BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bullying merupakan suatu fenomena yang banyak terjadi di kalangan remaja. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), bullying menduduki peringkat teratas pengaduan masyarakat, yakni sejumlah 369 pengaduan yang tercatat mulai dari tahun 2011 hingga Agustus 2014 (www.kpai.go.id, 2014). Berdasarkan pelaksanaan survei mengenai gambaran bullying di sekolah, tercatat lima kasus kekerasan pelajar di Kota Yogyakarta yang ditangani pihak kepolisian dimulai dari awal tahun 2013 hingga bulan Mei 2013 (www.republika.co.id, 2013). Yogyakarta menempati posisi tertinggi dibandingkan Jakarta dan Surabaya (radioedukasi.kemdikbud.go.id, 2013). Perilaku bullying di sekolah, khususnya di Kota Yogyakarta, masih terjadi hingga tahun 2015 ini, seperti misalnya di SMA Negeri X Yogyakarta. Hal ini terungkap berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap salah seorang guru Bimbingan dan Konseling di sekolah tersebut pada hari Kamis, 02 April 2015. Perilaku bullying yang terjadi di sekolah diketahui berdasarkan laporan siswa kepada guru bagian Bimbingan dan Konseling. Tindakan bullying ini dilakukan oleh oknum kakak kelas terhadap adik kelas ataupun teman satu angkatan terhadap teman satu angkatan yang lain. Bullying yang dilakukan pun berupa tindakan bullying verbal ataupun nonverbal. SMA Negeri X Yogyakarta merupakan salah satu sekolah yang mengirimkan beberapa orang siswanya dalam kegiatan Jembatan Persahabatan yang diadakan oleh Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta pada tahun 2012 dan 2013. Jembatan Persahabatan merupakan suatu kegiatan pembinaan yang diadakan oleh Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta bagi perwakilan siswa dari berbagai sekolah menengah atas negeri ataupun 1
2 swasta di Kota Yogyakarta. Perwakilan siswa yang dikirim untuk mengikuti pembinaan tersebut ialah para siswa yang memiliki catatan-catatan khusus, dalam hal ini ialah catatan negatif. Kegiatan tersebut merupakan upaya yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta untuk meningkatkan motivasi dan kecakapan hidup para siswa agar dapat berperilaku lebih baik lagi serta bertujuan untuk menjalin komunikasi yang baik di antara sekolah menengah atas di Kota Yogyakarta, baik negeri ataupun swasta. Bullying merupakan hal yang biasa terjadi di banyak sekolah (Baron & Byrne, 2005). Banyaknya fenomena dan kompleksnya kasus bullying yang terjadi membuat Indonesia masuk dalam kategori darurat bullying di sekolah (www.republika.co.id, 2014). Bullying merupakan suatu penyalahgunaan kekuatan secara sistematis dalam hubungan interpersonal (Rigby, 2008). Bullying dilakukan oleh seseorang yang lebih kuat terhadap orang lain yang lebih lemah ataupun kakak kelas terhadap adik kelas dan dilakukan berulang kali (Olweus, 2005). Tindakan bullying dapat dilakukan secara individual ataupun berkelompok. Bullying tidak hanya memberi dampak negatif pada korban, tetapi juga pada pelaku (Abdullah, 2013). Perilaku agresif apabila tidak dihentikan akan dapat berkembang menjadi suatu tindakan kriminal. Penelitian dari Olweus menyatakan bahwa 60% anak laki-laki yang melakukan bullying mulai dari kelas VI hingga IX mendapatkan hukuman atas perlakuan kriminal setidaknya sekali pada waktu mereka dewasa dibandingkan dengan 23% anak laki-laki yang tidak melakukan tindakan bullying. Selanjutnya, 35 40% pelaku bullying mengalami tiga atau lebih hukuman sebelum mereka berusia 34 tahun dibandingkan dengan 10% anak laki-laki yang tidak melakukan bullying (California Department of Education, 2003). Bullying dilakukan oleh remaja laki-laki ataupun perempuan. Hasil penelitian yang dilakukan di SMK negeri dan swasta di Kota Gorontalo menunjukkan bahwa 66% remaja
3 laki-laki dan 86% remaja perempuan merupakan pelaku langsung bullying (Karina, Hastuti, & Alfiasari, 2013). Secara umum, siswa laki-laki lebih banyak melakukan bullying fisik, sementara siswa perempuan cenderung melakukan tindakan berupa bullying verbal. Bullying merupakan perilaku agresif yang serius. Fenomena bullying yang terjadi pada saat ini dapat diibaratkan seperti melihat gunung es, dengan kata lain kasus-kasus yang tidak terlaporkan jauh lebih banyak daripada pengaduan atas kasus perilaku bullying tersebut. Bullying yang terjadi pada remaja, khususnya di sekolah, apabila dibiarkan saja dan tidak ditangani dengan baik dan tuntas sampai ke akar-akarnya akan menjadi suatu hal yang dianggap biasa. Hal ini dapat berdampak buruk pada perkembangan remaja, terutama karena masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Batasan masa remaja menurut Santrock (2002a) dimulai ketika usia remaja berada pada rentang akhir masa anak-anak (10 12 tahun) hingga usia 18 22 tahun. Santrock (2002b) menjelaskan bahwa remaja banyak mengalami perubahan, yaitu perubahan secara fisik, kognitif, sampai dengan sosio-emosional. Berbagai perubahan yang dialami oleh remaja tersebut membuat masa remaja menjadi suatu masa yang penuh dinamika. Salah satu dinamika yang terjadi pada usia remaja ialah kemungkinan keterlibatannya dalam perilaku bullying. Keterlibatan remaja dalam berbagai perilaku bullying merupakan salah satu bagian dari dinamika perkembangan remaja. Remaja tumbuh dan berkembang dalam berbagai lingkungan, salah satunya lingkungan sekolah. Pada saat remaja berada di sekolah, mereka akan berinteraksi dengan guru, karyawan, kakak kelas, adik kelas, dan teman satu angkatan (terutama teman sekalas). Proses interaksi ini dilakukan dalam rangka penyesuaian diri seorang remaja dengan lingkungan sekolahnya. Salah satu cara penyesuaian diri yang paling mudah dilakukan ialah dengan mengikuti peraturan yang ada di lingkungan sekolah tersebut agar dapat diterima sebagai bagian dari kelompok.
4 Seseorang yang mengikuti segala nilai, norma, dan peraturan yang berlaku di lingkungan tempat ia tinggal, walaupun sesuai dengan nilai pribadi yang dianut ataupun tidak, dapat disebut dengan tindakan konformitas. Baron & Byrne (2005) menjelaskan bahwa konformitas merupakan suatu jenis pengaruh sosial yang mana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada. Hal demikian terjadi pula pada remaja. Menginjak usia remaja, konformitas yang sering terjadi pada remaja ialah konformitas terhadap teman sebaya. Teman sebaya dapat memberikan pengaruh yang kuat bagi remaja. Akan tetapi, tidak semua teman sebaya dapat memberikan pengaruh baik pada seorang remaja. Kelompok teman sebaya dapat pula memberikan pengaruh buruk bagi remaja. Santrock (2002b) menjelaskan bahwa pada umumnya remaja terlibat dalam semua bentuk konformitas negatif. Teman sebaya dapat memberi pengaruh terhadap intensi perilaku bullying (Ballerina, 2015). Teman sebaya memiliki peranan yang lebih kuat terhadap remaja dibadingkan dengan faktor keluarga dan karakteristik remaja itu sendiri (Karina, Hastuti, & Alfiasari, 2013). Penelitian Septiyuni (2014) menyatakan bahwa teman sebaya berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap perilaku bullying siswa di SMA negeri di Kota Bandung. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pengaruh kelompok teman sebaya, semakin tinggi pula kecenderungan perilaku bullying siswa. Pengaruh yang diberikan oleh kelompok teman sebaya dapat bersifat positif ataupun negatif. Penelitian Usman (2013) menyatakan bahwa semakin besar peran kelompok teman sebaya untuk mengajak temannya dalam menerapkan norma-norma positif yang ada dalam masyarakat, semakin rendah pula perilaku bullying yang terjadi pada siswa SMA di Kota Gorontalo. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok teman sebaya yang dapat memberikan pengaruh positif tersebut dapat menurunkan intensi perilaku bullying pada siswa.
5 Seseorang memiliki kebutuhan untuk diterima menjadi bagian dalam suatu kelompok dan juga memiliki ketakutan atas penolakan dari lingkungan sekitar. Hal ini dapat mendorong terjadinya perilaku bullying di kalangan remaja, meskipun remaja tersebut tidak setuju dengan adanya tindakan bullying. Konformitas juga dapat membantu mengurangi terjadinya bullying apabila figur otoritas, populer, atau signifikan memiliki sikap negatif terhadap bullying. Hal ini akan membuat anggota di sekitarnya turut bersikap negatif terhadap bullying. Dengan demikian, konformitas dapat dimanfaatkan juga untuk mengatasi bullying (Levianti, 2008). Berdasarkan beberapa pemaparan mengenai konformitas tersebut, dapat dilihat bahwa teman sebaya merupakan agen sosialisasi yang memiliki hubungan paling dekat dengan remaja. Hubungan remaja yang dekat dengan teman sebayanya tersebut membuat teman sebaya memiliki pengaruh kuat bagi seorang remaja. Pengaruh yang diberikan oleh teman sebaya dapat berupa pengaruh positif ataupun negatif. Pengaruh positif dari teman sebaya tidak akan menjadi masalah yang berarti bagi perkembangan remaja. Sebaliknya, pengaruh negatif dari teman sebaya dapat berdampak buruk bagi perkembangan remaja. Kecenderungan remaja untuk melakukan konformitas terhadap teman sebayanya merupakan suatu hal yang wajar. Pada dasarnya, semua orang memiliki kebutuhan untuk bersosialisasi dan berteman dengan orang lain. Selain itu, setiap orang juga memiliki kebutuhan untuk dapat diterima oleh orang lain ataupun kelompok. Oleh karena itu, pada saat seorang remaja melihat adanya perilaku negatif yang dilakukan oleh temannya, seperti misalnya bullying, hal tersebut dapat membuatnya menjadi tertarik juga untuk melakukan hal yang serupa. Faktor lain yang mempengaruhi perilaku bullying adalah rendahnya empati yang dimiliki oleh remaja tersebut terhadap rasa sakit yang diderita oleh korban bullying. Hal ini diperkuat oleh Rachman (2014) yang menyatakan bahwa pelaku bullying memiliki
6 kekurangan dalam kemampuan empati, yaitu kurang mampu menghargai konsekuensi emosional dari perilaku mereka terhadap perasaan orang lain dan kurang mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Remaja dengan kemampuan berempati yang tinggi akan memiliki kecenderungan perilaku bullying yang rendah, sebaliknya remaja yang dengan kemampuan berempati yang rendah akan memiliki kecenderungan untuk berperilaku bullying yang tinggi (Wahyuni, 2010). Semakin tinggi empati yang dimiliki oleh seseorang, kecenderungan untuk menjadi pelaku bullying semakin rendah (Karina, Hastuti, & Alfiasari, 2013). Rendahnya empati berhubungan dengan tindak kekerasan pada remaja laki-laki dan bullying tidak langsung pada remaja perempuan (Jolliffe & Farrington, 2006). Semakin tinggi tingkat afek moral (rasa bersalah, malu, simpati, dan empati) berasosiasi terhadap tindakan prososial dan perilaku selama bullying (Laible, Eye, & Carlo, 2008). Secara alami, perkembangan empati pada anak sekolah akan mencegah peningkatan kecenderungan perilaku kekerasan dan bullying pada teman sebaya di sekolah (Ozkan & Cifci, 2009). Kurangnya kepekaan yang dimiliki oleh seorang remaja terhadap rasa sakit yang dimiliki oleh orang lain dapat membuat remaja tersebut bertindak sesuai dengan keinginnya sendiri terhadap orang lain. Pada usia remaja, khususnya remaja sekolah menengah atas yang usianya berkisar antara 15 sampai dengan 18 tahun, seharusnya mereka sudah mulai belajar untuk memahami rasa sakit yang dialami oleh orang lain. Akan tetapi, tidak semua remaja dapat mengembangkan sifat empati dengan baik. Kurangnya kemampuan remaja dalam mengembangkan sikap empati dapat membuat remaja terlibat dalam perilaku bullying. Pelaku bullying kemungkinan kurang mampu merasakan rasa sakit yang dialami oleh korban bullying. Berdasarkan uraian permasalahan yang telah dijelaskan, peneliti ingin mengetahui bagaimana peran konformitas teman sebaya dan empati dengan perilaku bullying di
7 kalangan remaja. Agar penelitian yang dilakukan ini lebih jelas dan terarah, perumusan masalah dalam penelitian ini ialah bagaimana peran konformitas teman sebaya dan empati dengan perilaku bullying di kalangan remaja? B. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai peneliti dalam penelitian ini untuk mengetahui peran konformitas dan empati dengan perilaku bullying di kalangan remaja. C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi mengenai peran konformitas teman sebaya dan empati dengan perilaku bullying di kalangan remaja.