BAB IV RESPONS ULAMA NU DAN MUHAMMADIYAH KUDUS TERHADAP UPAYA UNIFIKASI KALENDER HIJRIAH DI INDONESIA PERSPEKTIF FIKIH

dokumen-dokumen yang mirip
Fiqh Ulil Amri: Perspektif Muhammadiyah 1

PERADABAN TANPA KALENDER UNIFIKATIF: INIKAH PILIHAN KITA? Syamsul Anwar

BAB IV JUAL BELI SEPATU SOLID DI KECAMATAN SEDATI SIDOARJO DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH MURSALAH

BAB I PENDAHULUAN. baik secara nasional maupun internasional dalam halnya menentukan awal bulan

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan analisis dalam pembahasan disertasi ini, peneliti. 1. Matlak menurut fikih adalah batas daerah berdasarkan jangkauan

MENYATUKAN SISTEM PENANGGALAN ISLAM. Syamsul Anwar

Perbedaan Penentuan Awal Bulan Puasa dan Idul Fitri diantara Organisasi Islam di Indonesia: NU dan Muhammadiyah

Kelemahan Rukyat Menurut Muhammadiyah PERMASALAHAN RUKYAT

PERBEDAAN IDUL FITRI: HISAB, RU YAH LOKAL, DAN RU YAH GLOBAL

BAB I PENDAHULUAN. dan hari raya Islam (Idul fitri dan Idul adha) memang selalu diperbincangkan oleh

ULIL AMRI DALAM TINJAUAN TAFSIR 1

ANALISIS FIQH SIYASAH TENTANG PERAN BADAN ANGGARAN DPRD KOTA SURABAYA DALAM MEREALISASIKAN FUNGSI BUDGETING

HISAB PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH MENURUT MUHAMMADIYAH (STUDI PENETAPAN HUKUMNYA) SKRIPSI

BAB IV ANALISIS METODE ISTINBA<T} HUKUM FATWA MUI TENTANG JUAL BELI EMAS SECARA TIDAK TUNAI

BAB III PROSES IJMA MENURUT ABDUL WAHAB KHALLAF DAN PROSES PENETAPAN HUKUM DALAM KOMISI FATWA MUI

BAB 1 PENDAHULUAN. nampaknya semua orang sepakat terhadap hasil hisab, namun penentuan awal

Rukyat Legault, Ijtimak Sebelum Gurub, dan Penyatuan Kalender Islam

HISAB PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH MENURUT MUHAMMADIYAH (STUDI PENETAPAN HUKUMNYA) NASKAH PUBLIKASI

IMKAN RUKYAT: PARAMETER PENAMPAKAN SABIT HILAL DAN RAGAM KRITERIANYA (MENUJU PENYATUAN KALENDER ISLAM DI INDONESIA)

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI SAWAH BERJANGKA WAKTU DI DESA SUKOMALO KECAMATAN KEDUNGPRING KABUPATEN LAMONGAN

BAB IV PERBEDAAN DAN PERSAMAAN DALAM PENENTUAN AWAL BULAN SYAWAL 1992, 1993, 1994 M DAN AWAL ZULHIJAH 2000 M ANTARA NAHDLATUL ULAMA DAN PEMERINTAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB III RESPONS ULAMA NU DAN MUHAMMADIYAH KUDUS TERHADAP UPAYA UNIFIKASI KALENDER HIJRIAH DI INDONESIA PERSPEKTIF ASTRONOMI

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP BISNIS PULSA DENGAN HARGA DIBAWAH STANDAR

MAKNA DUA KALIMAT SYAHADAT DAN KONSEKUENSINYA

KOMPETENSI DASAR: INDIKATOR:

BAB IV ANALISIS KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI


BAB I PENDAHULUAN. ajaran yang sangat sempurna dan memuat berbagai aspek-aspek kehidupan

BAB IV ANALISIS PANDANGAN MUHAMMADIYAH DAN THOMAS DJAMALUDDIN TENTANG WUJU<DUL HILAL

PERMASALAHAN RUKYAT. Majelis Tarjih dan Tajdid

Unifikasi Kalender Islam di Indonesia Susiknan Azhari

Makalah Syar u Man Qoblana

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 4 Tahun 2003 Tentang PENGGUNAAN DANA ZAKAT UNTUK ISTITSMAR (INVESTASI)

Etimologis: berasal dari jahada mengerahkan segenap kemampuan (satu akar kata dgn jihad)

Proposal Ringkas Penyatuan Kalender Islam Global

UNTUK KALANGAN SENDIRI

ZAKAT PENGHASILAN. FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 3 Tahun 2003 Tentang ZAKAT PENGHASILAN

BAB IV. A. Analisis Tentang Deskripsi Pasangan Kawin Sirri Di Desa Blimbing. Pernikahan secara sirri di Desa Blimbing Kecamatan Mojo

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM PINJAM MEMINJAM UANG DENGAN BERAS DI DESA SAMBONG GEDE MERAK URAK TUBAN

Bulan Penuh Rahmat itu Telah Meninggalkan Kita. Written by Mudjia Rahardjo Friday, 15 November :41 -

Tafsir Depag RI : QS Al Baqarah 285

Urgensi Berakhlaq Islami Dalam Bisnis

BAB IV ANALISIS MAṢLAḤAH TENTANG POLIGAMI TANPA MEMINTA PERSETUJUAN DARI ISTRI PERTAMA

Pendidikan Agama Islam

Qawaid Fiqhiyyah. Niat Lebih Utama Daripada Amalan. Publication : 1436 H_2015 M

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP APLIKASI RIGHT ISSUE DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI) SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. karena itu para ahli hukum Islam menentukan lembaga-lembaga mana yang. berwenang melakukannya, prosedur dan mekanismenya.

BAB IV. A. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh dalam Putusan No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO tentang Tindak Pidana Pembakaran Lahan.

Muhammadiyah Sebagai. Gerakan Tajdid

BAB IV. Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 2 Tahun 2008 Tentang Partai. Politik, dalam pasal 1 ayat (1) yang berbunyi : Partai politik adalah

Membuka Kembali Lembaran Sejarah Ghadir Khum

BAB IV PEMERATAAN HARTA WARISAN DI DESA BALONGWONO DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perbankan Islam sekarang ini telah dikenal luas di belahan dunia

DZIKIR PAGI & PETANG dan PENJELASANNYA

KOMPETENSI DASAR INDIKATOR:

Lahirnya ini disebabkan munculnya perbedaan pendapat

BAB IV ANALISIS PENDAPAT TOKOH NU SIDOARJO TENTANG MEMPRODUKSI RAMBUT PALSU

PEMBINAAN MENTAL GENERASI MUDA MENGHADAPI ERA GLOBALISASI

AHMADIYAH SEBAGAI PAHAM DAN GERAKAN KEAGAMAAN

Article Review. : Jurnal Ilmiah Islam Futura, Pascasarjana UIN Ar-Raniry :

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan agama yang lain adalah bahwasannya peribadatan dalam

KRITERIA MASLAHAT. FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 6/MUNAS VII/MUI/10/2005 Tentang KRITERIA MASLAHAT

KOMPETENSI DASAR: INDIKATOR:

NIKAH MUT AH. Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, setelah :

BAB I PENDAHULUAN. rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.

Jurnal TARJIH. Ketua Penyunting Syamsul Anwar. Penyunting Pelaksana Moh. Soehadha, Saptoni

BAB IV ANALISIS. juga merupakan kepentingan untuk kesejahteraan umat Islam pada umumnya

BAB IV ANALISIS SEWA MENYEWA TAMBAK YANG DIALIHKAN SEBELUM JATUH TEMPO MENURUT HUKUM ISLAM. A. Analisis Terhadap Akad Sewa Menyewa Tambak

BAB IV ANALISIS JARI<MAH TA ZI<R TERHADAP SANKSI HUKUM MERUSAK ATAU MENGHILANGKAN TANDA TANDA BATAS NEGARA DI INDONESIA

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

PERUMUSAN GARIS TANGGAL KAMARIAH INTERNASIONAL BERDASARKAN KONJUNGSI

الحكمة ضالة الموافي انما وجدها اخذها "

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP HUKUMAN MATI BAGI PENGEDAR NARKOTIKA. dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009.

Tugas Penulisan Karya Tulis Ilmiah (Materi : Batasan dan Ragam KTI)

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENENTUAN HAK ATAS DISKON PADA PEMBIAYAAN MURABAHAH DI BMT ASY-SYIFA KENDAL

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN UPAH DENGAN KULIT HEWAN KURBAN DI DESA JREBENG KIDUL KECAMATAN WONOASIH KABUPATEN PROBOLINGGO

PENGELOLAAN HARTA ZAKAT

KAIDAH FIQH. "Mengamalkan dua dalil sekaligus lebih utama daripada meninggalkan salah satunya selama masih memungkinkan" Publication: 1436 H_2015 M

IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK

PERSATUAN DAN KERUKUNAN

Tafsir Depag RI : QS Al Baqarah 284

PENEMPELAN PHOTO PADA MUSHAF AL-QUR AN (KEMULIAAN AL-QUR AN)

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERSEPSI NASABAH TENTANG APLIKASI MURA<BAH}AH DI BMS FAKULTAS SYARIAH

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Agama Islam merupakan salah satu aspek penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan pada dasarnya merupakan perilaku makhluk ciptaan. TuhanYang Maha Esa yang tidak hanya terbatas pada diri seorang manusia

BAB V PENUTUP. sebelumnya, serta arahan dari pembimbing maka dalam bab ini penulis dapat

KAIDAH FIQH. Sebuah Ijtihad Tidak Bisa Dibatalkan Dengan Ijtihad Lain. حفظه هللا Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf

BAB II PEMBAHASAN TENTANG MASLAHAH

Landasan Sosial Normatif dan Filosofis Akhlak Manusia

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP APLIKASI TABUNGAN RENCANA MULTIGUNA DI PT. BANK SYARI AH BUKOPIN Tbk. CABANG SURABAYA

KAIDAH FIQHIYAH. Pendahuluan

HUKUM ISLAM DAN KONTRIBUSI UMAT ISLAM INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. berpasang-pasangan termasuk di dalamnya mengenai kehidupan manusia, yaitu telah

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK JUAL BELI LEGEN. A. Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Tokoh Agama Tentang Praktek

BAB IV ANALISIS HEDGING TERHADAP KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK-BBM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS ZAKAT PADA PRODUK WADI <AH (TABUNGAN HAJI) DI BANK BPRS BAKTI MAKMUR INDAH KRIAN

BAB I PENDAHULUAN. samawi lain yang datang sebelumnya. Allah Swt. mewahyukan al-quran kepada

HILMAN FAJRI ( )

Abdul Rachman dan Thomas Djamaluddin Peneliti Matahari dan Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Transkripsi:

BAB IV RESPONS ULAMA NU DAN MUHAMMADIYAH KUDUS TERHADAP UPAYA UNIFIKASI KALENDER HIJRIAH DI INDONESIA PERSPEKTIF FIKIH A. Respons Ulama Kudus Terhadap Upaya Unifikasi Kalender Hijriah di Indonesia Perspektif Fikih Diskusi tentang penyatuan kalender hijriah di Indonesia sampai saat ini masih terfokus pada tataran pencarian kriteria penentuan awal bulan yang akan digunakan. Sebenarnya di Indonesia sudah ada kriteria yang hampir disepakati oleh semua ormas. Namun dapat kita lihat, kesepakatan tinggallah kesepakatan, komitmen untuk mewujudkan kesepakatan tersebut yang tidak secara serempak orang mau melakukannya. Posisi sekarang ini, ormas Islam di Indonesia dalam seperti NU dan Persis menerbitkan almanak hijriah menggunakan kriteria imkan ar-rukyat kecuali Muhammadiyah yang masih menggunakan kriteria wujud alhilal, padahal permasalahan penyatuan kalender hijriah tidak hanya mengerucut pada pencarian kriteria. 1 Integritas antara ormas Islam di Indonesia mengupayakan perbedaan dapat surut dan permasalahan yang timbul dari ḥisab rukyat, karena dalam masalah ini tidak hanya berkutat pada cakupan astronomis dan fikih yang mempengaruhi kualitas peribadatan, akan tetapi lebih luas lagi berpengaruh pada permasalahan sosial masyarakat yang mengharapkan persatuan dan persamaan momentum dalam peribadatan. 1 Ahmad Syarif Muthohar, Penyatuan Almanak Hijriah Perspektif Nahdlatul Ulama, Skripsi Stata 1 Fakultas Syari ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang, 2015 48

49 Tradisi yang berlaku umum dalam masyarakat muslim abad ke abad adalah bahwa untuk menentukan masuknya bulan-bulan ibadah seperti Ramadan, Syawal, dan Zulhijah adalah dengan melakukan pengintaian hilal bulan tersebut pada sore hari ke-29 bulan berjalan sesaat sesudah matahari tenggelam. Apabila pada sore hari ke-29 tersebut hilal bulan baru dapat dilihat, maka malam itu dan keesokan harinya dinyatakan sebagai awal bulan baru. Sebaliknya apabila pada sore hari tersebut hilal bulan dapat tidak dilihat karena suatu sebab, semisal langit berawan atau memang belum mungkin terlihat karena posisinya rendah sekalipun udara cerah, maka malam itu dan keesokan harinya dinyatakan sebagai hari ke 30 bulan berjalan, dan bulan baru di mulai lusa. 2 Namun oleh karena di masa lalu penentuan hari pengintaian hilal tidak didasarkan kepada hisab, yaitu perhitungan jatuhnya saat ijtimak, melainkan hanya didasarkan kepada perhitungan jumlah hari bulan berjalan yang awalnya juga ditentukan dengan rukyat atau istikmal, maka tidak jarang terjadi bahwa bulan berjalan baru 28 hari, tetapi hilal bulan baru sudah muncul pada sore hari ke 28. Sebagaimana diceritakan dalam hadis Kuraib yang terkenal itu dan diriwayatkan oleh jamaah ahli hadis bahwa di Damaskus Kuraib dan masyarakat kota tersebut melihat hilal Ramadan malam Jumat (tinggi toposentrik hilal 14º lebih), sementara ketika di akhir Ramadan ia kembali ke Madinah ternyata orang Madinah melihatnya malam Sabtu (berarti hilal malam Jumat tertutup awan). Ramadan yang dimaksud adalah Ramadan tahun 35 H di akhir masa pemerintahan 2 Syamsul Anwar, Diskusi & Korespondensi Kalender Hijriah Global, Yoyakarta : Suara Muhammadiyyah, 2014, hal 266

50 Usman ( w. Zulhijjah 35 H / 656 M). puasa Ramadan orang Madinah yang dimulai hari sabtu itu, yaitu tanggal 5 Maret 656 M, berpotensi hanya 28 hari, karena pada hari ke 28, yaitu hari Jumat 1 april 656 M, posisi hilal di Madinah sudah tinggi, yaitu 8º lebih (tinggi toposentrik) sehingga dimungkinkan untuk dirukyat. 3 Rukyat sebagai salah satu komponen keilmuan pada dasarnya telah mengalami perkembangan diksi dan evolusi pada penerapannya, ketetapan pada rukyat sebagai dasar pijakan dalam penentuan awal bulan bukanlah merupakan suatu hal yang salah, karena memang Rasulullah telah menetapkannya pada beberapa hadis sebagai upaya menangkap pesan dari Tuhan. Akan tetapi konteks sekarang adalah lebih kepada pembangunan suatu sistem kalender yang harus memiliki kepastian dan ketetapan pada metodenya. Mustahil bagi kita untuk menerima sistem kalender yang pada beberapa bagiannya masih memerlukan kepastian dari hasil observasi lapangan. Rukyat al-hilal sebenarnya harus diposisikan dalam bingkai hisab, apabila dikotomi dalam penggunaannya rukyat akan berakibat fatal baik dari segi akurasi maupun hasilnya. Problem yang dihadapi sekarang bukanlah perdebatan dalam perbedaan pemahaman atas hasil interpretasi dalil hisab dan rukyat, maupun tentang perbedaan dalam mendefinisikan hilal dan konsep matlak, akan tetapi perbedaan pendapat tentang keabsahan pemerintah dalam hal ini kementerian agama sebagai ulil amri. Ulama NU dan Muhammadiyah Kudus berbeda pendapat tentang siapa ulil amri itu. Ulama-ulama NU Kudus yang diwakili oleh KH Najib Hasan, KH Amin Yasin 3 Syamsul Anwar, Diskusi & Korespondensi..., hal 267.

51 dan Subhan 4 menyatakan pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama bagian dari ulil amri atau pemerintahan yang sah sesuai dengan pancasila dan UUD 1945 sebagai pilar Negara kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan ulama Muhammadiyah Kudus yang di wakili oleh Nadhif dan Ladun Hakim 5 menyatakan bahwa ulil ari adalah orang-orang yang berwewenang mengurus urusan kaum muslim. Mereka adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani persoalanpersoalan kemasyarakatan. Jika dikaitkan dengan Surat Al-Maidah ayat 55 maka ulil amri itu adalah pemimpin umat yang menggantikan kepemimpinan Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman: ا ن م ا و ل ي ك م االله و ر س ول ه و ال ذ ي ن ء ام ن وا ال ذي ن ي ق ي م و ن الص ل وة و ي و ت و ن ال زك وة و ه م كع و ن ر Artinya : Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk. Dalam ayat di atas dijelaskan tiga hirarki kepemimpinan: Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Secara operasional kepemimpinan Allah SWT itu dilaksanakan oleh Rasulullah SAW, dan sepeninggal beliau kepemimpinan itu dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman. Sebagai Nabi dan Rasul, Nabi Muhammad SAW tidak bisa digantikan, tapi sebagai kepala negara, pemimpin, ulil amri tugas beliau dapat digantikan. Orang-orang yang dapat dipilih menggantikan beliau sebagai pemimpin minimal harus memenuhi empat kriteria sebagai mana yang dijelaskan dalam Surat Al-Maidah ayat 55 di atas. 4 Berdasarkan wawancara dengan : KH Najib Hasan pada 26 Desember 2016, KH Amin Yasin pada 26 Desember 2016 dan Subhan pada 07 Juni 2016 5 Berdasarkan wawancara dengan Nadhif pada 28 Desember 2016 dan Ladun Hakim pada 19 Mei 2016.

52 1. Beriman kepada Allah SWT Karena ulil amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah SAW, sedangkan Rasulullah sendiri adalah pelaksana kepemimpinan Allah SWT, maka tentu saja yang pertama sekali harus dimiliki oleh penerus kepemimpinan beliau adalah keimanan (kepada Allah, Rasul dan rukun iman yang lainnya). 2. Mendirikan Shalat Shalat adalah ibadah vertikal langsung kepada Allah SWT. Seorang pemimpin yang mendirikan shalat diharapkan memiliki hubungan vertikal yang baik dengan Allah SWT. Diharapkan nilai-nilai kemuliaan dan kebaikan yang terdapat di dalam shalat dapat tercermin dalam kepemimpinannya. 3. Membayarkan Zakat Zakat adalah ibadah mahdhah yang merupakan simbol kesucian dan kepedulian sosial. Seorang pemimpin yang berzakat diharapkan selalu berusaha mensucikan hati dan hartanya. Dia tidak akan mencari dan menikmati harta dengan cara yang tidak halal (misalnya dengan korupsi, kolusi dan nepotisme). 4. Selalu Tunduk dan Patuh Kepada Allah SWT Dalam ayat di atas disebutkan pemimpin itu haruslah orang-orang yang selalu ruku (wa hum râki ûn). Ruku adalah simbol kepatuhan secara mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya yang secara konkret dimanifestasikan dengan menjadi

53 seorang muslim yang kaffah (total), baik dalam aspek aqidah, ibadah, akhlaq maupun mu amalat. 6 Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa umara' atau hukam adalah ulil amri. Tetapi sebagian memperluas makna ulil amri tidak hanya kepada pemerintah atau penguasa semata tetapi juga kepada siapa saja yang mempunyai kompetensi dan mendapatkan amanah untuk memimpin suatu urusan, baik itu perorangan atau lembaga. Ahlul halli wal aqdi adalah ulil amri dalam bidang-bidang yang ditugaskan dan menjadi wewenang mereka, misalnya dalam pemilih kepala negara, menetapkan undang-undang dan urusan-urusan lainnya. Menurut Muhammad Abduh, ulil amri adalah jamaah ahlul ahli wal adi dari kaum Muslimin. Mereka adalah umara (pemerintah) dan hukama (penguasa), ulama, para panglima, dan semua pemimpin masyarakat. Jika mereka semua sepakat tentang suatu urusan, kita semua wajib mematuhinya asal tidak bertentang perintah Allah dan Rasul-Nya Menurut sebagian ulama, karena kata al-amr yang berbentuk ma'rifah atau difinite, maka wewenang pemilik kekuasaan terbatas hanya pada persoalan persoalan kemasyarakatan semata, bukan persoalan akidah atau keagamaan murni. Untuk persoalan aqidah dan keagamaan murni harus dikembalikan kepada nashnash agama (Al-Qur an dan As-Sunnah). Misalnya di Mesir yang memutuskan satu Syawal adalah Grand Mufti, sementara Menteri Agama/Wakaf hanya menyaksikan, di Saudi Arabia yang 6 Yunahar Ilyas, Fikih Ulil Amri : Perspektif Muhammadiyah. hal 3.

54 memutuskan adalah Mahkamah Agung, di Malaysia yang memutuskan adalah Mufti Negara. Dan sebagian besar negara-negara Islam yang memutuskan adalah mufti. Mufti atau grand mufti ditunjuk oleh pemerintah berdasarkan kriteria keulamaan dan keahlian dalam agama. Sementara di Indonesia menteri agama adalah jabatan politik, ditunjuk oleh presiden berdasarkan pertimbangan politik bukan pertimbangan keulamaan. 7 Selain perbedaan di atas ulama NU dan Muhammadiyah Kudus juga berbeda pandangan tentang posisi hisab dan rukyat. Ulama NU memandang hisab dan rukyat itu merupakan bagian dari keyakinan. Selain itu,di dalam tubuh NU sendiri masih ada selisih pendapat dalam pemaknaan kata rukyat. Sedangkan menurut ulama Muhammadiyah, hisab dan rukyat tak lebih hanya sarana untuk membantu dalam pelaksanaan ibadah. sehingga ketika satu sarana belum bisa membantu dalam pelaksanaan ibadah bisa menggunakan sarana yang lain. B. Analisis Respons Ulama Kudus Terhadap Upaya Unifiksi Kalender Hijriah Di Indonesia Perspektif Fikih Urgensi penyatuan kalender merupakan sebuah prioritas, karena dari ketiadaan unifikasi ditakutkan akan membawa pada keresahan dalam persoalan agama, Ali Mustafa Yaqub menggunakan analogi kebolehan memanjangkan bacaan salat, akan tetapi ketika menjadikan orang kurang nyaman ataupun tidak rela maka kebolehan dalam memanjangkan bacaan dapat dikesampingkan. 8 7 Yunahar Ilyas, Fikih Ulil Amri.. hal 2 8 Ali Mustafa Yaqub, Isbat Ramadan, Syawal & Zulhijah, Jakarta : Pustaka Pelajar, 2013, hal. 14.

55 Kemaslahatan yang diusung dari penyatuan kalender diukur pada kemudahan yang ditimbulkan, Secara otomatis perbedaan yang terjadi dari model ijtihad harus dikesampingkan. Kesatuan kalender merupakan kebutuhan bersama, tidak hanya kepentingan sebagian kelompok sehingga pada permasalahan ini pemerintah memiliki ruang untuk mengeksplorasi beberapa kewenangan untuk mewadahi berbagai aspirasi dalam satu keputusan. Pengarahan Menteri Agama pada tanggal 23 september 1972, 9 memandatkan untuk menggalakkan kerukunan internal umat Islam serta membangun pola pikir bahwa masyarakat agama bersatu dalam naungan hari raya yang sama, apabila masih terjadi perdebatan dan perbedaan sikap seharusnya dapat mengubur kegelisahan umat dengan cara saling menghargai perbedaan pendapat. Membangun peradaban Islam diindikasikan salah satunya pada sistem kalender yang sudah terunifikasi. Dalam merespons tentang upaya unifikasi kalender hijriah di Indonesia ulama NU dan Muhammadiyah Kudus yang berlatar belakang keilmuan fikih terpecah menjadi dua pendapat antara pesimis dan optimis. Pendapat yang pesimis menyatakan bahwa upaya unifikasi kalender hijriah terkendala dalam pemahaman hisab dan rukyat yang dianggap bagian dari ibadah. Jadi kekhusyukan ibadah di pengaruh metode apa yang akan dipakai. Sedangkan bagi kelompok yang optimis melihat upaya unifikasi kalender bisa terwujud dengan landasan pemaknaan ulang dalil dalil hisab rukyat yang tak lebih hanya sebagai sarana pemandu ibadah. 9 Susiknan Azhari, Kalender Islam : Ke Arah Integrasi Muhammadiyah-NU, Yogyakarta : Museum Astronomi Islam, 2012. hal 155

56 Dalam diskursus unifikasi kalender hijriah pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendukung ilmu pengetahuan dalam merumuskan unifikasi kalender hijriyah adalah pendekatan ilmu ushul fiqih. Penafsiran ulang dalil dalil hisab rukyat diharapkan mampu memberi solusi perbedaan yang telah ada. Ushul fikih merupakan kaidah kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya. 10 Ada tiga upaya yang bisa dilakukan dalam rangka kontekstualisasi metode pemahaman hadis-hadis rukyat sebagai pangkal dari unifikasi kalender hijriah di Indonesia yang dapat kita ambil dari ilmu ushul fiqih. Pertama analisis qiyasi (ta lili), dan kedua penerapan kaidah fikhiah. 11 Analisis kausasi maksudnya menggali illat mengapa Rasulullah saw memerintahkan penggunaan rukyat. Menurut para ulama perintah melakukan rukyat itu adalah perintah yang disertai illat, artinya disertai alasan (kausa) mengapa perintah itu dikeluarkan. Illat perintah rukyat itu, menurut para ulama disebutkan dalam hadis Nabi saw, kami adalah umat yang ummi, belum banyak menguasai baca tulis dan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian, maksudnya terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari. Jadi illat perintah rukyat adalah belum adanya penguasaan hisab yang memadai. Menurut ijtihad Khalifah Umar setiap ketentuan hukum ada illat yang melatarbelakanginya. Selama illat hukum terlihat, maka ketentuan hukum berlaku, sedangkan jika illat hukum tidak nampak, maka ketentuan hukum pun tidak berlaku. Dalam perkembangan ilmu hukum Islam, para fukaha melahirkan kaidah 10 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 1, Jakarta : Kencana, 2009, hal 41. 11 Berdasarkan wawancara dengan Nadhif pada tanggal 28 Desember 2016.

57 fikih yang mengatakan الحكم يدورمع علته وجودا وعدما (hukum itu berkisar bersama illatnya, baik ada atau tidaknya,) 12 Artinya hukum berlaku, yakni rukyat digunakan, apabila ada illatnya, yaitu belum menguasai pengetahuan hisab atau hisabnya sendiri belum memadai. Sebaliknya apabila illatnya sudah tidak ada, dalam arti pengetahuan hisab sudah banyak dikuasai apalagi seperti zaman sekarang dimana kemajuan astronomi sudah sangat spektakuler, maka perintah rukyat dapat dilampaui dengan memegangi hisab demi mengatasi alam dan memungkinkan pembuatan kalender unifikatif serta dapat menyusun penanggalan jauh ke depan. Cara kedua kontekstualisasi adalah dengan menerapkan kaidah perubahan hukum yang berbunyi, tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan waktu, tempat dan keadaan. 13 Sesuai dengan kaidah ini hukum dapat berubah. Hukum bisa berubah apabila dipenuhi empat syarat yaitu (1) ada tuntutan untuk berubah, (2) hukum itu tidak menyangkut masalah ibadah mahdah, (3) hukum itu bukan merupakan hukum yang qat i (final, tak dapat diubah), dan (4) perubahan baru itu harus ada dasar syar inya juga, sehingga perubahan itu tidak lain hanyalah perpindahan dari penggunaan suatu dalil syar i kepada penggunaan dalil syar i lainnya. 14 Perubahan dari rukyat kepada hisab jelas ada tuntutan untuk itu, ialah kenyataan alam yang tidak memungkinkan penyatuan awal bulan dengan rukyat 12 Amir Mu allim, Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, Yogyakarta : UII Pres, 2004. 13 Musthofa Ahmad Zarqa, al-madkhal al-fiqhi al-amm, Damaskus : Dar al-qalam, 1919, hal 1009. 14 Syamsul Anwar, Diskusi & Korespondensi, hal 250.

58 dan perlunya mewujudkan kalender unifikatif islam yang hanya bisa dilakukan dengan menggunakan hisab. Menurut para ulama rukyat bukanlah ibadah, melainkan hanyalah sarana untuk menentukan masuknya bulan kamariah, sehingga bilamana suatu sarana tidak lagi memadai, maka dapat digunakan sarana lain yang lebih menyampaikan kepada tujuan. Penggunaan rukyat bukanlah suatu ketentuan qat i, buktinya banyak ulama yang mengamalkan hisab. Dengan demikian syaratsyarat perubahan hukum dalam kasus rukyat sudah dipenuhi, dan karenanya perubahan dari penggunaan rukyat kepada penggunaan hisab itu sah secara syar i untuk dilakukan. Selain menggunakan pendekatan ta lili dan penerapan kaidah fikhiah, upaya unifikasi ini bisa ditinjau pula dari maslahah dan mafsadat. Maslahah yang di dalam metode istimbath hukum disebut dengan Maslahah Mursalah itu terdiri dari dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata maslahah menurut bahasa berarti manfaat dan kata mursalah berarti lepas. Gabungan dari dua kata tersebut yaitu maslahah mursalah menurut istilah, seperti dikemukakan Abdul Wahhab Khallaf,, berarti sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalail tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya, sehingga ia disebut maslahah mursalah (maslahah yang lepas dari dalil khusus). 15 15 Satria Efendi, Ushul Fiqih, Jakarta : Kencana, 2009, hal 149.

59 Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan beberapa persyaratan dalam memfungsikan maslahah mursalah yaitu : 1. Sesuatu yang dianggap maslahat itu haruslah berupa maslahat hakiki yaitu yang benar-benar akan mendatangkan kemanfaatan atau menolak kemudharatan, bukan berupa dugaan belaka dengan hanya mempertimbangkan adanya kemanfaatan tanpa melihat kepada akibat negative yang ditimbulkannya. 2. Sesuatu yang dianggap maslahat itu hendaklah berupa kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi. 3. Sesuatu yang dianggap maslahah itu tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada ketegasan dalam Al-Quran atau sunnah Rasulullah, atau bertentangan dengan ijma. 16 Adapun konsep maslahah mursalah yang bisa di terapkan adalah maslahah al- amah yakni kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak dan maslahah mursalah al-hajiyah yakni kemaslahatan yang dibutuhkan untuk menyempurnakan kemaslahatan pokok sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan manusia. Karena persoalan perbedaan dalam penetapan awal bulan kamariah ini dapat mengganggu dan merusak persatuan bangsa maka merupakan bentuk pemeliharaan untuk dapat memenuhi salah satu syarat yaitu menyerahkan urusan ini kepada ulil amri yakni pemerintah untuk dapat menetapkan dengan tegas. Sehingga pilihan ini merupakan jalan yang ditempuh dengan mempertimbangkan kaidah fikhiyah yang 16 Satria Efendi, Ushul.., hal 152

60 menyebutkan menarik manfaat dan menolak kerusakan sebagai suatu jalan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan. 17 Titik temu yang bisa dipersatukan dalam perbedaan hisab rukyat adanya kompromi dari pertimbangan ilmu pengetahuan yang telah dipilih dan kemaslahatan dari realita sosial berupa kesepakatan bahwa otoritas ulil amri dipegang pemerintah. Seperti saat ini, upaya penyatuan kriteria didukung dengan keluarnya fatwa MUI nomor 2/2004 tentang penetapan awal Ramadan,Syawal dan Zulhijah. Dalam hal ini fatwa MUI menyatakan bahwa penentuan awal bulan kamariah dilakukan berdasarkan metode rukyat (pengamatan hilal, bulan sabit pertama) dan hisab (perhitungan astronomi) oleh pemerintah dalam hal ini Menteri Agama dan berlaku secara nasional. Ini menegaskan bahwa kedua metode yang selama ini dipakai di Indonesia berkedudukan sejajar. Keduanya merupakan unsur yang tidak terpisahkan. Masing-masing punya keunggulan, namun juga punya kelemahan jika berdiri sendiri. Otoritas diberikan kepada pemerintah sebagai ulil amri yang wajib ditaati secara syariat. Setelah kriteria hisab rukyat sudah dipilih sebagai jalan tengah, maka perbedaan di masyarakat sebagai ciri realita sosial yang ada dapat diminimalisir dengan konsep penyatuan awal Ramadan, Syawal dan Zulhiijah atau bahkan terwujudnya kalender kamariah yang mapan. Cara yang ditempuh adalah dengan terus berupaya menjalin komunikasi di antara ormas ataupun pihak terkait untuk 17 Ahmad Izzuddin, Kontekstualisasi Metode Pemahaman Teks-Teks Keagamaan Tentang Sistem Penanggalan Islam Dalam Perspektif Ushul Fiqh, makalah disampaikan pada acara seri tadarus ke 2 : upaya penyatuan kalender hijriah untuk peradaban islam rahmatan lil alamin, di UII Yogyakarta pada tanggal 18-19 Mei 2016. Hal 17

61 dapat membangun kriteria penentuan awal bulan kamariah yang ideal. Tentu saja, hal ini diimbangi dengan adanya kebijakan dan ketetapan pemerintah yang mengutamakan kemaslahatan masyarakat. Sehingga konsep kalender kamariah tidak berhenti pada upaya penyatuan saja, namun lebih dari itu untuk mewujudkan kalender hijriah yang mapan. 18 Pada akhirnya, dengan adanya kalender hijriah tunggal diharapkan kedepan dapat diseragamkan untuk pelaksanaan ibadah, khususnya di wilayah Indonesia yang menganut paham matlak wilayatul hukmi. Demikian juga perlu dirumuskan bersama, sistem penanggalan seperti apa yang paling tepat untuk diterapkan sebagai sistem penanggalan hijriah nasional ataupun penanggalan hijriah internasional. Kajian-kajian untuk mencari kriteria penanggalan hijriah bukan merupakan hal yang tabu melainkan sesuatu yang harus dilakukan demi kepentingan bersama karena kalender dibuat memang untuk digunakan secara bersama. 18 Ahmad Izzuddin, Kontekstualisasi Metode., hal 18