1. Koreografi Komunal Jika melihat dari kata koreografi dan komunal tersebut, dapat diartikan bahwa tari komunal adalah segala aktivitas tari yang melibatkan instrumen atau struktur sosial kemasyarakatan baik atas dasar kepentingan bersama dalam komunitas maupun kepentingan individual. Sebagai contoh, dalam peristiwa tari komunal yang ditandai dengan terlibatnya unsur sistem sosial yang telah ada diantaranya adalah dengan Tampilnya pemuka masyarakat sebagai pemimpin. Karena milik masyarakat umum, pelembagaan tari komunal sering kita kaitkan dengan seni rakyat. (Hadi, 2005 : 54) Ditinjau dari identitasnya secara umum, tari komunal merupakan tarian yang lahir dari semangat kebersamaan sehingga memiliki fungsi sosio-kultural bahkan bisa menjadi salah satu pendukung upaca ritual adat maupun keagamaan. Dalam praktiknya tari komunal dapat dilaksanakan tanpa keahlian tari secara khusus, karena tarian tersebut tidak lahir sebagai karya cipta seorang seniman tari.(dibia dkk, 2001 : 50). Oleh sebab itu tari komunal memiliki ciri-ciri utama sbb : a. Diadakan untuk kepentingan komunitas, b. Melibatkan sistem sosial yang telah ada, c. Merupakan pengabdian sosial dan lingkungan,d. Dilaksanakan secara spontan atau terencana. Hal ini dapat kita lihat pada ritual-ritual adat khususnya di wilayah Jawa yang masih selalu dilaksanakan dan seni tari menjadi hal yang tidak dapat terpisahkan dengan kegiatan tersebut. Di daerah lainpun dimungkinkan setiap kegiatan yang berhubungan dengan ritual adat selalu menggunakan tarian. Pada umumnya tari komunal dimaksudkan untuk tujuan ritual/upacara tertentu. Seperti tari Tortor dari Batak, atau tari Hudoq dari Dayak. Di beberapa daerah ada sejenis tari komunal yang beralih fungsi dari media upacara adat menjadi media hiburan. Tari ini memposisikan penari perempuan sebagai penghibur. Namun di Bayuwangi ada juga tarian sejenis yang masih dilestarikan sebagai upacara adat. Tarian tersebut adalah Tari Gandrung. (Dibia dkk, 2003.52) Dengan dilatarbelakangi adat kebiasaan, atau norma-norma yang berlaku di suatu daerah, dan juga bentuk dari tariannya sendiri, pelaku tari komunal bisa bermacammacam. Sebagai contoh ada tari komunal yang dibatasi hanya boleh dilakukan oleh gadisgadis yang belum menginjak fase menstruasi. Hal ini sebagaimana yang berlaku dalam sebuah tarian dari Bali yaitu tari Sanghyang Dedari. Ada juga yang hanya bisa dilakukan
oleh orang-orang yang punya kekuatan magis seperti pada tari komunal Dabuih dari Sumatra Barat. Atau tari Seblang dari Banyuwangi, Sintren dari daerah Cirebon yang perlu didampingi oleh seorang berkemampuan khusus. Gambar 1.1. Tari Sang Hyang Dedari https://www.google.com/search?q=gambar+tari+sang+hyang+dedari Gambar 1.2. Tari Seblang dari Banyuwangi https://www.google.com/search?q=gambar+tari+seblang Gambar 1.3. Sintren dari Cirebon https://www.google.com/search?q=gambar+tari+sintren
Untuk tarian yang dilakukan oleh orang banyak ada norma-norma yang membatasi interaksi antara laki-laki dan perempuan seperti pada tari Saman di Aceh. Ada juga tari Baris Gede di Bali atau tari Perang di Nias yang hanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Bahkan ada juga yang harus dilakukan oleh waria seperti dalam tari Bissu dari Bugis yang dilatarbelakangi oleh tradisi trasvestite-nya (laki-laki yang berperan sebagai perempuan). Gambar 1.4. Tari Baris Gede https://www.google.com/search?q=gambar+tari+baris+gede Gambar 1.5. tari Bisu dari Sulawesi Tenggara https://www.google.com/search?q=gambar+tari+bissu Pada dasarnya tari komunal merupakan kesenian yang dimiliki oleh orang banyak atau suatu masyarakat dan ditujukan untuk kepentingan kolektif dari anggota masyarakat itu sendiri. Tari komunal dapat diartikan sebagai tarian yang merupakan milik kolektif dari warga masyarakat kampung dan desa atau kelompok etnis. Dalam realitasnya tarian ini tidak selamanya ditarikan secara kelompok. Bahkan ada banyak tari komunal yang ditarikan oleh satu orang (sebagai penari utama). Namun kehadiran tarian ini tetap melambangkan atau mencerminkan rasa kebersamaan dari masyarakat pendukungnya. (Dibia dkk. 2003 : 51) Tari komunal, dengan bentuk dan fungsi yang berbeda-beda, bisa ditemukan dibanyak
tempat, baik di lingkungan budaya Barat maupun Timur, tari komunal diperlakukan secara khusus karena didalamnya terkandung nilai-nilai budaya sebagai simbol atau atribut bersama, yang berperan sebagai penguat jalinan. Bahkan, banyak juga tari komunal yang disakralkan, dianggap memiliki kekuatan gaib, karena berhubungan dengan sistem kepercayaan masyarakat pendukungnya. Indonesia adalah negara multi-budaya yang memiliki berbagai jenis tarian komunal. Tarian komunal pada umumnya dilakukan sebagai bagian dari upacara adat, keagamaan, dan kegiatan kebudayaan lainnya yang sudah mentradisi, dianggap memiliki kekuatan spiritual, yang hanya dipertunjukkan pada waktu-waktu tertentu. Tarian komunal merupakan ekspresi komunal, yakni perwujudan rasa kebersamaan, sehingga tarian ini menjadi bagian daari kehidupan masyarakat pendukungnya. Tari pada umumnva tidak hanya disajikan sebagai sebuah tontonan semata. Walaupun dalam pelaksanaannya tarian tersebut juga men-datangkan penonton, atau ditonton dan disenangi oleh masyarakat. Sebagai suatu tontonan yang disenangi masyarakat, saat ini tari komunal lebih berfungsi sebagai hiburan. Dalam fungsinya sebagai hiburan itu, sering tampak adanya kaum laki-laki yang dihibur dan penari perempuan sebagai penghiburnya. Di Jawa, misalnya, dalam tayuban umumnya ronggeng (penari perempuan) menjadi target hiburan bagi kaum laki-laki sebagai penari tamunya. Di situ, laki-laki membayar, sedangkan ronggeng dibayar. Tarian sejenis tayuban Jawa itu banyak terdapat berbagai wilayah, di Bali jogged bumbung, masyarakat Melayu memiliki ronggeng Melayu, sedang Betawi mempunyai tradisi cokek, dan sebagainya.(dibia dkk, 2003 : 53) Gambar 1.6. Tayub Jawa Tengah https://www.google.com/search?q=gambar+tari+tayub
Gambar 1.7. Lengger Banyumas https://www.google.com/search?q=gambar+tari+lengger+banyumas Gambar 1.8. Tari Cokek Betawi https://www.google.com/search?q=gambar+tari+cokek Tarian komunal yang tersebar di berbagai daerah, baik di Indonesia maupun di negaranegara lain, memiliki beberapa ciri yang khusus. Sebagai pegangan umum, berikut ini adalah ciri-ciri tarian komunal. a. Diadakan Untuk Kepentingan Komunitas Diadakannya tarian komunal tujuan utama adalah untuk memenuhi kebutuhan komunitas, yaitu masyarakat pendukung tari komunal tersebut. Karena itu menari bukan hanya merupakan penampilan keindahan gerak dari penarinya saja. Mungkin saja tujuan tarian tersebut adalah untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap kehidupan masyarakat. Namun demikian mungkin juga tari tersebut merupakan bagian dari sistem kekeluargaan atau sistem kemasyarakatannya. Sebagai contoh misalnya dalam budaya Jawa dikenal dengan ritual nyadran atau
bersih desa di Kabupaten Temanggung Jawa Tengah, setiap desa mempunyai bentuk ritual yang berbeda. Pada ritual ini seni tari yang sering dipentaskan adalah seni Jaran Kepang/atau Kuda Lumping, serta seni tari yang lain yang berkembang di Temanggung, antara lain tari Wulang Sunu, tari Gatoloco dan sebagainya. Di Daerah Sunda terdapat ritual Seren Taun yang diselenggarakan di setiap sehabis panen, seni tari yang ditampilkan biasanya tari Ketuk Tilu. Di Sumatera khususnya di daerah Bengkulu terdapat Tabot, yaitu untuk memperingati gugurnya cucu Rasulullah yang gugur di padang Karabala, pelaksanaannya diadakan di bulan Maulid. Di Sulawesi di Gorontalo terdapat ritual penjaga Adat yang dilakukan oleh kaum Bissu Gambar 1.9. Jaran Kepang/kuda Lumping Koleksi Detik.com Gambar 1.10. Ketuk Tilu https://www.google.com/search?q=gambar+tari+ketuk+tilu Gambar 1.11. Tari Tabot
https://www.google.com/search?q=gambar+tari+tabot b. Melibatkan Sistem Sosial yang Telah Ada Pelaksanaan tari komunal selalu melibatkan komponen-komponen sosial seperti para tetua adat, tokoh agama perangkat desa (kepala desa, ketua rukun kampung). Keterlibatan dari komponen-komponen masyarakat ini sudah diatur sedemikian rupa sebagai suatu rangkaian mata rantai berdasarkan kebiasaan yang sudah disepakati bersama. Setiap orang melakukan kewajibannya sesuai dengan yang telah ditetapkan secara turun-temurun. Sebagai contohnya misalnya sistem kelembagaan di Bali, yaitu di sebuah Banjar, di dalam banjar telah terbagi ke dalam beberapa Sekaa yang masing-masing mempunyai tugas dan kewajiban yang diturunkan secara turun-temurun. Gambar 1.12. Kelembagaan dan sistem organisasi Banjar https://www.google.com/search?=gambar+tari+struktur+organisasi+banjar c. Pengabdian Sosial dan Lingkungan Tatkala ikut terlibat dalam peristiwa komunal semacam di satu daerah, partisipasi sebagai sebuah sumbangan atau pengabdian terhadap komunitas sosial dan lingkungannya. Ketika waktu pelaksanaan ritual telah tiba, warga masyarakat secara sukarela akan berupaya mensukseskan acara tersebut sesuai dengan kemampuannya. Mereka menyiapkan segala sesuatunya secara sukarela. Pada saat pelaksanaan ritual tersebut, mereka menari bersama-sama warga masyarakat lainnya. Semuanya dilakukan atas dasar kesadaran sosial dan sama
sekali bukan untuk mendapatkan imbalan upah berupa uang, atau material lainnya. Kesadaran sosial seperti ini sering muncul karena setiap orang menyakini bahwa nantinya dirinya pun akan membutuhkan bantuan dari warga masyarakat lainnya. d. Ditarikan oleh Satu atau Banyak Orang Seperti telah disingung di atas bahwa walaupun secara umum tarian komunal melibatkan banyak orang, karena diadakan atas kebutuhan orang banyak, namun tidak berarti tari komunal selalu dilakukan secara beramai-ramai.(dibia dkk. 2003 : 61). Sejumlah tari komunal di Indonesia, yang dimainkan oleh satu orang (selaku penari utama), dan ada pula yang ditarikan oleh lebih dari satu orang. Meskipun demikian ekspresi komunal sangat menonjol dalam tarian ini, sehingga muncul kesan bahwa tari ini bisa dilakukan oleh siapa saja. Di sebagian wilayah, tidak jarang suatu pertunjukan tari komunal hanya bisa dilakukan oleh penari khusus atau professional, contohnya Bissu di Sulawesi Selatan, seblang Banyuwangi, topeng pajegan di Ball, dan topeng Cirebon dan sebagainya. Dalam pelaksanaannya, ada tarian yang dari sejak awal hingga akhir hanya dimainkan oleh seorang penari (yang menari ditengah-tengah kerumunan warga masyarakat), atau oleh sekelompok orang. Namun tarian yang pada waktu dimainkan oleh seorang penari kemudian diikuti oleh banyak orang. Banyak tari komunal yang dilakukan secara berkelompok, baik berpasangan maupun sendiri-sendiri. Namun tarian itu tetap membentuk semacam kesatuan suasana. Hal itu bisa terlihat misalnya pada tayuban, yang awalnya merupakan bentukan dari pasangan-pasangan ronggeng (penari perempuan) dan penari-tamu yang berasal dari penontonnya e. Dilaksanakan Secara Spontan atau Terencana Tarian komunal bisa berupa tarian formal (tarian yang serius dengan struktur yang jelas) dan tarian informal (menari-nari dan sejenisnya yang tidak memiliki bentukyang baku).(dibia dkk, 2003 : 63). Jenis-jenis tarian komunal yang tergolong dalam tarian formal, terdapat dalam berbagai aktivitas ritual, di masyarakat, pada umumnya memiliki polapola gerak, musik iringan, tata busana, dan tata penyajian yang relatif baku. Masyarakat umum biasanya dapat mengenali bukan saja jenis tarian yang bersangkutan melainkan juga dari asal
wilayah budaya tarian tersebut berasal Tari joged bumbung Bali memiliki gerakan tari yang lincah dengan iringan musik bambu, tari janger bernyanyi dan menari dengan bersuasana ceria. Gambar 1.13. tari Joged Bumbung https://www.google.com/search?q=gambar+tari+joged+bumbung Gambar 1.14. tari Janger https://www.google.com/search?q=gambar+tari+janger+bali Tari pajoge yang bersuasana anggun dari Sulawesi Tengah, atau tari alang suntiang penghulu yang bernuansa Nagari Padang Laweh (Sumatera Barat), adalah beberapa contoh tari komunal yang formal karena telah memiliki bentuk yang pasti sehingga dimungkinkan untuk dilakukan secara berulang-ulang. Gambar 1.14. Tari Pajoge Tarian komunal dari jenis yang kedua pada umumnya muncul secara spontan dalam
suatu kejadian yang melibatkan orang banyak. Spontanitas pada tari komunal jenis ini bisa diartikan dalam dua pemahaman, yaitu dari sisi proses keterlibatan seseorang dalam sebuah peristiwa tari dan dari sisi produk gerak tari yang dilakukan oleh masing-masing individu yang terlibat di dalamnya.(dibia dkk, 2003 : 64). Kemunculan tari secara spontan seperti ini seringkali atas gagasan yang muncul secara tiba-tiba dari warga masyarakat yang ingin ikut berpartisipasi dalam peristiwa yang dibangun oleh komunitas masyarakat di luar diri mereka, sehingga yang muncul kemudian adalah produk gerak spontan dari warga masyarakat tersebut. Di beberapa daerah ada pula tarian komunal yang muncul secara direncanakan atau dipersiapkan sebelumnya. Beberapa contoh dari tarian komunal yang muncul secara direncanakan adalah tari sodoran dari masyarakat suku Tengger, tari rejang dan baris gede di Bali, dan tari Pajoge Mahardika di Sulawesi Tengah. Gambar 1.15. Tari Sodoran https://www.google.com/search?q=gambar+tari+sodoran Gambar 1.16. tari Rejang https://www.google.com/search?q=gambar+tari+rejang&tbm
f. Menampilkan Rasa Solidaritas dan Keakraban Suasana yang biasanya terlihat dalam peristiwa tari komunal adalah suasana kebersamaan dan keakraban, cenderung homogen, atau adanya ekspresi solidaritas sosial yang kental. Ketika menari bersama secara partisipatif, berbagai perbedaan latar belakang budaya, kelompok etnis, agama, atau status sosial tidak menjadi halangan. Semuanya seolah larut sedemikian rupa dalam suatu rasa kebersamaan. Jika dapat menari dengan perasaan yang tulus, setiap partisipan tidak lagi terhalang oleh perbedaanperbedaan tersebut. Secara emosional, relasi para penari terajut dalam sebuah kesamaan suasana, baik karena interaksinya dalam bergerak, maupun dalam mengikuti irama musiknya. Dalam aktivitas menari seperti itu, pertunjukan pun menjadi sebuah ajang silaturahmi kelompok yang seringkali dapat menghilangkan keteganganketegangan sosial.