BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
Tabel 1. Perbandingan Belanja Kesehatan di Negara ASEAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hak-hak sipil dan kebutuhan hajat hidup orang banyak itu harus atau

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Evaluasi pelaksanaan..., Arivanda Jaya, FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Anggaran Belanja Sektor Kesehatan Perkapita Kabupaten/Kota di Provinsi D.I. Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan, dan aspek-aspek lainnya. Aspek-aspek ini saling berkaitan satu dengan

PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendapatan per kapita saat itu hanya Rp. 129,615 (sekitar US$ 14) per bulan.

BAB I PENDAHULUAN. investasi dan hak asasi manusia, sehingga meningkatnya derajat kesehatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

OPSI ALTERNATIF: PERCEPATAN CAKUPAN SEMESTA ASURANSI KESEHATAN SOSIAL DI INDONESIA*

BAB I PENDAHULUAN. individu, keluarga, masyarakat, pemerintah dan swasta. Upaya untuk meningkatkan derajat

JAMINAN KESEHATAN SUMATERA BARAT SAKATO BERINTEGRASI KE JAMINAN KESEHATAN MELALUI BPJS KESEHATAN

BUPATI MAJENE PROVINSI SULAWESI BARAT

BAB 1 PENDAHULUAN. asuransi sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 29 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan derajat hidup masyarakat, sehingga semua negara berupaya

swasta serta tunjangan kesehatan perusahaan masing-masing sebesar 1,7% (Depkes RI, 2013). Provinsi Aceh menempati ranking tertinggi dalam coverage

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

WALIKOTA TANGERANG SELATAN. Menimbang : a. bahwa pembangunan di bidang kesehatan pada. dasarnya ditujukan untuk peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat

BAB I PENDAHULUAN. Setiap negara mengakui bahwa kesehatan menjadi modal terbesar untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat. Unsur terpenting dalam organisasi rumah sakit untuk dapat mencapai

BUPATIEMPAT LAWANG PROVINSI SUMATERA SELATAN. PERATURAN BUPATI EMPAT LAWANG NOMOR : 0i\ TAHUN 2016 TENTANG PENETAPAN TARIF KAPITASI

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

WALIKOTA PALANGKA RAYA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut World Health Organization tahun 2011 stroke merupakan

BAB I PENDAHULUAN. menjalani kehidupannya dengan baik. Maka dari itu untuk mencapai derajat kesehatan

WALIKOTA TASIKMALAYA

BAB 1 : PENDAHULUAN. mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan

BUPATI BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

Dr. Hj. Y. Rini Kristiani, M. Kes. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen. Disampaikan pada. Kebumen, 19 September 2013

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus investasi untuk

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN. membangun manusia Indonesia yang tangguh. Pembangunan dalam sektor kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Pelayanan kesehatan yang baik merupakan kebutuhan bagi setiap orang.

BUPATI PAKPAK BHARAT

BAB I PENDAHULUAN. Analisis perencanaan..., Ayu Aprillia Paramitha Krisnayana Putri, FE UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

B U P A T I T A N A H L A U T PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH LAUT NOMOR 50 TAHUN 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. Puskesmas merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan. Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. masih cukup tinggi dengan negara ASEAN lainnya. Menurut data Survei

ANTARA MUTU DAN BIAYA DALAM PELAYANAN KEDOKTERAN

BAB 1 : PENDAHULUAN. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Azasi

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

BAB I PENDAHULUAN. memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Karena

PERKEMBANGAN PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 22

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 14 TAHUN 2017 TENTANG

PERKEMBANGAN BPJS DAN UNIVERSAL COVERAGE DENGAN SISTEM PEMBAYARAN PROVIDER DALAM SISTEM JAMINAN KESEHATAN. Yulita Hendrartini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan dengan tujuan menjamin kesehatan bagi seluruh rakyat untuk memperoleh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

BAB I PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing (UU No. 17/2007).

BAB I PENDAHULUAN. asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah

BAB 1 : PENDAHULUAN. berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No. 40 tahun 2004

BAB 1 PENDAHULUAN. kepada pandangan terhadap konsep sehat dengan perspektif yang lebih luas. Luasnya

BAB I PENDAHULUAN. intervensi pemerintah dalam pembayaran. Dokter, klinik, dan rumah sakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia

Oleh. Asosiasi Dinas Kesehatan Seluruh Indonesia (ADINKES) 3/15/2014 1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan oleh kondisi geografis Indonesia yang memiliki banyak pulau sehingga

BAB I PENDAHULUAN. dapat mewujudkan derajat pelayanan kesehatan yang bermutu dan merata,

TENTANG BUPATI SERANG,

BUPATI MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR

BAB 1 PENDAHULUAN. Inggris pada tahun 1911 (ILO, 2007) yang didasarkan pada mekanisme asuransi

WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 9 TAHUN 2012

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 06 TAHUN 2012 TENTANG

Ernawaty dan Tim AKK FKM UA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pasal 28H dan pasal 34, dan diatur dalam UU No. 23/1992 yang kemudian diganti

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

Indonesia National Health Accounts Dipaparkan dalam Kongres InaHEA Intercontinental Mid Plaza Hotel Jakarta Rabu, 8 April 2015

GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 169 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. (WHO, 2015). Sedangkan kesehatan menurut Undang Undang No. 36 Tahun 2009

Evaluasi Lembaga Asuransi Kesehatan Berdasarkan Data SUSENAS. Budi Hidayat, SKM, MPPM,Ph.D Dr. Sigit Riyarto, M.Kes

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

Oleh : WAHYU D. SAPUTRO

PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberhasilan pembangunan kesehatan ditentukan antara lain oleh ketersediaan biaya kesehatan. Biaya kesehatan ditinjau dari sisi pemakai jasa pelayanan kesehatan merupakan besaran dana yang harus disediakan agar dapat memanfaatkan suatu pelayanan kesehatan, dimana dalam batasan tertentu pemerintah juga turut bertanggung jawab untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat tidak mampu (Trisnantoro et al., 2009). Pengesahan UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menyebabkan pembiayaan kesehatan di Indonesia yang menjadi salah satu sub sistem dalam penyelenggaraan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yaitu menyediakan dana kesehatan dalam jumlah cukup, teralokasi secara adil dan termanfaatkan secara berhasil untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (Depkes, 2009) mengalami suatu perubahan, yaitu setelah sebelumnya memilih model sistem pembiayaan berupa kombinasi antara pajak, anggaran Pemerintah Pusat dan Daerah, pembiayaan dari masyarakat (out of pocket), asuransi komersial, jaminan perusahaan atau institusi lainnya akan menuju ke arah sistem asuransi kesehatan sosial (Mukti dan Moertjahtjo, 2010). Sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia yang berlaku sekarang mayoritas masih bersumber dari pajak yaitu pemerintah memiliki kontribusi sebesar 54,4% dari total belanja kesehatan (% total health expenditure), bila dibandingkan dengan negara negara ASEAN, persentasenya hanya di bawah Thailand sebesar 74,3%, namun di sisi lain pembiayaan kesehatan di Indonesia tergolong rendah yaitu 2,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) masih di bawah rekomendasi WHO yaitu sebesar 5% dari PDB (WHO, 2011).

14 Tabel 1. Perbandingan Belanja Kesehatan di Negara ASEAN Negara Belanja kesehatan terhadap % PDB Belanja kesehatan pemerintah terhadap % total belanja kesehatan Malaysia 4,3 44,1 Thailand 4,1 74,3 Filipina 3,7 34,7 Indonesia 2,3 54,4 Vietnam 7,2 38,5 Laos 4,0 17,6 Kamboja 5,7 23,8 Sumber: (WHO, 2011) Kebijakan pembiayaan kesehatan di Indonesia saat ini menunjukkan bahwa Pemerintah masih belum memberikan prioritas utama pada sektor kesehatan (Trisnantoro dan Riyarto, 2009) Hal ini dapat dilihat dari alokasi anggaran kesehatan selama 6 tahun terakhir yang menunjukkan kenaikan secara bertahap dalam jumlah nominalnya, namun persentase jumlah APBN Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terhadap APBN nasional mengalami penurunan. Sumber: (Sedyaningsih, 2012) Gambar 1. Tren Anggaran Kemenkes RI Tahun 2006 2012

15 Pada tahun 2009, sebanyak 30,1% penduduk Indonesia masih mengeluarkan uang secara langsung (out of pocket) untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (Tangcharoensathien et al., 2011), apabila pasien yang berobat tidak mampu secara finansial harus menanggung biaya lebih dari 40% dari pengeluaran rumah tangga akan menimbulkan pengeluaran katastropik yang berakibat perekonomian rumah tangga menjadi tidak stabil dan dapat menuju arah kemiskinan (Xu et al., 2003). Salah satu tujuan reformasi kesehatan yaitu memberikan perlindungan finansial berupa jaminan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin dan tidak mampu (Mukti, 2009), maka untuk mewujudkannya sejak tahun 2005 Pemerintah melalui Kemenkes RI melaksanakan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (JPKMM) atau lebih dikenal dengan Asuransi Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (Askeskin). Kemudian tahun 2008 hingga sekarang berubah nama menjadi program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Program Jamkesmas, menurut (Siswanto, 2010) adalah model pembiayaan yang mengarah ke kutub sosialisme dan merupakan contoh kebijakan reformasi pembiayaan yang bersifat parsial, karena seharusnya dikembangkan terlebih dahulu model asuransi wajib untuk seluruh penduduk, kemudian barulah dapat dikembangkan social security for the poor (Jamkesmas). Kebijakan program Jamkesmas dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan pelayananan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu selama masa transisi pelaksanaan UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN sampai dengan penyelenggaraannya diserahkan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) (Kemenkes RI, 2011a). Jumlah sasaran peserta Jamkesmas tidak mengalami perubahan yaitu sebesar 76,4 juta jiwa yang bersumber dari data BPS tahun 2006. Peserta yang termasuk dalam program Jamkesmas adalah masyarakat miskin dan orang yang tidak mampu serta peserta lainnya seperti penghuni panti sosial, lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, korban bencana pasca tanggap darurat yang iurannya dibayar oleh Pemerintah.

16 Pada tahun 2011, penduduk Indonesia yang telah mendapatkan jaminan kesehatan sebanyak 64,98%, sedangkan sisanya 35,02% (82 juta jiwa) belum memiliki jaminan kesehatan (Kemenkes RI, 2012b). Sumber: (Kemenkes RI, 2012b) Gambar 2. Grafik Cakupan Kepesertaan Jaminan Kesehatan Tahun 2011 Manfaat yang disediakan bagi peserta sesuai dengan Peraturan Menkes RI Nomor 903/MENKES/PER/V/2011 berupa pelayanan kesehatan komprehensif (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif) sesuai dengan kebutuhan medis, termasuk bagi penderita thalassaemia yang meliputi Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP) dilaksanakan di Fasilitas Kesehatan (Faskes) pertama yaitu Puskesmas dan jaringannya, Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP) dilaksanakan di Puskesmas perawatan, Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL) di Faskes lanjutan yaitu Rumah Sakit (RS) dan Balai Kesehatan Masyarakat, Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL) dilaksanakan di ruang perawatan RS kelas III. Disamping itu terdapat pula pelayanan yang dibatasi (limitation) dan pelayanan yang tidak dijamin (exclusion). Pemberian pelayanan kesehatan dilakukan secara terstruktur dan berjenjang berdasarkan rujukan dengan menerapkan prinsip kendali biaya dan kendali mutu dan Faskes tidak diperbolehkan menarik iur biaya kepada peserta Jamkesmas (Kemenkes RI, 2011a). Mekanisme pembayaran biaya pelayanan

17 kesehatan di Faskes tingkat pertama dengan cara klaim sedangkan di Faskes lanjutan dengan pola pembayaran INA Case Based Groups (INA-CBG s). Dana program Jamkesmas di pelayanan dasar bersumber dari APBN yang dialokasikan pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan berbentuk belanja bantuan sosial dan disalurkan pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta V ke rekening Kepala Dinas Kesehatan dengan status dana masyarakat (sasaran), apabila digunakan oleh Puskesmas dan jaringannya maka status dana menjadi pendapatan fasilitas kesehatan (Kemenkes RI, 2011b). Jamkesmas sebagai program jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin dan tidak mampu dengan peningkatan jumlah anggaran setiap tahunnya ternyata belum mampu mendorong pesertanya untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan secara optimal. Pada tingkat nasional, utilisasi Jamkesmas untuk pelayanan persalinan oleh tenaga kesehatan, kunjungan ibu hamil dan kunjungan bayi baru lahir tahun 2010 masih rendah (Pusdatin Kemenkes RI, 2011). Persentase ibu hamil yang menggunakan Jamkesmas untuk pemeriksaan kehamilan (ANC) hanya 34,53% dan ibu hamil yang menggunakan Jamkesmas untuk pelayanan persalinan oleh tenaga kesehatan hanya 23,97% (Pusdatin Kemenkes RI, 2011). Data dari BPS dan SDKI tahun 2007 menunjukkan terjadinya disparitas angka kematian bayi (AKB) antarprovinsi, yaitu provinsi Sulawesi Barat mencapai 74 kematian per 1000 kelahiran hidup dengan provinsi D I Yogyakarta mencapai 19 kematian per 1000 kelahiran hidup. Hal ini memperlihatkan angka AKB di provinsi Sulawesi Barat hampir 4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi D I Yogyakarta (Bappenas, 2010). Masih terjadinya ketidakmerataan dalam distribusi fasilitas kesehatan di beberapa provinsi di Indonesia, sebagai contoh hanya terdapat 1 Puskesmas atau Puskesmas Pembantu (Pustu) untuk melayani masyarakat di beberapa desa berdampak pada tingginya biaya transportasi sehingga masyarakat kesulitan dalam mengakses pelayanan kesehatan (Mukti, 2009).

18 Sumber: (Ditjen BUK 2012a, diolah) Gambar 3. Grafik Penyebaran Tempat Tidur Pasien di RS dan Puskesmas di Indonesia Menurut data Ditjen BUK (2012b), kebutuhan tempat tidur (TT) di Indonesia masih mengalami kekurangan sebanyak 100.000 TT, terdiri dari 64.139 TT kelas III dan 35.861 TT non kelas III. Grafik di atas menunjukkan kondisi Indonesia saat ini mengalami ketidakmerataan dalam distribusi tempat tidur pasien di RS dan Puskesmas. Sebanyak 12 provinsi mengalami kekurangan 33.811 TT. Provinsi Jawa Barat mengalami kekurangan TT paling banyak yaitu sebesar 15.437 TT, sedangkan provinsi DKI Jakarta mengalami kelebihan sebesar 9.351 TT. Kondisi serupa juga terjadi pada kebutuhan tenaga kesehatan, yakni sampai dengan tahun 2011 mengalami kekurangan tenaga kesehatan sebanyak 58.881 dengan distribusi yang tidak merata (Mukti, 2012). Ketidakmerataan distribusi tenaga dan fasilitas kesehatan akan berdampak pada pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan efektivitas jaminan kesehatan nasional (Trisnantoro, 2009).

19 B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: Bagaimana gambaran equity pembiayaan program Jamkesmas di Indonesia berdasarkan provinsi?. C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan equity pembiayaan dan utilisasi pelayanan kesehatan oleh peserta program Jamkesmas di Indonesia. D. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini, ada beberapa manfaat yang akan diperoleh, yaitu: 1. Bagi Kementerian Kesehatan sebagai salah satu bahan pengambilan keputusan dalam rangka meningkatkan efektivitas Program Jamkesmas, yakni memberikan gambaran tingkat equity pembiayaan Jamkesmas. 2. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan kesehatan masyarakat dibidang pembiayaan kesehatan. E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, yaitu sebagai berikut: 1. Liu et al. (2002) melakukan penelitian tentang equity dalam akses pelayanan kesehatan untuk menilai reformasi asuransi kesehatan perkotaan di Cina. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan survei tahunan di kota Zhenjiang tahun 1994 1996. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa model asuransi kesehatan terbaru lebih menjamin equity dalam akses untuk mendapatkan pelayanan dasar pada rawat jalan dibandingkan dengan model asuransi kesehatan sebelumnya dan mampu mengalokasikan sumber daya kesehatan secara lebih efisien. Persamaan penelitian yaitu menggunakan data sekunder (survei tahunan) dan fokus penelitian pada equity dalam akses pelayanan kesehatan.

20 2. Hidayat et al. (2004) melakukan penelitian tentang dampak asuransi kesehatan wajib terhadap equity dalam akses ke pelayanan rawat jalan di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan sumber data dari IFLS 1997, proses penghitungannya menggunakan software Stata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asuransi kesehatan untuk pegawai negeri sipil (Askes) memiliki dampak yang positif terhadap akses ke pelayanan rawat jalan di fasilitas kesehatan pemerintah dan asuransi kesehatan untuk pegawai swasta memiliki dampak positif terhadap akses ke pelayanan rawat jalan di fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta. Penelitian ini menegaskan perlunya perubahan kebijakan asuransi kesehatan yang sebelumnya hanya memberikan subsidi kepada pemberi pelayanan kesehatan ke arah perluasan cakupan asuransi kesehatan untuk masyarakat miskin dengan premi yang disubsidi oleh pemerintah. Persamaan penelitian yaitu sumber data menggunakan data sekunder dan fokus penelitian pada equity dalam akses ke pelayanan kesehatan. 3. Yu et al. (2008) melakukan penelitian tentang equity pembiayaan kesehatan di Malaysia. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan analisis crosssectional, menggunakan survei pengeluaran rumah tangga Malaysia 1998/1999 dan software Stata untuk menilai ketidakmerataan yang terjadi pada 5 sumber pembiayaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa equity pembiayaan kesehatan di Malaysia telah dicapai oleh sumber pembiayaan kesehatan yang berasal dari pajak dengan 2 pihak pemberi pelayanan kesehatan (pemerintah dan swasta). Pelayanan kesehatan publik yang disubsidi oleh pemerintah ternyata menciptakan persaingan positif terhadap pelayanan kesehatan swasta terkait dengan efisiensi dan penentuan tarif layanan. Persamaan penelitian yaitu menggunakan data sekunder (survei rumah tangga) dan fokus penelitian adalah equity pembiayaan kesehatan.

21 4. (Hidayat, 2010) meneliti kebijakan asuransi kesehatan sosial untuk memperoleh bukti bukti empiris. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan melakukan analisis menggunakan data putaran kedua Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (Sakerti). Hasil penelitian membuktikan beberapa temuan yaitu program asuransi kesehatan telah meningkatkan penggunaan pelayanan kesehatan oleh masyarakat miskin, hal ini berarti kebijakan untuk meningkatkan akses penduduk ke pelayanan kesehatan akan efektif bila difokuskan kepada penduduk miskin. Ketidakpuasan peserta asuransi di provider publik tercermin dari sikap mereka yang cenderung memilih provider swasta daripada provider publik pada saat menggunakan pelayanan kesehatan, upaya perbaikan kualitas pelayanan kesehatan pemerintah harus segera dilakukan karena akan berdampak pada efektivitas program jaminan kesehatan. Distribusi penggunaan rawat jalan di provider publik terkonsentrasi pada penduduk miskin, sebaliknya di provider swasta terkonsentrasi pada penduduk kaya. Persamaan penelitian yaitu menggunakan data sekunder (survei rumah tangga) dan salah satu fokus penelitiannya yaitu equity akses pelayanan kesehatan. 5. Harris et al. (2011) meneliti ketidakadilan dalam mengakses pelayanan kesehatan di Afrika Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif menggunakan sumber data survei rumah tangga di Afrika Selatan tahun 2008 dan analisis data dengan bantuan software Stata. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penduduk miskin Afrika Selatan yang tinggal di pedesaan dan tidak memiliki asuransi kesehatan mengalami ketidakadilan dalam mengakses pelayanan kesehatan. Dampaknya bagi kebijakan kesehatan adalah perlunya dilakukan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan pemerintah dan menciptakan keadilan akses pada setiap tingkatan layanan kesehatan pemerintah untuk mengurangi penggunaan pada layanan kesehatan swasta yang berpotensi menimbulkan terjadinya pengeluaran katastropik. Persamaan penelitian

22 yaitu menggunakan data sekunder (survei rumah tangga) dan fokus penelitian pada equity dalam akses pelayanan kesehatan. Perbedaan dengan beberapa penelitian di atas adalah tahun data sekunder yang digunakan yaitu Susenas 2011 dan data P2JK 2011, serta proses penghitungan nilai indeks konsentrasi dengan menggunakan software ADePT.