NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. khususnya dalam menunjang pertumbuhan ekonomi negara. Bank adalah salah

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi suatu negara. Fungsi bank adalah menjadi intermediasi

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

AKIBAT HUKUM BAGI DEBITUR YANG TELAH MENANDATANGANI PERJANJIAN STANDAR KREDIT PADA BPR TATA ANJUNG SARI DENPASAR

KLAUSULA BAKU PERJANJIAN KREDIT BANK RAKYAT INDONESIA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

TINJAUAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PERJANJIAN KREDIT BANK DIANA SIMANJUNTAK / D

BAB I PENDAHULUAN. satu jasa yang diberikan bank adalah kredit. sebagai lembaga penjamin simpanan masyarakat hingga mengatur masalah

BAB I PENDAHULUAN. melayani masyarakat yang ingin menabungkan uangnya di bank, sedangkan

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

I. PENDAHULUAN. Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN ATAS PENERAPAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN BAKU

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku,

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seiring dengan gencar-gencarnya Pemerintah meningkatkan kegiatan

KONSUMEN DAN KLAUSUL EKSONERASI : (STUDI TENTANG PERJANJIAN DALAM APLIKASI PENYEDIA LAYANAN BERBASIS ONLINE)

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

BAB I PENDAHULUAN. Krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. menyelerasikan dan menyeimbangkan unsur-unsur itu adalah dengan dana (biaya) kegiatan untuk menunjang kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperlancar roda pembangunan, dan sebagai dinamisator hukum

PELAKSANAAN NOVASI SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN KREDIT MACET OLEH BANK

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian hutang piutang ini dalam Kitab Undang-Undang Hukun Perdata

BAB I PENDAHULUAN. makmur berdasaarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN

Oleh: IRDANURAPRIDA IDRIS Dosen Fakultas Hukum UIEU

BAB 1 PENDAHULUAN. Namun demikian perjanjian kredit ini perlu mendapat perhatian khusus dari

PELAKSANAAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DI BANK RAKYAT INDONESIA (BRI) KC SOLO KARTASURA

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan dapat didefinisikan sebagai suatu badan usaha yang menghimpun

LEMBAGA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NASABAH BANK PENGGUNA AUTOMATED TELLER MACHINE (ATM)

NASKAH PUBLIKASI TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN COVER ASURANSI DALAM PERJANJIAN KREDIT DI PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) CABANG BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN. di dalam mewujudkan cita-cita atau tujuan pembangunan nasional, sub sektor ini

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. berkembanganya kerja sama bisnis antar pelaku bisnis. Banyak kerja sama

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat adil dan

Perjanjian Kredit Pada Bank BTPN Ditinjau. Dari Asas Kebebasan Berkontrak. Dian Saputra Sinaga, Budi Santoso, Ery Agus Priyono*) ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam rangka mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. dan pendapatan negara (export earnings) yang merupakan salah satu sumber

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam rangka memelihara

TINJAUAN YURIDIS EKSEKUSI DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Untuk mencapai. pembangunan, termasuk dibidang ekonomi dan keuangan.

BAB I. Pendahuluan. dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. pembangunan di bidang ekonomi. Berbagai usaha dilakukan dalam kegiatan

NASKAH PUBLIKASI KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN BAKU DAN KONSUMEN: Studi Tentang Perlindungan Hukum dalam Perjanjian Penitipan Barang

PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN SURAT SERTIFIKAT TANAH YANG BUKAN MILIK DEBITUR PADA PT. BPR. DEWATA CANDRADANA DI DENPASAR *

BAB I PENDAHULUAN. Suatu kegiatan usaha atau bisnis diperlukan sejumlah dana sebagai modal

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. usaha jasa pencucian pakaian atau yang lebih dikenal dengan jasa laundry.

BAB I PENDAHULUAN. pesat, sehingga produk yang dihasilkan semakin berlimpah dan bervariasi.

BAB I PENDAHULUAN. berbuat semaksimal mungkin dan mengerahkan semua kemampuannya untuk

GADAI DAN HAK KEBENDAAN TINJAUAN YURIDIS GADAI SEBAGAI HAK KEBENDAAN UNTUK JAMINAN KREDIT

BAB I PENDAHULUAN. segala kebutuhannya tersebut, bank mempunyai fungsi yang beragam dalam

PERJANJIAN SEWA BELI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN (Studi Komparatif Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor di Beberapa Perusahaan Finance Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan kemudian dana yang

BAB V PENUTUP. dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Penggunaan Klausula Baku pada Perjanjian Kredit

AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN BAKU. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. tidak menawarkan sesuatu yang merugikan hanya demi sebuah keuntungan sepihak.

BAB II RUANG LINGKUP LARANGAN PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN YANG DIATUR DALAM PERUNDANG-UNDANGAN

BAB I PENDAHULUAN. penduduk menjadikan Indonesia harus dapat meningkatkan berbagai

ASAS NATURALIA DALAM PERJANJIAN BAKU

BAB I PENDAHULUAN. Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu standard

PELAKSANAAN PENANGGUNGAN ( BORGTOCHT ) DALAM PERJANJIAN KREDIT. ( Studi Kasus di PD. BPR BANK PASAR Kabupaten Boyolali )

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

PENERAPAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM PADA KOPERASI SIMPAN PINJAM (KSP) ARTHA JAYA MAKMUR SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. melindungi segenap Bangsa Indonesia, berdasarkan Pancasila dan Undangundang

Azas Kebebasan Berkontrak & Perjanjian Baku

TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DARI KLAUSULA EKSEMSI DALAM KONTRAK STANDAR PERJANJIAN SEWA BELI

BAB I PENDAHULUAN. roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat

TINJAUAN HUKUM PENOLAKAN PERMOHONAN KREDIT BANK TERHADAP NASABAH (Studi Kasus di Bank Rakyat Indonesia (Persero) Cabang Solo Kartasura)

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian yang dimuat secara sah mengikat para pihak sebagai Undang-undang.

MENDUDUKKAN DEBITOR PADA POSISI BERIMBANG DALAM PERJANJIAN KREDIT DITINJAU DARI HUKUM PERLINDUNGAN NASABAH (KAJIAN PADA PT BPR RUDO INDOBANK SEMARANG)

PENERAPAN KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN GADAI PADA PT. PEGADAIAN (PERSERO) 1 Oleh: Sartika Anggriani Djaman 2

BAB I PENDAHULUAN. adalah untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi Indonesia tidak bisa lepas dari dasar falsafah

BAB I PENDAHULUAN. rangka pembaharuan hukum dengan mengadakan kodifikasi dan unifikasi

BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA TAKE OVER PEMBIAYAAN DI PT. BANK SYARIAH MANDIRI CABANG MEDAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Perjanjian pengalihan..., Agnes Kusuma Putri, FH UI, Universitas Indonesia

ASPEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR) PADA PT. BANK TABUNGAN NEGARA (BTN) PERSERO

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

KREDIT TANPA JAMINAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Balakang. Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis didalam kehidupan

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

BAB I PENDAHULUAN. hanya satu, yaitu PT. Pos Indonesia (Persero). Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang

BAB I PENDAHULUAN. pengaturan yang segera dari hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. setelah dikirim barang tersebut mengalami kerusakan. Kalimat yang biasanya

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN BAKU PERUSAHAAN JASA PENGIRIMAN BARANG

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia merupakan negara hukum (rechtstaat) dimana

BAB I PENDAHULUAN. menunculkan bidang-bidang yang terus berkembang di berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN. nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga. Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,

BAB I PENDAHULUAN. Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Guna mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan terencana dan terarah yang mencakup aspek politis, ekonomi, demografi, psikologi, hukum, intelektual maupun teknologi.

BAB 1 PENDAHULUAN. hal. 2. diakses 06 September Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. bahwa kata bank berasal dari bahasa Italy banca yang berarti bence yaitu suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. cukup penting. Bank sebagai sarana dalam bertransaksi terutama transaksi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu

Transkripsi:

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Studi pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Tri Hasta Prasojo di Jaten Karanganyar) NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Oleh: HARRIS BUDI HARTANTO C 100090132 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2015 i

ii

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DEBITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Studi pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Tri Hasta Prasojo di Jaten Karanganyar) HARRIS BUDI HARTANTO C.100.009.132 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2015 harrishartanto69@gmail.com ABSTRAKSI Perjanjian kredit bank adalah perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang. Perjanjian kredit perbankan pada umumnya menggunakan bentuk perjanjian baku, dalam praktiknya bentuk perjanjiannya sudah disediakan oleh pihak bank sebagai kreditor sedangkan debitor hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik. Dimana dalam perjanjian tersebut pihak debitur hanya dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan untuk melakukan negoisasi atau tawar-menawar, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang tidak terlalu menguntungkan bagi salah satu pihak. Dalam perjanjian seperti ini, pihak kedua (debitur) sama sekali tidak dapat mengajukan usul ataupun masukan dan keberatan terhadap format perjanjian dan klausula-klausula yang ada di dalamnya. Kata Kunci: Perjanjian kredit, Perlindungan hukum bagi debitur, Kesesuaian klausul perjanjian kredit dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. ABSTRACT Bank credit agreement is a preliminary agreement on the delivery of money. Bank credit agreement generally use the standart contract from, in practice agreement from has been provided by the bank as creditors while the debtor is only in position to accept or reject without any possibility for negotiation or bargaining. Which in turn gave birth to a treaty that is not very favorable to one party. In such agreements. The second party (the debtor) is simply not able to propose or input and objections to the format of agreements and clauses in it. Keyword: Credit agreement, Legal protection for debtors, Conformity clause credit agreement with Consumer Protection Ac. iii

1 PENDAHULUAN Sistem perbankan memiliki peran penting dalam pembangunan khususnya dalam menunjang pertumbuhan ekonomi negara. Sesuai dengan Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan bahwa: Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau dalam bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak. 1 Pemerintah berusaha menyediakan fasilitas kredit melalui lembaga perbankan untuk membantu perekonomian masyarakat. Fasilitas kredit yang diberikan oleh bank berperan menambah modal usaha nasabah penerima kredit (debitur). Adanya tambahan modal usaha yang diperoleh dari fasilitas kredit dapat membantu meningkatkan perekonomian masyarakat. Undang-undang (UU) No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menetapkan bahwa hanya ada dua jenis bank di Indonesia, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). 2 Kegiatan BPR jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan kegiatan bank umum. BPR dalam melakukan kegiatannya tidak sama dengan kegiatan yang dilakukan oleh bank konvensional (bank umum). Adapun bentuk kegiatan yang boleh dilakukan oleh BPR meliputi: a) Menghimpun dana dalam bentuk simpanan tabungan dan simpanan deposito. b) Menyalurkan pinjaman kepada masyarakat. c) Menyedikan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah. 3 Peranan BPR dalam perekonomian masyarakat dapat dilihat dari skala usahanya. Skala usaha BPR adalah usaha kecil sehingga lebih memiliki kekuatan 1 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 1 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 5 3 Mandala Manurung dan Prathama Rahardja. 2004. Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hal. 214

2 dalam hal likuiditas dibanding bank umum. BPR lebih cenderung memberikan pinjaman jangka pendek kepada debiturnya, karena pinjaman tersebut mempunyai batas pelunasan yang relatif cepat dan dana yang diberikan juga minim. Bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan misalnya debitur ingkar janji terhadap kewajibannya maka risiko yang ditanggung oleh pihak bank relatif kecil. 4 Perjanjian kredit bank adalah perjanjian pendahuluan (vooroverensoms) dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima perjanjian mengenai hubungan -hubungan hukum keduanya. Perjanjian ini bersifat konsensuil (facto de contrahendo) yang dikuasai oleh Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. 5 Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan pada umumnya menggunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). Berkaitan dengan itu, memang dalam praktiknya bentuk perjanjiannya sudah disediakan oleh pihak bank sebagai kreditor sedangkan debitor hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik. Perjanjian yang demikian itu biasa disebut dengan perjanjian baku (standard contract), di mana dalam perjanjian tersebut pihak debitur hanya dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan untuk melakukan negoisasi atau tawar-menawar, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang tidak terlalu menguntungkan bagi salah satu pihak. Perjanjian itu biasanya dalam bentuk formulir yang telah disiapkan oleh bank kemudian diserahkan kepada pihak debitur dengan prinsip take it or leave it contract. 6 4 Ibid. Hal. 216-217 5 Mariam Darus Badrulzaman, 2003, Perjanjian Kredit Bank, Bandung: Alumni, Hal. 28 6 Ibid. Hal. 31-32

3 Pencantuman klausul-klausul yang telah dibuat sepihak oleh pihak bank dalam bentuk perjanjian standart akan memberikan bank kewenangan yang tidak seimbang jika dibandingkan dengan debitur. Hal ini dapat terjadi karena pihak bank merupakan pihak yang lebih unggul secara ekonomis dari pada nasabah yang membutuhkan dana, sehingga menimbulkan keadaan ketentuan yang diatur oleh bank dalam perjanjian kredit, mau tidak mau harus diterima pihak debitur agar dapat memperoleh kredit dari bank yang bersangkutan. Ini memposisikan debitur berada di pihak yang lemah. 7 Lemahnya posisi debitur tersebut disebabkan antara lain perangkat hukum yang ada belum bisa memberikan rasa aman, peraturan perundang-undangan yang ada kurang memadai untuk secara langsung melindungi kepentingan dan hak-hak konsumen. Secara eksplisit sulit ditemukan ketentuan mengenai perlindungan nasabah debitur dalam Undang-Undang perbankan Nomor 10 Tahun 1998, sebagaian besar Pasal-Pasal hanya berkonsentrasi pada aspek kepentingan perlindungan bank sehingga kedudukan nasabah sangatlah lemah, perjanjian kredit yang biasanya menggunakan standar kontrak, senantiasa membebani debitur dengan berbagai macam kewajiban dan tanggung jawab atas resiko yang ditimbulkan selama perjanjian berlangsung ditujukan kepada debitur. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah perlindungan hukum bagi debitur dari risiko yang timbul dalam perjanjian kredit? (2) Apakah klausul-klausul dalam perjanjian kredit sesuai tidak dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen? 7 Denggan Maruli Tobing. 2008. Resiko Hukum yang Terjadi di Dalam Perjanjian Bank Dalam Kaitannya dengan Perlindungan Konsumen. Jurnal Penelitian Hukum Universitas Sumatera Utara. Hal 100

4 Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mendeskripsikan upaya-upaya perlindungan bagi debitur dari risiko yang timbul dalam perjanjian kredit. (2) Untuk mengetahui sesuai tidaknya klausul-klausul dalam perjanjian kredit dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Manfaat penelitian ini adalah: (1) Secara teoritis diharapkan memberi manfaat bagi perkembangan ilmu hukum khususnya di bidang hukum perjanjian dan hukum perlindungan konsumen. (2) Secara praktis, output yang dihasilkan dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan pelayanan dan pemberdayaan bagi kredit dengan melihat permasalahan yang menyebabkan kurang optimalnya peran perbankan dalam memfasilitasi permodalan bagi masyarakat pelaku usaha. (3) Secara praktis hasil kajian ini diharapkan mampu memberikan arahan yang jelas sekaligus perlindungan bagi kreditur dalam merealisasikan kredit. Secara metodologis penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian yuridis empiris. Yuridis empiris adalah yaitu pendekatan yang digunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian data primer di lapangan. Yuridis empiris merupakan suatu pendekatan yang mengacu pada peraturan tertulis untuk kemudian dilihat bagaimana implementasi nya di lapangan. 8 Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif analitis, yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Deskriptif analitis karena hal 8 Soejono Soekanto. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Hal. 17

5 ini diharapkan mampu memberikan gambaran secara rinci, sistematik dan menyeluruh mengenai segala hal yang berhubungan dengan perjanjian kredit perbankan. 9 Jenis dan sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah (1) Data primer yang berupa data yang diperoleh secara langsung dilapangan. (2) Data sekunder berupa data yang diperoleh dari studi kepustakaan yang berupa bukubuku, perundang-undangan, arsip asas-asas hukum dan dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Penelitian ini analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Tiga komponen utama analisis kualitatif adalah: (1) reduksi data, (2) sajian data, (3) penarikan kesimpulan atau verifikasi. Tiga komponen tersebut terlibat dalam proses dan saling berkaitan serta menentukan hasil akhir analisis. 10 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Perlindungan Hukum Bagi Debitur Dari Risiko Yang Timbul Dalam Perjanjian Kredit Dalam Perjanjian Kredit Nomor: 969/XXII/06/PK/2014 Tanggal 3 Juni 2014 ada beberapa klasula yang pada akhirnya tidak terlalu menguntungkan bagi salah satu pihak, yaitu pihak Debitur, apabila dilihat klausul-klausul yang ditetapkan secara sepihak oleh PT. Bank Pengkreditan Rakyat dalam hasil penelitian yang diperoleh peneliti, dapat dideskripsikan sebagai berikut: Pasal 4 dalam Perjanjian Kredit Nomor: 969/XXII/06/PK/2014 9 Ibid. Hal. 23 10 Lexy J Moleong. 2007. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Tarsito. Hal. 179

6 Atas keterlambatan oleh peminjam, baik pembayaran bunga maupun pembayaran pokok pinjaman, maka peminjam sanggup dikenakan denda yang besarnya 1% (satu persen) diatas bunga yang berlaku (diberikan) perbulan dari hutang yang seharusnya sudah terbayar dan apabila peminjam tidak membayar bunga yang telah ditentukan pada waktunya, maka atas bunga tersebut dikenakan bunga lagi sebesar bunga yang ditentukan dalam Perjanjian Kredit. Maksud dari klausul ini adalah debitur akan dikenakan denda sebesar 1% (satu persen) di atas bunga yang berlaku setiap bulannya dari hutang yang seharusnya sudah terbayar dan apabila debitur tidak membayar baik pembayaran bunga maupun pokok pinjaman yang telah ditentukan pada waktu yang telah ditentukan maka debitur akan dikenakan bunga lagi sebesar bunga yang ditentukan dalam perjanjian kredit. Latar belakang klausul ini ialah untuk antisipasi apabila dari pihak debitur tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan jatuh tempo yang telah disepakati atau yang telah ditentukan oleh para pihak. Supaya nantinya pihak debitur dapat memenuhi kewajibannya dan pihak kreditur tidak merasa dirugikan. Klausul ini merupakan bentuk dari klausul baku yang dibuat berdasarkan kebijakan Pelaku usaha sendiri yaitu Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Tri Hasta Prasojo dan tidak berkaitan dengan debitur (konsumen), semata-mata untuk melindungi pelaku usaha dari debitur (konsumen) yang tidak beritikad baik. Namun dengan adanya klausul ini justru membuat pihak debitur merasa keberatan atau malah merasa dirugikan karena dari setiap keterlambatan pemenuhan kewajiban dari pihak debitur maka bunga dari pinjamannya akan bertambah. Kalusul ini sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa:

7 Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. Apabila terjadi hal-hal yang disebutkan dalam klausula tersebut, maka Debitur atau peminjam (konsumen) memperoleh perlindungan dalam hal keterlambatan penuhan kewajiban dari pihak debitur dalam pembayaran pokok pinjaman atau bunga. Pasal 5 dalam Perjanjian Kredit Nomor: 969/XXII/06/PK/2014 Peminjam berhak membayar kredit yang diterimanya baik seluruhnya maupun sebagian sebelum jatuh tempo perjanjian kredit ini. Dengan jatuh temponya perjanjian kredit ini, peminjam harus membayar lunas seluruh kredit yang telah diterimanya, termasuk bunga, denda, dan ongkos-ongkos lain yang timbul dengan adanya perjanjian kredit ini. Maksud klausul ini adalah peminjam atau debitur setelah jatuh temponya perjanjian kredit, peminjam atau debitur harus membayar lunas seluruh kredit yang telah diterimanya, dimana termasuk bunga, denda, dan ongkos-ongkos lain yang timbul dengan adanya perjanjian kredit tersebut. Latar belakang klausul ini ialah bagi kreditur agar pihak Kreditur tidak akan mengalami kerugian, karena dalam klausul ini sudah jelas dari pihak peminjam atau debitur akan melunasi seluruh kredit yang telah diterimanya, termasuk bunga, denda, dan ongkos-ongkos lain yang timbul dengan adanya perjanjian kredit ini. Klausul ini merupakan bentuk dari klausul baku yang dibuat berdasarkan kebijakan Pelaku usaha sendiri yaitu Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Tri Hasta Prasojo dan tidak berkaitan dengan debitur (konsumen), Jadi peminjam atau

8 debitur tidak dapat melakukan negosiasi dalam menentukan isi dari klausul ini. Dengan demikian membuat pihak peminjam atau debitur merasa keberatan dan merasa dirugikan dengan adanya klausul ini karena yang berisikan tambahan kewajiban-kewajiban dari pihak peminjam atau debitur atas pengembalian pinjaman kredit yang telah diterimanya dengan biaya-biaya tambahan seperti yang tersebut dalam klausul ini Kalusul ini sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa: Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. Apabila terjadi hal-hal yang disebutkan dalam klausula tersebut, maka Debitur atau peminjam (konsumen) memperoleh perlindungan dalam hal kewajiban-kewajiban tambahan dalam pengembalian pinjaman kredit yang telah diterimanya. Pasal 10 dalam Perjanjian Kredit Nomor: 969/XXII/06/PK/2014 Atas penyerahan jaminan tersebut sesuai Pasal 9, peminjam dan/atau penjamin dengan ini memberi kuasa kepada Bank yang tidak dapat dicabut kembali untuk mengasuransikan jaminan tersebut kepada suatu PT Asuransi untuk harga yang ditetapkan oleh Bank dengan diberikan bankers clause bila Bank menganggap perlu. Maksud klausul ini adalah bahwa jaminan yang telah diserahkan kepada pihak kreditur tidak dapat dicabut kembali oleh pihak peminjam atau penjamin untuk mengansuransikan jaminan tersebut kepada suatu PT Asuransi untuk harga yang ditetapkan oleh Bank dengan diberikan bankers clause bila Bank

9 menganggap perlu. Bankers clause maksudnya adalah apabila jaminan kredit diasuransikan oleh Bank, maka Bank berhak meminta agar pada polis atas pertanggungan asuransi jaminan kredit tersebut ditutup dengan persyaratan Bankers clause, yang berarti setiap ganti rugi yang diberikan penanggung kepada tertanggung harus diterimakan lebih dahulu kepada pihak Bank, jika ada jumlah yang tersisa dapat diserahkan pada debitur. Berdasarkan hal itu, telah ada sepakat antara bank dan tertanggung bahwa jika terjadi kehilangan atau kerusakan pada apa yang dipertanggungjawabkan, pembayaran kerugian akan diurus pihak bank kepada penanggung hingga jumlah yang disebutkan di dalam perjanjian kredit, yaitu hutang pokok ditambah bunga dan biaya-biaya lainnya tanpa mengurangi hak tertanggung atas kelebihan jumlah ganti rugi. Penanggung membebaskan bank tersebut dari segala pengecualian atau alasan, untuk menolak pembayaran yang kirannya dapat digunakan terhadap tertanggung. Klausul ini merupakan bentuk dari klausul baku yang dibuat berdasarkan kebijakan Pelaku usaha sendiri yaitu Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Tri Hasta Prasojo dan tidak berkaitan dengan debitur (konsumen), semata-mata untuk melindungi pelaku usaha dari debitur (konsumen) yang tidak beritikad baik. Namun dengan adanya klausul ini pihak debitur juga merasa keberatan karena tidak dapat menarik kembali jaminan yang telah diberikan kepada pihak kreditur. Walaupun demikian pihak debitur juga harus tetap mematuhinya atau tunduk akan ketentuan yang disebutkan dalam klausul ini. Klausul ini sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa:

10 Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. Apabila terjadi hal-hal yang disebutkan dalam klausula tersebut, maka Debitur atau peminjam (konsumen) memperoleh perlindungan dalam hal pihak debitur tidak dapat menarik kembali jaminan yang telah diberikan kepada pihak kreditur. Sesuai Tidaknya Klausul-Klausul dalam Perjanjian Kredit dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Berdasarkan Perjanjian Kredit Nomor: 969/XXII/06/PK/2014 Tanggal 3 Juni 2014 terdapat beberapa klausula-klausula yang ditetapkan sepihak oleh pihak PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Tri Hasta Prasojo tanpa melibatkan dari pihak Doktoranda Nyonya Ranti, jika ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sesuai tidaknya dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu dapat diuraikan sebagai berikut: Pasal 4 dalam Perjanjian Kredit Nomor: 969/XXII/06/PK/2014 Latar belakang klausul ini ialah untuk antisipasi apabila dari pihak debitur tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan jatuh tempo yang telah disepakati atau yang telah ditentukan oleh para pihak. Supaya nantinya pihak debitur dapat memenuhi kewajibannya dan pihak kreditur tidak merasa dirugikan. Dimana dalam klausul ini dijelaskan bahwa debitur akan dikenakan denda sebesar 1% ( satu persen) diatas bunga yang berlaku setiap bulannya dari hutang

11 yang seharusnya sudah terbayar dan apabila debitur tidak membayar baik pembayaran bunga maupun pokok pinjaman yang telah ditentukan pada waktu yang telah ditentukan maka debitur akan dikenakan bunga lagi sebesar bunga yang ditentukan dalam perjanjian kredit. Dengan adanya klausul ini justru membuat pihak debitur merasa keberatan atau malah merasa dirugikan karena dari setiap keterlambatan pemenuhan kewajiban dari pihak debitur maka bunga dari pinjamannya akan bertambah. Klausul tersebut sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa: Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. Dengan demikian pihak debitur akan tunduk dengan adanya peraturan tambahan yang telah dicantumkan dalam klausul ini. Pasal 5 dalam Perjanjian Kredit Nomor: 969/XXII/06/PK/2014 Latar belakang klausul ini ialah bagi kreditur agar pihak Kreditur tidak akan mengalami kerugian, karena dalam klausul ini sudah jelas dari pihak peminjam atau debitur setelah jatuh temponya perjanjian kredit, peminjam atau debitur harus membayar lunas seluruh kredit yang telah diterimanya, dimana termasuk bunga, denda, dan ongkos-ongkos lain yang timbul dengan adanya perjanjian kredit tersebut.

12 Dengan demikian membuat pihak peminjam atau debitur merasa keberatan dan merasa dirugikan dengan adanya klausul ini karena yang berisikan tambahan kewajiban-kewajiban dari pihak peminjam atau debitur atas pengembalian pinjaman kredit yang telah diterimanya dengan biaya-biaya tambahan seperti yang tersebut dalam klausul ini. Klausul tersebut sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa: Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. Pihak debitur akan tunduk dengan adanya peraturan tambahan yang telah dicantumkan dalam klausul ini. Pasal 10 dalam Perjanjian Kredit Nomor: 969/XXII/06/PK/2014 Latar belakang klausul ini ialah bagi kreditur untuk menghindari kerugian yang timbul adanya perjanjian kredit tersebut. Dimana dalam klausul ini disebutkan bahwa jaminan yang telah diserahkan kepada pihak kreditur tidak dapat dicabut kembali oleh pihak peminjam atau penjamin untuk mengansuransikan jaminan tersebut kepada suatu PT Asuransi untuk harga yang ditetapkan oleh Bank dengan diberikan bankers clause bila Bank menganggap perlu. Bankers clause maksudnya adalah apabila jaminan kredit diasuransikan oleh Bank, maka Bank berhak meminta agar pada polis atas pertanggungan asuransi jaminan kredit tersebut ditutup dengan persyaratan Bankers clause, yang berarti setiap ganti rugi yang diberikan penanggung kepada tertanggung harus

13 diterimakan lebih dahulu kepada pihak Bank, jika ada jumlah yang tersisa dapat diserahkan pada debitur. Berdasarkan hal itu, telah ada sepakat antara bank dan tertanggung bahwa jika terjadi kehilangan atau kerusakan pada apa yang dipertanggungjawabkan, pembayaran kerugian akan diurus pihak bank kepada penanggung hingga jumlah yang disebutkan di dalam perjanjian kredit, yaitu hutang pokok ditambah bunga dan biaya-biaya lainnya tanpa mengurangi hak tertanggung atas kelebihan jumlah ganti rugi. Penanggung membebaskan bank tersebut dari segala pengecualian atau alasan, untuk menolak pembayaran yang kirannya dapat digunakan terhadap tertanggung. Adanya klausul ini pihak debitur juga merasa keberatan karena tidak dapat menarik kembali jaminan yang telah diberikan kepada pihak kreditur. Walaupun demikian pihak debitur juga harus tetap mematuhinya atau tunduk akan ketentuan yang disebutkan dalam klausul ini. Klausul tersebut sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa: Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. Dengan demikian pihak debitur juga akan tunduk dengan adanya peraturan tambahan yang telah dicantumkan dalam klausul ini.

14 PENUTUP Kesimpulan Perlindungan Hukum Bagi Debitur Dari Risiko Yang Timbul Dalam Perjanjian Kredit Pihak debitur (konsumen) memperoleh perlindungan hukum apabila klausula yang ditetapkan secara sepihak oleh pihak kreditur (Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Tri Hasta Prasojo) dalam Perjanjian Kredit Nomor: 969/XXII/06/PK/2014 Tanggal 3 Juni 2014 melanggar ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan khususnya yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan hasil pembahasan, dapat diketahui bahwa PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Tri Hasta Prasojo dalam perjanjian kredit yang telah disepakatinya dengan debitur telah mencantumkan klausula eksonerasi yang berbentuk klausula baku yang dilarang oleh Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Oleh karena itu debitur memperoleh perlindungan hukum dari risiko yang timbul dalam perjanjian kredit atau apabila terjadi hal-hal seperti yang tercantum dalam klausul-klausul Perjanjian Kredit Nomor: 969/XXII/06/PK/2014 Tanggal 3 Juni 2014 sebagai berikut: Pertama, Pasal 4 mengenai hal keterlambatan penuhan kewajiban dari pihak debitur dalam pembayaran pokok pinjaman atau bunga, Kedua, Pasal 5 mengenai hal kewajiban-kewajiban tambahan dalam pengembalian pinjaman kredit yang telah diterimanya, Ketiga, Pasal 10 mengenai hal pihak debitur tidak dapat menarik kembali jaminan yang telah diberikan kepada pihak kreditur, Pada dasarnya konsumen memperoleh Perlindungan Hukum oleh peraturan perundang-undangan, karena sifat dari peraturan perundang-undangan

15 mengatur mengenai hal yang dilarang, sedangkan pelaku usaha membuat kebijakan hal yang dilarang oleh undang-undang sehingga konsumen memperoleh perlindungan hukum. Sesuai Tidaknya Klausul-Klausul dalam Perjanjian Kredit dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Berdasarkan hasil pembahasan, dapat diketahui bahwa Perjanjian Kredit Nomor: 969/XXII/06/PK/2014 Tanggal 3 Juni 2014 dimana dalam perjanjian tersebut terdapat klausul-klausul yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu sebagai berikut: Pertama, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 14, Pasal 15 dalam Perjanjian Kredit Nomor: 969/XXII/06/PK/2014 Tanggal 3 Juni 2014 sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kedua, Pasal 8 dan Pasal 16 dalam Perjanjian Kredit Nomor: 969/XXII/06/PK/2014 Tanggal 3 Juni 2014 sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan uraian diatas yang mengatakan bahwa klausul-klausul tersebut telah sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) huruf a dan Pasal 18 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada dasarnya undang-undang mengatur hal-hal yang dilarang, maka dapat diambil kesimpulan bahwa klausul-klausul tersebut yang telah ditetapkan sepihak oleh pihak Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Tri Hasta Prasojo memuat ketentuan yang dilarang, sehingga perlu adanya perubahan dalam pencantuman ketentuan, syarat-

16 syarat dan isi dalam perjanjian kredit, yang pada akhirnya pihak debitur tidak akan merasa banyak dirugikan. Saran Penulis akan memberikan beberapa saran, yaitu antara lain: Pertama, Untuk Debitur (konsumen), harus lebih berhati-hati sebelum melibatkan dirinya dalam suatu perjanjian, khususnya perjanjian kredit. Pada dasarnya suatu perjanjian kredit terdapat klausula baku dan klausul eksonerasi yang berpotensi merugikan kosumen. Kedua, Untuk Pelaku Usaha (Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Tri Hasta Prasojo), dalam pemuatan klausula eksonerasi yang dibuat dalam bentuk klausula baku pada perjanjian kredit hendaknya mulai dihapuskan, karena mengingat agar pihak debitur tidak banyak merasa dirugikan. Ketiga, Bagi seluruh lapisan warga masyarakat secara umum, dengan adanya tulisan ini dapat memberikan manfaat dan sumbangan ilmu pengetahuan mengenai Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Debitur dalam Perjanjian Kredit Perspektif Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dengan demikian dapat lebih waspada atau hati-hati apabila hendak melakukan transaksi secara kredit dengan pihak Bank, perlu adanya ketelitian mengenai perjanjian yang akan disepakatinya nanti yaitu perjanjian kredit antara pidak debitur dengan pihak Bank, karena perjanjian yang akan disepakatinya nanti mengenai ketentuan, syarat-syarat dan isi dikentukan oleh pihak Bank, oleh karena itu warga masyarakat yang hendak melakukan transaksi secara kredit

17 untuk lebih diperhatikan lagi mengenai klausul-klausul yang tercantum dalam perjanjian kredit tersebut, sehingga nantinya tidak akan banyak merasa dirugikan. Keempat, Untuk Pemerintah dalam hal ini selaku Pembentuk Undang- Undang, dalam menetapkan peraturan yaitu Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, mengenai ketentuan pencantuman klausul baku yang diatur dalam Pasal 18 Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, didalam Pasal 18 tersebut hanya dimaksudkan untuk membatasi pencantuman klausul baku dan klausul eksonerasi, jadi bukan melarang sama sekali. Dengan demikian sebaiknya untuk melarang sama sekali dalam pencantuman klausul baku dan klausul eksonerasi sehingga pelaku usaha tidak akan semena-semena mencantumkan klausul baku yang dapat merugikan konsumen.

18 DAFTAR PUSTAKA Badrulzaman, Mariam Darus, 2003, Perjanjian Kredit Bank, Bandung: Alumni. Manurung, Mandala dan Pratama Rahardja. 2004. Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter (Kajian Kontekstual Indonesia). Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI. Moleong, Lexy J, 2007, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Tarsito. Sjahdeni, Sutan Remy, 2003, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta: Institut Bankir Indonesia. Soekanto, Soerjono. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Tobing, Denggan Maruli. 2008. Resiko Hukum yang Terjadi di Dalam Perjanjian Bank Dalam Kaitannya dengan Perlindungan Konsumen. www.usu Responsitory.co.id. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen UU No. 10 Tahun 1988 tentang Perbankan Prof.R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. 2008 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT. Paramita