1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit ulkus peptikum perforasi merupakan masalah kesehatan serius di dunia. Penyakit ini berhubungan erat dengan adanya infeksi Helicobacter pylori, asupan makanan yang dikonsumsi oleh manusia serta masalah psikologis yang dialami terutama faktor stres. Penyakit ulkus peptikum perforasi yaitu ulkus gaster dan ulkus duodenum merupakan penyakit yang masih banyak ditemukan terutama dalam kelompok usia di atas 45 tahun. Ulkus peptikum perforasi merupakan suatu defek mukosa atau submukosa yang berbatas tegas yang dapat menembus lapisan muskularis mukosa sampai lapisan serosa sehingga terjadi perforasi (Akil, 2006). Ulkus gaster merupakan suatu gambaran bulat atau semibulat/oval dengan ukuran lebih dari 5 mm dari kedalaman submukosa pada mukosa gaster akibat terputusnya kontinuitas/integritas mukosa gaster dengan dasar ulkus ditutupi debris (Tarigan, 2006). Ulkus peptikum perforasi insidennya cukup tinggi di Amerika Serikat, dengan 4 juta penduduk terdiagnosis setiap tahunnya.sekitar 20-30 % dari prevalensi ulkus ini terjadi akibat pemakaian Obat AntiInflamasi Non Steroid (OAINS) terutama yang nonselektif. OAINS digunakan secara kronis pada penyakit-penyakit yang didasari inflamasi kronis seperti osteoarthritis. Pemakaian kronis ini semakin meningkatkan risiko terjadi ulkus peptikum. Prevalensi infeksi Helicobacter pyloridi negara berkembang lebih tinggi dibanding dengan negara 1
2 maju. Prevalensi pada populasi di negara maju sekitar30-40% sedangkan di negara berkembang mencapai 80-90%. Dari jumlah tersebut hanya sekitar10-20% yang akan menjadi penyakit gastroduodenal (Rani, 2001). Di Inggris sekitar 6 20% penduduk menderita ulkus pada usia 55 tahun, sedangkan prevalensinya 2 4%. Di Amerika Serikat ada 4 juta pasien dengan gangguan asam pepsin, prevalensinya adalah 12% pada pria dan 10% pada wanita dengan angka kematian pasien 15.000 per tahun dan menghabiskan dana 10 milyar dolar per tahun (Tarigan, 2006). Di Indonesia, khususnya di Makassar, ditemukan prevalensi ulkus duodenum sebanyak 14% dan ulkus duodenum disertai dengan ulkus gaster sebanyak 5%. Umur terbanyak yaitu antara umur 45-65 tahun dengan kecenderungan semakin tua umur, prevalensi semakin meningkat dengan didominasi pria lebih banyak dibandingkan dengan wanita. Dari waktu ke waktu, manajemen ulkus gaster lebih baik seiring dengan ditemukannya faktor-faktor penyebab yang ditunjang dengan kemajuan dalam bidang farmasi yang berhasil menemukan dan mengembangkan obat-obat yang sangat berpotensi untuk penyembuhan ulkus gaster (Akil, 2006). Prevalensi kemunculan ulkus peptikum perforasi berpindah dari yang predominan pada pria ke frekuensi yang sama pada kedua jenis kelamin. Prevalensi berkisar 11-14 % pada pria dan 8-11 % pada wanita. Sedangkan kaitan dengan usia, jumlah kemunculan ulkus mengalami penurunan padapria usia muda, khususnya untuk ulkus duodenum, dan jumlah meningkatpada wanita usia tua (Anand, 2012).
3 Pada lambung normal, terdapat dua mekanisme yang bekerja dan mempengaruhi kondisi lambung, yaitu faktor pertahanan lambung dan faktor perusak lambung. Kedua faktor ini, pada lambung sehat, bekerja secara seimbang, sehingga lambung tidak mengalami kerusakan/luka. Faktor perusak lambung meliputi faktor perusak endogen yang berasal dari dalam lambung sendiri antara lain HCL, pepsin dan garam empedu; faktor perusak eksogen, misalnya (obatobatan, alkohol dan bakteri). Faktor pertahanan lambung tersedia untuk melawan atau mengimbangi kerja dari faktor tersebut diatas. Faktor/sistem pertahanan pada lambung, meliputi lapisan pre-epitel, epitel, post epitel.apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua faktor di atas, baik faktor pertahanan yang melemah ataupun faktor perusak yang semakin kuat, dapat mengakibatkan kerusakan pada sel-sel lambung, yang pada akhirnya akan membentuk ulkus lambung/peptikum. Pemberian paparan eksogen yang berlebihan seperti kortikosteroid, OAINS dan kafein dapat memicu terjadinya ulkus lambung. Lambung memiliki mekanisme penyembuhan ulkus sendiri. Mekanisme ini merupakan suatu proses kompleks yang melibatkan migrasi sel, proliferasi, reepitelisasi, angiogenesis dan deposisi matriks yang selanjutnya akan membentuk jaringan parut (Bas et al, 2008). Faktor faktor risiko dari morbiditas dan mortalitas pada ulkus peptikum perforasi meliputi umur, penyakit penyerta, keterlambatan penanganan, ukuran perforasi, jumlah leukosit dan letak ulkus dan terjadinya ulkus berulang. Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan seperti penelitian Salih et al, 2007bahwa infeksi H. pylori, penggunaan NSAID, merokok, alkohol, dan
4 konsumsi aspirin sebagai faktor risiko terjadinya ulkus peptikum perforasi dengan hasil yang signifikan. Bas et al, 2008 menyebutkan bahwa umur merupakan prediktor dari morbiditas dimana pada pasien yang lebih tua didapatkan risiko lebih tinggi daripada umur yang lebih muda. Morbiditas lain pada ulkus peptikum perforasi yang berhubungan dengan riwayat penyakit, jumlah dari cairan abdomen, letak dari ulkus, riwayat dari penyakit ulkus, jumlah drain menunjukkan data yang tidak signifikan. Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar, dari catatan rekam medik di bagian bedah khususnya, didapatkan data bahwa angka kejadian ulkus peptikum perforasi yang dilakukan tindakan operasi cukup tinggi. Pasien yang dioperasi 3 tahun terakhir yaitu tahun 2013 berjumlah 33 pasien, tahun 2014 berjumlah 45 pasien dan tahun 2015 berjumlah 32 pasien. Dari seluruh pasien yang dilakukan tindakan operasi, sampai saat ini sebab terjadinya ulkus peptikum perforasi belum diketahui dengan pasti. Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang faktor faktor risiko pada pasien dengan ulkus peptikum perforasi. 1.2.Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Apakah ulkus peptikum perforasi lebih sering terjadi pada usia lebih dari atau sama dengan 45 tahun?
5 2. Apakah ulkus peptikum perforasi lebih sering terjadi pada jumlah leukosit lebih dari atau sama dengan 20.000/mm3? 3. Apakah ulkus peptikum perforasi lebih sering terjadi pada pengkonsumsi alkohol lebih dari tiga kali seminggu? 4. Apakah ulkus peptikum perforasi lebih sering terjadi pada pengkonsumsi obat anti inflamasi non steroid selama lebih dari tiga bulan terakhir? 1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum Untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang berperan terhadap pasien dengan ulkus peptikum perforasi di bagian bedah RSUP Sanglah Denpasar. 1.3.2. Tujuan khusus 1. Untuk mengetahui bahwa ulkus peptikum perforasi lebih sering terjadi pada usia lebih dari atau sama dengan 45 tahun. 2. Untuk mengetahui bahwa ulkus peptikum perforasi lebih sering terjadi pada jumlah leukosit lebih dari atau sama dengan 20.000/mm3. 3. Untuk mengetahui bahwa ulkus peptikum perforasi lebih sering terjadi pada pengkonsumsi alkohol lebih dari tiga kali seminggu. 4. Untuk mengetahui bahwa ulkus peptikum perforasi lebih sering terjadi pada pengkonsumsi obat anti inflamasi non steroid selama lebih dari tiga bulan terakhir.
6 1.4.Manfaat 1.4.1. Manfaat ilmiah Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam upaya mengetahui faktor - faktor risiko klinis pada ulkus peptikum perforasi di Bagian Bedah RSUP Sanglah. 1.4.2. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang aktual tentang faktor - faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya ulkus peptikum perforasi sehingga penatalaksanaan pengobatan dapat dilakukan secara cepat dan tepat dalam mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat ulkus peptikum perforasi.