BAB I PENDAHULUAN. laporan kinerja BNN pada tahun 2015 dimana terjadi peningkatan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. untuk pengendalian dan pencegahan infeksi HIV/AIDS bagi pengguna

Jalan Arjuna Utara Nomor 9, Kebon Jeruk, Jakarta Barat

BAB I PENDAHULUAN. Pondok Pesantren Daar el-qolam merupakan salah satu pondok pesantren

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Permasalahan narkotika di Indonesia menunjukkan gejala yang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan zat psiko aktif merupakan masalah yang sering terjadi di

Lampiran 1 KUESIONER PERILAKU PENGGUNA NAPZA SUNTIK DI DALAM MENGIKUTI PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. pada pembinaan kesehatan (Shaping the health of the nation), yaitu upaya kesehatan

Bab I Pendahuluan. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. pada program pengalihan narkoba, yaitu program yang mengganti heroin yang. dipakai oleh pecandu dengan obat lain yang lebih aman.

BAB 1 PENDAHULUAN. hancurnya kehidupan rumah tangga serta penderitaan dan kesengsaraan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sehat merupakan hak azazi manusia yang harus di lindungi seperti yang tertuang dalam Deklarasi Perserikatan

PTRM PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON PUSKESMAS BANGUNTAPAN II

BAB I PENDAHULUAN. dan diduga akan berkepanjangan karena masih terdapat faktor-faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lainya. Banyak jenis NAPZA yang besar manfaatnya untuk kesembuhan dan

BAB I PENDAHULUAN. (Afrika Selatan), D joma (Afrika Tengah), Kif (Aljazair), Liamba (Brazil) dan Napza

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENGARUH KONSELING TERHADAP PENURUNAN DEPRESI PADA PASIEN PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON DI PUSKESMAS MANAHAN SOLO NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. mengancam hampir semua sendi kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. Masalah

2 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik I


BAB I PENDAHULUAN. (NAPZA) atau yang lebih sering dikenal masyarakat dengan NARKOBA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masalah penyalahgunaan narkoba, khususnya di Indonesia, saat ini

NAPZA. Priya - PKBI. Narkotika Psikotropika dan zat adiktif lainnya atau di singkat dengan NAPZA.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba dalam bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. positif ataupun negatif. Perilaku mengonsumsi minuman beralkohol. berhubungan dengan hiburan, terutama bagi sebagian individu yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

Wawancara Partisipan 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB VII ZAT ADIKTIF DAN PSIKOTROPIKA

RISIKO PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA PADA IBU HAMIL BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI JAWA TENGAH

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SMP kelas 8 - KIMIA BAB 4. ZAT ADIKTIF DAN PSIKOTROPIKALatihan soal 4.4

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan penyalahgunaan narkoba di Indonesia akhir-akhir ini

BAB I PENDAHULUAN. Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif. Semua istilah ini baik narkoba atau napza

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. medis merupakan suatu bentuk penyalahgunaan yang dapat berakibat fatal di

BAB 1 PENDAHULUAN. Data kasus HIV/AIDS mengalami peningkatan dari tahun Menurut

ABSTRAK KUALITAS HIDUP KLIEN TERAPI METADON DI PTRM SANDAT RSUP SANGLAH

BAB I PENDAHULUAN. Narkoba kini mengintai setiap generasi muda laki laki dan wanita

BAB 1 : PENDAHULUAN. United Nation, New York, telah menerbitkan World Drugs Report 2015 yang

BAB I PENDAHULUAN. pada tahun 80 an telah menjadi jalan bagi Harm Reduction untuk diadopsi oleh

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Dan Zat Adiktif (Abdul & Mahdi, 2006). Permasalahan penyalahgunaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PROGRAM HARM REDUCTION DI INDONESIA "DARI PERUBAHAN PERILAKU KE PERUBAHAN SOSIAL"

BAB I PENDAHULUAN. (NAPZA) kian mengerikan sekaligus memprihatinkan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. tergolong makanan jika diminum, diisap, dihirup, ditelan, atau disuntikkan,

BAB I PENDAHULUAN. mengalami gangguan fungsi mental berupa frustasi, defisit perawatan diri, menarik diri

BAB I PENDAHULUAN. saja fenomena - fenomena yang kita hadapi dalam kehidupan sehari - hari dalam

BAB I PENDAHULUAN. meninggal akibat HIV/AIDS, selain itu lebih dari 6000 pemuda umur tahun

ANCAMAN NARKOBA BAGI GENERASI PENERUS BANGSA oleh Ashinta Sekar Bidari S.H., M.H

2015 PUSAT REHABILITASI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA PRIA

BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang

MENGEMBANGKAN PERILAKU ASERTIF UNTUK PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA. Kata kunci: narkoba; asertif; bimbingan kelompok

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan dasar Disamping itu, pengontrolan hipertensi belum adekuat

BAB 1 PENDAHULUAN. NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Menular Seksual (PMS) disebut juga veneral (dari kata venus yang

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan berbagai masalah di masyarakat. Angka kematian HIV/AIDS di

Berusaha Tenang Mampu mengendalikan emosi, jangan memojokan si-anak atau merasa tak berguna.

GAMBARAN DOSIS TERAPI PADA PASIEN PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON DI RSUD GUNUNG JATI KOTA CIREBON

BAB 1 : PENDAHULUAN. remaja. Perubahan yang dialami remaja terkait pertumbuhan dan perkembangannya harus

TERAPI DAN REHABILITASI NARAPIDANA NARKOTIKA MELALUI METODE CRIMINON DAN KESENIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2011, No sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2

BAB I PENDAHULUAN. penggunaan medis (McGuire, Hasskarl, Bode, Klingmann, & Zahn, 2007).

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN AKTUALISASI DIRI PADA REMAJA PECANDU NARKOBA DI PANTI REHABILITASI

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Prosedur Pelaksanaan Program Terapi Rumatan Metadon. pelayanan rawat jalan dan rawat inap. Korban penyalah guna dan

BAB I PENDAHULUAN. anastesi yang dapat mengakibatkan tidak sadar karena pengaruh system saraf

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Optimisme..., Binta Fitria Armina, F.PSI UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. Adiktif lainnya. Kata lain yang sering dipakai adalah Narkoba (Narkotika,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keterbatasan pengetahuan tentang narkoba masih sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menjadi masalah baru di negara kita. Melalui The World Program of Action for

Methadon sejak 1972 disetujui FDA telah terbukti secara klinis mengurangi jumlah orang kecanduan opiat dengan efek samping jangka panjang terbatas

BAB 1 PENDAHULUAN. dilihat atau dirasakan sebelumnya (Meliono, 2007). Budiningsih (2005) juga

Bab I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang. Perancangan Interior Panti Rehabilitasi Penyalahgunaan Narkoba

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena

BAB I PENAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. Narkoba(Narkotika dan obat/bahan berbahaya) sebagai kelompok obat, bahan, atau zat

2016, No Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); 2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lemb

Menggunakan alat-alat tradisional yang tidak steril seperti alat tumpul. Makan nanas dan minum sprite secara berlebihan

Pengaruh Pelatihan Asertif Untuk Meningkatkan Asertivitas Terhadap Penyalahgunaan Narkoba

DRUG ABUSE KELOMPOK 5

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. (2) Meskipun ilmu. namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.

BAB I PENDAHULUAN. coba-coba (bereksperimen) untuk mendapatkan rasa senang. Hal ini terjadi karena

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB V KESIMPULAN, SARAN, DAN IMPLIKASI. Menderita penyakit yang belum ada obatnya adalah merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. saat usia remaja terjadi peningkatan hormon-hormon seksual. Peristiwa

BAB I PENDAHULUAN. merupakan akronim dari NARkotika, psikotropika, dan Bahan Adiktif lainnya.

HUBUNGAN ANTARA INTERAKSI SOSIAL SISWA DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN SISWA TENTANG NAPZA DI SMK BATIK 1 SURAKARTA SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia. Acquired Immunodeficiency Syndrome atau AIDS. tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV (Kemenkes RI, 2014).

W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A

BAB I PENDAHULUAN. Sebaliknya dengan yang negatif remaja dengan mudah terbawa ke hal yang

Tema Lomba Infografis Community TB HIV Care Aisyiyah 2016

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat menurut Undang-Undang

VIRUS HEPATITIS B. Untuk Memenuhi Tugas Browsing Artikel Webpage. Oleh AROBIYANA G0C PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN

NASKAH PUBLIKASI FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU KEPATUHAN PENASUN DALAM MENGIKUTI PTRM DI RSJD SUNGAI BANGKONG PONTIANAK 2015

KUESIONER KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA PONDOK PESANTREN GEDONGAN KABUPATEN CIREBON

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seperti yang kita ketahui bahwa narkoba di Indonesia sudah merajalela. Kepala Badan Narkotika Nasional, menyatakan Indonesia darurat narkoba sejak tahun 2015 (Rachmawati dalam kompas.com, 2015). Hal ini sejalan dengan hasil laporan kinerja BNN pada tahun 2015 dimana terjadi peningkatan penyalahgunaan narkoba sebesar 0,02% yang awalnya sebesar 4.022.228 menjadi 4.098.029 kasus (BNN, 2015). Presiden Joko Widodo pada acara pembukaan Musrenbangnas RPJMN 2015-2019 juga menyatakan bahwa diperkirakan ada 50 orang di Indonesia yang meninggal setiap harinya karena penyalahgunaan narkoba dan jika dikalkulasi dalam setahun, ada sekitar 18.000 jiwa meninggal dunia karena penggunaan narkoba (www.kompas.com, 2015). Berdasarkan jenis penyalahgunaannya, narkoba dikelompokkan menjadi kelompok penyalahgunaan narkoba non suntik dan narkoba suntik, dan dari 987.158 kasus penyalahgunaan narkoba, 68.902 diantaranya adalah kasus narkoba suntik (BNN, 2015). Hasil wawancara dengan seorang konselor di BNN menyebutkan bahwa narkoba suntik dapat memberikan efek euforia atau kesenangan yang lebih cepat dibandingkan dengan narkoba non suntik, karena penggunaannya langsung disuntikkan ke dalam aliran darah. Selain itu, mudahnya jarum suntik diperoleh di Puskesmas atau apotek membuat pemakaian jarum 1

2 suntik lebih dipilih oleh para pengguna narkoba dan bahkan jarum suntik yang dimiliki tersebut dapat dipakai bersama-sama dan dapat digunakan berkali-kali. Padahal penyalahgunaan narkoba melalui jarum suntik secara bersamasama dapat menyebabkan kurangnya oksigen pada otak, penurunan fungsi seksual, kerusakan hati atau ginjal secara permanen, infeksi katup jantung, keguguran, ganguan perilaku, hingga menjadi jalur penyebaran penyakit menular berbahaya seperti hepatitis B, hepatitis C, dan HIV/AIDS (BNN, 2014). Pada tahun 2014 BNN mencatat 1.794 orang terjangkit HIV akibat penggunaan narkoba melalui jarum suntik secara bergantian. Hal ini sejalan yang diungkapkan oleh Kepala Diskes Bulungan bahwa kasus HIV sangat mudah ditularkan, apalagi telah maraknya penyalahgunaan narkoba yang menggunakan jarum suntik (bulungan.com, 2016). Besarnya resiko yang ditimbulkan oleh penggunaan narkoba melalui jarum suntik membuat Pemerintah RI sejak tahun 2003 membuat program terapi rumatan metadon yang disingkat PTRM. PTRM yaitu rangkaian kegiatan terapi yang menggunakan metadon disertai dengan intervensi psikososial seperti melihat perubahan perilaku bagi pasien ketergantungan opioid (Permenkes No 57, 2013). Metadon sendiri adalah obat yang merupakan opioid sintetik yang dapat digunakan pada pasien ketergantungan narkotika seperti heroin (putaw) atau morfin (Spiritia, 2014). Metadon bereaksi selama 24 jam di dalam tubuh sehingga cukup diminum satu kali sehari. Dalam hal ini metadon menggantikan fungsi heroin dalam otak yang memiliki dampak terhadap pasien agar tetap merasa nyaman tanpa merasa sakau, hingga keinginan menggunakan jarum suntik

3 menghilang. Dengan metadon pasien dapat merasakan efek yang sama seperti menggunakan heroin atau putau tanpa menggunakan jarum suntik. Diharapkan dengan mengikuti program terapi metadon ini dapat menurunkan jumlah pengguna narkoba suntik dan menghentikan penularan penyakit berbahaya. Penulis tertarik memilih terapi PTRM karena PTRM ini dikhususkan untuk pengguna narkoba suntik agar tidak ketergantungan lagi dengan jarum suntik dan dirasa sangat besar efeknya dibandingkan narkoba non suntik, selain itu kemudahan untuk memperoleh sampel dalam terapi tersebut. Pada kenyataannya tidak mudah untuk mengikuti terapi PTRM. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sarasvita, Tonkin, Utomo, dan Ali (2012) pada pengguna narkoba suntik yang mengikuti PTRM pada tahun 2012, ditemukan bahwa terdapat 74,2% dalam 3 bulan dan 61,3% dalam 6 bulan pasien uji coba yang drop out atau putus terapi (Sarasvita dkk, 2012). Selain itu, di dalam penelitian yang dilakukan oleh Anwar, Wihastuti, dan Suharsono (2014) dari bukti registrasi jumlah kunjungan di layanan program terapi rumatan metadon saat studi pendahuluan di Puskesmas Kecamatan Grogol Petamburan sampai Februari 2012 sebanyak 54,2% dari jumlah pengguna narkoba suntik yang terdaftar telah drop out. Di dalam penelitian tersebut, Anwar dkk juga mengatakan bahwa di Amerika menunjukkan data bahwa 7% hingga 64% pasien yang drop out terapi pada enam bulan pertama (Anwar dkk, 2014). Drop out disebabkan oleh berbagai macam alasan, diantaranya tidak mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan dalam mengikuti terapi, tidak mampu mengikuti saran-saran dari petugas, tergiur ajakan teman-teman untuk

4 mengkonsumsi narkoba suntik kembali, serta perasaan tidak yakin terhadap terapi PTRM sehingga pasien akan mudah menyerah dalam mengikuti terapi tersebut. Berhentinya pasien saat mengikuti terapi, menyebabkan pasien belum dapat merasakan efek terapeutik dari program tersebut (Anwar dkk, 2014). Padahal pasien PTRM dapat berhasil apabila pasien tersebut mampu menyesuaikan diri dengan program terapi, memiliki keinginan untuk pulih dari ketergantungan obat, berani menolak lingkungan yang tidak baik bagi dirinya, tidak memiliki keinginan untuk kembali menggunakan narkoba suntik. Selain itu, pasien harus mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan proses dalam mengikuti terapi. Dan diharapkan pasien mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial selama mengikuti terapi tersebut maupun diluar lingkungan sosial terapi. Kemampuan itu disebut dengan penyesuaian sosial (Schneiders, 1960). Menurut Schneiders (1960) penyesuaian sosial dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk bereaksi secara sehat dan efektif terhadap suatu hubungan, situasi, dan relasi sosial yang ada, sehingga dapat mencapai keharmonisan sosial, seperti saling menghargai antar agama, budaya, suku dan kelompok. Individu yang memiliki penyesuaian sosial yang baik adalah individu yang mampu menolak lingkungan yang tidak baik bagi dirinya, mampu belajar dari pengalaman, memiliki kemampuan kontrol diri dan mampu mengendalikan emosinya. Mampu menjalin relasi dengan lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah atau tempat ia bekerja. Serta mampu bekerja sama, dan memiliki rasa humor. Ketika pasien PTRM memiliki penyesuaian sosial yang baik, maka diduga ia akan mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan yang ada di program terapi

5 tersebut, seperti tidak mudah menyerah dalam mengikuti terapi, mampu merespon tuntutan selama mengikuti terapi, mampu menjalin relasi dengan sesama pasien dan petugas PTRM. Tidak mudah terhasut ajakan teman-teman menggunakan narkoba suntik kembali, serta ia akan belajar dari pengalamannya agar tidak kembali menggunakan narkoba suntik. Sehingga ketika pasien PTRM memiliki kemampuan tersebut, maka diprediksi pasien mampu mengikuti terapi PTRM hingga selesai. Berdasarkan wawancara pribadi yang dilakukan oleh peneliti kepada pengguna jarum suntik berinisial P sebagai berikut : saya sih masih suka kumpul sama teman-teman yang masih pakai narkoba suntik ya. Yaa. gimana pun juga. walaupun saya sudah ikut terapi ini hubungan sama teman tidak boleh putus ya. Saya sih yakin aja, optimis gitu gak bakal gunain narkoba lagi walaupun temanteman juga pada nawarin. Sering sih ditawarin gitu juga sama mereka (wawancara pribadi, 17 Oktober 2016). Dari hasil wawancara tersebut diduga dalam mengikuti terapi PTRM, P berani menolak lingkungan yang akan menyebabkan ia kembali menggunakan narkoba suntik. Ia juga belajar dari pengalamannya agar tidak terjerumus menggunakan narkoba suntik kembali. P juga tidak mudah terhasut dengan tawaran teman-temannya tersebut. Berbeda dengan individu yang memiliki penyesuaian sosial yang buruk, ia akan menemui kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Ia tidak akan mampu menjalin relasi dengan keluaga, masyarakat, maupun sekolah atau tempat ia bekerja. Ia tidak berani menolak lingkungan yang tidak diinginkan. Ia akan sulit untuk bekerja sama dan selalu berfikir negatif tentang lingkungannya. Ia juga tidak akan mampu mengontrol dirinya dan tidak

6 akan mampu mengendalikan emosinya. Dan pengalamannya tidak akan menjadi pembelajaran bagi dirinya. Ketika pasien PTRM memiliki penyesuaian sosial yang buruk, diduga ia tidak akan mampu mengikuti segala aturan yang ada di PTRM, tidak mampu mengikuti saran-saran dari petugas, merasa apa yang diyakini adalah benar, terhasut ajakan teman-teman untuk mengkonsumsi narkoba suntik kembali. Tidak mampu belajar dari kegagalan sehingga ia akan kembali menggunakan narkoba suntik, serta tidak mampu menjalin relasi dengan sesama pasien, petugas PTRM maupun di luar terapi. Sehingga ketika pasien memiliki kemampuan tersebut diprediksi pasien tidak akan mampu mengikuti terapi PTRM hingga selesai. Berdasarkan wawancara pribadi yang dilakukan oleh peneliti kepada pengguna jarum suntik berinisial D sebagai berikut : gue pernah drop out 2 kali. Waktu itu tuh karena gue balik make lagi. Biasalah ngumpul, ketemu sama temen-temen lama. ditawarin gitu kan ya. Yaudah make lagi. Lagi pula dulu tuh repot banget gitukan harus kesini terapi tiap hari, gak betah. Kalo pas make lagi kan sesuka kitanya aja. Apalagi dulu kerja jugakan (wawancara pribadi, 20 Oktober 2016). Dari hasil wawancara tersebut diduga dalam mengikuti terapi PTRM, D kembali menggunakan narkoba suntik karena ia tidak belajar dari pengalamannya, seperti mudah terhasut ajakan teman-teman untuk mengkonsumsi narkoba suntik kembali hingga ia mengalami dua kali drop out, tidak berani menolak lingkungan yang tidak baik bagi dirinya. Ditambah lagi D tidak mampu mengikuti segala aturan yang ada di PTRM sehingga membuat ia drop out dalam mengikuti terapi. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial, salah satu faktor yang dibutuhkan untuk memiliki penyesuaian sosial adalah Adversity Intelligence (Schneider, 1960). Menurut Stoltz (2000), Adversity Intelligence (AI)

7 adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk bertahan dan menghadapi kesulitannya. Adversity intelligence (AI) merupakan suatu kemampuan untuk memahami, merespon dan memperbaiki respon terhadap kesulitan dalam hidup. Stoltz (2000) mengungkapkan bahwa Adversity Intelligence memiliki tiga tingkatan, yaitu (a). Quitters. Seorang quitters memiliki tingkat Adversity Intelligence rendah. (b). Campers. Seorang campers memiliki tingkat Adversity Intelligence sedang dan (c). Climbers. Seorang climbers memiliki tingkat Adversity Intelligence tinggi. Pengelompokan tersebut dilihat dari bagaimana tingkatan daya tahan individu merespon suatu kesulitan. Pasien PTRM yang mampu bertahan dan dapat menyelesaikan program terapinya hingga benar-benar lepas dari ketergantungan narkoba pada suntik diprediksi adalah pasien yang memiliki AI yang tinggi atau kearah climbers. Karena pasien PTRM yang memiliki AI tinggi akan mampu mengikuti terapi dengan disiplin, memiliki daya juang yang tinggi untuk menyelesaikan terapinya, berani mengambil keputusan dengan segala resiko, fokus terhadap tujuan yaitu lepas dari ketergantungan narkoba suntik, fleksibel dalam menghadapi perubahan dosis, optimis akan sembuh dari ketergantungan narkoba suntik, serta memiliki keyakinan akan sukses mengikuti PTRM. Maka, ketika pasien PTRM memiliki adversity intelligence yang tinggi atau ke arah climbers, pasien tersebut diduga juga akan mampu mematuhi peraturan selama mengikuti terapi, dapat menyesuaikan diri dengan program terapi tersebut, mampu belajar dari kegagalan agar tidak kembali menggunakan narkoba suntik, memiliki motivasi untuk pulih dari ketergantungan obat, berani meng-ekspresikan dirinya, berani menolak

8 lingkungan yang tidak diinginkan, serta tidak memiliki keinginan untuk kembali menggunakan narkoba suntik, sehingga diprediksi pasien PTRM yang mencapai adversity intelligence yang tinggi atau kearah climbers akan memiliki penyesuaian sosial yang baik. Sedangkan pasien PTRM yang memiliki adversity intelligence yang rendah atau kearah campers atau quitters diduga akan cepat merasa puas dengan keadaan yang telah ia capai, tidak berani mengambil keputusan untuk menurunkan dosis, cukup percaya diri mengikuti program terapinya namun tidak dapat menyelesaikan program terapi tersebut. Bahkan jika pasien berlarut-larut dalam kondisi tersebut, diduga pasien tersebut tidak akan mampu bertahan dalam mengikuti terapi, pesimis tidak akan sembuh dari narkoba suntik, tidak mampu disiplin dalam mengikuti aturan terapi yang sudah ditentukan, menghindari tantangan, serta tidak memiliki motivasi untuk lepas dari ketergantungan narkoba suntik. Maka, ketika pasien PTRM memiliki adversity intelligence yang rendah atau ke arah campers atau quitters, pasien tersebut diduga tidak dapat menyesuaikan diri dalam mengikuti terapi, kesulitan dalam mengikuti terapi setiap hari, terbujuk ajakan teman-teman untuk mengkonsumsi narkoba suntik kembali. Ia tidak mampu belajar dari kegagalan sehingga ia akan kembali menggunakan narkoba suntik, berfikir negatif terhadap lingkungannya, mudah menyerah dalam mengikuti terapi PTRM, serta tidak berani menolak lingkungan yang akan membuat ia kembali menggunakan narkoba suntik. Sehingga diprediksi pasien PTRM yang mencapai adversity intelligence yang rendah atau kearah

9 campers atau quitters akan memiliki penyesuaian sosial yang buruk (Stoltz, 2000; Putra, Hidayati, & Nurhidayah, 2016). Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitriyani (2008) mengenai Adversity Quotient dengan penyesuaian diri sosial mahasiswa perantauan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menunjukkan hasil bahwa adanya hubungan yang signifikan antara Adversity Quotient dengan penyesuaian diri sosial mahasiswa perantauan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sementara pada penelitian yang dilakukan oleh Ekasari dan Hafizhoh (2009) mengenai Adversity Quotient dan Dukungan Sosial dengan Intensi untuk pulih dari ketergantungan narkotika alkohol psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) pada penderita di wilayah Bekasi Utara Lembaga Kasih Indonesia yang menunjukan hasil bahwa adanya Hubungan yang signifikan antara Adversity Quotient dan Dukungan Sosial dengan Intensi untuk pulih dari ketergantungan narkotika alkohol psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) pada penderita di wilayah Bekasi Utara Lembaga Kasih Indonesia. Berbeda dengan dua penelitian tersebut yang sebelumnya telah dilakukan, yang meneliti tentang hubungan. Pada penelitian kali ini peneliti ingin meninjau hubungan yang sifatnya sebab-akibat atau kausalitas dari adversity intelligence terhadap penyesuaian sosial. Karakteristik subjek penelitian juga diarahkan pada pasien program terapi rumatan metadon. Berdasarkan penjelasan dari uraian di atas, maka peneliti ingin mengetahui dan melakukan penelitian apakah terdapat pengaruh adversity intelligence

10 terhadap penyesuaian sosial pada pengguna narkoba suntik yang mengikuti program terapi rumatan metadon (PTRM). B. Identifikasi Masalah Penyesuaian sosial adalah kemampuan individu untuk bereaksi secara sehat dan efektif terhadap suatu hubungan, situasi, dan relasi sosial yang ada. Individu yang memiliki penyesuaian sosial yang baik adalah individu yang mampu menolak lingkungan yang tidak baik bagi dirinya, mampu belajar dari pengalaman, memiliki kemampuan kontrol diri dan mampu mengendalikan emosinya. Mampu menjalin relasi dengan lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah atau tempat ia bekerja. Serta mampu bekerja sama, dan memiliki rasa humor. Sebaliknya, individu yang memiliki penyesuaian sosial yang buruk, ia akan menemui kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri dilingkungan sosialnya. Ia tidak akan mampu menjalin relasi dengan keluaga, masyarakat, maupun sekolah atau tempat ia bekerja. Ia tidak berani menolak lingkungan yang tidak diinginkan. Ia akan sulit untuk bekerja sama dan selalu berfikir negatif tentang lingkungannya. Ia juga tidak akan mampu mengontrol dirinya dan tidak akan mampu mengendalikan emosinya. Dan pengalamannya tidak akan menjadi pembelajaran bagi dirinya. Ketika pasien PTRM memiliki penyesuaian sosial yang baik, maka diduga ia akan mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan yang ada di program terapi tersebut, seperti tidak mudah menyerah dalam mengikuti terapi, mampu merespon

11 tuntutan selama mengikuti terapi, mampu menjalin relasi dengan sesama pasien dan petugas PTRM. Tidak mudah terhasut ajakan teman-teman menggunakan narkoba suntik kembali, serta ia akan belajar dari pengalamannya agar tidak kembali menggunakan narkoba suntik. Sehingga ketika pasien PTRM memiliki kemampuan tersebut, maka diprediksi pasien mampu mengikuti terapi PTRM hingga selesai. Pasien PTRM yang memiliki penyesuaian sosial yang baik diduga juga akan memiliki adversity intelligence (AI) yang tinggi atau ke arah climbers, karena pasien PTRM yang memiliki AI tinggi akan mampu mengikuti terapi dengan disiplin, memiliki daya juang yang tinggi untuk menyelesaikan terapinya, berani mengambil keputusan dengan segala resiko, fokus terhadap tujuan yaitu lepas dari ketergantungan narkoba suntik, fleksibel dalam menghadapi perubahan dosis, optimis akan sembuh dari ketergantungan narkoba suntik, serta memiliki keyakinan akan sukses mengikuti PTRM. Sehingga di prediksi ia akan mampu bertahan dan dapat menyelesaikan program terapinya hingga benar-benar lepas dari ketergantungan narkoba pada suntik. Ketika pasien PTRM memiliki penyesuaian sosial yang buruk, diduga ia tidak akan mampu mengikuti segala aturan yang ada di PTRM, tidak mampu mengikuti saran-saran dari petugas, merasa apa yang diyakini adalah benar, terhasut ajakan teman-teman untuk mengkonsumsi narkoba suntik kembali. Tidak mampu belajar dari kegagalan sehingga ia akan kembali menggunakan narkoba suntik, serta tidak mampu menjalin relasi dengan sesama pasien, petugas PTRM

12 maupun di luar terapi. Sehingga ketika pasien memiliki kemampuan tersebut diprediksi pasien tidak akan mampu mengikuti terapi PTRM hingga selesai. Saat pasien PTRM memiliki penyesuaian sosial yang buruk, maka diprediksi juga akan memiliki adversity intelligence yang rendah atau ke arah campers atau quitters. Karena diduga pasien akan cepat merasa puas dengan keadaan yang telah ia capai, tidak berani megambil keputusan untuk menurunkan dosis, cukup percaya diri mengikuti program terapinya namun tidak dapat menyelesaikan program terapi tersebut. Bahkan jika pasien berlarut-larut dalam kondisi tersebut, diduga pasien tersebut tidak akan mampu bertahan dalam mengikuti terapi, pesimis tidak akan sembuh dari narkoba suntik, tidak mampu disiplin dalam mengikuti aturan terapi yang sudah ditentukan, menghindari tantangan, serta tidak memiliki motivasi untuk lepas dari ketergantungan narkoba suntik. Berdasarkan uraian diatas peneliti mengidentifikasi permasalahan pada apakah terdapat pengaruh penyesuaian sosial terhadap adversity intelligence pada pengguna narkoba suntik yang mengikuti program terapi rumatan metadon (PTRM). C. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh adversity intelligence terhadap penyesuaian sosial pada pengguna narkoba suntik yang mengikuti PTRM.

13 D. Manfaat a. Manfaat teortitis Diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan dalam bidang psikologi khususnya psikologi klinis dan psikologi sosial. b. Manfaat praktis Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu solusi pada para penyalahgunaan narkoba suntik untuk dapat bertahan dan berhasil mengikuti program terapi rumatan metadon (PTRM). E. Kerangka berpikir Program terapi rumatan metadon (PTRM) adalah salah satu program terapi yang dikhususkan untuk para pengguna narkoba suntik yang memiliki keinginan untuk berhenti dari penggunaan narkoba suntik. Agar berhasil mengikuti program PTRM, pasien diharapkan memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungannya atau yang biasa disebut dengan penyesuaian sosial (Schneiders, 1960). Individu yang memiliki penyesuaian sosial yang baik adalah individu yang mampu menolak lingkungan yang tidak baik bagi dirinya, mampu belajar dari pengalaman, memiliki kemampuan kontrol diri dan mampu mengendalikan emosinya. Mampu menjalin relasi dengan lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah atau tempat ia bekerja. Serta mampu bekerja sama, dan memiliki rasa humor. Ketika pasien PTRM memiliki penyesuaian sosial yang baik diduga ia

14 akan mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan yang ada di program terapi tersebut, seperti berani menolak lingkungan yang akan menyebabkan ia kembali menggunakan narkoba suntik, tidak mudah menyerah dalam mengikuti terapi, mampu merespon tuntutan selama mengikuti terapi, mampu menjalin relasi dengan sesama pasien dan petugas PTRM. Tidak mudah terhasut ajakan temanteman menggunakan narkoba suntik kembali, serta ia akan belajar dari pengalamannya agar tidak kembali menggunakan narkoba suntik. Sehingga ketika pasien PTRM memiliki kemampuan tersebut, maka diprediksi pasien mampu mengikuti terapi PTRM hingga selesai. Berbeda dengan individu yang memiliki penyesuaian sosial yang buruk, ia akan menemui kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Ia tidak akan mampu menjalin relasi dengan keluaga, masyarakat, maupun sekolah atau tempat ia bekerja. Ia tidak berani menolak lingkungan yang tidak diinginkan. Ia akan sulit untuk bekerja sama dan selalu berfikir negatif tentang lingkungannya. Ia juga tidak akan mampu mengontrol dirinya dan tidak akan mampu mengendalikan emosinya. Dan pengalamannya tidak akan menjadi pembelajaran bagi dirinya. Ketika pasien PTRM memiliki penyesuaian sosial yang buruk, diduga ia tidak akan mampu mengikuti segala aturan yang ada di PTRM, tidak mampu mengikuti saran-saran dari petugas, merasa apa yang diyakini adalah benar, terhasut ajakan teman-teman untuk mengkonsumsi narkoba suntik kembali. Tidak mampu belajar dari kegagalan sehingga ia akan kembali menggunakan narkoba suntik, serta tidak mampu menjalin relasi dengan sesama pasien, petugas PTRM maupun di luar terapi. Sehingga ketika pasien memiliki

15 kemampuan tersebut diprediksi pasien tidak akan mampu mengikuti terapi PTRM hingga selesai. Salah satu faktor yang dibutuhkan untuk memiliki penyesuaian sosial adalah adversity intelligence (Schneiders, 1960). Terdapat tiga tingkatan adversity intelligence (AI), yaitu; quitters, campers, dan climbers. Pasien PTRM yang memiliki penyesuaian sosial yang baik diduga akan memiliki AI yang tinggi atau ke arah climbers. Karena diprediksi pasien PTRM akan mampu mengikuti terapi dengan disiplin, memiliki daya juang yang tinggi untuk menyelesaikan terapinya, berani mengambil keputusan dengan segala resiko, fokus terhadap tujuan yaitu lepas dari ketergantungan narkoba suntik, fleksibel dalam menghadapi perubahan dosis, optimis akan sembuh dari ketergantungan narkoba suntik, serta memiliki keyakinan akan sukses mengikuti PTRM. Sehingga diduga pasien tersebut akan mampu bertahan dan dapat menyelesaikan program terapinya hingga benar-benar lepas dari ketergantungan narkoba pada suntik. Sedangkan pasien PTRM yang memiliki penyesuaian sosial yang buruk diduga akan memiliki AI yang rendah atau ke arah campers atau quitters. Karena diprediksi pasien tersebut akan cepat merasa puas dengan keadaan yang telah ia capai, tidak berani megambil keputusan untuk menurunkan dosis, cukup percaya diri mengikuti program terapinya namun tidak dapat menyelesaikan program terapi tersebut. Bahkan jika pasien berlarut-larut dalam kondisi tersebut, diduga pasien tersebut tidak akan mampu bertahan dalam mengikuti terapi, pesimis tidak akan sembuh dari narkoba suntik, tidak mampu disiplin dalam mengikuti aturan terapi yang sudah ditentukan, menghindari tantangan, serta tidak memiliki

16 motivasi untuk lepas dari ketergantungan narkoba suntik. Sehingga diprediksi pasien tersebut tidak akan mampu bertahan dan tidak akan dapat menyelesaikan program terapinya hingga benar-benar lepas dari ketergantungan narkoba pada suntik. Berdasarkan uraian diatas dapat diasumsikan bahwa dengan tingkatan adversity intelligence akan mempengaruhi penyesuaian sosial pasien yang nantinya akan mengarahkan pasien PTRM untuk mampu menyelesaikan program terapi. Gambar 1.1 Skema Kerangka Berpikir

17 E. Hipotesa Penelitian Ada pengaruh adversity intelligence terhadap penyesuaian sosial pada pengguna narkoba suntik yang mengikuti program terapi rumatan metadon (PTRM).