8 Diagnosis Community Aquired Pneumonia (CAP) dan Tatalaksana Terkini Yunita Arlini Bagian Pulmunologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Pendahuluan Pneumonia secara klinis didefinisikan sebagi suatu peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur dan parasit, akan tetapi tidak termasuk yang disebabkan oleh bakteri M.tuberculosis. Pneumonia komuniti atau community acquired pneumonia (CAP) adalah pneumonia yang didapat di masyarakat. Epidemiologi pneumonia dapat terjadi di semua negara tetapi data untuk membandingkan hal itu sangat sedikit terutama di negara berkembang. Di Amerika Serikat pneumonia menjadi penyebab kematian utama diantara penyakit infeksi, tiap tahun terdapat 5-6 juta kasus CAP dengan 1,1 juta pasien yang dirawat dan 45 ribu pasien mengalami kematian akibat pneumonia. Di Indonesia berdasarkan data RISKESDAS tahun 2013 disebutkan bahwa insidens dan prevelens pneumonia sebesar 1,8 persen dan 4,5 persen. Pneumonia dapat menyerang semua kelompok umur, akan tetapi angka kematian lebih tinggi pada kelompok usia lebih dari 60 tahun dibandingkan usia 50 tahun yaitu 2-4 kali lebih tinggi. Sedangkan pada balita pneumonia merupakan penyebab kematian utama 86
balita di dunia, diperkirakan mencapai 2 juta kematian balita akibat pneumonia dari 9 juta kematian pada balita. Olehkarena tingginya angka kematian akibat pneumonia akan tetapi sering tidak disadari maka pneumonia mendapat julukan the forgotten pandemic. Definisi Definisi CAP menurut Infectious Diseases Society of America (IDSA) adalah infeksi akut parenkim paru yang ditandai dengan terdapatnya infiltrat baru pada foto toraks atau ditemukannya perubahan suara napas dan atau ronkhi basah lokal pada pemeriksaan fisik paru yang konsisten dengan pneumonia pada pasien yang tidak sedang dirawat di rumah sakit atau tempat perawatan lain dalam waktu 14 hari sebelum timbulnya gejala. Definisi yang lebih lengkap diberikan oleh BTS yaitu timbulnya gejala infeksi saluran napas bawah yaitu: batuk ditambah minimal satu gejala infeksi saluran napas bawah lain; perubahan hasil pemeriksaan fisik paru; paling kurang satu dari tanda sistemik (berkeringat,demam, menggigil,dan atau suhu 38 0 C); respons setelah pemberian antibiotik. Etiologi Beberapa penelitian prospektif yang dilakukan untuk meneliti etiologi CAP gagal mengidentifikasi kuman penyebab pada 50 persen kasus. Beberapa kuman penyebab yang paling banyak ditemukan adalah Streptococcus pneumonia yang menjadi penyebab pada dua pert tiga kasus pneumonia. Beberapa kuman penyebab lain yaitu Haemophilus influenza, Klebsiella pneumonia, staphylococcus aureus,pseudomonas spp, Mycoplasma pneumonia, Chlamydia, Moraxella catarrhalis, 87
Legionella dan virus influenza. Mycoplasma, Chlamydia, Moraxella dan Legionella merupakan kuman atypical. Beberapa kuman terbanyak penyebab CAP terlihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1. Etiologi CAP menurut ATS/IDSA 2007 Tipe pasien Rawat jalan Rawat inap (non ICU) Rawat inap (ICU) Etiologi S. pneumonia H. influenza M.pneumoniae Chlamydia Respiratory virus S. pneumonia H. influenza M.pneumoniae Chlamydia Legionella Sp Respiratory virus aspirasi S. pneumoniae Staphylococcus aureus Legionella species Gram-negative bacilli H. influenza Data dari beberapa rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa penyebab terbanyak CAP di ruang rawat inap dari bahan sputum adalah kuman gram negatif seperti Klebsiella pneumonia,acitenobacter baumanii, Pseudomonas aeruginosa sedangkan kuman gram positif seperti S.pneumoniae, S.viridans,S.aureus ditemukan dalam jumlah sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir terjadi 88
perubahan pola kuman penyebab CAP di Indonesia sehingga hal ini perlu penelitian lebih lanjut. Data Survelans sentinel SARI (Severe Acute Respiratory Infection) 2010 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI mendapatkan hasil dari biakan sputum pasien CAP yaitu K.pneumoniae (29%), A.baumanii (27%), S.aureus (16%), S.pneumoniae( ), A.calcoaticus (8%), P.aeruginosa (6%) dan E.coli (2%). Pada penyakit paru kronik seperti bronkiektasis, fibrosis kistik dan PPOK biasanya bila terdapat infeksi biasanya berhubungan dengan kuman gram negatif seperti P.aeruginosa. Faktor Risiko Faktor-faktor risiko terjadinya pneumonia berupa usia di atas 60 tahun; terdapat penyakit penyerta seperti diabetes mellitus, PPOK, kardiovaskuler, keganasan,, gagal ginjal, penyakit hati kronik dan gangguan neurologis; alkoholism; malnutrisi; kebiasaan merokok; immunosupresi dan infeksi yang disebabkan gram negatif. CAP yang disertai penyakit penyerta akan meningkatkan angka kematian. American Thoracic Society mengelompokkan faktor risiko berdasarkan faktor modifikasi yaitu: Streptococcus pneumonia resisten Usia di atas 65 tahun Riwayat penggunaan antibiotik beta laktam dalam 3 bulan Imunosupresi (riwayat penggunaan kortikosteroid dalam waktu lama) Penyakit komorbid multiple 89
Alkoholism Enteric gram negatif Riwayat penggunaan antibiotik Penyakit kardiovaskuler Riwayat tingggal di nursing home Penyakit komorbid multipel Pseudomonas aeruginosa: Bronkiektasis Penggunaan antimikroba spektrum luas dalam 7 hari di bulan lalu Penggunaan kortikosteroid minimal prednison 10 mg per hari malnutrisi Diagnosis Diagnosis CAP didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fisis, foto toraks dan laboratorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini : Batuk-batuk bertambah Perubahan karakteristik dahak / purulen Suhu tubuh > 38 0 C (aksila) / riwayat demam Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan ronki Leukosit > 10.000 atau < 4500 Pemeriksaan analisis gas darah, elektrolit, ureum serta fungsi hati dilakukan untuk menetukan derajat keparahan CAP. Uji mikrobiologi 90
dari sputum harus dilakukan pada pasien CAP sedang dan berat, sedangkan pada pasien CAP ringan sebaiknya pemeriksaan mikrobiologis harus berdasarkan faktor-faktor klinis seperti usia, penyakit komorbid dan indikator-indikator beratnya CAP serta faktor epidemiologi dan riwayat antibiotik yang digunakan sebelumnya. Jika hasil pemeriksaan mikrobiologis menemukan kuman penyebab maka antibitiok yang diberikan harus diganti ke antibiotik yang lebih spesifik terhadap kuman penyebab. Pemeriksaan sputum untuk deteksi M.Tb (BTA) dilakukan bila tidak didapatkan perbaikan setelah pemberian antibiotik yang ditandai dengan batuk produktif yang persisten serta gejala klinis lain yang berhubungan dengan Tb. Berdasarkan panduan IDSA pemeriksaan kultur sputum yang disertai dengan pemeriksaan sputum Gram merupakan pemeriksaan rutin yang harus dilakukan pada setiap pasien CAP akan tetapi hal ini tidak menjadi pemeriksaan rutin jika tidak terdapat resiko infeksi oleh kuman resisten menurut panduan ATS oleh karena kuman patogen penyebab CAP hanya ditemukan pada 40-50% dari seluruh pasien. ATS dan IDSA merekomendasikan dilakukannya pungsi pleura jika pada pemeriksaan foto torak lateral dekubitus didapatkan gambaran ketebalan cairan >10 mm untuk menyingkirkan empiema dan efusi parapneumonia. Penilaian derajat keparahan penyakit Penilaian derajat beratnya CAP dapat mempergunakan beberapa skor yaitu CURB-65 (confusion, uremia, respiratory rate, low blood pressure, age 65 years or greater) seperti terlihat pada gambar 1 di bawah ini: 91
Gambar 1. Penilaian keparahan pneumonia dengan skor CURB- 65 Pasien pneumonia yang mendapatkan skor 0 dengan skor CURB- 65 dapat rawat jalan dengan diberikan antimikroba oral selama 5 hari. Pneumonia derajat sedang jika hasil skor CURB-65 1 atau 2 dan pasien harus dirujuk ke rumah sakit, skor3-4 tergolong pneumonia berat dan harus segera mendapatkan antimikroba empirik. Beratnya CAP juga dapat dinilai dengan pneumonia severity index (PSI) skor. Parameterparameter yang digunakan pada PSI skor serta interpretasi hasilnya terlihat pada gambar 2. 92
Gambar 2. Penilaian beratnya pneumonia berdasarkan skor PSI Berdasar kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap CAP adalah : 1. Skor PORT/PSI lebih dari 70 2. Bila skor PORT/PSI kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini: Frekuensi napas > 30/menit Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmhg Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus 93
Tekanan sistolik < 90 mmhg Tekanan diastolik < 60 mmhg 3. Pneumonia pada pengguna NAPZA Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah satu atau lebih' kriteria di bawah ini: Kriteria minor: Frekuensi napas > 30/menit Pa02/FiO2kurang dari 250 mmhg Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus Tekanan sistolik < 90 mmhg Tekanan diastolik < 60 mmhg Kriteria mayor adalah sebagai berikut : Membutuhkan ventilasi mekanik Infiltrat bertambah > 50% Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok) Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/di, pada penderita riwayat penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialisis Penderita yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat Intensif adalah penderita yang mempunyai paling sedikit 1 dari 2 gejala mayor tertentu (membutuhkan ventalasi mekanik dan membutuhkan vasopressor > 4 jam [syok sptik]) atau 2 dari 3 gejala minor tertentu (Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmhg, foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral, 94
dan tekanan sistolik < 90 mmhg). Kriteria minor dan mayor yang lain bukan merupakan indikasi untuk perawatan Ruang Rawat Intensif. Penatalaksanaan Penatalaksanaan CAP berupa terapi antibiotik dan suportif. Terapi suportif dengan pemberian cairan untuk mencegah dehidrasi serta elektrolit dan nutrisi. Selain itu juga dapat diberikan anti piretik jika dibutuhkan serta mukolitik. Pemberian antibiotik diberikan secara empirik dan harus diberikan dalam waktu kurang dari 8 jam. Alasan pemberian terapi awal dengan antibiotik empirik adalah karena keadaan penyakit yang berat dan dapat mengancam jiwa, membutuhkan waktu yang lama jika harus menunggu kultur untuk identifikasi kuman penyebab serta belum dapat dipastikan hasil kultur kuman merupakan kuman penyebab CAP. Panduan penanganan CAP saat ini merekomendasikan melakukan stratifikasi pasien ke dalam kelompok risiko, melakukan pemilihan terapi antimikroba empirik yang tepat berdasarkan peta pola kuman, farmakokinetik dan farmakodinamik obat, ada tidaknya alergi obat, riwayat penggunaan antibiotika sebelumnya, Efek samping obat, patogen lokal, harga. Tujuan pemberian antimikroba adalah untuk menurunkan dan mengeradikasi kuman, menurunkan kesakitan dan kematian serta meminimalkan resistensi. Terapi empiris untuk CAP ( PDPI) Rawat jalan Pasien yang sebelumnya sehat atau tanpa riwayat pemakaian antibiotik 3 bulan sebelumnya Antibiotik Golongan β-laktam or β -laktam ditambah anti β -laktamase Makrolid baru 95
Pasien dengan komorbid atau mempunyai riwayat pemakaian antibiotik 3 bulan sebelumnya Fluorokuinolon respirasi (levofloxacin 750mg atau moxifloxacin ) atau Golongan β -laktam ditambah anti β - laktamase atau β -laktam ditambah makrolid; Rawat Inap Non ICU Fluorokuinolon respirasi (levofloksasin 750mg atau moksifloksasin ) atau β - laktam ditambah makrolid Ruang rawat Intensif Tidak ada faktor risiko infeksi pseudomonas β -lactam (sefotaksim, seftriakson, atau ampisilin - sulbaktam) ditambah makrolid baru atau fluorokuinolon respirasi (levofloksasin 750mg atau moksifloksasin ) Pertimbangan khusus Bila ada faktor risiko infeksi pseudomonas : antipneumokokal, antipseudomonas laktam (piperasilin-tazobaktam, sefepime, imipenem, atau meropenem) ditambah siprofloksasin atau levofloksasin (750mg) Atau β laktam seperti tersebut diatas ditambah aminoglikosida dan azitromisin Atau β laktam seperti tersebut diatas ditambah aminoglikosida dan antipneumokokal fluorokuinolon (untuk pasien yang alergi penisilin, β - laktam diganti dengan aztreonam) Bila curiga disertai infeksi CA-MRSA Tambahkan vancomisin atau linezolid Lama pemberian antibiotik secara oaral maupun intravena minimal 5 hari dan tidak terdapat demam selama 48-72 jam. Sebelum terapi dihentikan pasien dalam keadaan sebagai berikut: tidak memerlukan suplemen oksigen (kecuali untuk penyakit dasarnya) dan tidak memiliki lebih dari satu tanda-tanda ketidakstabilan klinik seperti: Frekuensi nadi > 100 x/menit Frekuensi napas > 24 x/menit Tekanan darah sistolik 90 mmhg 96
Setelah mendapatkan perbaikan dengan antibiotik intravena pada pasien rawat inap maka jika terapi secepatnyadiganti ke oral dengan syarat; hemodinamik stabil, gejala klinis membaik, dapat minum obat per oral dan fungsi gastrointestinal baik. Terapi sulih atau switch terapi dapat dengan 3 cara yaitu sequential,switch over, dan step down. Pasien akan dipulangkan jika dalam waktu 24 jam tidak ditemukan salah satu dibawah ini : Suhu > 37, 80 C Nadi > 100 menit Frekuensi napas > 24/ minute Distolik < 90 mmhg saturasi oksigen < 90% tidak dapat makan per oral 97