BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan memiliki peran dan berpengaruh positif terhadap segala bidang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. adalah warisan intelektual manusia yang telah sampai kepada kita (Ataha,

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memiliki peran dan berpengaruh positif terhadap segala bidang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam suatu bangsa. Pendidikan harus

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan bagi sebagian besar orang, berarti berusaha membimbing anak untuk menyerupai orang dewasa.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran yang sangat penting dalam rangka meningkatkan serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan secara historis telah menjadi landasan moral dan etik dalam

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan berperan untuk membentuk manusia yang berkualitas, dan berguna untuk kemajuan hidup bangsa.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan teori-teori sains semata, siswa kurang dilatih untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Penyelenggaraan. pendidikan diharapkan mampu mencetak manusia yang berkualitas yang

BAB I PENDAHULUAN. melahirkan lulusan yang cakap dalam fisika dan dapat menumbuhkan kemampuan logis,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kompetensi yang diharapkan. Karena hal itu merupakan cerminan dari kemampuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi seperti sekarang ini, segala sesuatu berkembang secara pesat dan sangat cepat.

BAB I PENDAHULUAN. maka dari itu perlu dilakukan peningkatan mutu pendidikan. Negara Kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sains pada hakekatnya dapat dipandang sebagai produk dan sebagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Suryosubroto, 2009:2).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendidikan, manusia dapat mengembangkan diri untuk menghadapi tantangan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana tercantum di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peny Husna Handayani, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Di era-globalisasi saat ini kita dituntut untuk siap dalam bersaing dalam segala hal khusunya dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Saat ini pembangunan bidang pendidikan merupakan bagian yang sangat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menduduki posisi sentral dalam pembangunan. Kualitas sumber

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu upaya untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yuanita, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terencana dan secara sistematis ) diberikan kepada peserta didik oleh pendidik

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sendiri maupun lingkungannya. Menurut Undang undang No. 20 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan perbaikan mutu pendidikan agar mencapai tujuan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan sangat penting dalam kehidupan karena

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman globalisasi saat ini pengetahuan dan teknologi mengalami

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ivo Aulia Putri Yatni, 2013

I. PENDAHULUAN. Sistem Pendidikan Nasional diatur dalam pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan berperan serta dalam proses pembentukan karakter bangsa

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. kebutuhan yang paling mendasar. Dengan pendidikan manusia dapat mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lebih besar, karena kedudukannya sebagai orang yang lebih dewasa, lebih

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat (1): Pendidikan adalah usaha sadar dan. akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan kurikulum

BAB I PENDAHULUAN. perubahan budaya kehidupan. Pendidikan yang dapat mendukung pembangunan di masa

PENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI METODE INKUIRI MATA PELAJARAN PKn KELAS IV SD NEGERI KOTA TEBING TINGGI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia dimana kualitas sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembelajaran dalam mencapai tujuan pendidikan telah diatur

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Arus kemajuan zaman yang ditandai dengan semakin pesatnya ilmu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. satu usaha yang dilakukan agar peran pendidikan dapat tercapai, maka kita. sebagai Warga Negara Indonesia harus berusaha belajar.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti dan tidak disukai siswa. Kecenderungan ini biasanya berawal dari

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan potensi ilmiah yang ada pada diri manusia secara. terjadi. Dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,

I. PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan suatu bangsa guna

BAB I PENDAHULUAN. hal tersebut, pembangunan nasional dalam bidang pendidikan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kemajuan suatu negara ditentukan oleh Sumber Daya Manusia (SDM)

BAB I PENDAHULUAN. cerdas sehingga dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lainya. Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era globalisasai saat ini suatu bangsa dituntut bersaing dan selalu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia agar dapat mengembangkan potensi dirinya, antara lain melalui proses

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan sebagaimana dirumuskan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat menuntut

BAB I PENDAHULUAN. bangsa dan merupakan suatu kunci pokok untuk mencapai cita-cita suatu bangsa.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Danty (2002:21) menyatakan Manusia yang berkualitas berarti manusia yang

dapat dikatakan berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling berhubungan erat satu sama lain. Menurut Susanto (2013: 4) Belajar adalah suatu aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun. maju dan sejahtera apabila bangsa tersebut cerdas.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan. membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. daya pendidik dan peserta didik. Usaha peningkatan mutu pendidikan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan kebutuhan pribadi dan masyarakat. Sesuai dengan UU Republik

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan pondasi utama dalam mengelola, mencetak dan. daya manusia yang handal dan berwawasan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan generasi emas, yaitu generasi yang kreatif, inovatif, produktif,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memiliki peran dan berpengaruh positif terhadap segala bidang kehidupan dan perkembangan manusia. Pendidikan yang ideal hakikatnya selalu bersifat antisipatif dan prepatoristik, yakni selalu mengacu ke masa depan, dan selalu mempersiapkan generasi muda untuk kehidupan masa depan yang jauh lebih baik, bermutu, dan bermakna (Lasmawan W, 2015). Pengaruh pendidikan dapat dilihat dan dirasakan secara langsung dalam perkembangan kehidupan masyarakat, kehidupan kelompok, dan kehidupan setiap individu. Besarnya pengaruh pendidikan dalam kehidupan ditentukan oleh kualitas pendidikan itu sendiri (Ataha. 2013:12). Adapun fungsi dan tujuan pendidikan nasional, mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakan kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Anggela, 2013). Fisika sebagai salah bagian dari sains dimasukkan dalam kurikulum pelajaran di Indonesia mulai dari tingkat dasar sampai menengah. Tujuan pembelajaran fisika adalah terbentuknya kemampuan bernalar pada siswa yang tercermin melalui kemampuan berfikir logis, sistematis dan mempunyai sifat objektif, jujur, disiplin dalam memecahkan suatu permasalahan (Neizhela, 2015). Fisika sebagai penyusun sains adalah wahana atau sarana untuk melatih para siswa 1

2 agar dapat menguasai pengetahuan, konsep dan prinsip fisika, memiliki kecakapan ilmiah, memiliki keterampilan proses sains serta keterampilan berpikir kritis dan kreatif. Siswa yang memperoleh pembelajaran fisika diharapkan nantinya akan memiliki sikap ilmiah sebagai komponen afektif, pengetahuan/wawasan sains sebagai komponen kognitif serta memiliki keterampilan proses sains sebagai komponen psikomotorik. Gage (dalam Wartono, 2003) mengungkapkan bahwa dalam mengembangkan keterampilan proses sains anak harus dibuat kreatif, ia akan mampu mempelajari IPA ditingkat yang lebih tinggi dalam waktu yang singkat. Proses pembelajaran tidak terlepas dari peran guru, tetapi guru hanya berperan sebagai fasilitator dan bukan satu satunya sumber informasi bagi siswa. Sebaliknya siswa sebagai subyek proses pembelajaran diberi keleluasaan yang sangat luas untuk menentukan pencapaian kompetensi yang harus ia raih. Siswa juga yang harus lebih aktif menyampaikan ide, mencari solusi atas masalah yang dihadapi dan menentukan langkah-langkah berikutnya sehingga pengetahuan itu dapat bermakna dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran fisika siswa harus dimberikan kesempatan untuk lebih aktif. Penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran aktif meningkatkan pemahaman dan penyimpanan informasi, dan bahwa hal itu efektif untuk mengembangkan keterampilan kognitif tingkat tinggi (Konopka, 2015). Siswa perlu diberikan kesempatan dalam berperan memecahkan masalah seperti yang dilakukan para ilmuan, agar mereka mampu memahami konsepkonsep dalam bahasa mereka sendiri (Winataputra, 1993:62). Bruner (dalam Dahar: 1991:41) berpendapat bahwa selama kegiatan belajar berlangsung

3 hendaknya siswa dibiarkan mencari atau menemukan sendiri makna segala sesuatu yang dipelajari. Jika pembelajaran yang berpusat kepada siswa terus diterapkan dengan baik dan dikembangkan dalam pembelajaran fisika, maka bukan hanya kognitif siswa yang akan berkembang tetapi juga sikap dan psikomotorik mereka juga akan mengalami peningkatan. Mata pelajaran fisika merupakan salah satu yang diujikan dalam ujian nasional di tingkat sekolah menengah atas. Mata pelajaran fisika yang masuk dalam ujian nasional membuat sebagian guru menggunakan metode konvensional atau ceramah tanpa memberikan pengalaman eksperimental (Santoso, 2015). Pada kenyataannya dalam proses pembelajaran guru mengajarkan konsep melalui kegiatan yang kurang berpusat pada siswa. Siswa tidak dilibatkan secara aktif sehingga kurang memberikan kesempatan untuk mengembangkan proses berpikirnya. Hal tersebut juga merupakan salah satu yang menyebabkan isi pembelajaran fisika dianggap sebagai hapalan, siswa dapat menyatakan konsep di luar kepala tetapi tidak mampu memaknai maknanya. Siswa yang belajar dengan hafalan tingkat kebermaknaannya akan relatif rendah (Dahar, 1991:111). Model pembelajaran yang digunakan selama ini cenderung model pembelajaran Direct Instruction dengan metode yang digunakan guru tanya jawab dan ceramah. Didalam model ini, menghafal hukum atau rumus tertentu merupakan contoh pengetahuan deklaratif sederhana (Trianto, 2005: 120). Selain itu pemanfaatan Laboratorium yang belum maksimal dikarenakan guru yang bersangkutan tidak mau direpotkan dengan tugas tugas tambahan, sehingga siswa hanya dapat membaca dan melihat hasil dari suatu percobaan tanpa menyaksikan

4 proses, dengan demikian siswa menganggap bahwa fisika itu kurang menarik dan membosankan Selama proses pembelajaran, guru jarang mengajak siswa melakukan pengamatan atau praktikum untuk materi yang sedang dipelajari secara nyata. Sebagai gantinya guru melakukan demonstrasi di depan kelas. Demonstrasi dilakukan karena guru memiliki pertimbangan bahwa kegiatan demonstrasi tidak menghabiskan waktu yang banyak dan dapat menyelesaikan materi dengan cepat. Penerapan pembelajaran seperti ini akan mengakibatkan siswa kurang mampu melakukan praktikum, sehingga kemampuan siswa seperti melakukan pengamatan, merumuskan hipotesis, menggunakan alat, mengumpulkan data, mengidentifikasi variabel, membuat kesimpulan dan kegiatan lain yang dapat mengembangkan keterampilan proses ilmiah yang ada pada diri siswa tidak tampak. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan di SMAN 3 Gunungsitoli, Kota Gunungsitoli kepada salah satu guru Fisika, mengungkapkan bahwa hasil belajar siswa yang dicapai di kelas X tergolong rendah. Selain itu pemahaman fisika dan pengetahuan ilmiah siswa juga rendah sehingga menyebabkan siswa kesulitan dalam mengerjakan persoalan fisika yang membutuhkan penyelesaian secara analisis dan matematis. Oleh karena itu seorang guru harus mampu membuat variasi model model pembelajaran yang menarik dan menyenangkan agar dapat menciptakan suasana dan kondisi kelas lebih hidup (aktif) agar proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

5 Kemampuan Fisika siswa akan lebih berhasil jika diterapkan model pembelajaran sesuai yang dapat membuat siswa mencari, menemukan dan memahami Fisika itu sendiri sehingga siswa dapat membangun konsep-konsep Fisika atas dasar nalarnya sendiri yang kemudian dikembangkan atau mungkin diperbaiki oleh guru yang mengajar. Salah satu usaha yang dilakukan peneliti untuk meningkatkan hasil belajar siswa adalah model Inquiry salah satunya adalah dengan menggunakan model Inquiry Training. Model pembelajaran Inquiry Training dirancang untuk membawa siswa secara langsung ke dalam proses ilmiah melalui latihan-latihan yang dapat memadatkan proses ilmiah tersebut ke dalam periode waktu yang singkat. Tujuannya adalah membantu siswa mengembangkan disiplin dan mengembangkan keterampilan intelektual yang diperlukan untuk mengajukan pertanyaan dan menemukan jawabannya berdasarkan rasa ingin tahunya (Joyce, 2009: 201). Beberapa penelitian telah menunjukkan dampak positif dari implementasi Inquiry Training dalam pembelajaran, yakni hasil penelitian Vaishnav (2013) menyimpulkan bahwa Pengembangan model Inquiry Training pada mata pelajaran IPA untuk siswa kelas VI telah terbukti efektif dalam hal prestasi siswa dibandingkan dengan metode konvensional. Model Inquiry Training berpengaruh signifikan terhadap perkembangan kognitif, afektif siswa & tingkat pembelajaran. Penelitian Kazempour (2013) menyimpulkan bahwa inquiry has effects on student s critical thinking and the social creative's perspective. Ostlund (dalam Ergul, 2011) menyatakan Science process skills (SPS) are building-blocks of critical thinking and inquiry in science. Akpullukçu (2011) menyimpulkan bahwa

6 using inquiry-based learning environment in different disciplines can be provided. Thompson (2011) menyimpulkan bahwa para siswa lebih mungkin untuk menghargai dan mengembangkan karakteristik dari pemikir kritis yang diperlengkapi untuk berfungsi dan berperan dalam pengembangan masyarakat global yang dinamis. Njoroge, dkk (2014) menyimpulkan bahwa hasil penelitian menunjukan bahwa dengan pembelajaran inkuiri berbasis pendekatan mengakibatkan nilai siswa dalam prestasi fisika lebih tinggi. Penelitian ini merekomendasikan lembaga pelatihan guru di Institut Kenya harus memberlakukan pendekatan ini agar fisika disukai oleh siswa di sekolah menengah Kenya Melalui model pembelajaran ini siswa diharapkan aktif mengajukan pertanyaan mengapa sesuatu terjadi kemudian mencari dan mengumpulkan serta memproses data secara logis untuk selanjutnya mengembangkan strategi intelektual yang dapat digunakan untuk dapat menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut. Model pembelajaran Inquiry Training dimulai dengan menyajikan peristiwa yang mengandung teka-teki kepada siswa. Ishler (dalam Suparno, 2007) lebih menjelaskan inquiry sebagai model pembelajaran yang melibatkan keterampilan berpikir kritis peserta didik untuk menganalisis dan memecahkan persoalan secara sistematik. Keterampilan berpikir kritis mempunyai pengaruh pada keberhasilan pelaksanaan model pembelajaran inkuiri. Berpikir kritis merupakan keharusan dalam usaha pemecahan masalah, pembuatan keputusan, sebagai pendekatan, menganalisis asumsi-asumsi dan penemuan-penemuan keilmuan. Berpikir kritis diterapkan siswa untuk belajar memecahkan masalah secara sistematis dalam menghadapi tantangan,

7 memecahkan masalah secara inovatif dan mendesain solusi yang mendasar. Proses berpikir kritis hanya dapat muncul kalau ada keterbukaan pikiran, kerendahan hati dan kesabaran. Kemampuan ini membantu seseorang memahami sepenuhnya suatu kejadian. Berpikir kritis tetap menjaga keterbukaan pikiran selama dia mencari untuk mendapatkan alasan, bukti dan kebenaran logika. (Sanjaya 2009:4) Penerapan proses belajar mengajar di Indonesia kurang mendorong pada pencapaian kemampuan berpikir kritis. Proses pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan siswa untuk menghapal informasi. Padahal keterampilan berpikir kritis merupakan salah satu modal dasar atau modal intelektual yang sangat penting bagi setiapa orang dan merupakan bagian yang fundamental dari kematangan manusia. Oleh karena itu pengembangan keterampilan berpikir kritis menjadi sangat penting bagi siswa disetiap jenjang pendidikan. Dua faktor penyebab tidak berkembangnya kemampuan berpikir kritis selama ini adalah kurikulum yang umumnya dirancang dengan target materi yang luas sehingga pengajar lebih terfokus pada penyelesaian materi dan kurangnya pemahaman mengajar tentang metode pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Permasalahan lainnya yang ditemukan adalah rendahnya keterampilan berpikir kritis siswa yang terlihat dari kualitas pertanyaan dan jawaban siswa pada saat proses pembelajaran berlangsung. (Sanjaya, 2009: 1) Model pembelajaran inquiry training merupakan rangkaian kegitan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analisis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses berpikir ini dilakukan mengenai tanya jawab antara guru

8 dan siswa. Inti sari dari pembelajaran inquiry adalah memberi pembelajaran siswa untuk menangani permasalahan yang mereka hadapi ketika berhadapan dengan dunia nyata. Pada pembelajaran inquiri guru harus merencanakan situasi sedemikian rupa, sehingga siswa bekerja seperti seorang peneliti dengan menggunakan prosedur mengenali permaslahan, menjawab pertanyaan, investigasi dan menyiapkan kerangka berpikir, hipotesis dan penjelasan yang kompatibel dengan pengalaman pada dunia nyata. (Sanjaya, 2009:131). Model pembelajaran Inquiry Training akan meningkatkan pemahaman ilmu pengetahuan, produktivitas dalam berpikir kreatif, dan keterampilan-keterampilan dalam memperoleh dan menganalisis informasi, tetapi latihan ini seefisien metode pengulangan dan pengajaran yang dibarengi dengan pengalaman-pengalaman laboratorium, (Joyce, 2011: 13). Pengetahuan ilmiah merupakan sebagai alat bagi manusia dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Pemecahan tersebut pada dasarnya adalah dengan meramalkan dan mengontrol gejala alam. Dengan ilmu manusia memanipulasi dan menguasai alam. Dengan mempelajari alam manusia dapat mengembangkan pengetahuan. Pengetahuan berkembang melalui pengalaman dan rasionalisme yang didukung oleh metode mencoba. (Suriasumantri. 1990 :105-106). Dalam model pembelajaran inquiry training siswa dilatih agar terampil dalam memperoleh dan mengolah informasi melalui aktivitas berpikir dengan mengikuti prosedur (metode) ilmiah, seperti, terampil melakukan pengamatan, pengukuran, pengklasifikasian, penarikan kesimpulan dan pengkomunikasian hasil temuan. Siswa diarahkan untuk mengembangkan

9 keterampilan proses sains yang dimilikinya dalam memproses dan menemukan sendiri pengetahuan tersebut. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Model Pembelajaran Inquiry Training dan Keterampilan Berfikir Kritis Terhadap Pengetahuan Ilmiah Siswa Kelas X 1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat diidentifikasikan masalah yang relevan dengan penelitian ini adalah : 1. Pengetahuan Ilmiah siswa masih rendah, hal ini dapat dilihat dari rendahnya hasil belajar fisika siswa. 2. Siswa kurang tertarik pada pelajaran fisika 3. Model pembelajaran yang digunakan oleh guru lebih banyak yang menggunakan pembelajaran Direct Instruction. 4. Penggunaan model pembelajaran fisika yang digunakan belum dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa. 1.3. Batasan Masalah Untuk menghindari penafsiran yang berbeda-beda dalam penelitian ini dan mengingat keterbatasan kemampuan, materi dan waktu yang tersedia, maka yang menjadi batasan masalah dalam penelitian ini yakni: 1. Model pembelajaran yang digunakan adalah model pembelajaran Inquiry Training dan pembelajaran Direct Instruction. 2. Variebel moderator dalam penelitian ini adalah keterampilan berpikir kritis 3. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah Pengetahuan Ilmiah

10 1.4. Rumusan Masalah Rumusan masalah ini dijabarkan menjadi pertanyaan - pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Apakah pengetahuan ilmiah siswa dengan model pembelajaran inquiry training lebih baik dari pada model pembelajaran Direct Instruction? 2. Apakah pengetahuan ilmiah siswa yang memiliki keterampilan berpikir kritis diatas rata-rata lebih baik dari siswa yang memiliki keterampilan berpikir kritis dibawah rata-rata? 3. Apakah ada interaksi antara model pembelajaran dengan keterampilan berpikir kritis siswa dalam meningkatkan pengetahuan ilmiah siswa? 1.5. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menganalisis pengetahuan ilmiah siswa dengan model pembelajaran inquiry training lebih baik dari pada model pembelajaran Direct Instruction. 2. Menganalisis pengetahuan ilmiah siswa yang memiliki keterampilan berpikir kritis diatas rata-rata lebih baik dari siswa yang memiliki keterampilan berpikir kritis dibawah rata-rata. 3. Menganalisis interaksi antara model pembelajaran dengan keterampilan berpikir kritis siswa dalam meningkatkan pengetahuan ilmiah siswa.

11 1.6. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam bentuk model pembelajaran yang dapat digunakan guru, sehingga siswa dapat mengembangkan aspek kemampuan dasar yang mencakup aspek kognitif, afektif dan pengetahuan ilmiah siswa. 2. Model pembelajaran ini dapat menjadi pertimbangan bagi guru-guru Fisika dalam upaya perbaikan proses pembelajaran, karena model ini mengutamakan pembelajaran yang berpusat pada siswa, sebagai upaya meningkatkan pengetahuan ilmiah siswa. 3. Bagi siswa diharapkan dengan model pembelajaran inquiry training ini dapat memperoleh pengalaman dalam pembelajaran 1.7. Definisi Operasional Untuk memperjelas variabel-variabel, agar tidak menimbulkan perbedaan penafsiran terhadap rumusan masalah dalam penelitian ini, berikut diberikan definisi operasional: 1. Model pembelajaran Inquiry Training dirancang untuk membawa siswa secara langsung ke dalam proses ilmiah melalui latihan-latihan yang dapat memadatkan proses ilmiah tersebut ke dalam periode waktu yang singkat. Tujuannya adalah membantu siswa mengembangkan disiplin dan mengembangkan keterampilan intelektual yang diperlukan untuk mengajukan pertanyaan dan menemukan jawabannya berdasarkan rasa ingin tahunya.

12 2. Berpikir kritis adalah mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan, dan mengevaluasi. 3. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh dan dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah atau dengan menggunakan cara kerja atau metode ilmiah (Aziz, 2009). Pengetahuan ilmiah juga merupakan sebagai alat bagi manusia dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Pemecahan tersebut pada dasarnya adalah dengan meramalkan dan mengontrol gejala alam. Dengan ilmu manusia memanipulasi dan menguasai alam. Dengan mempelajari alam manusia dapat mengembangkan pengetahuan. Pengetahuan berkembang melalui pengalaman dan rasionalisme yang didukung oleh metode mencoba.