BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke merupakan penyakit gangguan fungsional otak akut fokal maupun global akibat terhambatnya aliran darah ke otak karena perdarahan (stroke hemoragik) ataupun sumbatan (stroke iskemik) dengan gejala dan tanda sesuai bagian otak yang terkena, yang dapat sembuh sempurna, sembuh dengan cacat, atau kematian. Stroke Iskemik merupakan suatu penyakit yang diawali dengan terjadinya serangkaian perubahan dalam otak yang terserang yang apabila tidak ditangani dengan segera berakhir dengan kematian otak tersebut. Sedangkan stroke hemoragik merupakan penyakit gangguan fungsional otak akut fokal maupun global akibat terhambatnya aliran darah ke otak yang disebabkan oleh perdarahan suatu arteri serebralis. Darah yang keluar dari pembuluh darah dapat masuk ke dalam jaringan otak sehingga terjadi hematom (Junaidi, 2011). Stroke dapat menyerang siapa saja dan kapan saja, tanpa memandang usia (Depkes, 2013). Di Indonesia, 8 dari 1000 orang terkena stroke. Stroke merupakan penyebab utama kematian pada semua umur, dengan proporsi 15,4%. Setiap 7 orang yang meninggal di Indonesia, 1 diantaranya karena stroke (Depkes, 2013). Menurut WHO (2011), Indonesia telah menempati peringkat ke-97 dunia untuk jumlah penderita stroke terbanyak dengan jumlah angka kematian mencapai 138.268 orang atau 9,70% dari total kematian yang terjadi pada tahun 2011. Riset Kesehatan Dasar (2013) melaporkan prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Sulawesi Utara (10,8 ), diikuti DI Yogyakarta 1
2 (10,3 ), Bangka Belitung dan DKI Jakarta masing-masing 9,7 per mil. Prevalensi stroke di Sumatera Utara mencapai 10, 3%. Berbagai fakta menunjukkan bahwa sampai saat ini, stroke masih merupakan masalah utama di bidang neurologi maupun kesehatan pada umumnya. Untuk mengatasi masalah penting ini diperlukan strategi penangulangan stroke yang mencakup aspek preventif, terapi rehabilitasi, dan promotif. Stroke memerlukan penanganan yang serius karena stroke dapat mengakibatkan penderitanya kehilangan fungsi tubuh seperti kemampuan untuk berkomunikasi dan berfikir. Menurut Junaidi (2011) tanda dan gejala pasien stroke mengalami gangguan bicara yaitu bicaranya pelo, relo, atau cadel; tidak mampu bicara atau memahami bahas lisan (afasia, disfasia); tidak mampu mengeluarkan suara walaupun ia mengerti bahasa lisan (disartria); kesulitan memilih kata-kata yang tepat untuk diucapkan atau ditulis; kesulitan memahami tulisan, mengeluarkan kata-kata tanpa makna/tidak dapat dimengerti oranglain dan salah memahami lelucon. Bahasa merupakan sesuatu yang paling kompleks dari perilaku yang ditunjukkan oleh manusia, karena bahasa melibatkan memori, belajar, keterampilan penerimaan pesan, proses, dan ekspresi. Sehingga harus hati-hati dalam melakukan asesmennya. Gangguan bahasa dapat melibatkan gangguan kepada bidang-bidang lainnya, dan ini paling sulit untuk diidentifikasi secara tepat sifat permasalahannya. Oleh karena itu bahasa sebagai alat komunikasi mempunyai peran yang sangat vital bagi terlaksananya komunikasi dengan lancar. Bahasa merupakan
3 bagian yang penting dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita berbicara dengan oranglain, kita membaca koran, kita bekerja, dan belajar. Kita juga menggunakan bahasa untuk mengungkapkan pemikiran kita dengan jelas. Juga untuk merencanakan masa depan kita. Akan tetapi, jika terjadi gangguan komunikasi seperti yang dialami pasien stroke, misalnya afasia maka komunikasi pun tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Association Internationale Aphasie (AIA, 2011) telah memberitahukan kepada masyarakat bahwa penderita afasia dapat mengalami kesulitan akan banyak hal. Hal-hal tersebut sebelumnya merupakan sesuatu yang biasa terjadi di kehidupannya sehari-hari, seperti: melakukan percakapan; berbicara dalam grup atau lingkungan yang gaduh; membaca buku, koran, majalah atau papan petunjuk di jalan raya; pemahaman akan lelucon atau menceritakan lelucon; mengikuti program di televisi atau radio; menulis surat atau mengisi formulir, bertelefon, berhitung, mengingat angka, atau berurusan dengan uang; menyebutkan namanya sendiri atau nama-nama anggota keluarga. Penderita afasia mengalami kesulitan menggunakan bahasa, tetapi mereka bukan orang tidak waras. Gangguan komunikasi yang dialami pasien stroke akan berpengaruh pada pada kualitas hidupnya. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Kariasa (2009) menunjukkan bahwa pasien paska serangan stroke mengalami gangguan fisik dan fungsional tubuh yang bersifat jangka panjang dan menimbulkan gangguan respon psikologis yang mempengaruhi perubahan kualitas hidupnya.
4 Penderita stroke memerlukan bantuan orang lain khususnya keluarga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan juga membantu pasien untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Selain itu lingkungan keluarga juga merupakan lingkungan yang cocok untuk stimulasi kemampuan berbahasa pasien, karena stimulasi tersebut dapat dilakukan secara tidak formal, dapat memilih waktu yang tepat, saat pasien dalam keadaan bermotivasi dan anggota keluarga cukup mengenal hal ihwal keadaan pasien (Kusumoputro & Sidiarto, 2009). Dalam penelitian yang dilakukan R.E Saragih (2012) diketahui bahwa terdapat perubahan pola hidup keseharian penderita post stroke seperti pola makan, pola aktivitas sehari-hari dan adanya komunikasi yang tidak efektif. Ketidakefektifan komunikasi tersebut, ditunjukkan pada aspek citra diri, lingkungan (fisik dan sosial), kecerdasan, bahasa tubuh, kondisi fisik dan psikis. Penyakit stroke bisa merepotkan pihak keluarga pasien. Terutama keluarga yang masih membutuhkan tenaga dan pikiran pasien dalam mensejahterakan keluarganya seperti istri dan anak-anak. Kondisi pasien stroke ini membuat istri pasien mendapatkan dampak dari kondisi psikologis yang dialami suaminya, dimana suaminya mengalami kesulitan dalam bekerja karena mengalami kelumpulan, kesulitan dalam komunikasi karena pasien mengalami gangguan bicara, gangguan kognitif, dan dalam penyesuaian emosi. Salah satu aspek yang mempengaruhi kepuasan perkawinan adalah komunikasi antara suami-istri, dimana mereka saling berbagi dan saling menerima informasi tentang pikiran perasaannya. Ketika pasangan mengalami stroke, akan
5 menyebabkan kesulitan dalam berkomunikasi karena mengalami gangguan bahasa (afasia). Seperti penelitian yang dilakukan Pasaribu (2011) menunjukan adanya perubahan pada aspek-aspek kepuasan dalam perkawinan yang terjadi pada istri yang memiliki suami penderita stroke, aspek tersebut salah satunya yaitu aspek komunikasi. Komunikasi pada pasien stroke pada dasarnya diperlukan peningkatan kesabaran dan hubungan kepercayaan yang kuat agar terciptanya komunikasi yang efektif. Dalam artikel Borthwick S (2012) Communication impairment in patients following stroke menjelaskan berbagai gangguan komunikasi yang dapat terjadi pasca stroke dan intervensi yang dapat dilakukan untuk membantu pasien berkomunikasi sehingga kebutuhan pasien dapat terpenuhi. Dari artikel tersebut dapat dijadikan salah satu panduan keluarga untuk berkomunikasi pada pasien stroke. Melihat betapa pentingnya komunikasi dalam kehidupan sehari-hari, peneliti tertarik untuk mengeksplorasi lebih mendalam bagaimana pengalaman keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke sehari-hari. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan fenomenologi, dengan fenomenologi diperoleh informasi baru yang lebih banyak secara komprehensif dan wawancara mendalam kepada anggota keluarga pasien stroke. 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengalaman keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke.
6 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah mengeksplorasi secara mendalam pengalaman keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Praktik Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pengalaman keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke sehingga dapat diidentifikasi intervensi keperawatan dalam merawat pasien stroke di rumah sakit. 1.4.2 Bagi Pendidikan Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih berguna bagi perawat pendidik untuk dipelajari tentang cara berkomunikasi dengan pasien stroke. 1.4.3 Bagi Penelitian Keperawatan Hasil Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan riset keperawatan. Data yang ditemukan dapat dipakai sebagai data dasar penelitian selanjutnya terkait permasalahan yang muncul tentang pengalaman keluarga dalam berkomunikasi dengan pasien stroke.