II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Burung Puyuh Puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi, ukuran tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang pertama kali diternakkan di Amerika Serikat yakni puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonica) pada tahun 1870. Di Indonesia, puyuh mulai diternakkan secara komersial pada tahun 1979 dengan mengimpor bibit dari luar negeri. Klasifikasi zoologi burung puyuh adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Sub Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Aves : Galliformes : Phasianidae : Perdicinae : Coturnix : Coturnix coturnix japonica Banyak jenis puyuh yang tersebar di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Beberapa jenis puyuh yang dikenal dan dipelihara diantaranya puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonica), Blue Breasted Quail (Coturnix chinensis), puyuh genggong Jawa (Arborophila javanica), puyuh Tegalan (Turnic susciator) dan puyuh mahkota (Rollus roulroul) (Wuryadi, 2013). Puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonica) merupakan jenis puyuh yang banyak diternakkan di Indonesia
7 yang pada awalnya diternakkan sebagai burung ocehan (song birds) atau burung aduan (Listiyowati dan Roopitasari, 2005). Puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonica) - C dengan kelembapan 85 %. Puyuh Jepang merupakan salah satu jenis unggas yang cukup produktif dan dapat bertelur sebanyak 250-300 butir/tahun dengan berat rata-rata 10-12 g/butir. Puyuh jantan dewasa memiliki bobot tubuh 117 gram/ekor dan memiliki suara yang keras. Puyuh muda mulai berkicau saat umur 5-6 minggu. Dari segi bobot tubuh, puyuh betina memiliki bobot lebih besar dibandingkan puyuh jantan yaitu sekitar 143 gram/ekor (Wuryadi, 2013). Berdasarkan warna bulu, ciri puyuh jantan dan betina dewasa dapat dilihat seperti Ilustrasi 1. Ilustrasi 1. Burung Puyuh Jantan dan Betina (Dok. Ilmu Ternak) Ciri puyuh jantan (kiri) pada bagian bulu kepala sampai bagian belakang terdapat warna putih yang berbentuk garis melengkung tebal. Bulu leher dan dada berwarna coklat muda (cinnamon) tanpa ada bercak kehitaman. Bulu punggung berwarna coklat gelap, abu-abu dengan garis putih. Bulu sayap seperti bulu punggung berwarna belang kehitaman (Prahasta dan Hasnawi, 2009). Puyuh betina (kanan) memiliki warna tubuh yang mirip dengan puyuh jantan, kecuali warna bulu pada kerongkongan dan dada. Puyuh betina memiliki warna dasar agak pucat, bergaris-garis, atau bercak kehitam-hitaman (Wheindrata, 2014).
8 2.2 Ransum Puyuh Burung puyuh membutuhkan ransum dengan kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan ayam. Pada periode starter dan grower kandungan protein kasar 24 % dan energi metabolis 2900 Kkal/kg. Pada periode layer kandungan protein kasar 20 % dan energi metabolis 2900 Kkal/kg (NRC, 1994). Fungsi protein bagi unggas adalah untuk pertumbuhan, memperbaiki jaringan, metabolisme, pembentukan enzim dan hormon, dan sebagai bahan baku pembentukan telur, sedangkan energi metabolis yang terdapat dalam ransum berfungsi menyediakan energi untuk hidup pokok (metabolisme basal, aktivitas dan mengatur suhu tubuh) dan untuk produksi (pertumbuhan, lemak, bulu dan produksi telur) (Widodo dkk., 2013). Menurut Eishu, dkk. (2005), dari hasil penelitiannya melaporkan bahwa pemberian ransum dengan kandungan protein yang berbeda, lama pencahayaan 16 jam/hari dan suhu 22,5 C menghasilkan produksi telur seperti dalam Tabel 1. Tabel 1. Produksi Telur Burung Puyuh (QHP) pada Level Protein Berbeda Level Protein (%) Umur (Minggu) 6-10 10-20 20-32 6-32 %... 18 46,7 61,6 42,8 53,0 20 67,9 63,0 62,5 63,7 22 51,3 71,7 62,3 64,6 24 66,5 81,7 81,1 78,7 Sumber : Eishu, dkk. (2005) Berdasarkan Tabel 1, produksi telur pada level 24 % dengan rentang umur 10-20 minggu merupakan produksi telur yang paling tinggi dengan persentase
9 Quail Housed Production (QHP) 81,7 %. Produksi telur paling rendah berada pada level protein 18 % dengan rentang umur 30-32 minggu dan persentase QHP 42,8 %. 2.3 Telur Puyuh Telur puyuh memiliki ukuran kecil dan memiliki gizi yang tinggi dibandingkan unggas lainnya. Telur puyuh memiliki warna kulit kerabang yang bermacam-macam yakni coklat tua, biru, putih, krem dan kekuning-kuningan. Telur puyuh memiliki bercak-bercak hitam, coklat tua dan biru. Warna tersebut berasal dari pigmen yang menempel pada kerabang telur yakni pigmen ooporphirin dan bileverdin (Wheindrata, 2014) Komposisi telur puyuh terdiri dari putih telur 52-60 %, kuning telur 30-33 %, kerabang telur 7-9 % dari berat telur utuh. Komposisi telur bervariasi tergantung dari beberapa faktor antara lain, genetik, umur puyuh, ransum, temperatur dan manajemen pemeliharaan (Yuwanta, 2010). Telur puyuh memiliki kandungan gizi cukup tinggi dibandingkan telur unggas lainnya. Telur puyuh memiliki kandungan protein 13,1 % dan lemak 11,1 %, sedangkan telur ayam ras memiliki kandungan protein 12,7 % dan kandungan lemaknya lebih tinggi dibandingkan telur puyuh yaitu 11,3 % (Woodard, dkk., 1973), dapat dilihat pada Tabel 2. 2.4 Produksi Telur Produksi telur sangat ditentukan oleh strain, umur pertama bertelur, konsumsi ransum dan kandungan protein ransum (North dan Bell, 1990). Puyuh mencapai dewasa kelamin pada umur 40-42 hari dan mulai belajar bertelur pada
10 umur 45 hari. Masa reproduksi puyuh berlangsung selama 15-18 bulan, puncak produksi terjadi pada umur 3-5 bulan dengan rata-rata produksi telur berkisar 78-85 % dan lama pengeraman telur 16-17 hari (Wuryadi, 2013). Tabel 2. Perbandingan Kandungan Gizi Telur Puyuh dan Telur Unggas Lainnya Jenis Unggas Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Abu (%) Ayam ras 12,7 11,3 0,9 1,0 Ayam buras 13,4 10,3 0,9 1,0 Itik 13,3 14,5 0,7 1,1 Angsa 13,9 13,3 1,5 1,1 Merpati 13,8 12,0 0,8 0,9 Kalkun 13,1 11,8 1,7 0,8 Puyuh 13,1 11,1 1,0 1,1 Sumber : Woodard, dkk. (1973) Produksi telur pada permulaan masa bertelur relatif sedikit dan terus meningkat sesuai bertambahnya umur. Pada permulaan bertelur ukuran telur yang dihasilkan relatif kecil dan membesar sesuai pertambahan umur sampai mencapai ukuran yang stabil. Masa awal bertelur yang terlalu muda menghasilkan telur relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan telur yang dihasilkan oleh burung puyuh yang lambat mulai bertelurnya (Nugroho dan Manyun, 1986). Pengukuran produksi telur puyuh dapat dilakukan dengan dua metode yaitu Quail Day Production (QDP) dan Quail Housed Production (QHP). Quail Day Production (QDP) adalah jumlah telur yang dihasilkan dari kelompok unggas dalam periode tertentu dibagi dengan jumlah unggas yang hidup pada setiap harinya yang dihitung dalam persentase. Quail Housed Production (QHP) adalah
11 jumlah telur yang diproduksi dibagi dengan jumlah unggas pada saat awal pemeliharaan yang dihitung dalam persentase (Djulardi, dkk., 2006). 2.5 Kurva Produksi Telur Produksi merupakan suatu fungsi terhadap waktu yang dapat digunakan untuk mengukur kurva produksi. Kurva produksi adalah hubungan antara waktu produksi dengan persentase produksi telur dalam kurun waktu produksi tersebut. Kurva produksi sangat bermanfaat untuk membuat suatu perencanaan dan pengelolaan produksi telur yang optimal (Rasyaf, 1995). Kurva produksi dibagi menjadi 2 yaitu, kurva produksi standar dan kurva produksi nyata (aktual). Kurva produksi standar diperoleh dari pembibit dalam kondisi asalnya. Kurva produksi standar merupakan publisitas dari pembibit dan belum tentu digunakan untuk perencanaan produksi telur di peternakan yang bersangkutan, sedangkan kurva produksi nyata (aktual) adalah kurva produksi hasil nyata yang diperoleh di peternakan yang bersangkutan dan dipengaruhi oleh lingkungan pemeliharaannya (Anang dan Indrijani, 2007). Produksi telur membentuk suatu kurva dengan model matematika tertentu. Beberapa model yang biasa digunakan diantaranya model Wood (fungsi gamma), model Mc Nally, model Mc Millan, model Adams-Bell (fungsi aljabar), model Yang, model Kompartemen, dan model Logistik. Semua model menggunakan umur produksi sebagai variabel. Beberapa model mengandung parameter laju peningkatan dan penurunan produksi, hari pertama berproduksi, umur dewasa kelamin, serta potensi produksi telur maksimum (Anang, dkk., 2007). Akurasi dari model-model tersebut diuji dengan nilai koefisien determinasi (R²) yang menunjukkan kecocokan suatu model dengan data yang ada. Model-
12 model ini menghasilkan nilai R² yang berbeda-beda. Model yang paling tepat akan menghasilkan nilai R² yang paling tinggi. Perbedaan nilai R² yang dihasilkan dari model-model tersebut diakibatkan oleh perbedaan himpunan data dan jenis ternak yang digunakan. Akurasi beberapa model pada berbagai waktu disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Akurasi Model Produksi Telur pada Berbagai Periode Waktu No Model R² Data Referensi 1 MC Nally 0,94-0,99 Produksi dua mingguan pada tahun pertama produksi 2 Yang 0,98 (Hen day) 3 Yang 0,99 (Hen housed) Produksi telur minggu ke- 21 hingga minggu ke-72 MC Nally, 1971 Yang, dkk., 1989 4 Adams-Bell 0,99 Siklus pertama produksi Cason dan Britton, 1988 0,98 Hingga 540 hari Mielenz dan Nueller, 1991 5 Logistik 0,99 Siklus pertama produksi Cason dan Britton, 1988 6 Kompartemen 0,70-0,85 Produksi telur perminggu sampai 30 minggu Sumber : Anang dan Indrijani (2007) Mc Millan, 1971 Model Adams-Bell dan Logistik memiliki nilai koefisien determinasi yang paling baik dengan data dibandingkan model lain dalam menduga produksi telur pada siklus pertama produksi. Menurut Narinc, dkk. (2013), dari hasil penelitiannya pada puyuh Jepang melaporkan bahwa model Adams-Bell
13 menghasilkan nilai koefisien determinasi (R²) lebih tinggi dibandingkan model Gamma, Mc Nally dan Modifikasi Kompartemen dengan (R²) = 0,9270. Model Adams-Bell menggunakan persamaan penduga produksi telur dengan rumus matematika sebagai berikut: Keterangan: = y t a,b,c,d dan r = Persentase Quail Day Production pada saat t (minggu) = waktu (minggu) = koefisien