BAB I PENDAHULUAN. Secara bahasa syahadah artinya kesaksian, berasal dari kata musyahadah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KEKUATAN KESAKSIAN TESTIMONIUM DE AUDITU DALAM HUKUM ACARA PERDATA

BAB II. surat gugatan, membuktikan dalil-dalil gugatan, melakukan sita jaminan,

BAB IV ANALISIS KONSEP KESAKSIAN ISTIFA>D{AH DAN KONSEP KESAKSIAN DE AUDITU BERKENAAN DENGAN PERBEDAAN FUNGSI KESAKSIAN DI PENGADILAN

BAB I PENDAHULUAN. kedudukan seseorang terdakwa apabila mendapatkan tuduhan dari seseorang.

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERCERAIAN KARENA ISTERI. A. Analisis terhadap Dasar Hukum dan Pertimbangan Hakim karena Isteri

BAB IV ANALISIS TERHADAP KEISTIMEWAAN SYAHADAH AL- ISTIFA>D{AH BERKENAAN DENGAN TIDAK TERPENUHINYA PERSYARATAN YANG TERTERA DALAM PASAL 24

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hukum acara pidana mengatur cara-cara bagaimana negara menggunakan

BAB IV. A. Analisis Terhadap Dasar Hukum yang Dijadikan Pedoman Oleh Hakim. dalam putusan No.150/pdt.G/2008/PA.Sda

BAB IV. ANALISIS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BUKITTINGGI NOMOR:83/Pdt.P/2012/PA.Bkt

BAB III PERSAKSIAN SENGKETA WAKAF DALAM BENTUK WASIAT PADA PASAL 24 UNDANG - UNDANG NO. 41 TAHUN 2004 DAN KONSEP SAHADAH AL-ISTIFA>D}AH

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SAMPANG. NOMOR: 455/Pdt.G/2013.PA.Spg.

BAB IV PENGGUNAAN SAKSI KELUARGA DALAM PROSES PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN MUTILASI DALAM PERSPEKTIF FIQIH MURAFA AT

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG CERAI TALAK

BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMBATALAN PUTUSAN PA SURABAYA OLEH PTA SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. lainnya dalam menyalurkan kebutuhan biologisnya. diliputi rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Allah Swt. menciptakan manusia di bumi ini dengan dua jenis yang

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP DISSENTING OPINION DALAM PUTUSAN PERKARA CERAI GUGAT (Studi Putusan Nomor 0164/Pdt.G/2014/PA.Mlg)

BAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA

BAB IV ANALISIS. A. Tinjauan Yuridis terhadap Formulasi Putusan Perkara Verzet atas Putusan

BAB I PENDAHULUAN. sampai matinya salah seorang suami istri. Inilah sebenarnya yang dikehendaki

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah. melimpahkan taufik, rahmat dan hidayahnya kepada penulis hingga penulis dapat

IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK

P E N E T A P A N Nomor 20/Pdt.P/2013/PA Slk

PUTUSAN Nomor : 002/Pdt.G/2011/PA.Mto. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

ف ض ل ه و ال له و اس ع ع ل ي م BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan disyariatkan oleh agama sejalan dengan hikmah manusia

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria atau seorang wanita, rakyat kecil atau pejabat tinggi, bahkan penguasa suatu

BAB III HASIL PENELITIAN. A. Fungsi dan Wewenang Hakam dalam Perkara Perceraian. 1. Fungsi Hakam Sebagai Saksi dan Wewenangnya dalam Perkara

1. Pengertian Saksi. 2. Syarat syarat Saksi MAKALAH :

P E N E T A P A N Nomor 0026/Pdt.P/2013/PA Slk

BAB IV. A. Analisis Dasar Hukum dan Pertimbangan Hakimdalam Direktori Putusan. Nomor 08/PID.B/2013/PN-GS tentang Pembunuhan Berencana.

BAB II KESAKSIAN DALAM HUKUM ISLAM

BAB IV NASAB DAN PERWALIAN ANAK HASIL HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH (INCEST) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. semua mahluk, baik manusia, hewan maupun tumbuhan. Seperti firman Allah

BAB IV. A. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh dalam Putusan No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO tentang Tindak Pidana Pembakaran Lahan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TENTANG PEMBUKTIAN

PENDAPAT IMAM ASY-SYÂFI'I TENTANG PEMBERLAKUAN HUKUM RAJAM BAGI PEZINA KAFIR DZIMMY

BAB IV ANALISIS HUKUM FORMIL DAN MATERIIL TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN AGAMA PURWOREJO NO. 021/PDT.P/2007/PA.PWR.

YANG HARAM UNTUK DINIKAHI

BAB IV ANALISIS TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENUKARAN UANG DENGAN JUMLAH YANG TIDAK SAMA JIKA DIKAITKAN DENGAN PEMAHAMAN PARA PELAKU

Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB IV ANALISIS KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI

BAB I PENDAHULUAN. menghimpit, menindih atau berkumpul, sedangkan arti kiasanya ialah watha

A. Analisis Tentang Tata Cara Akad Manusia tidak bisa tidak harus terkait dengan persoalan akad

Pengasih dan Pembenci, keduanya hukumnya haram. Pertanyaan: Apakah hukumnya menyatukan pasangan suami istri dengan sihir?

------Pengadilan Agama Poso yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu. pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan atas perkara Cerai Talak

BAB III PERTIMBANGAN DAN DASAR HUKUM PUTUSAN NOMOR: 0151/Pdt.G/2014/PA.Mlg

ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. OLEH : Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, baik hubungan dengan Allah swt. maupun hubungan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Allah menciptakan makhluk di bumi ini dengan berpasang-pasangan yakni

BAB IV ANALISIS METODE ISTINBA<T} HUKUM FATWA MUI TENTANG JUAL BELI EMAS SECARA TIDAK TUNAI

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAKAN ASUSILA DAN PENGANIAYAAN OLEH OKNUM TNI

RINGKASAN Bagi umat Islam yang mentaati dan melaksanakan ketentuan pembagian warisan sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah swt.

BAB I PENDAHULUAN. berpasang-pasangan termasuk di dalamnya mengenai kehidupan manusia, yaitu telah

BAB I PENDAHULUAN. berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata. penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusannya.

BAB I PENDAHULUAN. Sudah menjadi sunnatullah, bahwa kehidupan di muka bumi ini diciptakan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA. A. Pengangkatan Anak Di Pengadilan Agama Bantul (Studi Kasus Penetapan

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PROSES MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA DENGAN PROSES PERDAMAIAN DI MAHKAMAH SYARI AH KUCHING SARAWAK MALAYSIA

BAB I PENDAHULUAN. ajaran yang sangat sempurna dan memuat berbagai aspek-aspek kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. anak. Selain itu status hukum anak menjadi jelas jika terlahir dalam suatu

PROSES AKAD NIKAH. Publication : 1437 H_2016 M. Disalin dar Majalah As-Sunnah_Baituna Ed.10 Thn.XIX_1437H/2016M

BAB I PENDAHULUAN. selesai sampai kapanpun, sepanjang ada kehidupan manusia di dunia ini, karena

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK DAN IMAM SYAFI I TENTANG TATA CARA RUJUK SERTA RELEVANSINYA TERHADAP PERATURAN MENTERI AGAMA NO.

BAB I PENDAHULUAN. badan peradilan untuk menjalankan fungsinya dalam menegakkan hukum

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN WASIAT DENGAN KADAR LEBIH DARI 1/3 HARTA WARISAN KEPADA ANAK ANGKAT

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kamus bahasa arab, diistilahkan dalam Qadha yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. adalah bagaimana menerapkan sistem penyelesaian sengketa yang sederhana,

BAB IV. ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN NAFKAH ANAK ATAS DASAR EX AEQUO ET BONO DALAM STUDI PUTUSAN No.1735/Pdt.G/2013/PA.

ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG HAKAM TIDAK MEMILIKI KEWENANGAN DALAM MENCERAIKAN SUAMI ISTRI YANG SEDANG BERSELISIH SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. hukum agama maupun ketentuan undang-undang yang berlaku. Dari sini tercipta

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan penangkapan ikan yang melanggar hukum (illegal fishing)

KOMPETENSI DASAR: INDIKATOR:

BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS. Alamat : Jl. AES Nasution Gang Samudin Rt 11 Rw 02

BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan

Bersama : H. Ahmad Bisyri Syakur,Lc.MA.

BAB I PENDAHULUAN. kalimat hadhana ath-thaairu baidhahu burung itu menggempit telur

BAB I PENDAHULUAN. keluarga, perkawinan tidak hanya mengandung unsur hubungan manusia. harus memenuhi syarat maupun rukun perkawinan, bahwa perkawinan

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PA DEMAK NO. 619/PDT.G/2003/PA.DMK TENTANG PENOLAKAN MAJELIS HAKIM TERHADAP NAFKAH ANAK (HADHANAH)

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM ATAS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI SIDOARJO TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN ANAK DIBAWAH UMUR

BAB IV ANALISIS YURIDIS TENTANG PUTUSAN HAKIM NOMOR. 2781/Pdt.G/2012/PA.Tbn TENTANG PENOLAKAN PERMOHONAN NAFKAH ANAK OLEH ISTRI YANG DICERAI TALAK

ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG HAPUSNYA HAK MENUNTUT PIDANA KARENA DALUWARSA DALAM PASAL 78 KUHP

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

BAB IV ANALISIS PERTANGGUNG JAWABAN PEMERIKSAAN TERSANGKA PENGIDAP GANGGUAN JIWA MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

BAB IV ANALISIS TERHADAP STATUS NASAB DAN KEWAJIBAN NAFKAH ANAK YANG DI LI AN AYAHNNYA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA INDONESIA

BAB II PERSAKSIAN WAKAF DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

MEMBATALKAN PUASA. HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA Yang membatalkan puasa ada enam perkara : 1. Makan dan minum Firman Allah SWT :

UNTUK KALANGAN SENDIRI

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP KLAIM ASURANSI DALAM AKAD WAKALAH BIL UJRAH

P U T U S A N. Nomor: 39/Pdt.G/2011/PA.MTo. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. menerima atau mendengarkan sumpah tersebut, apakah mempercayainya

KAIDAH FIQH. Disyariatkan Mengundi Jika Tidak Ketahuan Yang Berhak Serta Tidak Bisa Dibagi. حفظه هللا Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf

BAB III DESKRIPSI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA GRESIK TENTANG CERAI GUGAT KARENA SUAMI MAFQU>D NO: 0036/PDT. G/2008/PA GS.

Akal Yang Menerima Al-Qur an, dan Akal adalah Hakim Yang Adil

ب س م ال رح م ن ال رح ی م

BAB I PENDAHULUAN. piutang dapat terjadi di dunia. Demikian juga dalam hal motivasi, tidak sedikit. piutang karena keterpaksaan dan himpitan hidup.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam hukum Islam, alat bukti saksi disebut dengan syahadah. Secara bahasa syahadah artinya kesaksian, berasal dari kata musyahadah yang berarti melihat dengan mata, karena syahid atau orang yang menyaksikan memberi tahu apa yang ia saksikan dan lihat. Artinya adalah pemberitahuan seseorang atas apa yang ia ketahui dengan suatu lafadz, yaitu aku saksikan atau aku telah menyaksikan (asyahadu atau syahidu). 1 Sedangkan menurut syara, kesaksian adalah pemberitahuan yang pasti yaitu ucapan yang keluar dengan menyaksikan langsung atau dari pengetahuan yang diperoleh dari orang lain karenanya beritanya telah tersebar. 2 Allah SWT berfirman dalam surat Al-Israa ayat 36: و لا ت ق ف م ا ل ي س ل ك ب ه ع ل م إ ن الس م ع و ال ب ص ر و ال ف و اد ك ل ا و ل ي ك ك ان ع ن ه م س و لا. Artinya: Janganlah engkau turut apa-apa yang tidak ada pengetahuan engkau tentang keadaannya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, masing-masing akan diperkirakan (menanggung jawab) 1 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 4, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006, hlm. 361. 2 Anshoruddin, Hukum Pembuktian menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 73. 1

2 Imam Syafi i dalam kitabnya Al-Umm mengatakan bahwa tidak meluas pada seorang saksi untuk menyaksikan melainkan apa yang ia ketahui. Mengetahui ada tiga segi yaitu: 1. Sesuatu yang diketahui oleh saksi, jadi saksi tahu dengan mata kepala sendiri. 2. Sesuatu yang didengar oleh saksi, jadi saksi mengetahui sesuatu yang didengar dari yang disaksikan. 3. Sesuatu yang menjadi jelas berdasarkan berita, yaitu sesuatu yang kebanyakan tidak mungkin dilihat dan pengetahuannya dapat diterima dalam hati, berdasarkan segi ini menyaksikan. Apa yang disaksikan seseorang terhadap orang lain bahwa ia berbuat sesuatu atau ia mengakuinya, maka tidak boleh, melainkan dengan adanya dua hal, yaitu: 1. Ia melihat dengan mata kepala sendiri. 2. Ia mendengar bersama adanya melihat ketika pekerjaan itu dilakukan. 3 Memberi kesaksian asal hukumnya fardlu kifayah artinya jika dua orang telah memberikan kesaksian, maka semua orang telah gugur kewajibannya. Dan jika semua orang menolak tidak ada yang mau untuk menjadi saksi maka berdosa semuanya, karena maksud kesaksian itu adalah untuk memelihara hak. 4 3 Al-Imam Asy-Syafi i, Al-Umm (Kitab Induk), Terj. Ismail Yakub, Dahlan Idhamy, Zuhri, Jakarta: Faizan, tth, hlm. 263. 4 Anshoruddin, op.cit, hlm. 74.

3 Hukumnya dapat berubah menjadi fardlu ain, jika tidak ada lagi orang selain mereka berdua yang mengetahui suatu kasus itu. Terhadap saksi seperti ini, jika menolak untuk menjadi saksi, maka boleh dipanggil paksa. 5 Oleh karena itu, manakala seseorang dipanggil untuk dijadikan saksi dalam suatu perkara maka ia wajib memenuhi panggilan. 6 Kewajiban untuk menjadi saksi di dasarkan kepada firman Allah SWT:...و لا ي ا ب الش ه داء إ ذ ا ما دع وا... (البقراه: 282) Artinya: janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil (Q.S. Al-Baqarah: 282). Maksud dari ayat tersebut adalah barang siapa yang dipanggil oleh hakim untuk dimintai keterangan sebagai saksi dalam suatu perkara agar perkara itu jelas masalahnya, maka saksi-saksi tersebut wajib memenuhi panggilan tersebut. Seseorang yang hendak memberikan kesaksian harus dapat memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Dewasa 2. Berakal 3. Mengetahui apa yang disaksikan 4. Beragama Islam 5. Adil 6. Saksi itu harus dapat melihat 5 Ibid. 6 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 377.

4 7. Saksi itu harus dapat berbicara. 7 Hukum Islam tidak menjelaskan secara rinci tentang sifat-sifat saksi untuk dapat diterima kesaksiannya dalam persidangan majelis hakim. Secara garis besar ada lima sifat saksi yang harus dipegangi oleh hakim dalam memeriksa kesaksiannya yaitu adil memberi kesaksiannya di dalam persidangan. 8 Untuk mendapatkan keyakinan hakim terhadap suatu peristiwa dan kejadian yang disaksikannya itu dengan melihat dan mengalami sendiri. Jika ia memberikan keterangan kesaksiannya berkenaan dengan perbuatan maka perbuatan itu haruslah dilihat secara nyata, demikian juga hal-hal yang berkenaan dengan suara, maka suara tersebut haruslah didengar sendiri secara yakin dan benar. Kesaksian itu haruslah datang dari dua orang saksi atau satu orang saksi tetapi perlu adanya bukti yang lain, kecuali dalam hal yang diperkenankan mempergunakan kesaksian istifadhoh, sebagaimana yang telah disepakati oleh para ahli hukum Islam. 9 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menyebutkan kesaksian istifadhoh dengan khabar istifadhoh, dengan penjelasan adalah berita yang tersebar yaitu berita yang mencapai derajat antara mutawatir dan ahad (berita orang perorang) atau berita yang sudah menyebar dan menjadi pembicarakan di kalangan manusia. 7 Anshoruddin, op.cit, hlm 75-76. 8 Abdul Manan, op.cit, hlm 376. 9 Ibid, hlm 375.

5 Berita yang tersebar ini merupakan satu jenis berita yang boleh dijadikan sandaran persaksian. Seorang suami dibolehkan berpegang padanya dalam menuduh istrinya dan meli annya apabila zina istrinya telah tersebar beritanya di kalangan manusia, dan hakim dibolehkan terhadapnya. 10 Kesimpulannya, berita yang sudah tersebar merupakan satu ketentuan hukum acara dalam meniadakan kecurigaan terhadap saksi dan hakim, dan ia lebih kuat nilai pembuktiannya dari kesaksian saksi dua orang laki-laki yang diterima kesaksiannya. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Syiddieqy dalam bukunya Hukum-Hukum Fiqih Islam Tinjauan Antar Mazhab, sejalan dengan Ibnu Qayyim. Pensaksian dengan dasar telah terkenal benar dalam masyarakat, diterima dalam delapan hal yaitu: nikah, keturunan, kematian, wali qadla, kemilikan, memerdekakan budak, waqaf dan wala (hak menerima pusaka oleh seorang tuan dari seorang bekas budaknya). Pemikiran dari Tengku Muhammad Hasbi Ash-Syiddieqy tersebut disandarkan pada pendapat dua Imam Mazhab, Al-Imam As-Syafi I dan Imam Abu Hanifah. Kalangan Mazhab Syafi i membolehkan persaksian berdasarkan ketenaran dalam beberapa hal perkara, yaitu: nasab, kelahiran, kematian, kemerdekaan, kesetiaan, perwalian, wakaf, pengunduran diri, nikah, pemeriksaan, penolakan, wasiat, kedewasaan, kedunguan, dan hak milik. 10 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Hukum Acara Peradilan Islam, Terj., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2006, hlm. 345.

6 Dan menurut Abu Hanifah, diterima dalam lima hal saja yaitu: nikah, dukhul (sudah mencampuri istri), keturunan, kematian, dan wilayah qadla. Adapun dalam hukum perdata di Indonesia, syarat materiil saksi sebagai alat bukti adalah berdasarkan pasal 171 HIR dan pasal 1907 KUH Perdata. Keterangan yang diberikan harus berdasarkan sumber pengetahuan yang jelas. Dan sumber pengetahuan yang bersifat langsung dari peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan pokok perkara yang disengketakan para pihak. Secara formilnya, saksi harus memenuhi syarat-syarat yaitu: 1. Berumur 15 tahun ke atas 2. Sehat akalnya 3. Tidak ada hubungan keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus, kecuali UU menentukan lain 4. Tidak ada hubungan perkawinan dengan salah satu pihak meskipun sudah bercerai (pasal 14 5 (1) HIR) 5. Tidak ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima upah (pasal 144 (2) HIR; kecuali undang-undang menentukan lain) 6. Menghadap di persidangan (pasal 141 (2) HIR) 7. Mengangkat sumpah menurut agamanya (pasal 147 HIR)

7 8. Berjumlah sekurang-kurangnya 2 orang untuk kesaksian suatu peristiwa, atau dikuatkan dengan alat bukti lain (pasal 169 HIR); kecuali mengenai perzinahan. 9. Dipanggil masuk ke ruang sidang demi satu (pasal 144 (1) HIR 10. Memberikan keterangan secara lisan (pasal 147 HIR). 11 Apabila saksi telah memenuhi syarat formil dan materiil, maka ia mempunyai nilai pembuktian bebas. Hakim bebas untuk menilai kesaksian itu sesuai dengan nuraninya. Hakim tidak terikat dengan keterangan saksi. 12 Dalam hal menimbang harga kesaksian hakim harus menumpahkan perhatian sepenuhnya tentang permufakatan saksi-saksi, cocoknya kesaksian-kesaksian dari yang diketahui dari tempat lain tentang perkara yang diperselisihkan, tentang sebab-sebab yang mungkin ada pada saksi itu untuk menerangkan dengan cara begini atau begitu, tentang perilaku atau adat dan kedudukan saksi, dan pada umumnya segala hal yang dapat menyebabkan saksi dipercaya atau tidak (pasal 172 HIR). 13 Saksi yang hanya seorang diri yang disebut Unus Testis Nulus Testis, belum dapat dijadikan dasar pembuktian, melainkan hanya bernilai sebagai bukti permulaan. 11 Mukti Arto, Praktek-Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. III, 2000, hlm. 165-166. 12 Ibid, hlm. 168. 13 Ibid.

8 Selanjutnya oleh undang-undang ditetapkan bahwa keterangan satu orang saksi tidak cukup. 14 Artinya hakim tidak boleh menetapkan suatu peristiwa sebagai terbukti hanya berdasarkan keterangan seorang saksi tersebut. Adapun pula, keterangan seorang saksi yang bersumber dari cerita atau keterangan yang disampaikan orang lain kepadanya adalah berada di luar kategori keterangan kesaksian yang dibebankan sebagaimana pada pasal 171 HIR dan pasal 1907 KUH Perdata. Keterangan saksi yang demikian hanya berkualitas sebagai testimonium de auditu, yaitu kesaksian atau keterangan karena mendengar dari orang lain, yang disebut juga kesaksian tidak langsung atau bukan saksi mata yang mengalami, melihat, atau mendengar sendiri peristiwa pokok perkara yang disengketakan. 15 Keterangan yang bersifat de auditu sebagaimana dijelaskan di atas, tidak dinilai sebagai alat bukti saksi tetapi dapat saja didengar oleh hakim sebagai bahan permulaan. 16 Berdasar pemikiran dan latar belakang tersebut, maka peneliti ingin mengajukannya menjadi sebuah penelitian skripsi sebagai suatu upaya memahami lebih utuh dan menyeluruh konsep dari testimonium de auditi serta kekuatannya sebagai alat bukti ditinjau dari hukum Islam. Oleh sebab itu, peneliti mendeskripsikannya dengan judul TINJAUAN HUKUM 14 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, Cet. XV, tth, hlm. 181. 15 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan), Jakarta: Sinar Grafika, Cet. VII, 2008, hlm. 661. 16 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali, Cet. I, 1991, hlm. 161.

9 ISLAM TERHADAP KEKUATAN KESAKSIAN TESTIMONIUM DE AUDITU DALAM HUKUM ACARA PERDATA B. POKOK PERMASALAHAN Dari latar belakang masalah di atas, maka pokok permasalahan yang menjadi fokus kajian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kekuatan kesaksian testimonium de auditu menurut hukum acara perdata? 2. Bagaimana kekuatan kesaksian testimonium de auditu di tinjau dari hukum Islam? C. TUJUAN PENELITIAN Dalam penulisan, ada beberapa tujuan yang dapat dicapai oleh penulis: 1. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan kesaksian testimonium de auditu menurut hukum acara perdata. 2. Untuk mengetahui kekuatan kesaksian testimonium de auditu ditinjau dari hukum Islam. D. TELAAH PUSTAKA Bertitik tolak dari permasalahan di atas, peneliti akan menyampaikan beberapa sumber tertulis dari yang peneliti temukan berupa buku dan bentuk karya-karya ilmiah lainya yang tentunya terkait dengan permasalahan yang akan dibahas.

10 Dalam kitab Al-Thuruq al-khukmiyyah fi al-siyasah al- Syar iyyah karya Ibnu Qayyim al-jauziyah. Buku ini memberikan penjelasan yang sangat peneliti butuhkan mengenai konsep kesaksian dalam hukum Islam diantaranya adalah masalah penempatan saksi berdasar atas berita yang sudah tersebar, dalam buku tersebut disebut khabar istifadhoh dengan menguraikan kekuatan hukumnya dalam kesaksian perkara perdata. Menurut peneliti buku tersebut sangat mungkin memberikan kontribusi yang besar dalam penelitian ini. Hukum Pembuktian di Peradilan Agama karya Gatot Supramono. Di dalam buku tersebut menjelaskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan hukum acara pembuktian. Pembuktian dapat dilakukan dengan beberapa macam antara lain, bukti dengan surat yang mencakup akta-akta otentik dan barang-barang yang berbentuk tertulis yang dijadikan sebagai bukti. Termasuk yang dapat dijadikan bukti adalah saksi. Disebutkan bahwa saksi yang didatangkan di muka persidangan adalah seorang yang melihat, mendengar sendiri kejadian atau peristiwanya. Dengan demikian saksi merupakan bukti langsung karena bukti-bukti tersebut dapat secara langsung membuktikan peristiwanya. Disinggung pula tentang persangkaan yang merupakan kesimpulan yang diambil dari peristiwa-peristiwa yang di dapat dari alat bukti yang sudah ada ke arah peristiwa yang belum terbukti. Dalam hal ini peneliti mencantumkan buku tersebut karena sedikit banyak menjelaskan tentang kesaksian dalam

11 undang-undang meskipun masih kurang jelas penjelasan mengenai kesaksian testimonium de auditu. Hukum Acara Perdata karya M. Yahya Harahap. Secara umum buku ini membahas segala hal dalam hukum acara perdata serta landasan hukumnya, mulai dari gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, hingga putusan pengadilan. Pembahasan testimonium de auditu di dalam buku ini masuk dalam bab pembuktian, mencakup pengertian serta variabel penerapannya yang selama ini telah berjalan. Buku ini sebagai salah satu yang terpenting menjadi bahan referensi untuk dapat memaparkan tentang testimonium de auditu. Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif karya Anshoruddin. Dalam buku ini sedikit banyak menjelaskan mengenai hukum acara dari dua segi sistem hukum yaitu sistem hukum positif dan sistem hukum Islam termasuk diantaranya adalah mengenai kesaksian. Menurut Anshoruddin, testimonium de auditu dan istifadhoh mempunyai persamaan dan perbedaan diantaranya adalah keduanya merupakan keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain tidak mendengarnya atau melihatnya sendiri. Tetapi kesaksian de auditu dalam HIR tidak dapat menjadi alat bukti langsung, sedangkan dalam hukum acara Islam dapat menjadi alat bukti langsung. Adapun naskah atau tulisan sebelumnya tentang testimonium de auditu dalam bentuk skripsi adalah karya Iffah Hadiany (2102016)

12 berjudul Kekuatan Alat Bukti Testimonium De Auditu dalam Perkara Perdata di Pengadilan Agama (Studi Perkara di Pengadilan Agama Kendal). Skripsi tersebut membahas tentang praktek yang ada di lapangan yang difokuskan pada Pengadilan Agama Kendal. Hasil dari penelitiannya bahwa pada Pengadilan tersebut, testimonium de auditu diabaikan sebagai alat bukti, namun hakim tidak boleh menolak perkara asalkan keterangan persaksian itu saling berhubungan antara satu alat bukti dengan alat bukti lain, dan dalam penerapannya tergantung kasus per kasus. Karya tersebut merujuk pada beberapa pendapat yang mengemukakan testimonium de auditu secara teori makna/definitif. Perbedaan permasalahan dengan yang diangkat peneliti adalah membahas secara literer mengenai testimonium de auditu ditinjau menurut hukum Islam, di mana dalam penelitian pustaka ini penulis menggunakan rujukan literatur pada pendapat Anshoruddin yang mempunyai penilaian berbeda yang cukup tegas mengenai testimonium de auditu menurut hukum Islam. E. METODE PENELITIAN Metode Penelitian merupakan tata cara bagaimana suatu penelitian dilaksanakan. 17 Dalam hal ini, peneliti akan menguraikan berbagai hal terkait dengan penelitian yang akan dilakukan, sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian 17 M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Jakarta: Ghalia Indonesia, Cet. ke-1, 2002, hlm. 21

13 Penelitian ini termasuk Library Research atau penelitian kepustakaan, yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, mencatat serta mengolah bahan penelitian. 18 Dengan kata lain, riset pustaka ialah memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitian. 19 2. Sumber data Dalam penelitian ini, peneliti tidak mengelompokkan sumber data yang ada menjadi sumber data primer dan sekunder, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa peneliti kepustakaan maupun lapangan yang lain. Kenyataan yang diperoleh peneliti dari studi pendahulunya mengisyaratkan bahwa berbagai sumber data yang ada masih berserakan dalam berbagai literatur Islam. Peneliti menemukan konsep tentang kesaksian ini relatif terbatas yang ditulis secara khusus dalam literatur fiqih Islam, 20 tetapi penulis temukan dibeberapa literatur lain hanya secara umum di bagian bab tentang kesaksian seperti Pokok- Pokok Hukum Perdata karya Prof. Subekti, S.H., dan buku-buku fiqih lain yang penulis temukan tentang kesaksian sebagaimana yang telah peneliti sebutkan dalam telaah pustaka. Selain itu, penulis tidak lupa menggunakan buku RIB / HIR Dengan Penjelasan karangan R. Soesilo sebagai bahan referensi primer dalam penulisan skripsi ini. 18 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Cet. ke-1, 2004, hlm. 3 19 Ibid, hlm. 1 20 Salah satu literatur yang didapat peneliti saat ini adalah kitab at-thuruk al- Khukmiyyah fi al- syar iyyah karya Ibnu Qayyim al-jauzyyah

14 3. Teknik Pengumpulan data Metode pengumpulan data dalam pembahasan skripsi ini dilakukan dengan mengadakan upaya penelitian pada sejumlah literer yang berkaitan dengan pokok permasalahan. 21 4. Analisis Data a. Metode analisis 1). Deskriptif Penelitian menggunakan analisis deskriptif yaitu suatu metode pemecahan masalah dengan mengumpulkan data yang tertuju pada masalah sekarang, dijelaskan, dianalisis dan di interpretasikan dan kemudian disimpulkan. 22 2). Content Analysis Bernald Barelson, seorang pakar yang banyak menekuni metode Content Analysis merumuskan; Content Analysis is a research technique for the objective, systematic, and quantitative description of the manifest content of communication 23 Dengan menggunakan Content Analysis, maka analisis selanjutnya menggunakan analisis data kualitatif, yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka 21 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, cet. Ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hlm. 7. 22 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, cet ke-10, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996, hlm. 214. 23 Barelson menampilkan tiga syarat dalam Content Analysis, yakni obyektivitas, pendekatan sistematis, dan generalisasi. Hal ini dimaksudkan agar selain obyektif, analisis harus berlandaskan aturan yang telah dirumuskan secara eksplisit. Dalam hal ini, menurutnya, seorang peneliti dapat menggunakan kriteria tertentu. Selain itu, hasil analisis harus menyajikan generalisasi, artinya harus ada temuan teoretik, bukan hanya sebatas deskriptif semata. Lihat Noeng Muhadjir, op.cit. hlm. 77

15 secara langsung. 24 Sebagai pendekatannya, penulis menggunakan metode deskriptif yaitu sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. 25 Untuk itu penulis akan menggambarkan kekuatan kesaksian testimonium de auditu dalam hukum perdata yang berlaku di Indonesia, kemudian mengukur relevansinya dengan pandangan hukum Islam. F. SISTEMATIKA PENULISAN Agar pembahasan ini lebih mengarah, maka penulis membagi pembahasan skripsi menjadi beberapa bab, tiap bab terdiri dari sub dengan maksud untuk mempermudah dalam mengetahui hal-hal yang dibahas dalam skripsi ini tersusun secara rapi dan terarah. Adapun susunan dari babbab tersebut adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini akan dijelaskan secara detail tentang Latar Belakang masalah yang menjadi dasar pemikiran peneliti, 24 Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. 3, 1995, hlm. 134. 25 Hadari Nawawi; Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Cet. 6, 1993, hlm. 63.

16 pokok-pokok permasalahan, tujuan penelitian, telaah pustaka, dan sistematika penelitian skripsi BAB II TINJAUAN MENGENAI KESAKSIAN DALAM HUKUM ISLAM Berisi tentang pengertian dan landasan hukum saksi, hukum kesaksian, syarat menjadi saksi, saksi istifadhoh, kekuatan kesaksian dalam hukum Islam BAB III KESAKSIAN TESTIMONIUM DE AUDITU DALAM HUKUM ACARA PERDATA Dalam bab III peneliti akan menguraikan sekelas tentang hukum acara perdata, saksi dalam hukum acara perdata, syaratsyarat saksi, testimonium de auditu dalam hukum acara perdata, dan kekuatan testimonium de auditu BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KEKUATAN KESAKSIAN TESTIMONIUM DE AUDITU DALAM HUKUM ACARA PERDATA Dalam bab ini merupakan upaya terpenting peneliti dalam meneliti kekuatan kesaksian testimonium de auditu, dan analisis hukum Islam terhadap kekuatan kesaksian testimonium de auditu dalam hukum acara perdata BAB V PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan, saran-saran dan penutup