2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERJANJIAN KAWIN. Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PEGAWAI PENCATAT PERKAWINAN


BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

IZIN POLIGAMI AKIBAT TERJADI PERZINAAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DI PENGADILAN AGAMA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. istri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Allah SWT dari kaum laki-laki dan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN IZIN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAHAN KABUPATEN GRESIK

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia

PERKAWINAN CAMPURAN DAN AKIBAT HUKUMNYA. Oleh : Sasmiar 1 ABSTRACT

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

BAB IV. ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL

BAB I PENDAHULUAN. yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling membutuhkan 1. Hal

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PENCATATAN NIKAH, TALAK DAN RUJUK MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1/1974 DAN PP. NO. 9/1975. Yasin. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. sunnatullah yang umumnya berlaku pada semua mahkluk-nya. Hal ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia pada dasarnya mempunyai kodrat, yaitu memiliki hasrat untuk

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Akomodatif artinya mampu menyerap, menampung keinginan masyarakat yang

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PERJANJIAN KAWIN YANG DAPAT DILAKUKAN SELAMA PERKAWINAN BERLANGSUNG

BAB I PENDAHULUAN. yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. 5 Dalam perspektif

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara

BAB I PENDAHULUAN. Qur anul Karim dan Sunnah Rosullulloh saw. Dalam kehidupan didunia ini, Firman Allah dalam Q.S. Adz-Dzaariyat : 49, yang artinya :

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini dibuktikan dengan adanya peraturan khusus terkait dengan perkawinan yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perempuan pastilah yang terbaik untuk mendampingi lelaki, sebagaimana

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. Demikian menurut pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang. manusia dalam kehidupannya di dunia ini. 1

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia

BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

BAB I PENDAHULUAN. perbedaan aturan terhadap suatu perkawinan.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

IMPLIKASI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DALAM PRESFEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974

Prosiding SNaPP2014Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Sri Turatmiyah

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang memiliki harapan untuk membentuk sebuah keluarga dan untuk

BAB III AKTA NIKAH DALAM LINTAS HUKUM. A. Akta Nikah dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

BAB I PENDAHULUAN. keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami isteri memikul amanah dan

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan kehidupan manusia dalam rangka menuju hidup sejahtera.

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di

BAB I PENDAHULUAN. dalammenjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat umum,

BAB IV HUKUM KELUARGA

BAB II. A. Mengenai Perkawinan. 1. Perkawinan. Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara

M E M U T U S K A N. Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG IJIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL.

TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN. Dahlan Hasyim *

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PENDAHULUAN. Artinya: Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. 2

I. PENDAHULUAN. suatu sistem pemerintahan sangat ditentukan oleh baik buruknya penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.72, 2008 DEPARTEMEN PERTAHANAN. Perkawinan. Perceraian. Rujuk. Pencabutan.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB II TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN POLIGAMI. dimana kata poly berarti banyak dan gamien berarti kawin. Kawin banyak disini

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

BAB III. POLIGAMI MENURUT PP No. 45 TAHUN Ketentuan Poligami Bagi Pegawai Negeri Sipil

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling ketergantungan antara manusia yang satu dengan manusia yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya. Hikmahnya ialah supaya manusia itu hidup

H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.6

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat maka diberikan

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan di atas adalah merupakan rumusan dari Bab I Dasar Perkawinan pasal

BAB I PENDAHULUAN. tangga dan keluarga sejahtera bahagia di mana kedua suami istri memikul

BAB I PENDAHULUAN. bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga.

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami

BAB II TINJAUAN UMUM PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang

KAJIAN YURIDIS TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

MASALAH KEWARGANEGARAAN DAN TIDAK BERKEWARGANEGARAAN. Oleh : Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H, M.H. 1. Abstrak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memahami informasi tentang dunia atau lingkungan melalui penglihatan, penghayatan

PERATURAN KEPALA LEMBAGA SANDI NEGARA NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PEGAWAI LEMBAGA SANDI NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PENDAHULUAN. itu, harus lah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN PERCERAIAN KARENA FAKTOR KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (STUDY KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA)

BAB III PERKAWINAN DI BAWAH ANCAMAN TERHADAP KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

Transkripsi:

Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap umatnya dituntut untuk mengikutinya. Perkawinan di dalam islam sangatlah dianjurkan, agar dorongan terhadap keinginan biologis dan psikisnya dapat tersalurkan secara halal, dengan tujuan untuk menghindarkan diri dari perbuatan zina. Anjuran untuk menikah ini telah diatur dalam sumber ajaran islam yaitu Al-Qur an dan Al-Hadits. Di Indonesia sendiri telah terdapat hukum nasional yang mengatur dalam bidang hukum perkawinan yaitu UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Aturan Pelaksanaannya PP Nomor 9 Tahun 1975. A. Pengertian Perkawinan Menurut UU No. 1 tahun 1974 dalam pasal 1 mendefinisikan bahwa: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Sebagai ikatan lahir, perkawinanmerupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri, ikatan lahir batin ini merupakan hubungan formil yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang laian atau masyarakat. Ikatan lahir ini terjadi dengan adanya upacara perkawinan yakni upacara akad nikah bagi yang Beragama islam. Menurut hukum islam, perkawinan adalah suatu perjanjian antara mempelai laki-laki di satu pihak dan wali dari mempelai perempuan di lain pihak, perjanjian terjadi dengan suatu ijab (akad nikah), yang dilakukan oleh wali calon istri dan diikuti oleh dari calon suami, dan disertai sekurang-kurangnya dua orang saksi. 2 1 Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2002), hlm. 37. 2 Ibid. hlm. 58. 1

B. Asas-asas perkawinan Menurut Arso Sastroatmodjo dan Wasit Aulawi asas-asas hukum perkawinan yaitu : 3 1. Asas Sukarela Asas ini terdapat di pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai. 2. Asas Partisipasi Keluarga Dalam asas ini, untuk menikah diperlukan partisipasi keluarganya untuk merestui perkawinan itu. Bagi yang masih berada dibawah umur 21 tahun (pria atau wanita). Hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat 2,3,4,5,6 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan : 3. Asas Perceraian Dipersulit Asas ini terdapat dalam Pasal 39 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan : (1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Peradilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. (2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alas an, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. (3) Tata cara perceraian di depan siding Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. 4. Asas Poligami Dibatasi Secara Ketat Asas ini terdapat dalam Pasal 3 dan 4 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan : Pasal 3 (1) Pada asasnya dalm suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. 3 Arso Sosroardjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, cet. 1, 1975), hlm. 31. 2

(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Pasal 4 (1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut pada pasal 3 ayat (2) undang-undang ini maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2) Pengadilan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yanag akan beristri lebih dari seorang apabila : Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. 5. Asas Kematangan Sosial. Asas ini terdapat pada pasal 7 ayat (1,2,3) UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan : (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. (2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain atau yang ditunjukan oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. (3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) UU ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6). 6. Memperbaiki Derajat Kaum Wanita Asas ini terdapat dalam pasal 29,35 s/d 37,41 huruf b,c, 6 ayat (1), dan 29. 3

C. Syarat-Syarat dan Momentum Sahnya Perkawinan Syarat-syarat melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 7 UU Nomor 1 Tahun 1974. Didalam ketentuan itu ditentukan dua syarat untuk dapat melangsungkan perkawinan, yaitu syarat intern dan syarat ekstern. 1. Syarat intern yaitu syarat yang menyangkut pihak yang akan melaksanakan perkawinan. Syarat-syarat intern meliputi: 1) Persetujuan kedua belah pihak 2) Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun; 3) Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun pengecualiannya yaitu ada dispensasi dari pengadilan atau camat atau bupati; 4) Kedua belah pihak tidak dalam keadaan kawin; 5) Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu (iddah). Bagi wanita yang putus perkawinannya karena perceraian, masa iddahnya 90 hari dan karena kematian 130 hari. 2. Syarat ekstern yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat itu meliputi: 1) Harus mengajukan laporan ke Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk; 2) Pengumuman, yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat, yang memuat: a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon. Disamping itu disebutkan juga nama istri atau suami yang terdahulu; b. Hari, tanggal, jam. Dan tempat perkawinan dilangsungkan. Dalam KUH Perdata, syarat untuk melangsungkan perkawinan dibagi menjadi dua macam, yaitu: (1) syarat materiil, dan (2) syarat formil. Syarat materiil yaitu syarat yang berkaitan dengan initi atau pokok dalam melangsungkan perkawinan. Syarat materiil ini dibagi dua macam yaitu: a. Syarat materiil mutlak, merupakan syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya. Syarat itu meliputi: 4

1) Monogami, bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 27 BW); 2) Persetujuan antara suami-istri (Pasal 28 KUH Perdata); 3) Terpenuhinya batas umur manimal. Bagi laki-laki minimal berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun (Pasal 29 KUH Perdata); 4) Seorang wanita yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan terdahulu dibubarkan (Pasal 34 KUH Perdata); 5) Harus ada izin sementara dari orang tuanya atau walinya bagi anakanak ynag belum dewasa dan belum pernah kawin (Pasal 34 sampai dengan pasal 49 KUH Perdata). b. Syarat materiil relative, ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu. Larangan itu meliputi: 1) Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam kekeluargaan sedarah dank arena perkawinan; 2) bvcyghlarangan kawin karena zina; 3) Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat waktu satu tahun. Syarat Formil adalah syarat yang berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi dalam dua tahapan. 4 Syarat-syarat yang dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan adalah: 1) Pemberitahuan akan dilangsungkannya perkawinan oleh calon mempelai baik secara lisan maupun tertulis kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan,dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan (Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975). 2) Pengumuman oleh pegawai pencatat dengan menempelkannya pada tempat yang disediakan di Kantor Pencatatan Perkawinan. Maksud pengumuman tersebut adalah untuk memberitahukan kepada siapa saja yang berkepentingan untuk mencegah maksud dari perkawinan tersebut 4 Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta; Sinar Grafika, 2002)hlm. 58. 5

jika ada Undang-Undang yang dilanggar atau alasan-alasan tertentu. Pengumuman tersebut dilaksanakan setelah Pegawai Pencatat meneliti syarat-syarat dan surat-surat kelengkapan yang harus dipenuhi calon mempelai. 5 D. Tujuan Perkawinan Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu suami istri saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil. Dilihat dari tujuan perkawinan, maka perkawinan itu : 1. Berlangsung seumur hidup 2. Cerai diperlukan syarat-syarat yang ketat dan merupakan jalan terakhir. 3. Suami-istri membantu untuk mengembangkan diri Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhi kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan rohaniah. Yang termasuk kebutuhan jasmaniah seperti papan, sandang, pangan, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan kebutuhan rohaniah contohnya adanya seorang anak yang berasal dari darah daging mereka. 6 E. Perkawinan Beda Agama Berkaitan dengan perkawinan beda agama, maka pasal yang sering dijadikan rujukan bagi persoalan ini adalah pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu dan ditegaskan lagi lewat Penjelasan pasal tersebut bahwa Tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Padahal dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dijelaskan bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan erlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. 5 Komariah, Hukum Perdata, Op. Cit. hlm. 68. 6 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit.hlm. 75. 6

Adapun hak sipil itu umumnya berkaitan dengan prinsip kebebasan, yang terganggu karena hadirnya organisasi negara. Negara melalui pemerintah cenderung mengatur, membatasi dan terkadang melarang kebebasan sipil. Kebebasan sipil yang berkait dengan nilai-nilai agama dan diatur oleh kaidah agama, seringkali berimpit dengan hak penguasa dalam mengatur kehidupan kemasyarakatan. Hak untuk memilih pasangan hidup misalnya, haruslah merupakan kebebasan yang harus diakui keberadaannya oleh pemerintah. Namun kenyataannya, negara tidak membiarkan begitu saja kebebasan memilih pasangan yang bersamaan jenis atau berbeda agama. Oleh karena itu, bila di Indonesia terjadi penolakan perkawinan beda agama, baik dari segi pelaksanaannya maupun pencatatannya, maka dalam perspektif HAM, hal tersebut menurut penulis jelas bertentangan dan melanggar prinsipprinsip yang dikandung oleh HAM terutama hak beragama dan berkeluarga yang merupakan hak sipil seseorang. Alasannya adalah bahwa Undang-Undang No. 39 tahun 1999 yang merupakan instrumen hukum yang mengatur HAM secara khusus di Indonesia, dengan tegas menjelaskan pada pasal 22 ayat (1) bahwa Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu. Pasal 10 ayat (1) lebih menegaskan lagi bahwa Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Pelarangan kawin beda agama juga melanggar prinsip kebebasan dasar seseorang dalam beragama dan merupakan tindakan diskriminatif. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 secara jelas menyatakan bahwa Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung di dasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan sepek kehidupan lainnya. 7

Dalam Pasal 8 juga ditegaskan bahwa negara (dalam hal ini pemerintah) memiliki tanggungjawab menjamin prinsip kebebasan tersebut yang menjadi hak asasi manusia, Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama Pemerintah. Oleh karena itu, jika terjadi pelanggaran, pembatasan, bahkan penolakan terhadap kebebasan beragama dan kebebasan untuk berkeluarga (menikah) di Indonesia, maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap HAM dan konstitusi itu sendiri. Pencatatan perkawinan juga merupakan bagian hak asasi warga negara yang perlu dilindungi karena berdasarkan pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dijelaskan bahwa Setiap orangberhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. 7 F. Perkawinan Campuran Menurut Pasal 57 UU Perkawinan, yang dimaksud dengan Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Jadi, Perkawinan seorang warga negara Indonesia (WNI), dengan warga negara asing (WNA) merupakan perkawinan campuran. Namun, apabila perkawinan dilakukan antara dua orang warga negara Indonesia yang berbeda agama, bukan merupakan perkawinan campuran. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dasar hukumnya adalah Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan (pasal 59 ayat 1). Di dalam pasal 60 UU menyebutkan bahwa Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh pihak masing-masing telah dipenuhi. Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat 7 https://www.academia.edu/9789658/makalah_pernikahan_antar_agama, diakses 7 April 2017, jam 19.31 WIB. 8

perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut. Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan. Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara seorang WNI dengan seorang WNA adalah sah bilamana dilangsungkan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan. Dan bagi WNI tidak melanggar ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana diatur dalam pasal 56 ayat 1 yang berbunyi: Perkawinan di Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang ini Menurut artikel di dalam www.lbhmawarsaron.com, dampak dari perkawinan campuran ini adalah mengenai status kewarganegaraan dari perempuan WNI maupun anak-anak yang lahir kemudian hari. Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan) dinyatakan: Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti Kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut. Namun bagi perempuan WNI yang masih ingin memegang Kewarganegaraan Indonesia-nya, Pasal 26 (3) UU menyatakan: Perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat 9

pernyataan mengenai keinginannya kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda. Sehingga perempuan WNI yang ingin mempertahankan Kewarganegaraannya dapat mengajukan Surat Pernyataan keinginan tetap berkewarganegaraan Indonesia kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang berwenang di tempat tinggal pihak suami WNA. Surat pernyataan tersebut diajukan perempuan WNI setelah tiga tahun sejak tanggal perkawinan berlangsung [pasal 26 ayat (4) UU Kewarganegaraan]. Perlu diperhatikan bahwa pengajuan tersebut tidak boleh mengakibatkan WNI menjadi berkewarganegaraan ganda (bipatride). WNI tersebut harus melepaskan status kewarganegaraan yang didapatkan dari perkawinan campuran tersebut, barulah kemudian WNI dapat mengajukan Surat Pernyataan keinginan tetap berkewarganegaraan Indonesia. 8 G. Perkawinan yang Dilakukan di Luar Indonesia Pasal 56 UU No. 1 Tahun 1947 menyatakan (1) Perkawinan di Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang ini. (2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatat perkawinan tempat tinggal mereka. 8 http://kantorhukumkalingga.com/2016/08/09/perkawinan-beda-kewarganegaraan. diakses 7 April 2017, jam 19.58 WIB. 10

REFERENSI Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2002). Arso Sosroardjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, cet. 1, 1975). Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta; Sinar Grafika, 2002). https://www.academia.edu/9789658/makalah_pernikahan_antar_agama. http://kantorhukumkalingga.com/2016/08/09/perkawinan-beda-kewarganegaraan. 11