BAB IV PENERAPAN HAK-HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA A. Penerapan Hak Masyarakat Hukum Adat Undang-Undang Dasar 1945 mengakui keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan menjamin pelaksanaan hak-hak mereka. Salah satu hak-hak Masyarakat Hukum Adat yang diakui adalah hak-hak yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, yaitu pengelolaan hutan yang merupakan lingkungan hidup Masyarakat Hukum Adat pada umumnya. Hak-hak Masyarakat Hukum Adat terhadap pengelolaan hutan diatur pada Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Kehutanan yang mengatur segala sesuatu aktifitas Kehutanan termasuk kegiatan pengelolaan hutan. Hak-hak Masyarakat Hukum Adat yang diakui dan dilindungi oleh undangundang tersebut adalah hak Masyarakat Hukum Adat untuk mengelola hutan, yaitu hak-hak Masyarakat Hukum Adat untuk melakukan pemungutan hasil hutan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan, melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang, dan mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. 1 Hak-hak ini menjadi dasar pengelolaan hutan yang harus mengindahkan keberadaan Masyarakat Hukum Adat pada suatu kawasan hutan, sehingga tidak 1 Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
boleh ada pengelolaan hutan yang mengganggu keberadaan Masyarakat Hukum Adat. Kelompok Masyarakat Hukum Adat adalah salah satu jenis dari kelompok masyarakat, sehingga dibutuhkan ciri khas yang memiliki daya pembeda yang membedakan Masyarakat Hukum Adat dengan kelompok masyarakat lainnya. Pasal 1 ayat (31) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 sudah memberikan penjabaran tentang definisi Masyarakat Hukum Adat, akan tetapi penjelasan ini terbatas pada ciri-ciri umum yang tampak pada Masyarakat Hukum Adat dan tidak menyentuh ciri khas Masyarakat Hukum Adat yang lebih rinci. Penjelasan tentang Masyarakat Hukum Adat yang lebih rinci lagi dapat diketahui melalui literatur-literatur yang dibuat berdasarkan hasil penelitian para ahli. Keberadaan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak mereka dalam mengelola hutan, meskipun diakui oleh negara, akan tetapi dalam prakteknya banyak sekali terjadi pelanggaran-pelanggaran hak-hak Masyarakat Hukum Adat yang merugikan Masyarakat Hukum Adat dan seringkali dibiarkan oleh pemerintah tanpa ada penyelesaian. Hal ini mengakibatkan preseden buruk yang menyebabkan pola kejadian yang sama, yaitu pelanggaran hak-hak Masyarakat Hukum Adat terhadap pengelolaan hutan terulang berkali-kali di kemudian hari, seperti pada kasus pelanggaran hak-hak pengelolaan hutan yang dialami oleh Masyarakat Hukum Adat Kontu, Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih di Desa Batu Kerbau, dan Masyarakat Hukum Adat Kampung Sanjan. Kelompok-kelompok Masyarakat Hukum Adat tersebut, jika dianalisa secara rinci maka akan terlihat bahwa kelompok masyarakat-masyarakat Hukum
Adat tersebut memenuhi unsur-unsur Masyarakat Hukum Adat, sehingga mereka dapat dikategorikan sebagai Masyarakat Hukum Adat dan secara otomatis mereka memilik hak sebagai Masyarakat Hukum Adat yang diakui dan diatur oleh peraturan perundang-undangan. Unsur-unsur tersebut Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan hubungan yang kuat dengan lingkuungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum. 2 Penjelasan tentang Masyarakat Hukum Adat di atas berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli adalah Masyarakat Hukkm Adat mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan, yaitu patrilineal, matrilineal dan bilateral, lalu Masyarakat Hukum Adat juga mempunyai ciri-ciri penghidupan, yaitu komunal atau gotong royong, tolong-menolong, serasa dan semalu. 3 Berdasarkan penjelasan undang-undang dan literatur di atas dapat disimpulkan bahwa ketiga contoh Masyarakat Hukum Adat pada uraian Bab III adalah Masyarakat Hukum Adat sehingga mereka dapat dikategorikan Masyarakat Hukum Adat dan secara otomatis membuat mereka mempunyai hakhak sebagai Masyarakat Hukum Adat, akan tetapi dalam prakteknya, hak-hak mereka yang dilindungi itu diganggu dan gangguan yang mereka rasakan sangat signifikan sehingga mengganggu keberadaan mereka sebagai Masyarakat Hukum Adat. Seperti pada Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih di Desa Batu Kerbau. Mereka adalah masyarakat yang berasal dari Kerajaan 2 Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 3 Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm.93.
Pagaruyung Minangkabau yang memilik adat-istiadat Minangkabau yang hingg saat ini adat-istiadat tersebut masih dipertahankan. 4 Masyarakatt Hukum Adat Datuk Dinaro Putih di Desa Batu Kerbau tersebut mempunyai prinsip adat-istiadat yang masih tetap dijaga dan ditaati oleh masyarakatnya hingga sekarang. 5 Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih juga mempunyai tata susunan lembaga sendiri, yaitu tata susunan lembaga masyarakat adat yang diketuai oleh Datuk Tiang Panjang yang diikuti Datuak Rabun Penghulu Alam, dan Dubalang pada tingkatan di bawah ketua adat, mereka juga mengenal harta pusaka yang terdiri dari harta pusaka rendah dan tinggi. 6 Pengelolaan lingkungan tempat mereka tinggal pun berdasarkan pada prinsip adat-istiadat da ketentuan pengelolaan hutan lainnya yang diwarisi oleh nenek moyang mereka, dan beradasarkan kegiatan pengelolaan hutan yang sudah mereka lakukan secara turun-temurun semenjak keberadaan nenek moyang mereka, Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih merasa bahwa kawasan hutan adat dan hutan lindung desa merupakan hak atas Sumber Daya Alam mereka. 7 Dan pada prinsipnya seperti pada undang-undang, hutan adat tersebut memang merupakan hak mereka, akan tetapi dalam prakteknya pelaksanaan hak-hak mereka terganggu oleh kehadiran CV Beringin Hijau yang memegang lima izin kegiatan pengusahaan hutan. 8 4 Huma, Op.Cit., hlm.83. 5 Ibid, hlm.83. 6 Ibid, hlm.83. 7 Herlambang Perdana Wiratraman, Loc.Cit. 8 Herlambang Perdana Wiratraman, Loc.Cit.
CV Beringin Hijau dalam melakukan aktifitasnya tidak menaati aturanaturan pengelolaan hutan Masyarakat Hukum Adat, sehingga terjadi kerusakan lingkungan yang mengganggu keberadaan Masyarakat Hukum Adat, lalu atas pelanggaran tersebut Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih menjatuhkan hukuman sesuai hukum adat mereka, akan tetapi tidak ada tanggapan dari CV Beringin Hijau dan dukungan dari pemerintah yang berpihak pada Masyarakat Hukum Adat untuk mendesak CV. Beringin Hijau menaati sanksi adat yang sudah ditetapkan, lebih lanjut, pada saat Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih mengadukan hal ini kepada pemerintah, tidak ada tanggapan dari pemerintah sehingga tidak ada sanksi dari pemerintah keapda CV.Beringin Hijau dan CV.Beringin Hijau tetap masih bisa melakukan aktifitasnya. Selain itu, pemberian izin dari pemerintah kepada CV. Beringin Hijau merupakan cerminan tindakan pemerintah yang tidak hati-hati dalam melakukan kewenangannya untuk mengelola hutan. Pada dasarnya, sebelum melakukan aktifitas kehutanan yang salah satunya adalah memberikan izin kepada pihak swasta untuk mengelola hutan, pemerintah seharusnya meninjau secara rinci dan cermat tentang keberadaan kelompok masyarakat di suatu kawasan hutan dan menganalisa apakah aktifitas pengelolaan hutan yang dilakukan pihak swasta tersebut akan mengganggu pelaksanaan hak-hak Masyarakat Hukum Adat. Hasil dari peninjauan ini lah yang kemudian menjadi dasar pemberian izin. Seharusnya, Jika aktifitas kehutanan dinilai berpotensi mengganggu pelaksanaan hak Masyarakat Hukum Adat, maka pemerintah tidak akan
menerbitkan izin kepada pihak swasta untuk mengelola kawasan hutan yang merupakan wilayah hutan yang ditempati oleh Masyarakat Hukum Adat. Pelanggaran Hak Masyarakat Hukum Adat terhadap pengelolaan hutan pun terjadi pada Masyarakat Hukum Adat Kontu. Pelanggaran yang terjadi adalah penggantian fungsi kawasan hutan yang dilakukan oleh pemerintah secara sepihak tanpa memperdulikan keberadaan Masyarakat Hukum Adat Kontu, padahal secara jelas, jika dianalisis dari segi sejarah, Masyarakat Hukum Adat Kontu memenuhi unsur-unsur sebagai Masyarakat Hukum Adat yang secara otomatis membuat mereka mempunyai hak dalam pengelolaan hutan. Tindakan pemerintah mengganti fungsi kawasan hutan di wilayah Masyarakat Hukum Adat Kontu mengakibatkan kawasan hutan tersebut tidak boleh dihuni bahkan dimasuki oleh manusia, serta tidak boleh ada aktifitas kehutanan di wilayah tersebut, sehingga Masyarakat Hukum Adat Kontu terusir dari wilayahnya dan mengakibatkan Masyarakat Hukum Adat Kontu tidak dapat melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup seharihari dan melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang. Akibat ini merupakan dampak dari pelanggaran hak-hak Masyarakat Hukum Adat yang dilakukan oleh pemerintah. Berdasarkan uraian tentang Masyarakat Hukum Adat, hak-hak Masyarakat Hukum Adat terhadap Pengelolaan hutan, Kasus-kasus yang terjadi pada praktek pengelolaan hutan yang dilakukan oleh pemerintah serta analisis
tentang kasus-kasus yang terjadi dapat disimpulkan bahwa terjadi pelanggaran pada penerapan hak-hak Masyarakat Hukum Adat terhadap Penglolaan hutan. B. Penegakan Hukum Pada Penerapan Hak-Hak Pengelolaan Hutan Masyarakat Hukum Adat Penegakan hukum, menurut Soerjono Soekanto adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap, mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. 9 Nilai-nilai yang perlu diserasikan tersebut, umumnya bersifat abstrak dan perlu dikonkretkan. 10 Penjabaran nilai secara lebih konkret terjadi di dalam bentuk kaidah-kaidah hukum yang mungkin berisikan larangan atau suruhan yang kemudian menajdi pedoman atau patokan bagi perilaku atau sikap tindak yang dianggap pantas yang ditujukan untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian. 11 Dalam penerapannya, tidak tertutup kemungkinan penegakan hukum menghadapi gangguan. Gangguan pada penegakan hukum bisa terjadi apabila ada ketidakserasian antara nilai, kaidah dan pola perilaku masyarakat. 12 Hukum diciptakan untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi manusia. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakan timbul keresahan di dalam 9 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegarakan Hukum, Loc.Cit. 10 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegarakan Hukum, Op.Cit., hlm.6 11 Ibid, hlm.6 12 Ibid, hlm.7.
masyarakat. 13 Sehingga, penegakan hukum harus didasarkan pada kemanfaatan dan keadilan. 14 Dalam pelaksanaannya, penegakan hukum mempunyai faktor-faktor yang mempengaruhi berhasil atau tidaknya penegakan hukum. Faktor-faktor tersebut adala faktor undang-undang, faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan. 15 Faktor Undang-Undang yang dimaksud adalah undang-undang dalam arti materiel, 16 yaitu peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan presiden. 17 Undang-Undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Agar kesejahteraan masyarakat tercapai, pembuatan undang-undang tidak boleh membuat undangundang secara sewenang-wenang yang mengakibatkan undang-undang menjadi sekedar huruf mati. 18 Oleh karena itu, proses pembuatan undang-undang harus terbuka dan masyarakat diberikan hak untuk mengajukan usul. 19 Selain itu, penegak hukum tidak boleh bersikap kaku dalam menerapkan suatu undangundang dalam suatu perkara sebab sumber hukum Indonesia bukan hanya undang-undang melainkan ada sumber-sumber hukum lain, seperi kebiasaan atau hukum adat. Masyarakat Hukum Adat, merupakan suatu komunitas tua di Indonesia yang mendapat pengakuan dari Negara yang menjadikannya legitimasi pengakuan terhadap hak-hak mereka. Pengakuan ini tercantum dalam undang-undang, 13 Ibid, hlm.12. 14 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Cetakan Kedua, Yogyakarta, 2005, hlm.1. 15 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegarakan Hukum, Loc.Cit. 16 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Loc.Cit., hlm.11 17 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011. 18 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Loc.Cit., hlm.13. 19 Ibid, hlm.113.
sehingga ada suatu pengakuan yuridis terhadap keberadaan Masyarakat Hukum Adat yang menjadikannya salah satu hal yang diatur oleh hukum. Meskipun keberadaan mereka diakui oleh Negara, pada kenyataannya masih banyak konflik terjadi yang merugikan mereka, sehingga perlu diadakan suatu kajian tentang penerapan hak-hak Masyarakat Hukum Adat, khususnya hak-hak Masyarakat Hukum Adat terhadap pengelolaan hutan yang menjadi objek kajian penelitian ini. Penerapan hak-hak Masyarakat Hukum Adat terhadap pengelolaan hutan di Indonesia, apabila dianalisis berdasarakan studi kasus pada Bab III tulisan ini, yaitu konflik-konflik yang merugikan Masyarakat Hukum Adat dan cenderung tanpa penyelesaian yang adil dapat disimpulkan bahwa penerapan hak-hak Masyarakat Hukum Adat yang dilindungi menghadapi kendala yang menganggu penerapan hak-hak Masyarakat Hukum Adat karena terganggunya penegakan hukum. Penegakan hukum dapat disimpulkan gagal karena belum tercapainya keserasian hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, karena kaidah-kaidah yang menjadi dasar pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia masih terlanggar dengan adanya pelanggaran terhadap hak-hak Masyarakat Hukum Adat dalam mengelola hutan yang berarti merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pengakuan dan penghormatan Negara terhadap masayrakat hukum adat dan hukum adat. Kemudian, penegakan hukum juga disimpulkan gagal karena belum terpeliharanya kedamaian pergaulan hidup di dalam Masyarakat Hukum Adat, karena hingga saat ini,
masyarakat masih mengalami tindakan marjinalisasi yang dilakukan oleh penegak hukum. Kegagalan pada penerapan hak-hak Masyarakat Hukum Adat dapat dilihat dari kendala-kenadala yang dihadapai pada penegakan hukum, yaitu ketidakharmonisan antara beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sumber daya alam dan Masyarakat Hukum Adat. Hal ini terlihat dari unifikasi peraturan perundang-undangan di Indonesia. Salah satu sumber hukum Indonesia adalah Undang-Undang, yaitu Peraturan Perundangundangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. 20 Pembentukan Peraturan perundang-undangan ini tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Indonesia sebagai hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan. 21 Pada dasarnya, Undang-Undang Dasar bersifat abstrak, sehingga dibutuhkan peraturan perundang-undangan di bawahnya yang bersifat konkrit untuk menjalankan ketentuan-ketentuan undangundang dasar tersebut, sehingga dibentuklah peraturan perundang-undangan pelaksana. Seperti pada pengaturan sumber daya alam, undang-undang dasar 1945 menyebutkan bahwa kekayaan alam di wilayah Indonesia, dikuasai oleh Negara, lalu ketentuan ini lebih diperjelas oleh Undang-Undang Agraria yang mengatur tentang sumber daya alam, kemudian dibentuk lagi undang-undang yang lebih rinci tentang pengaturan kehutanan sebagai salah satu sumber daya alam Indonesia. 20 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011. 21 Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011.
Pranata hukum, di Indonesia digunakan sebagai sarana pengabsahan (legitimasi) dan pembenaran (justifikasi) atas kekuasaan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam. Undang-Undang sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia dibentuk dengan corak sentralistik, yaitu unifikasi ketentuanketentuan yang berlaku dalam masyarakat ke dalam peraturan perundangundangan yang diberlakukan secara nasional. Unifikasi ini kurang memperhatikan keberagaman hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat. Arah pembangunan hukum ini, dalam banyak hal terbukti melemahakan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat atas sumber daya alam dalam konteks hukum Negara Indonesia. Kendala pada penyelesaian konflik bukanlah alasan untuk tidak menyelesaikan konflik yang terjadi, karena pada dasarnya Negara, sebagai organisasi rakyat tertinggi bertanggung jawab untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyatanya dan salah satu kesejahteraan yang dimaksud adalah perasaan tentram yang tidak diganggu oleh dampak negatif dari suatu konflik. Lebih lanjut, konflik yang terjadi tidak boleh diselesaikan oleh Negara dengan hanya memperhatikan kepentingan salah satu pihak yang lebih memberikan keuntungan bagi Negara tetapi harus memperhatikan prinsip pembentukan hukum yang salah satunya adalah keadilan. Menurut Hans Kelsen, makna konsep keadilan adalah legalitas, yaitu pemeliharaan tata hukum positif melalui penerapannya yang benar-benar sesuai dengan jiwa dari tata hukum positif, yaitu suatu norma yang dianggap valid secara obyektif. 22 22 Hans Kelsen, Somardi, Loc.Cit., hlm.12.
Kegagalan penyelesaian konflik yang diusahakan oleh Negara juga tidak selalu didasarkan pada ketidakharmonisan peraturan perundang-undangan, tetapi juga kemauan aparat penegak hukum untuk tidak hanya berlaku sebagai corong suatu peraturan perundang-undangan atau suatu pasal yang berkenaan dengan inti permasalahan konflik saja, tetapi juga keinginan aparat penegak hukum untuk menggali hukum yang ada dalam masyarakat dan melihat penyebab terjadinya konflik, misal pada kasus Masyarakat Kontu, terlihat jelas bahwa aparat penegak hukum hanya menjadi corong pasal 50 ayat (3) Undang- Undang Kehutanan tanpa perduli bahwa ada ketentuan lebih tinggi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 yang memberikan pengakuan kepada Masyarakat Hukum Adat, selain itu ada ketentuan lain yang menyebutkan hak-hak Masyarakat Hukum Adat pada pasal 67 Undang-Undang Kehutanan yang bisa saja membatalkan putusan hakim pada perkara tersebut. Berdasarkan uraian-uraian pada Bab IV ini dapat disimpulkan bahwa penerapan hak-hak Masyarakat Hukum Adat pada pengelolaan hutan mengalami beberapa kendala yang menyebabkan kegagalan pada penegakan hukum yang melindungi hak-hak Masyarakat Hukum Adat, yaitu kendala pada faktor peraturan perundang-undangan yang mengalami ketidakharmonisan antara beberapa peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan Masyarakat Hukum Adat dan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum yang hanya menjadi corong suatu undang-undang tanpa memperhatikan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.