I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Gajah Sumatera merupakan salah satu mamalia besar yang ada di Sumatera dan merupakan satwa yang dilindungi secara nasional maupun internasional. Berdasarkan Redlist yang dikeluarkan oleh IUCN pada tahun 2011, gajah Sumatera kini sudah berstatus kritis (Critically Endangered) yang selangkah lagi akan mencapai tahap punah di alam (Gopala et al., 2011). Pada tingkat nasional, gajah Sumatera telah menjadi salah satu satwa yang dilindungi berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 dan PP No. 7 tahun 1999. Gajah Sumatera terus mengalami penurunan jumlah populasi dari waktu ke waktu (Wahyudi 2016). Faktor-faktor yang paling mengancam keberadaan gajah adalah hilangnya habitat, perburuan dan konflik dengan manusia (Sitompul, 2011). Hutan sebagai habitat dari gajah terus berkurang, pulau Sumatera telah kehilangan 65 sampai 85% luas hutannya (Whitten et al. 1984). Perburuan akan gading gajah (Stiles, 2004; Sheperd and Nijman, 2008) dan konflik dengan manusia (Frankfurt Zoological Society (FZS) 2016, unpublished data in Moßbrucker et al. (2016)) yang kerap terjadi semakin menekan keberadaan satwa ini. Berkurangnya habitat gajah yang disebabkan oleh perubahan fungsi kawasan hutan menjadi fungsi lain menyebabkan gajah semakin terdesak keberadaannya dan meningkatkan frekuensi konflik gajah dan manusia (KGM) (Santiapillai and Ramono, 1993). Salah satu permasalahan utama KGM adalah masuknya gajah ke dalam perkebunan dan pemukiman masyarakat (Sukumar and Gadgil, 1988; Santiapillai and Ramono, 1993). Kerusakan yang disebabkan oleh gajah membuat masyarakat mengalami kerugian dari segi materi dan bahkan terdapat korban jiwa. Salah satu penelitian mengenai konflik manusia-gajah yang ada di India menyebutkan bahwa kerugian akibat rusaknya desa oleh gajah mencapai ribuan dollar (Williams, Johnsingh and Krausman, 2001). Translokasi satwa merupakan salah satu alat manajemen yang biasa digunakan untuk tujuan konservasi (Pinter-Wollman, Isbell and Hart, 2009). 1
Translokasi digunakan untuk introduksi, reintroduksi, dan menambah populasi dari satu spesies. Satwa-satwa yang sudah ditetapkan punah di alam secara global maupun lokal dapat direintroduksi kembali ke habitat aslinya dengan cara ini. Translokasi juga bisa digunakan untuk mengatur Satwa bermasalah seperti gajah yang masuk dan melakukan perusakan ladang dan pemukiman warga (Santiapillai and Ramono, 1993; Williams, Johnsingh and Krausman, 2001). Tujuan utama translokasi satwa bermasalah adalah menghilangkan masalah yang disebabkan oleh adanya satwa tersebut dan melindunginya (Fernando et al., 2012). Dalam konteks mitigasi KGM tujuan utama translokasi adalah memindahkan individu yang bermasalah menjauh dari manusia, sehingga pengukuran keberhasilan seringkali didekati dengan menilai apakah individu tersebut kembali ke lokasi asalnya. Lanskap Bukit Tigapuluh merupakan salah satu habitat gajah Sumatera yang tersisa. Namun sama halnya seperti habitat gajah lainnya, lanskap Bukit Tigapuluh juga tidak lepas dari konflik berkepanjangan dengan masyarakat yang berada disekitarnya (Frankfurt Zoological Society (FZS) 2016, unpublished data in Moßbrucker et al. (2016)). Salah satu pendekatan mitigasi konflik yang digunakan adalah dengan metode translokasi gajah bermasalah. Gajah Haris yang merupakan salah satu gajah jantan yang ada di lanskap Bukit Tigapuluh telah ditranslokasikan ke Hutan Harapan karena telah berulang kali masuk ke dalam pemukiman warga. Lokasi translokasi gajah Haris merupakan hutan restorasi pertama di Indonesia dan juga salah satu habitat gajah yang tersedia di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan (harapanrainforest.org). Hutan Harapan dipilih sebagai lokasi translokasi karena merupakan area terdekat yang memiliki gajah betina yang bukan kerabat dari gajah Haris. Hutan Harapan juga memiliki habitat gajah yang cukup besar dengan populasi yang masih di bawah daya tampung habitatnya. Populasi gajah betina yang ada di Hutan Harapan juga sangat membutuhkan pejantan siap reproduksi untuk mencegah kepunahan lokal. Oleh karena itu alasan lain dari program translokasi gajah Haris adalah membantu perilaku dispersal alami dari Haris dan memicu 2
perkembangbiakan/pemulihan populasi di Hutan Harapan (Alexander Markus Moßbrucker, Komunikasi pribadi). Meskipun metode translokasi ini telah banyak digunakan dalam kegiatan konservasi, metode ini tidak sepenuhnya bebas dari masalah. Translokasi memiliki tingkat kegagalan yang tinggi, hanya sekitar 44% dari translokasi satwa yang berhasil. Biasanya keberhasilan translokasi dilihat dari kemampuan populasi tersebut untuk bertahan hidup (Fischer and Lindenmayer, 2000). Sebagai bagian dari seleksi alam, setiap spesies harus dapat beradaptasi pada lingkungan baru, apabila tidak bisa maka mereka tidak akan dapat bertahan di lingkungan baru (Krebs 1972). Gajah yang ditranslokasi menunjukkan beberapa respon yaitu, Homers kembali ke habitat semula, Wanderer berkeliling di habitat baru, dan Settlers membuat home range pada habitat yang baru (Fernando et al., 2012). Respon-respon berupa pergerakan tersebut merupakan bentuk kemampuan adaptasi yang dilakukan oleh gajah. Untuk mencapai tujuan awalnya, setiap satwa yang ditranslokasi diharapkan untuk tetap berada dan membuat home range baru pada habitat barunya (Fischer and Lindenmayer, 2000). Perbedaan respon yang muncul pada setiap individu gajah yang ditranslokasi menjadi kunci utama bagi keberhasilan dari translokasi. Hal yang paling mendasar dan merupakan faktor penting yang memengaruhi pergerakan satwa adalah ketersediaan sumber daya yang mereka butuhkan untuk tetap hidup di habitatnya (Manly et al., 2002). Selama kebutuhan akan sumber daya itu terpenuhi maka satwa akan mampu untuk mempertahankan hidupnya dan berkembang dengan baik. Oleh karena itu faktor sumber daya (seleksi habitat) merupakan hal penting untuk dipahami dengan baik dalam rangka mensukseskan translokasi. Keberadaan gajah lokal yang ada di Hutan Harapan merupakan juga salah satu faktor yang dapat memengaruhi keputusan gajah Haris untuk menetap di habitat barunya. Banyak spesies lebih memilih bermigrasi dan menetap dalam habitat yang telah dihuni oleh spesies mereka sendiri (ketertarikan conspesifik; Stamps 1988; Danchin et al. 1998; Zeigler et al. 2011). Oleh karena itu interaksi yang mungkin terjadi antara gajah Haris dan gajah lokal perlu untuk diketahui. 3
Penelitian tentang gajah Sumatera sangatlah terbatas, sehingga banyak informasi yang belum diketahui terkait ekologi dari satwa endemik pulau Sumatera ini. Terutama untuk gajah Sumatera yang ditranslokasikan. Penelitian yang ada saat ini tentang gajah translokasi lebih tersedia pada gajah Afrika (Pinter-Wollman, 2009; Pinter-Wollman, Isbell and Hart, 2009) dan gajah Asia (Fernando et al., 2012; Anini et al., 2015). Informasi tentang pergerakan, interaksi dan seleksi habitat oleh gajah yang ditranslokasi merupakan pengetahuan yang penting dalam proses translokasi. Sayangnya, informasi mengenai pola pergerakan, interaksi dan seleksi habitat dari gajah Sumatera yang ditranslokasi sampai saat ini belum tersedia. Pemahaman terhadap perilaku pergerakan dan seleksi habitat gajah Sumatera akan sangat membantu dalam mensukseskan dan menaikkan tingkat keberhasilan program translokasi. 1.2 Rumusan Masalah Keberhasilan dari program translokasi gajah yang bermasalah dilihat dari keberlangsungan hidupnya di lokasi baru. Perubahan perilaku dapat dideteksi dari pergerakan dan seleksi habitat yang dilakukan gajah. Beberapa masalah yang dijawab dalam penelitian ini yaitu : 1. Apakah terjadi perubahan pergerakan gajah translokasi dan kelompok gajah lokal pasca translokasi? 2. Apabila terdapat perubahan pergerakan, apakah terjadi interaksi antara gajah Haris dan kelompok gajah Jenny pasca translokasi? 3. Apabila terjadi interaksi, apakah hal tersebut dipengaruhi oleh sumber daya (seleksi habitat)? 1.3 Tujuan 1. Membandingkan pola pergerakan dari gajah translokasi dan gajah lokal sebelum dan setelah translokasi 2. Mengetahui interaksi yang terjadi antara gajah translokasi dan kelompok gajah lokal 4
3. Mengetahui seleksi habitat yang dilakukan oleh gajah translokasi dan gajah lokal 1.4 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam membuat keputusan pada saat akan melakukan translokasi satwa khususnya gajah. Dengan mengetahui pola pergerakan, interaksi conspesifik, dan seleksi habitat yang dilakukan oleh satwa setelah ditranslokasi, diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan dan tingkat harapan hidup dari satwa yang ditranslokasi. Informasi pergerakan dan seleksi habitat juga berpotensi untuk menentukan lokasi translokasi gajah sehingga diharapkan tingkat harapan hidup dari satwa yang ditranslokasi akan semakin tinggi. 5