BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kateterisasi urin merupakan salah satu tindakan memasukkan selang kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan urin (Brockop dan Marrie, 1999 dalam Jevuska, 2006). Kateterisasi urin ini dilakukan dengan cara memasukkan selang plastik atau karet melalui uretra ke dalam kandung kemih. Kateter ini berfungsi untuk mengalirkan urin pada klien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau klien yang mengalami obstruksi. Kateterisasi pada kandung kemih dapat beresiko infeksi pada saluran kemih dan trauma pada uretra, sehingga untuk meminimalisir resiko itu dilakukan tindakan lain pada pengambilan spesimen dan inkontinensia (Potter & Perry, 2005). Kateter diindikasikan untuk beberapa alasan yaitu untuk menghasilkan drainase setelah operasi dan menentukan jumlah urin sisa pada kandung kemih setelah pasien berkemih (Brunner & Suddarth, 2002). Pemasangannya pun dilakukan atas program dokter karena penggunaan kateter tergantung dari kebutuhan dan indikasi. Selain itu digunakan untuk memantau pengeluaran urin pada pasien yang mengalami gangguan hemodinamik (Sari, 2007). Menurut Gokula, (2004) dalam Riyadi, (2006) menyatakan bahwa di Amerika Serikat diperkirakan sekitar empat juta pasien setiap tahunnya
menggunakan kateterisasi urin. Kurang lebih 25% pasien yang dirawat di Rumah Sakit terpasang kateter indwelling dalam beberapa hari pada hari hari perawatannya. Pemasangan kateter merupakan tindakan invasif, menimbulkan nyeri dan dapat menimbulkan komplikasi permanen, maka pemasangannya harus melalui persetujuan tertulis (informed consent). Kateterisasi juga dapat menimbulkan infeksi pada uretra dan buli buli, oleh karena itu harus dilakukan secara aseptik (Anonim, tth), perhatian juga harus diberikan pada pasien yang terpasang kateter untuk memastikan agar setiap pasien yang berada dalam kondisi kebingungan tidak melepaskan kateter tanpa disadari pada saat balon retensi mengembang, karena kejadian ini akan menyebabkan perdarahan dan trauma yang cukup luas pada uretra (Brunner & Suddarth, 2002), oleh karena itu pasien akan merasa takut saat pemasangan kateter. Menurut Ellis et al, (1996) dalam Riyadi, (2006) menyatakan bahwa banyak pasien merasa cemas, takut akan rasa nyeri dan ketidaknyamanan dalam menghadapi kateterisasi urin. Mereka terlihat emosional dalam menghadapi tindakan tindakan pengobatan maupun perawatan, terlebih yang berhubungan dengan daerah urogenital, dimana ketika kateter masuk ke dalam tubuh. Perawat bertanggung jawab tidak hanya pada penampilan tindakan kateterisasi yang benar, tetapi juga memberi pendidikan untuk menghilangkan kecemasan tersebut, karena perawat profesional adalah perawat yang mampu
bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya berdasarkan pada ilmu yang didapatnya. Sebagaimana tertulis dalam QS. Al - Artinya : engikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, Sehingga setiap perawat harus bisa bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan, dalam hal ini bertanggung jawab untuk mengatasi kecemasan klien yang terpasang kateter. Kecemasan adalah respon emosional terhadap suatu penilaian, dalam hal ini kecemasan yang berhubungan dengan pemasangan kateter (Wartonah, 2006). Kecemasan bisa timbul secara mendadak atau secara bertahap selama beberapa menit, jam atau hari (Anonim, 2008). Namun dalam batas batas tertentu ternyata kecemasan dianggap cukup signifikan sebagai peringatan adanya ancaman, sehingga untuk itu individu dapat mempersiapkan proses penyesuaian diri yang lebih efektif (Kaplan dan Sadock, 1995 dalam Jevuska, 2006). Menurut tinjauan penulis di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta, insidensi pemakaian kateter urin dalam bangsal bedah
diperkirakan sekitar 60% - 70%, karena pemasangan kateter tergantung pada kondisi pasien seperti pada pasien pre operasi sedang dan pre operasi besar. Biasanya pemasangan kateter urin dilakukan di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD), kemudian di bangsal bedah dilakukan pemasangan ulang atau penggantian kateter urin. Sekitar 60% - 70% pasien yang akan dipasang kateter mengeluh takut, cemas dan merasa nyeri saat kateter sudah dipasang. Sehingga jika masalah tersebut tidak di atasi akibat yang ditimbulkan akan berdampak pada klien itu sendiri, seperti klien tidak akan kooperatif, tidak bisa istirahat, kateter akan sulit dimasukkan, klien akan mangalami trauma sehingga tidak mau dipasang kateter lagi, dan bagi klien wanita akan mengejan saat dipasang kateter, dan itu semua akan mempengaruhi tingkat kesehatan seorang pasien. Untuk menangani hal tersebut dari pihak RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta menerapkan peraturan yaitu melakukan pemberitahuan secara lisan sebelumnya pada pasien yang akan dipasang kateter. Pengkajian awal yang detail tentang klien, lingkungan dan sistem pendukung berperan dalam rencana perawatan individual yang efektif. Perawat harus menjelaskan setiap tindakan yang dilakukan, dan jika reaksi klien atau keluarga meragukan maka informed consent sangat diperlukan (Johnson, Carr, dkk, 2005). Berdasarkan pada pernyataan pernyataan diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan pemberian informasi
prosedural tentang pemasangan kateter terhadap tingkat kecemasan klien di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. B. Rumusan Masalah Bagaimanakah hubungan pemberian informasi prosedural tentang pemasangan kateter dengan tingkat kecemasan klien? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan pemberian informasi prosedural tentang pemasangan kateter dengan tingkat kecemasan klien 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui kategori pemberian informasi prosedural tentang pemasangan kateter b. Untuk mengetahui tingkat kecemasan klien yang terpasang kateter setelah diberikan informasi prosedural. c. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk kemajuan di bidang ilmu keperawatan terutama tentang hubungan pemberian informasi prosedural terhadap tingkat kecemasan
klien. Sehingga sebagai seorang perawat yang profesional untuk meningkatkan komunikasi teraupetik dalam memberikan informasi prosedural sehingga dapat meminimalisir tingkat kecemasan klien. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Rumah Sakit Memberi masukan pada rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan kepada pasien untuk lebih memperhatikan tingkat kecemasan pasien yang akan dilakukan tindakan medis. b. Bagi Ilmu Keperawatan Memberi gambaran tentang hubungan pemberian informasi prosedural terhadap tingkat kecemasan klien yang terpasang kateter. c. Bagi Pasien Membantu untuk mengurangi tingkat kecemasan pasien dengan informasi yang jelas mengenai tindakan medis yang akan dilakukan. E. Penelitian Terkait Beberapa penelitian terkait dengan pengaruh pemberian informasi prosedural telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya seperti tersebut di bawah ini :
1. prosedur operasi terhadap tingkat kecemasan pasien pre operasi di RS quasy eksperiment dengan hasil penelitian 83,33% responden mengalami kecemasan tingkat ringan dan 16,67% mengalami kecemasan tingkat sedang. Walaupun mempunyai variabel sama yang membedakan dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu metode penelitiannya menggunakan retrospektif selain itu subjek dan waktu penelitian juga berbeda. 2. prosedur operasi terhadap tingkat kecemasan pasien pre operasi di IRNA I quasy eksperiment dengan hasil penelitian 70,1% responden mengalami kecemasan tingkat ringan, 27,5% responden mengalami kecemasan tingkat sedang dan 2,6% responden mengalami kecemasan tingkat berat. Walaupun mempunyai variabel sama yang membedakan dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu metode penelitiannya menggunakan retrospektif selain itu subjek, waktu dan tempat penelitian juga berbeda. 3. Samidjan (2003) dengan j Pra Bedah oleh Perawat dengan Tingkat Kecemasan Anak yang akan di penelitian quasy eksperiment dengan hasil penelitian adanya hubungan yang signifikan antara pemberian penjelasan oleh perawat dengan tingkat
membedakan dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu metode penelitiannya menggunakan retrospektif selain itu subjek, waktu dan tempat penelitian juga berbeda.