BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) atau Dengue hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit virus yang berbahaya karena dapat menyebabkan penderita meninggal dalam waktu yang sangat singkat. Gejala klinis DBD berupa demam tinggi yang berlangsung terus menerus selama 2-7 hari dan manifestasinya berupa perdarahan yang biasanya didahului dengan terlihatnya tanda khas berupa bintik-bintik merah (petechiae) pada badan penderita. Pada kasus yang berat penderita dapat mengalami syok dan meninggal (Sutanto dkk, 2008). Penyakit demam berdarah dengue merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang jumlah penderitanya cenderung meningkat dan penyebarannya semakin luas. Di Indonesia penyakit DBD masih merupakan masalah kesehatan karena masih banyak daerah yang endemik (Widoyono, 2011). Demam berdarah dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah 1
2 penderita DBD setiap tahunnya (WHO, 2012). Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 pada tahun 2009 (Soepardi, 2010). Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok Arbovirus B, yaitu arthropod-borne virus yang disebarkan oleh artropoda (Widoyono, 2011). Vektor utama DBD adalah nyamukaedes aegypti. Ae. aegypti tersebar luas di seluruh Indonesia. Walapun spesies ini ditemukan di kota-kota pelabuhan yang penduduknya padat, nyamuk ini juga ditemukan di pedesaan (Sutanto dkk, 2008). Pada saat ini pemberantasan Ae. aegypti merupakan cara utama yang dilakukan untuk menanggulangi demam berdarah dengue, karena vaksin untuk mencegah dan obat untuk membasmi virusnya belum tersedia. Pemberantasan
3 Ae. aegypti dapat dilakukan terhadap nyamuk dewasa atau jentiknya (Sutanto dkk, 2008). Temefos adalah larvasida yang paling banyak digunakan untuk membunuh larva Ae. aegypti. Penggunaan temefos sudah dipakai sejak tahun 1976. Empat tahun kemudian yakni 1980, temefos 1% (abate) ditetapkan sebagai bagian dari program pemberantasan masal Ae. aegypti di Indonesia. Bisa dikatakan, temefos sudah digunakan 30 tahun. Laporan resistensi larva Ae. aegypti terhadap temefos sudah ditemukan di beberapa negara seperti Brazil, Bolivia, Argentina, Venezuela, Kuba, French, Polynesia, Karibia dan Thailand (Wati, 2010).Laporan resistensi di Indonesia juga ditemukan yaitu di Surabaya (Ahmad dkk, 2009). Penggunaan larvasida sintesis memiliki dampak negatif, seperti pencemaran lingkungan dan menyebabkan resistensi. Alternatif untuk mengurangi dampak negatif tersebut adalah dengan menggunakan larvasida alami. Indonesia memiliki sumber keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, termasuk jenis tumbuhan yang memiliki bahan aktif untuk dikembangkan sebagai insektisida alami, senyawa dalam tumbuhan yang diduga berfungsi sebagai insektisida diantaranya adalah
4 golongan sianida, saponin, tanin, flavonoid, alkaloid, minyak atsiri dan steroid (Kardinan, 2005). Tanaman serai atau (Andropogon nardus L) merupakan tanaman rumput-rumputan tegak, menahun dan mempunyai perakaraan yang kuat dan dalam. Kandungan dari serai yang utama adalah minyak atsiri dengan komponen sitronelal 32-45%, geraniol 12-18%, sitronelol 11-15%, geranil asetat 3-8%, sitronelil asetat 2-4%, sitral, kavikol, eugenol, elemol, kadinol, kadinen, vanillin, limonene, kamfen. Minyak serai mengandung 3 komponen utama yaitu sitronelal, sitronelol dan geraniol. Sitronelol atau sitronela memiliki kegunaan sebagai insektisida alami dan berkhasiat sebagai pemberantasan hama (Kristiana, 2013). Berdasarkan latar belakang di atas maka diharapkan bahwa ekstrak serai (Andropogon nardus L) mempunyai efektivitas sebagai larvasida terhadap larva nyamuk Ae. aegypti. B.Perumusan Masalah Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah :
5 1. Apakah ekstrak etanol serai (Andropogon nardus L) memiliki daya bunuh terhadap larva nyamuk Ae. aegypti? 2. Berapa konsentrasi ekstrak etanol serai (Andropogon nardus L) yang menyebabkan kematian larva nyamuk Ae. aegypti? 3. Apakah peningkatan konsentrasi ekstrak etanol serai sebanding dengan peningkatan persentase mortalitas larva nyamuk Ae. aegypti? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui efek larvasida ekstrak etanol serai (Andropogon nardus L) terhadap larva nyamuk Ae. aegypti. 2. Mengetahui konsentrasi yang efektif dalam membunuh larva nyamuk Ae. aegypti. 3. Mengetahui hubungan antara peningkatan konsentrasi ekstrak etanol serai dan peningkatan persentase mortalitas larva Ae. aegypti.
6 D. Keaslian Penelitian Sepengetahuan penulis penelitian mengenai uji larvasida ekstrak etanol serai (Andropogon nardus L) terhadap larva nyamuk Ae. aegypti belum pernah dilakukan. E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan alternatif baru dalam upaya pencegahan penyakit demam berdarah melalui larvasida nyamuk Ae. aegypti. Memberikan informasi mengenai uji larvasida ekstrak etanol serai (Andropogon nardus L) terhadap nyamuk Ae. aegypti. Dapat menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut yang dapat berupa uji efektivitas larvasida ekstrak etanol serai terhadap serangga lain.