BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. manuisia bertujuan untuk melihat kualitas insaniah. Sebuah pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. mata, bahkan tak sedikit yang mencibir dan menjaga jarak dengan mereka. Hal

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB I PENDAHULUAN. sampai akhir hayat. Belajar bukan suatu kebutuhan, melainkan suatu. berkembang dan memaknai kehidupan. Manusia dapat memanfaatkan

BAB I PENDAHULUAN. juga diharapkan dapat memiliki kecerdasan dan mengerti nilai-nilai baik dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

SETYO WAHYU WIBOWO, dr. Mkes Seminar Tuna Daksa, tinjauan fisiologis dan pendekatan therapiaccupressure, KlinikUPI,Nov 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap manusia ingin terlahir sempurna, tanpa ada kekurangan,

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan fisik dan juga kelainan fisik yang sering disebut tunadaksa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mendapatkan kesempurnaan yang diinginkan karena adanya keterbatasan fisik

BAB I PENDAHULUAN. Asuransi untuk jaman sekarang sangat dibutuhkan oleh setiap perorangan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kata serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti

BAB II KAJIAN TEORETIK. lambang pengganti suatu aktifitas yang tampak secara fisik. Berpikir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau kemalangan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Risky Melinda, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupan, manusia memerlukan berbagai jenis dan macam

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan keahlian atau kompetensi tertentu yang harus dimiliki individu agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat setiap orang berlomba-lomba

2016 MINAT SISWA PENYANDANG TUNANETRA UNTUK BERKARIR SEBAGAI ATLET

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dihindari. Penderitaan yang terjadi pada individu akan mengakibatkan stres dan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang hidup di dunia ini pasti selalu berharap akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu Negara yang sedang berkembang, yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilihat dari fisik, tetapi juga dilihat dari kelebihan yang dimiliki.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan organisasi haruslah sejalan dengan dinamika perubahan baik

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. membuat manusia dituntut untuk mengikuti segala perubahan yang terjadi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia saat ini dapat dikatakan memiliki angka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. salah satunya adalah kecelakaan. Ada berbagai jenis kecelakaan yang dialami oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pelajaran yang telah diberikan oleh guru dan didukung oleh nilai-nilai budipekerti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menentukan arah dan tujuan dalam sebuah kehidupan. Anthony (1992)

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari hari, manusia selalu mengadakan bermacammacam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa manusia lain dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi era globalisasi, berbagai sektor kehidupan mengalami

persaingan yang terjadi dalam dunia industri, teknologi transportasi dan telekomunikasi bahkan dalam dunia pendidikan. Khususnya Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, baik jasmani maupun rohani. Kondisi ini adalah kesempurnaan yang

BAB I PENDAHULUAN. perhatian serius. Pendidikan dapat menjadi media untuk memperbaiki sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. diinginkan karena adanya keterbatasan-keterbatasan, baik fisik maupun mental.

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis

BAB I PENDAHULUAN. mengatasi hambatan maupun tantangan yang dihadapi dan tentunya pantang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Kontek Penelitian (Latar Belakang masalah) kalanya sedih, dan ada kalanya marah. Sehingga seringkali timbul

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan tubuhnya secara efektif. Lebih lanjut Havighurst menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memiliki rasa minder untuk berinteraksi dengan orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan secara

BAB 1 PENDAHULUAN. disabilitas fisik. Individu yang memiliki disabilitas fisik sudah sewajarnya memiliki

KONSEP STRIVING FOR SUPERIORITY PADA SISWA PENYANDANG TUNADAKSA DI SEKOLAH INKLUSIF ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai kodratnya manusia adalah makhluk pribadi dan sosial dengan

Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. banyak. Berdasarkan data dari Pusat Data Informasi Nasional (PUSDATIN)

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan manusia dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok utama, sehubungan

Perilaku Koping pada Penyandang Epilepsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan ilmu yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian. terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sifatnya subjektif. Kebahagiaan, kesejahteraan, dan rasa puas terhadap hidup yang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat menjadi salah satu ruang penting penunjang terjadinya interaksi sosial

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB 1 PENDAHULUAN. kecerdasan yang rendah di bawah rata-rata orang pada umumnya (Amrin,

BAB I PENDAHULUAN. Adapun alasan atau faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat saja terganggu, sebagai akibat dari gangguan dalam pendengaran dan

BAB I PENDAHULUAN. terutama bagi pembangunan bangsa dan negara. 3. kehidupan. Pendidikan tidak hanya bertindak sebagai alat yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Sisten Kredit Semester UKSW, 2009). Menurut Hurlock (1999) mahasiswa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai tenaga kerja merupakan salah satu aset yang menentukan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang khas yang menghadapkan manusia pada suatu krisis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah sebuah permasalahan yang diyakini dapat menghambat cita-cita bahkan

BAB I PENDAHULUAN. adalah kebahagiaan yang menjadi tujuan seseorang. Kebahagiaan autentik

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. atau perusahaan dapat melakukan berbagai kegiatan bisnis, operasi fungsi-fungsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Difabel atau kecacatan banyak dialami oleh sebagian masyarakat, baik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Komunikasi merupakan suatu proses atau kegiatan yang sukar dihindari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap orang dilahirkan berbeda dimana tidak ada manusia yang benar-benar sama

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jayanti Putri Purwaningrum, 2015

BAB I PENDAHULUAN. mempertajam keterampilan yang dimiliki serta menjalin pertemanan dengan

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. besar siswa hanya berdiam diri saja ketika guru meminta komentar mereka mengenai

BAB I PENDAHULUAN. Menurut (Nugroho. T, 2010: 94) Aquired Immune Deficiency Syndrome

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA PENYANDANG TUNA DAKSA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Juanita Sari, 2015

BAB I PENDAHULUAN. dari persyaratan akhir pendidikan akademisnya pada program strata satu (Kamus

BAB I PENDAHULUAN. dapat dibentuk. Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan memiliki peranan


ADVERSITY QUOTIENT DAN INDEKS PRESTASI KUMULATIF MAHASISWA PENDIDIKAN MIPA FKIP UNIVERSITAS TADULAKO TAHUN AKADEMIK 2015/2016

BAB I PENDAHULUAN. penggunaan medis (McGuire, Hasskarl, Bode, Klingmann, & Zahn, 2007).

Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Guru SLB-C Islam di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. syndrome, hyperactive, cacat fisik dan lain-lain. Anak dengan kondisi yang

terus berjuang, meskipun kadang-kadang banyak rintangan dan masalah dalam kehidupan. Kesuksesan dapat dirumuskan sebagai tingkat di mana seseorang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan penghabisan dari setiap orang sukses adalah mencapai

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan merupakan bentuk organisasi yang didirikan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan subjek yang sangat penting dalam sistem

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Difabel tuna daksa merupakan sebutan bagi mereka para penyandang cacat fisik. Ada beberapa macam penyebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada manusia hingga menjadi tunadaksa. Kerusakan tersebut ada yang terletak dijaringan otak, jaringan sumsum tulang belakang, dan pada sistem musculus skeletal. Adanya keragaman jenis tunadaksa yang ada, masing-masing memiliki penyebab kerusakan yang berbeda-beda. Dilihat dari saat terjadinya kerusakan otak, yang dapat terjadi pada masa sebelum lahir, saat lahir, dan sesudah lahir. Misalnya kerusakan yang terjadi pada saat bayi masih dalam kandungan, yaitu infeksi atau penyakit yang menyerang ketika ibu mengandung sehingga menyerang otak bayi yang sedang dikandungnya, misalnya infeksi, sypilis, rubela, dan typhus abdominolis. Kemudian kerusakan otak bayi pada saat bayi dilahirkan misalnya, proses kelahiran yang terlalu lama karena tulang pinggang ibu kecil, sehingga bayi mengalami kekurangan oksigen yang menyebabkan terganggunya sistem metabolisme dalam otak bayi, akibatnya jaringan syaraf pusat mengalami kerusakan. Lalu hal-hal yang dapat menyebabkan kecacatan setelah bayi lahir misalnya, kecelakaan/trauma kepala, amputasi atau infeksi yang menyerang otak. Hal-hal tersebut merupakan contoh dari berbagai penyebab yang bisa menyebabkan seseorang mengalami cacat fisik/tuna daksa. Untuk saat ini diakui memang masyarakat seolah masih menganggap disabilitas adalah orang-orang kelas dua, seperti yang diungkapkan oleh Winoto (2011) bahwa banyak contoh yang menerapkan pemahaman seperti itu, seperti misalnya didalam masyarakat orang-orang disabilitas sangat jarang atau bahkan tidak pernah diberikan kepercayaan untuk memegang posisi atau jabatan strategis tertentu, baik dari tingkat desa apalagi ditingkat negara. Termasuk di dunia kerja sampai saat ini hampir tidak ada perusahaan atau lembaga pada umumnya yang mau menerima tenaga kerja dari golongan atau penyandang disabilitas. 1

2 Hal-hal tersebut dapat secara langsung atau tidak langsung merupakan cerminan masyarakat kita dimana hingga hari ini golongan atau penyandang disabilitas masih dianggap golongan tidak mampu, golongan lemah, dan belum layak diberikan kepercayaan seperti orang-orang pada umumnya. Opini masyarakat awam seperti itulah yang masih berkembang dan mungkin akan terus berkembang hingga nanti jika tidak segera diluruskan dengan usaha nyata, sosialisasi pemahaman, serta mungkin fakta-fakta nyata bahwa sebenarnya golongan atau penyandang disabilitas juga memiliki kesetaraan dengan manusia pada umumnya. Kondisi fisik yang berbeda bahkan tak lengkap, terkadang menyebabkan para difabel tuna daksa ini merasa menjadi kaum minoritas yang dikucilkan oleh masyarakat. Terkadang masyarakatpun memandang para difabel ini sebelah mata. Bahkan tidak sedikit yang mencibir dan menjaga jarak dengan mereka. Hal inilah yang terkadang menyebabkan para difabel tuna daksa ini merasa tidak percaya diri dan minder dengan keadaan fisiknya yang berbeda dengan orang lain. Mereka menjadi cenderung menutup diri, kurang bisa bersosialisasi, dan terkadang mereka menganggap bahwa kekurangan fisik yang mereka miliki adalah suatu bencana yang dibuat Tuhan untuknya. Hal ini menyebabkan mereka tidak bisa menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan hidup yang menghadang mereka. Sebagaimana diungkapkan oleh Stoltz (2000) bahwa semakin sering menganggap sesuatu sebagai bencana dapat menimbulkan kerusakan dan menurunkan semangat. Sehingga mereka yang hanya mengeluh tentang kekurangan fisiknya, akan cenderung menurunkan semangat mereka dalam menjalani hidup. Lain halnya dengan individu difabel tuna daksa yang menganggap bahwa keterbatasan mereka bukanlah bencana yang harus mereka sesali seumur hidup. Setiap orang menginginkan penghargaan positif terhadap dirinya. Penghargaan yang positif dari orang lain akan membuat seseorang merasakan bahwa dirinya berharga, berhasil, dan berguna bagi orang lain. Sehingga dia memiliki konsep diri yang positif tentang dirinya sendiri, meskipun ia memiliki kelemahan atau kekurangan fisik maupun psikis. Menurut Ghufron (2010) konsep diri merupakan salah satu aspek yang cukup penting bagi individu dalam

3 berperilaku. Suatu hal yang sama akan menimbulkan perilaku yang berlainan bila terdapat pada orang-orang yang memiliki konsep diri yang berbeda. Konsep diri ada yang positif dan ada pula yang negatif. Konsep diri yang positif akan menimbulkan perilaku yang positif, sedangkan konsep diri yang negatif akan menimbulkan perilaku yang negatif pula. Begitu juga dengan para difabel tuna daksa ini, semakin mereka memiliki konsep diri yang positif, maka semakin mereka dapat memahami dan menghargai keadaan diri mereka, sebaliknya semakin negatif konsep diri mereka, maka semakin terpuruk dan kecewa atas keadaan fisik yang mereka miliki. Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Fasti Rola (2006) bahwa adanya hubungan antara konsep diri dengan motivasi berprestasi bersifat positif, dimana semakin positif konsep diri maka semakin tinggi motivasi berprestasi yang dimilki remaja. Dan sebaliknya, semakin negatif konsep diri yang dimiliki remaja, maka semakin rendah motivasi berprestasi yang dimilikinya. Masalah-masalah rumit yang dialami manusia, seringkali dan bahkan hampir semua sebenarnya berasal dari dalam diri. Mereka tanpa sadar menciptakan mata rantai masalah yang berakar dari problem konsep diri. Dengan kemampuan berpikir dan menilai, manusia malah suka menilai yang macam-macam terhadap diri sendiri maupun sesuatu atau orang lain, bahkan meyakini persepsinya yang belum tentu obyektif. Dari situlah muncul problem seperti inferioritas, kurang percaya diri, dan hobi mengkritik diri sendiri. Perasaan individu bahwa ia tidak mempunyai kemampuan yang ia miliki. Padahal segala keberhasilan banyak bergantung kepada cara individu memandang kualitas kemampuan yang dimiliki. Pandangan dan sikap negatif terhadap kualitas kemampuan yang dimiliki mengakibatkan individu memandang seluruh tugas sebagai suatu hal yang sulit untuk diselesaikan. Seseorang yang mengalami cacat fisik, pasti akan mengalami tingkat kesulitan yang berbeda dibandingkan dengan orang-orang normal lainnya. Mereka akan menghadapi berbagai tantangan hidup misalnya, melatih tubuh mereka yang memilki keterbatasan, mengoptimalkan fungsi tubuh mereka, bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, dsb. Apalagi jika mereka mempunyai peranan sebagai kepala keluarga, mereka mempunyai kewajiban yang lebih

4 rumit daripada teman-teman sesama mereka yang tidak mendapat tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Mereka harus mampu membiayai segala kebutuhan hidupnya dan keluarga. Para kepala keluarga dengan difabel tuna daksa ini memiliki tanggung jawab yang besar dalam pemenuhan kebutuhan keluarganya, mereka adalah sosok yang harus bisa mengatasi berbagai tantangan hidup yang ada. Para kepala keluarga difabel tuna daksa yang memiliki konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, bertanggung jawab dengan keluarganya, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, dan juga terhadap kegagalan yang dialaminya. Kegagalan bukan dipandang sebagai akhir sebuah perjalanan, namun lebih menjadikannya sebagai pelajaran berharga untuk melangkah ke depan. Sehingga konsep diri mereka pun akan terbangun dengan positif dan mereka mampu menjadi sosok kepala keluarga yang sama bahkan mungkin lebih baik daripada orang yang memiliki kondisi fisik yang lebih sempurna daripada mereka. Terkait dengan hal tersebut maka diperlukan juga kemampuan Adversity Quotient, yang merupakan suatu ukuran untuk merespon terhadap kesulitan dan memberi tahu seberapa jauh kemampuan seseorang untuk bertahan menghadapi kesulitan dan mengatasinya Stoltz (2000). Istilah AQ (Adversity Quotient) ini dipopulerkan oleh Paul Stoltz, dalam bukunya yang berjudul Adversity Quotient Mengubah Hambatan Menjadi Peluang, buku tersebut di susun berdasarkan pengalamanya terjun di dunia kerja dan menjadi konsultan di dunia pendidikan selama beberapa tahun. Dengan memanfaatkan tiga cabang Ilmu Pengetahuan Psikologi Kognitif, Psikoneuroimunologi, dan Neurofisiologi. Ilmu-ilmu di atas memberikan sumbangsih yang cukup besar yang dapat memberikan sebuah pemahaman, ukuran yang dapat meningkatkan efektifitas manusia, terutama dalam menghadapi sebuah kesulitan atau kegagalan kemudian menjadikan kegagalan dan kesulitan itu menjadi sebuah peluang untuk tetap meraih tantangan dan kesuksesan. Individu yang memilki Adversity Quotient (AQ) yang tinggi secara emosional dan fisik cukup lentur dalam menghadapi berbagai kesulitan. Bagi individu difabel tuna daksa keterbatasan mereka merupakan salah satu tantangan

5 yang harus mereka lewati. Mereka akan semakin terampil dan lebih kuat sewaktu menjalani hidupnya. Bagi mereka yang berperan selaku kepala keluarga, mereka harus mampu mengatasi berbagai permasalahan dengan kondisi fisik yang berbeda dengan kebanyakan orang. Mereka menanggung tanggung jawab pada keluarganya, mereka harus mampu bertahan dalam situasi apapun. Situasi yang sulit tidak akan menciptakan halangan-halangan yang tidak dapat diatasi. Setiap kesulitan merupakan tantangan, setiap tantangan merupakan suatu peluang, dan setiap peluang harus disambut dengan baik (Stoltz, 2000). Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh oleh Ira Rahayu (2007) bahwa adanya hubungan antara adversity quotient dengan motivasi pada penderita ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), dalam hal ini adversity quotient mengambil peranan bahwa sebagian subyek penderita HIV/AIDS ini memiliki tingkat adversity quotient yang tinggi, hal ini memunculkan motivasi untuk bertahan hidup yang tinggi pula. Menurut Stoltz (2000), menyatakan bahwa hidup itu seperti mendaki gunung. Kepuasan dicapai melalui usaha yang tidak kenal lelah untuk terus mendaki meskipun terkadang langkah demi langkah yang ditampakkan terasa lambat dan menyakitkan. Sementara itu, kepala keluarga dengan difabel tuna daksa, pasti menghadapi permasalahan yang cukup komplek baik fisik, emosional, dan sosial yang berkaitan dengan kekurangannya tersebut. Dengan keadaan mereka yang bisa dibilang berbeda dengan orang lain, maka konsep diri merekapun akan menganggap mereka berbeda atau tidak normal. Dengan konsep diri yang seperti itu, mereka akan merasa minder, kurang percaya diri dan merasa tidak bisa apa-apa. Kepala keluarga dengan difabel tuna daksa yang memiliki konsep diri yang positif akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang, tanpa melihat kondisi fisik mereka yang berbeda. Konsep diri juga akan mempengaruhi tingkat AQ mereka, para kepala keluarga difabel tuna daksa yang memiliki konsep diri yang positif akan mampu menghadapi segala permasalahan hidup yang terjadi pada hidupnya. Sehingga tingkat AQ merekapun akan tinggi, mereka menjadi lebih mampu mengatasi dan menyelesaikan berbagai

6 permasalahan yang ada. Mereka tidak akan menyerah pada kesulitan dan tantangan hidup apapun. Berdasarkan hal-hal yang diuraikan diatas, maka peneliti ingin mengkorelasikan konsep diri dengan adversity quotient pada kepala keluarga difabel tuna daksa/cacat fisik. Peneliti ingin meneliti lebih dalam apakah terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah adakah hubungan antara self concept dengan adversity quotient pada kepala keluarga difabel tuna daksa? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan adanya hubungan antara self concept dengan adversity quotient pada kepala keluarga difabel tuna daksa di Kabupaten Jombang. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya serta memberikan sumbangan berarti bagi perkembangan disiplin ilmu pengetahuan terutama ilmu Psikologi, khusunya pada Psikologi Perkembangan. 2. Manfaat Praktis Diharapkan hasil penelitian ini bisa memberi masukan-masukan pada penderita difabel tuna daksa bahwa dengan membangun konsep diri yang positif, maka kemampuan adversity quotient (AQ) akan tinggi pula. Hal ini bertujuan agar para kepala keluarga difabel tuna daksa ini memiliki konsep diri yang baik sehingga mereka mampu menghadapi berbagai permasalahan hidup yang ada. Diharapkan juga penelitian ini bisa semakin membangkitkan semangat mereka, sehingga mereka mempunyai self concept yang positif pada dirinya, sehingga mereka tidak akan merasa minder dan kurang percaya diri lagi. Konsep diri yang positif, akan meningkatkan kemampuan AQ sehingga dapat membantu mereka dalam menghadapi segala permasalahan hidupnya dengan lebih baik, tenang dan bijak.