keluhan para nelayan dapat dimengerti. Dalam usaha mereka, mereka menghadapi beberapa kendala yang mempengaruhi pendapatan/hasil laut mereka. Kendala yang utama adalah minimnya peralatan yang mereka miliki. Selain itu, faktor cuaca juga mempengaruhi pendapatan mereka mengingat kondisi laut yang berombak keras umumnya terjadi pada bulan Desember April tidak memungkinkan mereka untuk mendapatkan hasil tangkapan. Ketika mereka tidak dapat melaut, maka mereka akan mengandalkan hasil kebun dan ternak bagi yang memiliki ternak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagaimana pengalaman dari masyarakat petani, para nelayan juga memperlakukan ternak sebagai tabungan yang akan dijual ketika ada kebutuhan mendesak terkait dengan kepentingan adat, sosial, kebutuhan sekolah anak-anak mereka atau kebutuhan mendesak lainnya. 44
Kesimpulan Masyarakat Atauro sebagaimana digambarkan pada bab ini terbagi menjadi dua golongan yaitu masyarakat nelayan dan petani serta masyarakat non nelayan dan petani. Kondisi masyarakat nelayan dan petani sebelum munculnya pariwisata tergambarkan sebagai masyarakat tradisional di mana mereka hidup dalam keterbatasan dan hanya mengandalkan kondisi alam dan cuaca di Atauro. Keadaan rumah tangga masyarakat Atauro yang bergantung pada pertanian dan kelautan membuat mereka menjalani kehidupan tanpa memiliki harapan pada keberlangsungan kehidupan mereka. Hal ini tentu saja berdampak pada adanya kekhawatiran mengenai kehidupan mereka di masa mendatang. Pada masyarakat non nelayan dan non petani, kehidupan sedikit lebih baik karena mereka sudah tergolong sebagai masyarakat menengah. Masyarakat kelompok ini memiliki tingkat pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi. Bisa dikatakan kelompok masyarakat ini merupakan kelompok masyarakat terdidik. Kehidupan mereka tidak hanya bergantung pada kondisi alam dan cuaca Atauro. Mereka bekerja pada sektor formal seperti pegawai negeri maupun pegawai swasta. 45