13 Tahun Tsunami Aceh Untuk Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Masyarakat Sumatera Barat akan Ancaman Bencana Gempabumi dan Tsunami Rahmat Triyono, ST. Dipl. Seis, MSc, Kepala Stasiun Geofisika Silaing Bawah Padang Panjang Irfa Destrayanti, SPT. PMG Pelaksana Stasiun Geofisika Silaing Bawah Padang Panjang Gempabumi Aceh yang terjadi 13 tahun lalu, tepatnya pada tanggal 26 Desember 2004 pada 07:58:53 WIB dengan episentrum di lepas pesisir barat Sumatera yang berada diantara pulau Simeuleu dan daratan Sumatera dengan kekuatan 9,1 9,3 SR dimana kekuatan gempabumi ini setara dengan 1.500 kali bom atom Hiroshima, gempabumi ini merupakan gempabumi terbesar ketiga yang pernah tercatat di seismograf dan mempunyai durasi terlama sepanjang sejarah, sekitar 8 sampai 10 menit. Dan gempabumi aceh tersebut juga menimbulkan bencana tsunami dengan ketinggian mencapai hingga 30 meter, dan menyebabkan sekitar 250.000 korban jiwa tewas akibat bencana tsunami ini. Bencana ini merupakan salah satu bencana yang paling mematikan sepanjang sejarah, Indonesia merupakan negara yang berdampak paling besar yaitu sekitar 200 ribu korban jiwa, diikuti Srilanka sekitar 31 ribu jiwa, India sekitar 10 ribu jiwa dan berdampak ke beberapa negara lain seperti Thailand, Myanmar, Maldives, Malaysia, Somalia, Tanzania, Bangladesh, dan Kenya. Selain menimbulkan banyak korban jiwa, bencana ini juga mengakibatkan banyak menenggelamkan pemukiman di tepi pantai, banyaknya bangunan rusak berat, korban luka-luka, dan banyak korban yang hilang. Banyaknya korban dan kerusakan yang terjadi akibat gempabumi dan tsunami Aceh tersebut dikarenakan Indonesia pada saat itu belum mempunyai sistem peringatan dini tsunami dan kurangnya kesadaran serta pengetahuan masyarakat terkait bahaya gempabumi dan tsunami serta cara pengurangan resiko terkait bahaya tersebut.
Gambar 1. Negara yang terdampak akibat gempabumi dan tsunami Aceh 26 Desember 2004 Wilayah Sumatera Barat juga merupakan wilayah yang rawan terhadap kejadian gempabumi dan tsunami, dimana wilayah Sumatera Barat juga pernah terjadi gempabumi besar pada 25 November 1833 dilepas pantai Sumatera sekitar pukul 22.00 WIB dengan perkiraan kekuatan 8,8 sampai 9,2 SR, gempa ini disebabkan oleh pecahnya segmen palung Sumatera sepanjang 1000 km. Gempabumi ini memicu terjadinya tsunami yang menerjang pesisir Barat Sumatera dengan wilayah terdekat dari pusat gembubumi adalah Pariaman hingga Bengkulu. Tsunami ini juga menyebabkan kerusakan parah di Maldives, Sri Lanka, dan Sychelles, tsunami ini juga dilaporkan mencapai Australia bagian Utara, Teluk Benggala, dan Thailand, meskipun intensitasnya kecil. Namun bencana ini tidak terdokumentasi dengan baik sehingga tidak diketahui dengan pasti dampak dan korbannya, beberapa berita menjelaskan bahwa korban jiwa yang disebabkan oleh tsunami ini banyak. Kemudian gempabumi yang masih hangat pada ingatan masyarakat Sumatera Barat, yaitu gempabumi Kepulauan Mentawai pada 25 Oktober 2010 pukul 21:42:20 yang terjadi di sebelah Barat daya kepulauan Pagai Selatan. Gempabumi dengan kekuatan 7,7 SR ini mengakibatkan tsunami dengan ketinggian mencapai 3-10 meter dan setidaknya 24 desa hancur, dengan korban mencapai 500 orang. Gelombang tsunami telah mencapai pantai hanya dalam 5-10 menit setelah terjadinya gempabumi. Dan gempabumi yang menimbulkan tsunami baru-baru ini adalah gempabumi yang terletak pada 636 km Barat Daya Kepulauan Mentawai pada 2 Maret 2016 pukul 19:49:47 dengan kekuatan 7,8 SR, diikuti tsunami meskipun tidak signifikan di Pulau Cocos 10 cm pada pukul 21.15 dan di Padang setinggi 5 cm pada pukul 21.40
Gambar 2. Letak episenter gempabumi 25 Oktober 2010 di Kepulauan Mentawai Apakah gempabumi dapat diprediksi? Hal tersebut masih menjadi kontroversi sampai saat ini oleh para ilmuwan. Pada tahun 1975, para ilmuwan dan peneliti memprediksi kejadian gempabumi yang terjadi di Provinsi Liaoning dimana populasinya mencapai 1 juta jiwa dan pejabat China memerintahkan untuk melakukan evakuasi pada provinsi tersebut. Beberapa hari kemudian gempabumi dengan kekuatan 7,3 SR mengguncang wilayah China, dan dilaporkan sebanyak 2000 orang tewas, dimana apabila evakuasi tidak dilakukan, paling tidak korban jiwa akan mencapai 150 ribu orang lebih. Prediksi tersebut merupakan prediksi yang paling sukses yang pernah dikeluarkan, namun kemudian gempa-gempa yang diprediksi selanjutnya tidak akurat. Dan Seperti yang kita ketahui bersama, beberapa pakar gempabumi memprediksi akan terjadi gempabumi di Megathrust Mentawai kekuatannya diperkirakan antara 8,8-8,9 SR dimana Megathrust terbentang di pantai barat Sumatera, mulai Andaman, Aceh, Nias, sampai Selat Sunda, Jawa, Bali, hingga Lombok. Dimana prediksi gempabumi tersebut diperkirakan bisa memicu tsunami sampai 10 meter. Jika terjadi di Mentawai, tsunami bisa menjangkau daratan Padang sampai sejauh 2 kilometer dan di sungai 5 kilometer. Terlepas benar atau tidaknya prediksi tersebut, diharapkan agar masyarakat Sumatera Barat agar tetap waspada dan siapsiaga akan ancaman gempabumi dan tsunami tersebut karena wilayah Sumatera Barat memang daerah yang rawan terhadap gempabumi dan tsunami. Belajar dari pengalaman masyarakat Simeleu, pada kejadian tsunami Aceh 2004, Pulau Simeleu, yang berada di tengah-tengah Samudera Hindia, dimana pulau tersebut merupakan wilayah yang dekat dengan pusat gempabumi dan juga tentunya gelombang tsunami yang menerjang akan lebih besar, namun pada
pulau Simeleu hanya memakan korban jiwa yang sangat sedikit, sekitar enam orang, walaupun bangunanbangunan hancur, dibandingkan dengan wilayah lainnya yang letaknya lebih jauh dari pusat gempabumi namun memakan korban jiwa yang sangat banyak. Hal tersebut dikarenakan adanya kearifan lokal yang unik dalam menghadapi tsunami, yaitu SMONG. Smong merupakan tutur cerita yang didendangkan dalam bentuk syair yang berisikan gejala-gejala alam yang bisa mendatangkan tsunami, smong merupakan pengalaman kejadian gempabumi dan tsunami pada tahun 1907. Dimana Smong telah menyelamatkan ribuan masyarakat pulau Simeleu akibat kejadian tsunami Aceh. Dari masyarakat Simeleu kita semua bisa mengerti, bahwa pada saat kejadian tsunami Aceh, dimana Indonesia belum mempunyai sistem peringatan dini tsunami, namun dengan adanya kesadaran dan kepedulian masyarakat serta kearifan lokal yang ada tersebut dapat mengurangi korban jiwa yang diakibatkan oleh bencana alam. Juga pada gempabumi Mentawai pada tahun 2010, dimana tsunami yang terjadi hanya berselang 5-10 menit dari gempabumi yang terjadi, dan letak pulau Pagai Selatan yang mirip dengan lokasi pulau Simeleu, merupakan pulau yang paling awal dilalui gempabumi dan tsunami. Di Kepulauan Mentawai sistem peringatan dini berupa sirine untuk evakuasi apabila terjadi tsunami kurang bermafaat, karena waktu tiba gelombang tsunami akan bersamaan dengan wakru warning yang dikeluarkan bahkan kemungkinan datangnya tsunami lebih cepat dari warning tsunaminya. Diharapkan masyarakat Sumatera Barat, khusunya di pulau-pulau bagian luar Sumatera Barat, yang termasuk pada gugusan Kepulauan Mentawai, yaitu pulau Siberut, Sipora, Pagai Utara, Pagai Selatan, dapat lebih mempunyai kesadaran, kepedulian, dan tidak meninggalkan kearifan lokal yang sudah tertanam di wilayah Sumatera Barat, seperti pada gempabumi Padang 2009, dimana bangunan tradisional rumah gadang, yang sebagian besar terbuat dari kayu tetap utuh, dan tak mempan diguncang gempabumi, walaupun banyak bangunan beton yang hancur diguncang gempa tersebut, serta tidak hanya mengharapkan sistem peringatan dini yang dinformasikan oleh BMKG. Selain itu pentingnya pengetahuan tentang bangunan aman gempa bumi agar mengurangi dampak yang diakibatkan oleh gempabumi, yaitu dengan membuat pondasi rumah yang harus diletakkan pada tanah yang keras, menggunakan bahan baku beton, menggunakan ikatan tulang beton, menggunakan rangka atap yang ringan, jangan menggunakan perabot yang menggantung, dan tali perabot-perabot rumah pada dinding. Mengingat wilayah Sumatera Barat merupakan wilayah yang rawan terhadap gempabumi, dan memiliki 3 zona seismic aktif, yaitu Zona Subsuksi Megathrust, sesar Sumatera, dan Sesar Mentawai, masyarakat sekitar dihimbau untuk mewaspadai sumber-sumber gempa bumi yang berasal dari sesar Sumatera dan sesar Mentawai bukan hanya yang bersumber dari subduksi Megathrust. Melalui peringatan 13 tahun tsunami Aceh untuk kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat Sumatera Barat akan ancaman gempabumi dan tsunami sekaligus diagendakannya serah terima aset
sirine tsunami BMKG ke Pemerintah Provinsi Sumatera Barat oleh Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, Ph.D, dan dilakukan aktivasi sirine oleh Gubernur provinsi Sumatera Barat, Prof. Dr. H. Irwan Pratiyno, S.Psi, M.Sc pada tanggal 27 Desember 2017 untuk sirine yang berlokasi di Kabupaten Pesisir Selatan, Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman, Kota Pariaman, Kabupaten Agam, dan Kabupaten Pasaman Barat. Dengan adanya serah terima ini diharapkan dengan diserahkannya aset dan operasional sirine di 6 lokasi, dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh pemerintah provinsi Sumatera barat bilamana mendapatkan warning tsunami dari BMKG. Dan untuk masyarakat wilayah Sumatera Barat diharapkan apabila ada warning yang diinformasikan melalui sirine tsunami, informasi tersebut dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melakukan perintah evakuasi kepada masyarakat, hal tersebut merupakan bentuk perhatian dan keperdulian Gubernur Sumatera Barat kepada masyarakat agar melakukan evakuasi dimana wilayah Sumatera Barat ini merupakan wilayah yang rawan terhadap gempabumi dan tsunami