TINJAUAN PUSTAKA Biologi Penyakit Adapun klasifikasi Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. menurut Dwidjoseputro (1978) sebagai berikut : Divisio Subdivisio Kelas Ordo Family Genus Spesies : Mycota : Eumycotyna : Deuteromyces : Melanconiales : Melanconiaceae : Colletotrichum : Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. C. gloeosporioides umumnya mempunyai konidium hialin, berbentuk silinder dengan ujung-ujung tumpul, kadang-kadang berbentuk agak jorong dengan ujung yang membulat dan pangkal yang sempit terpancung, tidak bersekat, berinti satu, 9 24 x 3 6 μm, terbentuk pada konidiofor seperti fialid, berbentuk silinder, hialin atau agak kecokelatan. Telemorf jamur ini adalah Glomerella cingulata (Stonem) Spauld. et v. Schrenk (Semangun, 2000). Konidia terbentuk tunggal pada ujung-ujung konidiofor. Konidiofir pendek, tidak berwarna, tidak bercabang, tidak bersekat. Sering ditemukan pada aservuli dari jamur Colletotrichum, tetapi tidak tetap tergantung kondisi tempat tumbuhnya (Alexopoulus and Mims, 1979).
Konidia berbentuk lengkung, panjang 10 15 μm dan lebar 5 7 μm. Acervulli yang lunak, yang diproduksi di jaringan terinfeksi, biasanya dengan setae, sederhana, konidiofor berbentuk lurus (Anonimous d, 2009). Konidium berbentuk jorong atau bulat telur dengan bagian ujung membulat, tidak bersepta dengan warna hialin. Patogen mempunyai hifa bersepta, warna hialin yang kemudian berubah menjadi gelap. Spora keluar dari aservulus seperti massa lendir berwarna merah jambu (Anonimous c, 2009). Aservuli tersusun di bawah epidermis tumbuhan inang. Epidermis pecah apabila konidia telah dewasa. Konidia keluar sebagai percikan berwarna putih, kuning, jingga, hitam atau warna lain sesuai pigmen yang dikandung konidia (Dwidjoseputro, 1978). Konidia yang diproduksi adalah sebagai hasil dari pembelahan sel secara mitosis dan hasil pembelahan tersebut identik dengan sel induknya. Konidia biasanya diproduksi dalam jumlah besar dan merupakan suatu bentukan dari jamur untuk mempertahankan diri dari keadaan luar atau kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan. Keberadaan konidia ini pada suatu tempat atau area, pada umumnya dapat merupakan suatu indikator adanya perkembangan penyakit pada tanaman budidaya dan konidia ini dapat diproduksi secara terus menerus dalam waktu yang relatif panjang (Yudiarti, 2007). 6
Gejala Serangan Karakteristik antraknosa adalah bercak pada daun. Bercak oval atau tidak teratur pada permukaan daun. Pada kondisi lembab bercak bertambah luas dan tidak teratur pada area nekrotik (Singh, 1998). Daun muda tampak lemas berwarna hitam, keriput, bagian ujungnya mati, menggulung dan akhirnya gugur. Daun tua tampak bebercak cokelat atau hitam kemudian menjadi lubang, mengeriput dan sebagian ujungnya mati. Pucuk, ranting dan buah menampakkan gejala seperti pada daun (Tim Penulis PS, 2008). Bercak karena Colletotrichum khususnya pada daun muda yang agak dewasa dapat dikenal dari adanya spora (konidium) jamur berwarna merah jambu. Pada daun yang lebih dewasa serangan Colletotrichum dapat menyebabkan tepi dan ujung daun berkeriput dan pada permukaan daun terdapat bercak-bercak bulat berwarna cokelat dengan tepi kuning, bergaris tengah 1 2 mm. Bila daun bertambah umurnya, bercak akan berlubang di tengahnya dan bercak tampak menonjol dari permukaan daun (Semangun, 2000). Pada daun terjadi bercak-bercak jorong atau tidak teratur, berwarna cokelat kelabu. Pada umumnya ukuran bercak tidak lebih dari 5 mm, tetapi bercak-bercak dapat menyatu sehingga membentuk bercak yang besar. Pusat bercak sering pecah sehingga bercak berlubang. Daun yang sakit keras mengering dan gugur (Semangun, 1996). 7
Daun berkeriput, menggulung dan terdapat bercak cokelat Gambar 1. Gejala Serangan Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. Sumber : Foto langsung Serangan suatu patogen terhadap beberapa kultivar (varietas, klon) satu jenis tumbuhan tertentu sering tampak adanya reaksi yang berbeda beda dari kultivar kultivar itu yang berkisar antara sangat rentan dan sangat tahan (Semangun, 1996). Tumbuhan toleran jelas rentan terhadap patogen tetapi tumbuhan tersebut tidak mati dan umumnya memperlihatkan sedikit kerusakan akibat serangan patogen. Tumbuhan toleran baik karena pertumbuhan yang luar biasa bagus atau karena strukturnya yang sangat keras merupakan hal yang mungkin terdapat dalam sebagian besar kombinasi inang patogen (Agrios, 1996). Beberapa tumbuhan terhindar dari penyakit karena tumbuhan tersebut rentan terhadap patogen hanya pada tingkat pertumbuhan tertentu dan oleh karena itu jika patogen tidak ada atau tidak aktif pada waktu waktu tersebut maka tumbuhan tersebut dapat terhindar dari infeksi (Agrios, 1996). Pada tumbuhan yang rentan terjadi hubungan yang kompatibel antara inang dan patogen sehingga patogen dapat meluas dalam badan inang tanpa hambatan (Semangun, 1996). 8
Banyak varietas tumbuhan yang sedikit banyak tahan terhadap ras patogen sedangkan varietas tersebut rentan terhadap ras ras lain dari patogen yang sama. Dengan kata lain, tergantung pada ras patogen yang digunakan untuk menginfeksi suatu varietas, varietas tersebut mungkin tahan terhadap suatu ras patogen dan rentan terhadap ras lain (Agrios, 1996). Ketahanan dapat juga terjadi karena tumbuhan tidak peka terhadap toksin atau enzim yang dihasilkan oleh patogen. Ini dapat disebabkan karena tumbuhan mengandung senyawa senyawa yang menginaktifkan toksin atau enzim yang dihasilkan oleh patogen (Semangun, 1996). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyakit Perkembangan penyakit sangat dibantu oleh kelembapan. Adanya hujan pada saat pembentukan daun-daun baru setelah masa gugur daun akan diikuti oleh serangan Colletotrichum yang berat. Kebun-kebun yang letaknya agak tinggi pada umumnya mendapat serangan Colletotrichum lebih berat. Spora tumbuh paling baik pada suhu 25 C 28 C, sedang di bawah 5 C dan di atas 40 C spora tidak dapat berkecambah. Suhu optimum untuk pertumbuhan dan sporulasi C. gloeosporioides adalah 27 29 C (Semangun, 2000). Penyakit sangat dibantu oleh kelembapan udara dan hujan. Pada cuaca yang sangat lembab jamur membentuk banyak spora pada bagian-bagian tanaman yang sakit. Infeksi dibantu oleh kelembapan yang tinggi terutama jika hal ini terjadi bersamaan dengan perkembangan yang cepat dari bagian tanaman tertentu. Jamur tidak tumbuh jika kelembapan nisbi kurang dari 95 % (Semangun, 1996). 9
Serangan jamur terjadi pada waktu tanaman membentuk daun muda selama musim hujan. Serangan berat biasanya terdapat pada klon peka dan kebun yang terletak pada ketinggian di atas 200 m dari permukaan laut serta beriklim basah. Penularan jamur berlangsung dengan perantaraan spora yang dibawa oleh angin dan air hujan terutama pada malam hari atau cuaca lembab (Anonimous a, 2009). Beberapa jamur tumbuh lebih cepat pada suhu lebih rendah daripada yang lainnya dan dapat sangat jelas berbeda diantara ras dari jamur yang sama. Suhu mempengaruhi jumlah spora yang terbentuk dalam suatu unit area tanaman dan jumlah spora yang dilepaskan dalam waktu periode tertentu. Sebagai hasilnya, beberapa penyakit berkembang terbaik dalam area, musim atau tahun dengan suhu lebih dingin, sementara yang lainnya akan berkembang terbaik dimana dan saat suhu relatif tinggi (Abadi, 2003). Daur Penyakit Jamur disebarkan dengan spora (konidium). Dalam cuaca yang lembab massa spora yang berwarna merah jambu tadi menjadi lunak dan mudah tersebar oleh percikan air hujan dan oleh aliran udara yang lembab. Konidium membentuk buluh kecambah yang membentuk apresorium pada ujungnya. Penetrasi terjadi langsung dengan menembus kutikula, merusak dinding sel dan benang-benang jamur berkembang di dalam dan di antara sel-sel. Mula-mula kloroplas rusak dan diikuti dengan rusaknya mitokondria. Selama proses infeksi patogen melepaskan enzim poligalakturonase, selulase, pektin metilesterase dan juga menghasilkan toksin (Semangun, 2000). 10
Air sangat berperan dalam membantu pemencaran spora jamur, sklerotia, miselium dalam tanah dan bakteri. Sedangkan percikan air hujan dapat menyebabkan terpencarnya bakteri dan spora jamur tertentu yang ada pada permukaan tumbuhan. Spora yang ada di udara juga dapat jatuh ke permukaan tumbuhan atau tanah karena air hujan (Abadi, 2003). Kelembapan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan sukulentis pada tumbuhan dan ini dapat mengurangi ketahanan terhadap parasit. Kelembapan kebun dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya kerapatan tanaman, pohon pelindung yang terlalu rimbun, topografi, angin dan sebagainya (Semangun, 1996). Pengendalian Penyakit Pengendalian Colletotrichum dapat dilakukan dengan cara : 1. Kebun ditanami klon yang tahan seperti BPM 1, LCB 1320, PR 261, AVROS 2037 atau GT 1. 2. Pembibitan okulasi tidak disusun terlalu rapat untuk mengurangi kelembaban agar jamur tidak dapat berkembang. 3. Untuk mempercepat pembentukan daun muda, tanaman diberi pupuk ekstra beberapa kali dimulai pada saat terbentuknya daun daun baru hingga daun menjadi hijau. 4. Untuk perlindungan tanaman digunakan fungisida Dithane M 45 0,25 %, Manzate M 200 0,2 %, Cobox 0,5 % atau Cupravit 0,5 % sebanyak lima kali semprotan dengan selang seminggu sekali. (Tim Penulis PS, 2008) 11