ILMU KOMUNIKASI DALAM KONTEKS KE-TIMURAN MENGAPA TIDAK? Oleh: Dr. Farid Hamid U. S.Sos, M.Si. Abstrak Ilmu komunikasi, sebagai ilmu yang interdisipliner, secara epistemologis mencerminkan hasil galian menurut ragam teori yang dirumuskan menurut beragam perspektif. Pengelompokkan dilakukan menurut ideologi yang mendasarinya. Menarik untuk diperhatikan perspektif dan teori yang dikemukakan lebih banyak dalam konteks barat. Padahal konteks tersebut belum tentu cocok diterapkan di Indonesia (atau tradisi Timur). Padahal itu pengembangan ilmu komunikasi dalam konteks timur (lokal) maka akan dapat diperoleh pemahaman yang lebih lengkap dan mendalam tentang fenomena komunikasi yang terjadi di sekitar kita. Tulisan ini mencobah membedah sudut pandang lain dalam perspektif ilmu komunikasi yaitu perspektif ketimuran (lokal=keindonesiaan). Pendahuluan Ilmu komunikasi merupakan ilmu pengetahuan yang tergolong muda. Apalagi jika dibandingkan dengan disiplin ilmu sosial lainnya seperti sosiologi, antropologi dan lain-lain. Walaupun, sejarah awal perkembangan ilmu komunikasi sudah dikenal dalam tradisi retorika pada masa Yunani kuno, publisistik di Jerman, dan jurnalistik di Amerika. Studi akademis tentang komunikasi sendiri dimulai setelah Perang Dunia I, seiring dengan kemajuan teknologi. Ilmu komunikasi baru dirumuskan sebagai ilmu baru sejak dekade Perang Dunia II (Littlejohn & Foss, 2005:3). Ilmu komunikasi mulai terlembagakan atas jasa Wilbur Shramm ketika ia mendirikan Institute of Communication Research di Illonis pada tahun 1947. Suatu lembaga pendidikan tinggi ilmu komunikasi yang pertama di Amerika Serikat.
Di Indonesia, ilmu komunikasi telah dipelajari selama kurang lebih setengah abad melalui lembaga-lembaga pendidikan tinggi. Perguruan tinggi pertama yang menyelenggarakan pendidikan komunikasi adalah Akademi Ilmu Politik Yogyakarta pada tahun 1949 yang kemudian menjadi Bagian Sosial Politik dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM). Dalam perkembangannya sekarang, jumlah perguruan tinggi di Indonesia yang menyelenggarakan pendidikan komunikasi semakin meningkat. Komunikasi bersifat omnipresent (serba hadir) seiring dengan fenomena komunikasi yang kompleks. Hal ini mengakibatkan banyak akademisi dari lintas disiplin ilmu yang tertarik memberikan sumbangsih pada ilmu ini. Terasa sekali betapa ilmu-ilmu seperti sosiologi, politik, psikologi, matematik, dan sebagainya turut memperkaya kajian ilmu komunikasi. Kondisi ini menunjukkan betapa terbukanya ilmu komunikasi. Komunikasi sebagai ilmu yang interdisipliner, secara epistemologis tercermin dari hasil galian menurut ragam teori yang dirumuskan menurut beragam perspektif. Masalahnya adalah beragam perspektif dan teori komunikasi selama ini lebih didominasi dunia Barat (Amerika dan Eropa). Kondisi ini dibenarkan sendiri oleh littlejohn & Foss (2005:6) yang menyatakan bahwa bukunya Theories of Human Communications yang sering menjadi rujukan utama dalam kajian ilmu komunikasi di Indonesia lebih difokuskan pada teori-teori komunikasi dalam ilmu Barat.
Berangkat dari pernyataan di atas maka tulisan ini mencoba untuk mendiskusikan tentang apa dan bagaimana juga peluang ilmu komunikasi dalam perspektif ke timuran (termasuk ke-indonesiaan) dikaji secara mendalam. Perspektif Barat VS Perspektif Timur Secara umum, bentuk tubuh ilmu komunikasi dapat dikenali berdasarkan apa yang telah dicoba susun oleh sejumlah sarjana. Terdapat sejumlah pengertian tentang pengelompokkan. Bisa berdasarkan tempat asal lahirnya pemikiran teoritis, seperti yang dikenal dengan kelompok Chicago School yang Liberal-Pluralis dan direpresentasikan sebagai perspektif teori komunikasi Amerika. Juga kita mengenal Frankfurt School-Marxis Kritikal, yang direpresentasikan sebagai pemikiranpemikiran yang melahirkan teori-teori komunikasi dalam konteks Eropa. Pemilahan lain dapat dicermati dari karya-karya ilmiah antara lain; Fisher (1986), Infante dkk. (1990), Stacks dkk. (1991), Littlejohn & Foss (2005) dan West & Turner (2007) dan lain-lain. Fisher (1986) menyebutkan perspektif mekanistis (menganggap komunikasi merupakan suatu proses satu arah, menekankan pada unsur saluran fisik komunikasi); perspektif psikologis (memfokuskan perhatiannya pada individu baik secara teoretis maupun empiris. Fokus utama dari komunikasi adalah mekanisme internal penerimaan dan pengolahan informasi); perspektif interaksional (menekankan tindakan yang bersifat simbolis dalam proses komunikasi manusia yang menonjolkan keagungan dan nilai individu diatas nilai pengaruh yang lainnya); perspektif
pragmatik (tentang komunikasi manusia didasarkan pada asumsi pokok sistem dan informasi). Selain itu, Tucker et al. (1981), memilah pemikiran utama tentang teori komunikasi ke dalam 3 (tiga) perspektif, yaitu: perspektif hukum peliput (covering laws perspective), perspektif aturan (rules perspective) dan perpektif Sistem. Pengelompokkan juga dilakukan menurut ideologi sebagai landasan epistemologis yang mendasari lahirnya perspektif teoritis. Littlejohn 1999: 12-16) membagi jenisjenis teori komunikasi menjadi lima yaitu; 1). teori struktural fungsional; 2). teori kognitif dan behavioral; 3). teori interaksional; 4). teori interpretif dan 5). teori kritis. Pengelompokkan menurut Robert Craig yang dikutip baik dalam buku Stephen W. Littlejohn & Foss (2005) maupun EM. Grifin (2006) dengan membagi kedalam tujuh tradisi: sosio-psikologi, sosio-kultur, retorika, semiotik, cybernetik, fenomenologi, dan kritis. Demikian pula John Fiske dan James W. Carey membedakan antara model transmisi dan model ritual / meaning. Menarik untuk diperhatikan perspektif dan teori yang dikemukakan merupakan mapping yang disusun oleh ilmuwan Barat. Ilmu komunikasi yang berkembang di Indonesia masih merupakan produk intelektual Barat yang mendominasi pemikiran komunikasi di Indonesia. Walaupun demikian (Littlejohn & Foss, (2002: 4-6). Menyadari bahwa ada alternatif pemikiran yang berbeda dilihat dari sudut pandang perspektif ketimuran. Lebih lanjut, Littlejohn & Foss memberikan perbedaan antara perspektif/teori Barat dan Timur:
(1) teori-teori Timur cenderung fokus pada keutuhan (wholeness) dan kesatuan (unity) sedangkan perspektif Barat lebih mengkaji bagian-bagian tanpa harus memperhatikan integrasi dari bagian-bagian tersebut. (2) Banyak teori Barat didominasi oleh cara pandang individualisme. Manusia dianggap aktif mengejar tujuan personal. Sebaliknya, sebagian besar teori Timur cenderung mememandang komunikasi sebagai hasil rangkaian kejadian yang tidak direncanakan dan terjadi secara alamiah. (3) Banyak teori Barat yang kecenderungan individualistis dan sangat kognitif, sedangkan sebagian besar tradisi Timur menekankan pemusatan emosional dan spiritual sebagai hasil-hasil komunikasi. (4) Perbedaan perspektif Barat dan Timur tentang komunikasi disebabkan pula perbedaan pandangan mereka terhadap bahasa. Di Timur, simbol verbal, terutama ucapan tidak terlalu diutamakan, bahkan dipandang dengan skeptis. Pola pikir Barat yang menghargai rasio dan logika tidak dipercaya dalam perspektif Timur. Apa yang dianggap penting dalam banyak filosofi Asia merupakan pengetahuan intuitif yang diperoleh dari pengalaman langsung. Pengetahuan tersebut dapat diperoleh dengan tidak turut campur dalam kejadian/peristiwa alamiah yang menjelaskan kenapa sikap diam menjadi sangat penting dalam komunikasi Timur. (5) keduanya mengkonseptualisasikan relasi dengan cara yang berbeda. Pada perspektif Barat, relasi ada antara dua orang atau lebih. Dalam perspektif Timur,
hubungan lebih rumit dan kontekstual, karena selalu melibatkan peran sosial, status dan kekuasaan Pengalaman dalam dunia akademis kita bahwa kajian komunikasi di Indonesia masih sebatas pengajaran dalam memperkenalkan teori-teori Barat belum sampai pada mengeksplorasi perspektif ke-timuran atau kearifan lokal (local wisdom). Urgensi Tradisi Timur yang Berlandaskan Kearifan Lokal (local wisdom) Urgensi tradisi Timur termasuk didalamnya kearifan lokal dalam pengembangan ilmu komunikasi di Indonesia, berdasarkan beberapa hal sebagai berikut: 1). Ilmu Komunikasi Tidak Bebas Nilai Perlunya suatu kesadaran bahwa ilmu komunikasi sebagai bagian dari ilmu sosial tidaklah bebas nilai, karena selalu terikat oleh sejarah dan budaya suatu masyarakat. Sehingga kajian yang dihasilkan dalam budaya Barat lebih dilatarbelakangi perspektif mereka yang tidak bisa bebas nilai. Ia hasil konstruksi dari ilmuwan sadar ataupun tidak sadar. Oleh karena itu perspektif keilmuan yang lahir dari para sarjana di Amerika & Eropa (tradisi Barat) belum tentu tepat diterapkan dalam konteks Ketimuran (Asia-Indonesia). Sehingga pemahaman tentang fenomena komunikasi dalam perspektif Timur bukankah lebih baik dari sudut pandang mereka sendiri (Indonesia-Asia-Tradisi Timur)?
2). Perbedaan Budaya Chu (1988) berpendapat bahwa bahwa problem yang muncul dalam studi komunikasi antara Amerika & Eropa (Barat) dan Asia adalah persoalan budaya. Pendapat tersebut berlandaskan pada cara pandang yang berbeda di antara masingmasing budaya terhadap lingkungannya. Yang melatarbelakangi hal tersebut adalah dimensi budaya masing-masing yang berbeda. Secara umum sebagaimana diisyaratkan oleh Asante (dalam Rakhmat, 2006:242). Ada perbedaan pandangan dunia yang menarik antara perspektif Barat dan Timur (khususnya Asia), dalam pandangan dunia masyarakat Asia yang Asiosentrik, kebenaran bersifat tersembunyi; yang nyata itu tidak real. Lebih lanjut Chu (1988) menyarankan bahwa akan sangat berguna bagi para ilmuwan (Asia) jika bisa mengangkat kedalaman dan persepsi budayanya sendiri sebagai masalah penelitian, sehingga tidak terjadi kesenjangan antara kajian yang digunakan dengan situasi sosial masyarakatnya. Dengan kata lain, kita harus berani dan mampu mempribumikan (pribumisasi) ilmu komunikasi dengan menjauhkan dari sifat ahistoris, agar tidak telepas dari akar budaya dan sejarah Indonesia. Peluang Pengembangan Ilmu Komunikasi Perspektif Timur Purwo Santoso (Kompas, 19 April 2011) dalam pengukuhan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mengatakan bahwa ilmu sosial di Indonesia mengalami kemandekan bahkan ada yang
menyebut sedang kritis. Gejalanya antara lain tampak pada kontribusi para ilmuwan sosial dalam pengembangan ilmu, baik di tataran teoretis maupun metodologi, belum bisa dibanggakan. Ilmuwan sosial di negeri ini masih terkesan terombang-ambing menentukan aliran atau mazhab yang ditawarkan para teoretikus asing. Lebih lanjut Purwo mengatakan: Padahal, penerapan teori ke dalam kehidupan masyarakat adalah suatu pertaruhan nasib. Penerapan paket-paket teori impor, apalagi yang belum dikaji-sesuaikan dengan kondisi negeri ini, sering memunculkan sejumlah persoalan baru, Ilmu sosial (termasuk ilmu komunikasi) sedang kritis? Bisalah dipahami, karena kegagalan akademisi kita untuk memahami bahwa kajian komunikasi sepantasnya melekat dan berhubungan erat dengan nilai-nilai budaya. Inilah poin utama kritik pada pakar komunikasi Barat yang selama ini kurang memperhitungkan dan menghargai nilai budaya masyarakat negara berkembang. Globalisasi bukan alasan untuk menganut ideologi tunggal. Tetapi malah muncul kesadaran baru berupa nilainilai etnisitas. Mulai muncul kesadaran untuk menelusuri kembali konsepsi-konsepsi kemasyarakatan dan nilai-nilai sosial dalam peradaban Timur. Fenomena ini juga terjadi dalam ranah komunikasi. Sehingga perlu pemahaman bersama bahwa teori-teori dalam perspektif Barat belum tentu cocok diterapkan dalam konteks ketimuran. Perbedaan budaya adalah kata kuncinya. Dissanayake (dalam Santoso S. Hamijoyo, 2000: 9) mengatakan bahwa kebudayaan adalah komunikasi dan komunikasi adalah kebudayaan. Bangsa-bangsa Asia telah menciptakan kebudayaan yang sedemikian agungnya. Maka itu, mereka pasti telah
memiliki dan mampu mengembangkan konsep dan sistewm komunikasi tertentu yang khas. Pendekatan ke-timuran (nilai-nilai Timur ) adalah kuncinya. Sebaiknya dalam membedah dunia Timur harus dilihat dalam konteks ketimuran itu sendiri. Sehingga, pengembangan ilmu komunikasi dalam konteks timur diperlukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih lengkap dan mendalam tentang fenomena komunikasi yang terjadi di sekitar kita. Sudah seharusnya kita menyadari bahwa teori-teori komunikasi misalnya yang dikembangkan oleh Barat lebih menekankan aspek empirikal serta mengabaikan aspek normatif dan historisitas. Teori yang dihasilkan dalam pendekatan ini lebih bersifat premature universalism dan naive imperialism (Mohd. Rafiq, 2003). Kurang tepat kiranya jika teori-teori seperti ini diterapkan dalam konteks komunitas lain yang memiliki budaya berbeda. Kajian ke-timuran seperti Asia atau Middle East yang berangkat dari Tradisi Agama Islam atau kepercayaan seperti Hindu, Budha, Tao, dan sebagainya. Perlu ditelaah lebih intens dan mendalam. Dalam konteks ke-indonesiaan sendiri kajiankajian menyangkut komunikasi spiritual atau transendental misalnya bisa lebih dikembangkan yang berangkat dari tradisi Islam. Atau kajian-kajian ilmu komunikasi bisa dilihat dalam perspektif yang berbeda. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa kajian komunikasi) dalam tradisi Barat (Amerika dan Eropa) tidak dapat dilepaskan dari pandangan Judeo Cristian yang berakar dari tradisi Yunani dan Romawi.
IMPLIKASI PENELITIAN Indonesia sebagai negara yang terdiri dari beragam budaya dengan keunikannya masing-masing merupakan sumber pengetahuan yang perlu digali. Orientasi pada konteks lokal, konteks ke-timuran pada umumnya atau konteks ke- Indonesiaan pada khususnya membuka ruang kosong dalam pemanfaatan metode penelitian kualitatif. Meminjam pemikiran Jensen (dalam Deddy Mulyana, 2010) bahwa memasuki milenium baru (abad ke-21), erosi pola-pola sosial tradisional dan perkembangan komunikasi massa sebagai sumber primer kohesi sosial di banyak kawasan dunia merupakan gejala yang semakin pesat. Hal ini menuntut pencarian akan teori-teori dan metode-metode baru yang lebih kontekstual untuk memahami kompleksitas sosial dan budaya serta perubahannya. Tak banyak kontribusi kita bagi pengembangan penelitian komunikasi jika kita hanya menggunakan pendekatan objektif yang sebenarnya lebih cocok untuk masyarakat Barat (budaya Eurosentrik yang mengasumsikan bahwa yang nyata itu real, dan realitas komunikasi dapat dipecah-pecah atau direduksi menjadi satuan-satuan yang diatur oleh hukum-hukum bersifat tetap). Selain itu pendekatan objektifjuga diragukan daya eksplanatori untuk meneliti isu-isu penting yang dihadapi masyarakat kita. Lewat pendekatan yang bersifat induktif ini kita dapat mengembangkan berbagai teori dan perspektif dalam pengembangan keilmuan dalam tradisi ke- Timuran.
Penutup Jika ilmu komunikasi ingin maju dan berkembang secara kreatif di masa depan, maka kita wajib melakukan reformasi cara berpikir yang tidak terlalu me dewa kan grand theory dari Barat, dan berusaha secara kritis dan kreatif menghasilkan teori baru yang bersumber dari masyarakat Indonesia sendiri dengan wawasan keindonesiaan (Indonesiasentris) dan melepaskan pandangan Eropasentris atau Amerikasentris DAFTAR PUSTAKA Chu, Godwin, In Search of an Asian Perspective of Communication in Wimal Dissanayake (ed.), Communication Theory: the Asian Perspective, Singapore: AMIC, 1988. Dissanayake, Wimal, The Need for Asian Approaches to Communication in Wimal Dissanayake (ed.), Communication Theory: the Asian Perspective, Singapore: AMIC, 1988. Fisher, B. Aubrey. Teori-teori Komunikasi. Penerj. Soejono Trimo. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986 Hamijoyo, Santoso S. 2000. Landasan Ilmiah Komunikasi: Suatu Pengantar. Mediator vol 1 nomor 1 2000 Littlejohn Stephen W. & Karen A. Foss. 2005. Theories of Human Communication. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company. Mohd Rafiq. 2003. Tantangan dan peluang komunikasi Islam pada era globalisasi informasi. Analytica Islamica. Vol 5 no 2. Rakhmat, Jalaluddin. Penelitian Komunikasi Antarbudaya: Apa dan Bagaimana. Dalam Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, ed. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: Rosda.
Tucker, Raymond K, Richard L. Weaver II, dan Cynthia Berryman-Fink. 1981. Research in speech communication. Englewood Cliifs, NJ: Prentice-Hall.