BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan seks merupakan pendidikan mengenai seksualitas yang pada dasarnya sama seperti pendidikan yang lain. Pendidikan tersebut bertujuan untuk menyampaikan informasi seputar jenis kelamin (Dian, 2014). Orang tua diharuskan memberikan pendidikan seks yang sesuai karena hal ini dipandang sebagai salah satu upaya yang dapat mencegah terjadinya kekerasan seks pada anak (Abdul, 2009). Hal ini sesuai dengan pendapat Erlinda (2014) bahwa upaya penanganan dan pencegahan yang dapat dilakukan dalam kasus kekerasan pada anak terdapat beberapa cara, meliputi pendidikan seksual, sistem perlindungan anak terintegrasi, membangun kota layak anak dan rehabilitasi baik medis, psikis, sosial dan hukum. Akhir-akhir ini kasus kekerasan terhadap anak menjadi kian marak. Berdasarkan hasil pemantauan Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengenai kasus kekerasan pada anak di Indonesia terdapat peningkatan yang signifikan selama 4 tahun terakhir. Pada tahun 2011 terdapat 2178 kasus, tahun 2012 terdapat 3512 kasus, tahun 2013 terdapat 4311 kasus, dan pada tahun 2014 meningkat menjadi 5066 kasus kekerasan (Setyawan, 2015). Berdasarkan catatan Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) untuk spesifik kasus kekerasan seksual terhadap anak pada bulan Januari-April 2014 ditemukan 342 kasus (Setyawan, 2014). Di Yogyakarta, menurut data dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan 1
2 Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada tahun 2013 berdasarkan kelompok umur, paling tinggi berada di Kota Yogyakarta. Pada tahun 2013 terdapat 708 kasus kekerasan, sedangkan pada tahun 2014 terdapat 653 kasus. Meskipun terjadi penurunan jumlah kasus kekerasan pada tahun 2013-2014, namun untuk klasifikasi kekerasan pada kelompok umur di bawah 18 tahun terjadi peningkatan, yang semula terdapat 103 kasus menjadi 145 kasus. Sedangkan untuk jenis kekerasan seksual juga mengalami peningkatan pada tahun 2013-2014 yaitu dari 103 kasus menjadi 155 kasus. Pada tahun 2014, kasus kekerasan seksual pada klasifikasi umur 3-5 tahun, paling tinggi berada di Kota Yogyakarta. Sebaran jumlah kekerasan seks pada anak dapat dilihat di tabel 1. Tabel 1. Jumlah korban kekerasan seksual pada anak usia 3-5 tahun di DIY tahun 2014 No Kabupaten Jumlah Korban 1 Bantul 12 2 Gunung Kidul 16 3 Kulon Progo 17 4 Sleman 24 5 Yogyakarta 27 Sumber: Data gender dan anak pada sub bidang data dan informasi gender dan anak. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat, DIY. Menurut pendapat Barliner (2011) kekerasan seksual merupakan keterlibatan anak dalam kegiatan seksual sebelum usianya mencukupi untuk terlibat dalam kegiatan tersebut. Kejadian kekerasan seksual dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu kekerasan seksual secara fisik dan kekerasan seksual secara non fisik. Anak yang menjadi korban kekerasan seksual pada umumnya akan mengalami trauma yang berkepanjangan. Trauma yang terjadi
3 akan melingkupi semua aspek baik fisik, psikis dan sosial (Noviana, 2015). Seperti yang dikemukakan oleh Paramastri (2010) anak yang menjadi korban kekerasan seksual akan mengalami dampak negatif yang luar biasa meliputi trauma fisik dan trauma psikologis berupa gangguan emosi dan perilaku, menghambat pertumbuhan dan perkembangan serta dapat memicu gangguan interaksi sosial dan hubungan interpersonal di kemudian hari. Korban yang tidak mendapat penanganan secara adekuat akan memiliki kecemasan serta persepsi negatif tentang diri sendiri dan orang lain. Hal ini akan berdampak buruk pada pertumbuhan dan perkembangan jiwa mereka (Shtarkshall, 2007). Pendidikan seks di anggap sebagai salah satu upaya pengajaran, penyadaran dan penerangan tentang masalah seksual yang diberikan untuk melindungi anak dari pelecehan seksual (Astuti, 2015). Tedapat pula sebuah program yang dapat dilakukan untuk mencegah kekerasan seks pada anak, yaitu program underwear rules (Justicia, 2016). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Meilani, Shaluhiyah dan Suryoputro (2014) menyatakan bahwa banyak orang tua merasa malu dalam menyampaikan materi mengenai seksualitas (32,6%) meskipun menganggap penyampaian tersebut perlu diberikan sejak anak sudah mengalami menarche atau mimpi basah (67,4%). Selain itu, terdapat sejumlah orang tua (50%) yang berpendapat bahwa seksualitas merupakan hal yang alamiah yang akan diketahui anak dengan sendirinya. Menurut Sumaryani (2014) orang tua, khususnya ibu, percaya mengenai pentingnya pemberian pendidikan seks. Pengakuan ibu mengenai hal tersebut tidak berarti bahwa ibu memiliki pemahaman serta persepsi
4 yang positif mengenai hal tersebut, khususnya pemberian pendidikan seks pada usia prasekolah (3-6 tahun) yang dianggap belum pantas untuk diberikan. Pemberian pendidikan seks disesuaikan dengan tingkatan usia anak. Pada tahun-tahun pertama kehidupan atau pada 5 tahun pertama, penjelasan materi mengenai seks hanya sekedar pemberian informasi mengenai kondisi fisiknya dan merupakan dasar-dasar bagi pembentukan kepribadian (Fauziyah & Rohman, 2012). Hal ini sesuai dengan teori perkembangan psikoseksual menurut Sigmund Freud (1924), yang menjelaskan bahwa akan ada fase dimana anak akan bereksplorasi pada area genitalnya yang akan menimbulkan kenikmatan tersendiri, yaitu pada fase falik antara 3-5 tahun. Fase dimana anak mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan seks seperti perbedaan anatomi laki-laki dan perempuan dan atau asal-usul bayi, sehingga perlu pendampingan orang tua dalam memenuhi rasa ingin tahu anak dan paham gender dengan benar (Gunarsa, 2008). Pendampingan dari orang tua bertujuan untuk menyampaikan materi seputar seks dan sebaiknya dimulai dari rumah. Saat anak bertanya mengenai seks maka seharusnya orang tua menjadi informan yang sesuai sehingga anak dapat memastikan bahwa mereka mendapat informasi dari sumber yang tepat. Memahami informasi yang benar dapat melindungi anak dari perilaku yang berisiko saat dewasa (Kaufman, 2011). Menurut Roqib (2008) aspek pemberian pendidikan seks merupakan tanggung jawab orang tua yang harus dipenuhi. Berdasarkan hasil penelitian Putri (2012) diketahui bahwa terdapat 3 faktor utama yang berhubungan dengan perilaku orang tua dalam pemberian pendidikan
5 seks pada anak. Faktor tersebut antara lain pengetahuan, sikap dan keterpaparan sumber informasi. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa orang tua yang memiliki pengetahuan rendah tentang pendidikan seks pada anak akan memiliki peluang yang lebih rendah pula dalam memberikan pendidikan seks. Hal tersebut sesuai dengan teori Bloom (Notoatmodjo, 2003), bahwa pengetahuan merupakan salah satu domain yang penting dalam membentuk perilaku. Berdasarkan teori Green (1991), faktor pengetahuan masuk ke dalam faktor predisposisi yang mempengaruhi perilaku seseorang. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang, semakin besar pula peluang orang tersebut untuk berperilaku. Berdasarkan latar belakang di atas, guna mencegah dan meminimalkan kejadian kekerasan seks pada anak salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pendidikan seks. Pendidikan seks usia dini merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh orang tua dimana hal tersebut dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan orang tua. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Herjanti (2015) yang menyatakan bahwa pengetahuan orang tua berpengaruh pada pola asuh orang tua pada anak dalam pemberian pendidikan seks. Informasi yang tepat dan sesuai tentang seksualitas yang didapatkan anak sejak dini, diharapkan dapat menjauhkan anak dari tindak kekerasan seksual. Namun, berdasarkan studi pendahuluan oleh peneliti, belum banyak penelitian terkait tingkat pengetahuan orang tua. Sehingga peneliti tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang tingkat pengetahuan orang tua mengenai pendidikan seks pada anak usia 3-5 tahun di Kota Yogyakarta.
6 B. Rumusan Masalah Bagaimana gambaran tingkat pengetahuan orang tua tentang pendidikan seks pada anak usia 3-5 tahun di Kota Yogyakarta?. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan orang tua tentang pendidikan seks pada anak usia 3-5 tahun di Kota Yogyakarta. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan orang tua mengenai pengertian, tujuan dan manfaat pendidikan seks pada anak usia 3-5 tahun. b. Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan orang tua mengenai cara dan metode pemberian pendidikan seks pada anak usia 3-5 tahun. c. Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan orang tua mengenai konten pendidikan seks pada anak usia 3-5 tahun. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Memperluas kajian isu mengenai kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan seks pada anak beserta bentuk penerapannya. 2. Manfaat praktis a. Bagi orang tua Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk mempelajari dan memahami seputar pendidikan seks bagi anak usia 3-5 tahun.
7 b. Bagi profesi keperawatan Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam peran perawat sebagai educator dan advocator yang mana tenaga kesehatan, termasuk perawat, bertanggung jawab dalam memberikan informasi mengenai pentingnya pendidikan seks pada anak, salah satu nya dengan family health center atau mengadakan program pelatihan kepada orang tua mengenai pendidikan seks untuk anak. c. Bagi institusi kesehatan Hasil penelitian ini dapat dijadikan gambaran mengenai pengetahuan orang tua terkait pemberian pendidikan seks untuk anak, yang dapat menjadi rekomendasi bagi intitusi kesehatan guna memberikan penyuluhan dan konseling terkait pendidikan seks pada anak. d. Bagi peneliti selanjutnya Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dan gambaran dasar bagi penelitian selanjutnya dengan topik terkait pengetahuan orang tua dalam pendidikan seks pada anak 3-5 tahun. E. Keaslian Penelitian 1. Putri, (2012) meneliti tentang Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Pemberian Pendidikan Seks untuk Anak oleh Orang Tua Siswa Madrasah Ibtidaiyah Hayatul Islamah Depok Tahun 2012. Responden pada penelitian tersebut sejumlah 93 orang yang merupakan orang tua siswa kelas 4, 5 dan 6 Madrasah Ibtidaiyah Hayatul Islamiyah Depok, dengan
8 sebaran berdasar tingkat pendidikan paling banyak lulusan SMA dan sebaran berdasar tingkat ekonomi paling banyak terdapat pada klasifikasi ekonomi rendah. Desain penelitiannya adalah cross sectional. Instrumen yang digunakan berupa kuesioner yang merupakan hasil adaptasi dari kuesioner penelitian skripsi Anisah tahun 2009 dan tesis Sukarta tahun 2003. Analisis data menggunakan analisis univariat dan bivariat (chi square). Hasil dari penelitian ini yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku pemberian pendidikan seks dengan pengetahuan (p value 0,005), dengan sikap (p value 0,005) dan dengan keterpaparan sumber informasi (p value 0,026). Sedangkan tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan, tingkat ekonomi dan pengalaman pendidikan seks dengan perilaku pemberian pendidikan seks pada anak. Persamaan dengan penelitian Putri (2012) terletak pada desain penelitian yaitu cross sectional. Perbedaan dengan penelitian ini adalah tempat penelitian, subjek penelitian, teknik sampling, jumlah sampel dan variabel. Tempat penelitian dilakukan di Kota Yogyakarta. Subjek penelitian ditujukan pada orang tua yang memiliki anak usia 3-5 tahun. Teknik sampling yang digunakan yaitu multistage sampling. Variabel yang diukur yaitu tingkat pengetahuan orang tua. 2. Kulsum, (2013). Intensi dan Perilaku Orang Tua dalam Memberikan Pendidikan Seks pada Anak Usia Dini (Studi Deskriptif pada Ibu-Ibu di Kelurahan Sekaran Kecamatan Gunungpati Kota Semarang). Responden penelitian tersebut berjumlah 108 orang. Sifat penelitian kuantitatif. Jenis penelitian deskriptif. Subjek penelitian tersebut ibu yang memiliki anak usia 1-6 tahun. Teknik sampling yang digunakan one stage cluster
9 random sampling. Instrumen yang digunakan berupa skala intensi dan angket perilaku. Hasil penelitian tersebut mengatakan bahwa intensi orang tua dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia dini di Kelurahan Sekaran Kecamatan Gunungpati Kota Semarang tergolong pada kriteria intensi cukup kuat, sedangkan perilaku orang tua tergolong pada kriteria perilaku yang cukup cenderung kuat. Persamaan dari penelitian Kulsum (2013) terletak pada sifat penelitian, jenis penelitian dan subjek penelitian. Perbedaan dengan penelitian ini tempat penelitian, teknik sampling, jumlah responden, variabel dan analisis data. Tempat penelitian dilakukan di Kota Yogyakarta. Subjek penelitian ditujukan pada orang tua yang memiliki anak usia 3-5 tahun. Rancangan penelitian ini deskriptif analitik. Teknik sampling yang digunakan yaitu multistage sampling. Variabel yang diukur yaitu tingkat orang tua. Analisis data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. 3. Sumaryani (2014). Pengalaman Ibu Dalam Memberikan Pendidikan Seks Pada Anak Usia Prasekolah (3-6 Tahun) Di Paud Menur Rw 09 Kelurahan Cipinang Jakarta Timur. Responden penelitian tersebut berjumlah 6 orang. Subjek penelitian adalah ibu yang memiliki anak usia 3-6 tahun. Sifat penelitian kualitatif dengan desain studi fenomenologis deskriptif. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara mendalam. Data dianalisis menggunakan metode Coalizzi. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Hasil penelitian menunjukan bahwa ibu merupakan pemberi pendidikan seks utama pada anak, dimana peran ayah tidak
10 terlihat, serta ibu percaya bahwa pentingnya pendidikan seks untuk anak namun tidak memiliki pengetauan dan pemahamam yang cukup mengenai pendidikan seks khususnya ada anak usia prasekolah. Persamaan dari penelitian Sumaryani (2014) terletak pada subjek penelitian. Perbedaan dengan penelitian ini tempat penelitian, teknik sampling, jumlah responden, variabel dan analisis data. Tempat penelitian dilakukan di Kota Yogyakarta. Subjek penelitian ditujukan pada orang tua yang memiliki anak usia 3-5 tahun. Rancangan penelitian ini deskriptif analitik. Teknik sampling yang digunakan yaitu multistage sampling. Variabel yang diukur yaitu tingkat pengetahuan orang tua. Analisis data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. 4. Solikhah, (2014). Persepsi Orang Tua Terhadap Pendidikan Seks Pada Anak Usia Dini Di Desa Tawang Kecamatan Weru Kabupaten Sukoharjo Responden penelitian tersebut berjumlah 45 orang. Metode yang digunakan adalah deskriptif kuantitaif. Subjek penelitian ini orang tua yang memiliki anak usia 4-6 tahun. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive proportional random sampling. Teknik analisa data menggunakan analisi korelasi product moment. Hasil analisis product moment diperoleh nilai koefisien korelasi sebersar 0,664 dan taraf signifikansi 0,05 dengan demikian berarti terdapat perbedaan persepsi orang tua terhadap pendidikan seks pada anak usia dini dengan faktor yang mempengaruhi yaitu pendidikan. Persamaan dari penelitian Solikhah (2014) terletak pada subjek dan metode penelitian. Perbedaan dengan penelitian ini tempat penelitian, teknik sampling,