PERANCANGAN SISTEM DRAINASE

dokumen-dokumen yang mirip
Drainase P e r kotaa n

Gambar 2.1.Komponen Drainase Sistem Polder yang Ideal

BAB III METODOLOGI. Gambar 3.1 Diagram Alir Penyusunan Tugas Akhir

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

DESAIN BANGUNAN IRIGASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERANCANGAN BANGUNAN PELENGKAP DRAINASE GORONG-GORONG. Disusun untuk Memenuhi. Tugas Mata Kuliah Drainase. Disusun Oleh:

TATA CARA PEMBUATAN STUDI KELAYAKAN DRAINASE PERKOTAAN

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Saluran drainase adalah salah satu bangunan pelengkap pada ruas jalan

TUJUAN PEKERJAAN DRAINASE

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

Tabel Posisi titik acuan (BM, dalam meter) di lokasi MIFEE

11/26/2015. Pengendalian Banjir. 1. Fenomena Banjir

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB III METODE PENELITIAN

Gambar 7. Peta Ikhtisar Irigasi

BAB I PENDAHULUAN. mungkin terdapat kehidupan. Air tidak hanya dibutuhkan untuk kehidupan

ABSTRAK. Kata Kunci: debit banjir, pola aliran, saluran drainase sekunder, Mangupura. iii

Stadia Sungai. Daerah Aliran Sungai (DAS)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Umum. Bendung adalah suatu bangunan yang dibangun melintang sungai

MODUL 4 DRAINASE JALAN RAYA

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tinjauan Umum

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

BAB II KONDISI UMUM LOKASI

III - 1 BAB III METODOLOGI BAB III METODOLOGI

3.1 Metode Pengumpulan Data

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pencapaian penelitian secara optimal sangat ditentukan pada kadar pemahaman

PERSYARATAN JARINGAN DRAINASE

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

SISTEM DRAINASE PERMUKAAN

BAB 3 METODOLOGI 3.1 TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan Drainase Sistem Sungai Tenggang 1

Bab 3 Metodologi. Setelah mengetahui permasalahan yang ada, dilakukan survey langsung ke lapangan yang bertujuan untuk mengetahui :

9. Dari gambar berikut, turunkan suatu rumus yang dikenal dengan rumus Darcy.

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. secara alamiah. Mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III METODE PENELITIAN

Mengeringkan daerah becek dan genangan air sehingga tidak ada akumulasi air tanah. Mengendalikan erosi tanah, kerusakan jalan dan bangunan yang ada.

RC MODUL 2 KEBUTUHAN AIR IRIGASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PROSEDUR DALAM METODA RASIONAL

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA SURVEI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 UMUM

EXECUTIVE SUMMARY JARINGAN IRIGASI PERPIPAAN

ILMU UKUR TANAH II. Jurusan: Survei Dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang 2017

RC TEKNIK IRIGASI DAN DRAINASE

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Survey lapangan yang dilakukan bertujuan untuk peninjauan dan

BAB I PENDAHULUAN. dari suatu tempat ke tempat lain. Pada kajian ini yang akan diangkat adalah

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.2 Tujuan Penelitian 1.3 Batasan Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN I - 1

tidak ditetapkan air bawah tanah, karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat pemakaian (Sri Harto, 1993).

DRAINASE PERKOTAAN BAB I PENDAHULUAN. Sub Kompetensi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

PENENTUAN LOKASI (Route Location)

BAB V PEMBAHASAN. lereng tambang. Pada analisis ini, akan dipilih model lereng stabil dengan FK

PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 )

SISTEM PENYALURAN AIR LIMBAH DAN DRAINASE

SISTEM PENYALURAN AIR LIMBAH DAN DRAINASE

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Umum 1.2 Latar Belakang

TANAH DASAR, BADAN JALAN REL DAN DRAINASI

BAB III METODE PENELITIAN

Perencanaan Sistem Drainase Pembangunan Hotel di Jalan Embong Sawo No. 8 Surabaya

BAB III METODOLOGI 3.1 METODE ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA

BAB BENTUK MUKA BUMI. Gambar 8.1 Salah satu contoh peta topografi untuk penggambaran relief permukaan bumi.

BAB 1 PENDAHULUAN. Proses pengangkutan dan pengendapan sedimen tidak hanya tergantung pada

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

METODOLOGI Tinjauan Umum 3. BAB 3

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena curah hujan dan kejadian banjir di Kota Denpasar akhirakhir

Penyusunan laporan dari pengumpulan data sampai pengambilan kesimpulan beserta saran diwujudkan dalam bagan alir sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1.3. Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui pola jaringan drainase dan dasar serta teknis pembuatan sistem drainase di

BAB VII PERENCANAAN JARINGAN UTAMA

BAB III METODOLOGI. Dalam pengumpulan data untuk mengevaluasi bendungan Ketro, dilakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait, antara lain :

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

DINAS PENGAIRAN Kabupaten Malang Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MAKALAH REKAYASA DRAINASE DRAINASE PERKOTAAN

0 BAB 1 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PERENCANAAN DRAINASE KALI GAJAH PUTIH KODIA SURAKARTA

BAB IV PEMAHAMAN DAN ANALISIS LAHAN

AIR Banjir dan Permasalahannya Di kota medan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN - 1 -

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebuah komplek kampus merupakan kebutuhan dasar bagi para mahasiswa, para

Bab III HIDROLIKA. Sub Kompetensi. Memberikan pengetahuan tentang hubungan analisis hidrolika dalam perencanaan drainase

BAB I PENDAHULUAN I-1

PERTEMUAN ke-5 A. Kompetensi Mahasiswa memahami proses pembuatan peta petak untuk keperluan irigasi

dilakukan pemeriksaan (validasi) data profil sungai yang tersedia. Untuk mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. khusunya di kawasan perumahan Pondok Arum, meskipun berbagai upaya

Transkripsi:

PERANCANGAN SISTEM DRAINASE Perencanaan saluran pembuang harus memberikan pemecahan dengan biaya pelak-sanaan dan pemeliharaan yang minimum. Ruas-ruas saluran harus stabil terhadap erosi dan sedimentasi harus minimal pada setiap potongan melintang dan harus seimbang. Dengan adanya pembuang, air dari persawahan menjadi lebih bersih dari sedimen. Erosi di saluran pembuang merupakan kriteria yang menentukan. Kecepatan aliran rencana hendaknya tidak melebihi kecepatan maksimum yang diijinkan. Kecepatan maksimum yang diijinkan tergantung pada jenis tanah serta kondisinya. Saluran pembuang dirancang di tempat terrendah dan melalui daerah depresi Kemiringan alamiah lahan menentukan kemiringan memanjang saluran pembuang tersebut. Apabila kemiringan dasar terlalu curam dan kecepatan maksimum akan terlampaui, maka harus dibuat bangunan terjun. Kecepatan rencana sebaiknya diambil sama atau mendekati kecepatan maksimum yang diijinkan, karena debit rencana atau debit puncak tidak sering terjadi maka debit dan kecepatan aliran air di saluran pembuang akan lebih rendah di bawah kondisi rata-rata. Jika debit alirannya rendah, aliran akan cenderung berkelok-kelok bila dasar salurannya lebar. Oleh karena itu, biasanya saluran pembuang dirancang relatif sempit dan dalam dibandingkan dengan saluran irigasi. Variasi tinggi air dengan debit yang berubah-ubah, biasanya tidak mempunyai arti penting pada saluran pembuang lain. Potongan melintang yang dalam akan memberikan pemecahan yang lebih ekonomis. Dalam merencanakan sistem drainase lahan, ada beberapa data yang harus disediakan, yaitu, (1) deskripsi lingkungan fisik sistem drainase, (2) tata guna lahan, (3) prasarana lain, (4) topografi, (5) pola aliran alam. Peletakan dan jumlah kerapatan fasilitas sangat mempengaruhi debit limpasan yang terjadi di suatu kawasan. Dalam kaitan ini, seorang perencana dituntut untuk selalu peka dalam menginterpretasikan data yang tersedia baik berupa data sekunder yang berupa peta dasar dan fenomena banjir yang pernah terjadi, maupun pola aliran alam yang ada. Dimana informasi tentang pola aliran alam ini juga bisa diperoleh dari observasi langsung di lapangan saat terjadi hujan (banjir). Tata guna lahan merupakan peta yang dapat menggambarkan tentang pola

penggunaan lahan didaerah rencana drainase. Pola penggunaan lahan yang dimaksud harus mencakup tentang kondisi eksisting maupun rencana pengembangan di masa mendatang. Informasi tersebut diperlukan untuk menentukan lingkup sistem drainase yang diperlukan dan untuk merencakan drainase yang tingkatnya sesuai dengan kategori tata guna tanah dari daerah yang bersangkutan. Informasi tentang prasarana lain yang dimaksud meliputi jaringan jalan dan jaringan lain yang diperkirakan dapat menyebabkan gangguan pada sistem drainase. Ini dimaksudkan sebagai pertimbangan dalam menentukan tinggi saluran drainase dan untuk mengindentifikasi jenis bangunan penunjang yang diperlukan. Informasi yang diperlukan untuk menentukan arah saluran drainase dan batas wilayah penanmpungnya. Pemetaan kontur di suatu daerah pertanian perlu dilakukan pada skala 1:5000 atau 1:10.000 dengan beda kontur 0.5 meter di daerah datar, dan beda kontur 1.0 meter pada daerah curam. Pemetaan tersebut perlu mengacu pada suatu bench mark di lapangan yang dikenal. Maka dikenal beberapa pola aliran yaitu : Pola Aliran Alam Informasi tentang pola aliran alam diperlukan untuk mendapatkan gambaran tentang kecenderungan pola letak dan arah aliran alam yang terjadi sesuai dengan kondisi lahan daerah rencana. Secara tidak langsung sebenarnya informasi ini dapat diinterpretasikan dari peta topografi dengan cara mengidentifikasi bagian lembah dan punggung lahan. Dimana pola aliran buangan alam cenderung mengarah pada bagian lembah. Namun untuk dapat memperoleh hasil informasi yang lebih akurat, observasi lapangan kerja diperlukan. Agar pekerjaan observasi lebih efisien, hendaknya diidentifikasi terlebih dahulu daerah-daerah yang akan disurvei melalui informasi yang tersedia. Daerah pembuangan yang dimaksud adalah tempat pembuangan kelebihan air dan lahan yang di rencanakan, baik berupa sungai, danau atau atau laut. Informasi ini sangat penting terutama berkaitan denaan penempatan fasilitas outletnya. Elevasi fasilitas outlet harus ditetapkan di atas muka

maksimum daerah pembuangan, sehingga gejala terjadinya muka air balik pada rencana saluran drainase dapat dihindari. Pola Alamiah Letak saluran pembuang harus berada di bagian terendah atau lembah dari suatu daerah akan sangat efektif berfungsi sebagai pengumpul dari anak cabang saluran pengumpul drianase, dimana saluran pengumpul dan pembuang merupakan saluran alamiah Gambar 15. Pola Aliran Alamiah a = Saluran pengumpul (colector) b = Saluran pembuang (conveyor) Pola Siku Saluran pembuang terletak di lembah dan merupakan saluran alamiah, sedangkan saluran pembuang dibuat tegak lurus terhadap saluran pengumpul drainase. Gambar 15. Pola Aliran Siku a = Saluran pengumpul (colector) b = saluran pembuang (conveyor)

Pola Paralel Saluran pengumpul drainase yang menampung debit dari sungai-sungai yang lebih kecil, dibuat sejajar satu sama lain dan kemudian masuk ke dalam saluran pembuang drainase. Gambar 16. Pola Aliran Paralel Pola Gridiron Beberapa interceptor drain dibuat satu dan lainnya sejajar, kemudian ditampung di saluran pengumpul (collector drain) untuk selanjutnya masuk ke dalam saluran pembuang (conveyor drain). Gambar 17. Pola Aliran Gridion Pola Radial Suatu daerah genangan dikeringkan melalui beberapa saluran pengumpul dari satu titik menyebar ke segala arah sesuai dengan kondisi topografi daerah.

Gambar 18. Pola Aliran Radial Pola Jaring-jaring Untuk mencegah terjadinya pembebanan aliran dari suatu daerah terhadap daerah lainnya, maka dapat dibuat beberapa saluran pengumpul tambahan (a) yang kemudian ditampung ke dalam saluran pembuang (b) dan selanjutnya dialirkan menuju saluran pembuang utama Gambar 18. Pola Aliran Jaring-jaring ORDE SALURAN PADA SISTEM DRAINASE Dalam pengertian jaringan drainase, maka sesuai dengan fungsi dan sistem kerjanya, jenis saluran dapat dibedakan menjadi: Saluran Interseptor (Interceptor Drain) Saluran interceptor drain adalah saluran yang berfungsi sebagai pencegah terjadinya pembebanan aliran dari suatu daerah terhadap daerah lain dibawahnya.

Saluran ini biasa dibangun dan diletakkan pada bagian yang relatif sejajar dengan garis kontur. Outlet dari saluran ini biasanya terdapat di saluran kolektor, konveyor atau langsung di saluran drainase alam. Saluran Pengumpul (Collector Drain) Saluran kolektor adalah saluran yang berfungsi sebagai pengumpul debit dari saluran drainase yang lebih kecil dan akhirnya akan dibuang ke saluran konveyor (pembawa). Saluran Pembawa (Conveyor Drain) Saluran konveyor adalah saluran yang berfungsi sebagai pembawa air buangan dari suatu daerah ke lokasi pembuangan tanpa harus membahayakan daerah yang dilalui. Lelak saluran conveyor di bagian terendah lembah dari daerah. sehingga secara efektif dapat berfungsi sebagai pengumpul dari anak cabang saluran yang ada. Sebagai contoh adalah saluran banjir kanal atau sudetan atau saluran bypass yang bekerja secara khusus hanya mengalirkan air secara cepat sampai ke lokasi pembuangan. Dalam pengertian yang lain, saluran ini berbeda dengan drainase bawah tanah. Dalam hal ini masuknya air melalui resapan tanah secara gravitasi masuk ke dalam lubang-lubang yang terdapat pada saluran drainase yang ditanam dalam tanah. Dalam kenyataan dapat terjadi suatu saluran bekerja sekaligus untuk kedua atau bahkan ketiga jenis fungsi tersebut. Prosedur Perancangan Tata Letak Sistem Jaringan Drainase Dengan melihat peta topografi, dapat ditentukan arah aliran yang merupakan sistem drainase alam yang terbentuk secara alamiah, dan dapat mengetahui toleransi lamanya genangan dari daerah rencana. Informasi situasi dan kondisi fisik lahan, baik kondisi saat ini, maupun yang direncanakan perlu diketahui, antara lain: Sistem jaringan yang ada (drainase, irigasi, listrik, dan lain lain). Bottleneck yang mungkin ada. Batas-batas daerah pemilikan. Letak dan jumlah prasarana yang ada. Tingkat kebutuhan drainase yang diperlukan. Gambaran prioritas daerah secara garis besar.

Semua hal di atas dimaksudkan agar dalam penyusunan tata letak sistem jaringan drainase tidak terjadi pertentangan kepentingan. Dalam menentukan tata letak jaringan drainase bertujuan untuk mencapai sasaran sebagai berikut, yaitu: Sistem jaringan drainase dapat berfungsi sesuai tujuan (sasaran). Menekan dampak negatif lingkungan sekecil mungkin. Dapat bertahan lama ditinjau dari segi konstruksi dan fungsinya. Biaya pembangunan serendah mungkin. Untuk menjamin berfungsinya saluran drainase secara baik maka diperlukan bangunan pelengkap di tempat tertentu. Jenis bangunan pelengkap yang dimaksud meliputi: (a) Bangunan silang, misal gorong gorong. (b) Bangunan pemecah energi, misalnya bangunan terjun dan saluran curam. (c) Bangunan pengaman erosi, misalnya ground sill. (d) Bangunan inlet misal, grill samping/datar. (e) Bangunan outlet misal, kolam loncat air (f) Bangunan pintu air, misal pintu geser, pintu atomatis. (g) Bangunan rumah pompa (h) Bangunan kolam pengumpul. (i) Bangunan lobang kontrol (man hole) Semua bangunan diatas tidak selalu harus ada pada setiap jaringan drainase. Keberadaanya tergantung pada kebutuhan setempat yang biasanya dipengaruhi oleh fungsi saluran, kondisi lingkungan dan tuntutan akan kesempurnaan jaringannya.