BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada penderitanya. Selain sebagai penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan kanker, stroke juga merupakan penyebab kecacatan jangka panjang nomor satu di dunia. Angka kejadian stroke sendiri dalam dekade terakhir cenderung meningkat. Sebagian besar stroke ±80% merupakan stroke iskemik, sedangkan stroke hemoragik ±20% dan rata-rata sekitar 10-30 kasus per 100.000 penduduk. Angka mortalitas pada penderita stroke mencapai ± 20% pada 3 hari pertama dan ± 50% pada tahun pertama. Selain menurunkan produktivitas kerja, stroke juga membutuhkan biaya perawatan yang tinggi. Stroke dapat mengenai semua kelompok usia dengan kecenderungan pada kelompok usia lanjut (Truslen et al., 2003; Noerjanto, 2002). Stroke merupakan masalah utama kesehatan di negara berkembang, serta penyebab kematian dan kecacatan di negara berkembang (Srinivasan, 2006). Menurut Depkes RI tahun 2008, prevalensi stroke di Indonesia 8,3 per 1000 populasi dan kasus yang terdiagnosis 6 per 1000 populasi. Menurut survei tahun 2004, stroke merupakan pembunuh no.1 di RS Pemerintah di seluruh penjuru Indonesia. Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang terkena stroke. Dari jumlah tersebut, sepertiganya dapat pulih kembali, sepertiga lainnya mengalami gangguan fungsional ringan sampai sedang, dan 1
2 sepertiga sisanya mengalami gangguan fungsional berat (Misbach, 2011). Di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta berdasarkan data dari Instalasi Rekam Medis untuk Indeks Penyakit Tahunan tahun 2010 terdapat penderita stroke infark sejumlah 336 pasien, rata-rata tiap bulan berkisar antara 20-30 pasien baru (Anonymous 1, 2010). Pada stroke iskemik akut, respon inflamasinya dapat mempengaruhi tingkat keparahan stroke. Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada letak lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), letak area yang perfusinya tidak adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori ). Kondisi iskemia otak adalah kondisi yang mencetuskan berbagai proses seluler yang masing-masing dapat berjalan sendiri maupun saling berkaitan, namun semuanya bisa berakhir dengan kematian neuron dan kerusakan jaringan otak yang menetap, yang bermanifestasi sebagai defisit neurologis yang permanen (Cherubini et al., 1999; Husada, 2004). Keluaran penderita stroke sangat tergantung pada letak dan volume lesi (infark) jaringan otak, serta penatalaksanaan penderita. Penatalaksanaan penderita stroke iskemik mempunyai beberapa perbedaan dengan stroke perdarahan. Oleh karena itu, menegakkan diagnosis yang tepat sedini mungkin setelah serangan stroke adalah hal yang sangat penting. Menurut patofisiologinya, stroke iskemik akut (SIA) berlangsung mulai hari pertama sampai hari ke-7 (Pantoni et al., 1998). Topografi lesi pada stroke bergantung pada daerah vaskularisasi yang terpengaruh. Daerah vaskularisasi arteri cerebri posterior adalah lokasi iskemik yang sering. Sedangkan banyak infark yang melibatkan arteri cerebri media,
3 infark jarang terjadi di daerah yang mendapat vaskularisasi arteri cerebri anterior karena aliran kolateralnya relatif sangat baik, dan apabila ada disebabkan karena spasme fokal setelah terjadinya perdarahan subarachnoid. Sedangkan stroke lakuner lebih lazim terjadi di capsula interna, nucleus lentiformis, dan thalamus (Victor, 2000). Letak lesi berdasarkan CT scan kepala dibedakan berdasarkan lesi superfisial dan lesi dalam. Lesi superfisial bila berada di lobus frontalis, parietalis, temporalis dan occipitalis, sedangkan lesi dalam bila mengenai capsula interna, ganglia basalis atau talamus (Gunarto, 2003). Menurut Damopoli et al. (2007), hubungan antara indeks bartel menurut letak teritori arteri, lebih bermakna dibandingkan menurut letak topografi anatomi. Letak lesi juga berhubungan secara bermakna dengan ketidakmampuan konstruksional pada penderita stroke fase akut, namun volume lesi tidak berhubungan bermakna dengan ketidakmampuan konstruksional pada penderita stroke fase akut (Rahayu, 2003). Pada stroke akut mungkin sulit untuk memprediksi apakah pasien-pasien stroke dengan defisit neurologis yang berat akan terjadi perbaikan atau akan terjadi kecacatan yang menetap, bahkan akan menyebabkan kematian (Azzimondi, 1996). Dari hasil penelitian di Indonesia, didapatkan hasil bahwa rata-rata yang terserang stroke berusia antara 18 95 tahun dengan gejala dan tanda klinis terbesar adalah gangguan motorik (90.5%), kemudian nyeri kepala (39.8%),
4 disartria (35.2%), gangguan sensorik (22.3 %) dan disfasia (15.6 %) (Sunardi, 2007). Heterogenitas stroke menyebabkan sulitnya memprediksi outcome yang terjadi secara akurat dan faktor apa yang paling menentukan outcome. Sejumlah prediktor untuk outcome stroke telah diajukan dan pengukuran outcome stroke mempunyai berbagai masalah tergantung pada perjalanan penyakitnya (Caplan, 2009). Pemilihan outcome yang tepat lebih sulit oleh karena jenis stroke, berat, lokasi, dan kecepatan pemulihannya sangat bervariasi (Braid, 2001). Prediksi yang tepat mengenai prognosis stroke, yang dibuat segera setelah onset terjadi, memiliki peranan penting. Hal ini diperlukan bukan hanya untuk memberikan pertimbangan kepada dokter dalam memberikan informasi yang lebih terpercaya kepada pasien dan keluarganya, tetapi juga sebagai panduan dalam pengelolaan dan perencanaan rehabilitasi pada pasien (Counsell et al., 2003). Muslam et al. (2000) melakukan penelitian prognosis stroke infark akut berdasarkan hasil CT scan yang menyimpulkan bahwa lesi dalam memiliki prognosis yang lebih baik daripada lesi superfisial. Pada pasien stroke iskemik noncardioembolic, prognosis luaran fungsional pada lokasi thalamus dan ganglia basalis lebih baik daripada luaran fungsional pada hemisfer cerebri (Pan et al., 2005). Niems et al. (2007) melakukan penelitian kualitas hidup pada pasien paska stroke akut yang menyimpulkan bahwa stroke yang berlokasi di hemisfer memiliki prognosis peningkatan kualitas hidup lebih sering dibandingkan dengan
5 stroke yang berlokasi di batang otak. Prognosis perbaikan kualitas hidup pasien stroke dipengaruhi oleh lesi pada hemisfer (Patel, 2007). Salah satu alat ukur untuk menilai defisit neurologis dari stroke adalah NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale). Berdasarkan beberapa penelitian, NIHSS lebih unggul dalam menilai derajat defisit neurologis daripada alat ukur lain. Menurut Bushnell et al. (2001), NIHSS lebih unggul dan lebih menyeluruh dalam menilai derajat defisit neurologis dibandingkan dengan CNS (Canadian Neurological Scale). Jensen et al. (2006), pada konsensus National Stroke Association, menyebutkan bahwa penilaian derajat defisit neurologis stroke dengan berbagai tingkat validasinya, menganjurkan menggunakan NIHSS dibandingkan dengan Canadian Neurological Scale (CNS) dan Scandinavian Stroke Scale (SSS), Orgogozo Scale. Dari gambaran tersebut di atas, maka dengan mengetahui prediksi awal akibat stroke sangat penting untuk menseleksi strategi pengobatan pada fase akut, perencanaan dan penggunaan rehabilitasi serta manajemen stroke. Karena itu pengetahuan tentang prognosis stroke mutlak diperlukan, tidak hanya untuk memberikan informasi yang bermanfaat pada pasien dan atau keluarganya, juga dalam rangka pemilihan tindakan selanjutnya (Asmedi & Lamsudin, 1998). B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas terdapat beberapa hal yang menjadi pokok masalah:
6 1. Prevalensi dan insidensi stroke semakin tinggi dan merupakan masalah kesehatan bagi negara maju maupun berkembang. 2. Mortalitas, morbiditas, dan disabilitas pada pasien stroke masih tinggi dan merupakan masalah kesehatan yang serius. 3. Letak lesi dalam masih diperdebatkan pengaruhnya dalam memprediksi defisit neurologis yang buruk pada penderita stroke iskemik akut C. Pertanyaan Penelitian 1. Apakah letak lesi dalam dapat digunakan sebagai prediktor perburukan defisit neurologis pada penderita stroke iskemik akut? 2. Apakah terdapat faktor lain yang mempengaruhi perburukan defisit neurologis pada penderita stroke iskemik akut? D. Tujuan Penelitian Mengetahui hubungan dan signifikansi letak lesi dalam sebagai faktor prediktor prognosis perburukan defisit neurologis pada penderita stroke iskemik akut. E. Keaslian Penelitian Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan mengenai letak lesi sebagai faktor prognostik defisit neurologis stroke iskemik, tertera di tabel 1.
7 Tabel 1. Keaslian Penelitian Peneliti Judul Disain Alat Ukur Hasil Penelitian Muslam et Prediksi Prognosis al., 2000; Penderita Stroke Iskemik Akut berdasarkan Hasil CT-Scan Pan et al., Location and size of 2005 infarct on functional outcome of noncardioembolic ischemic stroke Damopoli Korelasi Antara et al., Volume Dan Letak 2007 Infark Pada Ct- Scan Kepala dengan Derajat Klinis Berdasarkan Indeks Barthel pada Stroke Iskemik Akut Ilyas et Peranan Penilaian al., 2007 Computer Tomography Scan (Ct Scan) Kepala dalam Memprediksi Luaran Penderita Stroke Iskemik Akut Penelitian ini Kohort Prospektif Orgogozo Letak, ukuran, tipe infark, usia dan skor neurologik awal mempengaruhi prognosis stroke infark akut secara signifikan Kohort Bartel Index Lokasi dan ukuran lesi Prospektif pada stroke noncardioembolic merupakan faktor prognostik signifikan terhadap luaran fungsional. Lokasi thalamus, ganglia basalis mempunyai luaran yang lebih baik dibandingkan di hemisfer cerebri. Potong lintang Bartel Index Pada penderita stroke iskemik akut, hubungan Bartel Index menurut letak territori arteri lebih bermakna dibandingkan letak topografi anatomi Potong Lintang Canadian Volume dan lokasi lesi Neurological (infark) yang ditentukan Scale melalui CT Scan kepala dapat digunakan untuk memprediksi luaran penderita stroke iskemik akut Kohort NIHSS prospektif
8 F. Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan agar memiliki pemahaman mengenai pengaruh letak lesi dalam terhadap prognosis perburukan defisit neurologis stroke iskemik akut sehingga dapat memberikan informasi yang lebih jelas kepada pasien dan keluarga pasien tentang risiko yang akan terjadi dan membantu dalam memberikan penatalaksanaan yang optimal. 2. Melengkapi sumber data bagi institusi kesehatan dan pendidikan mengenai letak lesi dalam sebagai prediktor terhadap perburukan defisit neurologis pasien stroke iskemik akut sehingga dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan dan penelitian lebih lanjut.