BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (UU RI No.24 Tahun 2007). Sedangkan Kesiapsiagaan menurut Carter (1991) adalah tindakan-tindakan yang memungkinkan pemerintahan, organisasi, masyarakat, komunitas, dan individu untuk mampu menanggapi suatu situasi bencana secara cepat dan tepat guna. Termasuk kedalam tindakan kesiapsiagaan adalah penyusunan rencana penanggulangan bencana, pemeliharan dan pelatihan personil. Bencana banjir merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Bakornas PB, 2007). Menurut Mistra (2007), dampak banjir akan terjadi pada beberapa aspek dengan tingkat kerusakan berat pada aspek-aspek berikut ini: 1) Aspek Penduduk, antara lain berupa korban jiwa/meninggal, hanyut, tenggelam, lukaluka, korban hilang, pengungsian, berjangkitnya wabah dan penduduk terisolasi. 2) Aspek Pemerintahan, antara lain berupa kerusakan atau hilangnya dokumen, arsip, peralatan, perlengkapan kantor dan terganggunya jalannya pemerintahan. 3)
Aspek Ekonomi, antara lain berupa hilangnya mata pencaharian,tidak berfungsinya pasar tradisional, kerusakan, hilangnya harta benda, ternak dan terganggunya perekonomian masyarakat. 4) Aspek Sarana/Prasarana, antara lain berupa kerusakan rumah penduduk, jembatan, jalan, bangunan gedung perkantoran, fasilitas sosial dan fasilitas umum, instalasi listrik, air minum dan jaringan komunikasi. 5) Aspek Lingkungan, antara lain berupa kerusakan ekosistem, obyek wisata, persawahan/lahan pertanian, sumber air bersih dan kerusakan tanggul/jaringan irigasi. Aceh sebagai salah satu provinsi yang rawan banjir, pada bulan Januari 2007 banjir melanda Kabupaten/Kota: Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Barat, Pidie, Aceh Besar, Bireun, Aceh Selatan, Simeulu, Singkil, Aceh Tenggara, dengan korban yang meninggal dunia mencapai 81 jiwa dan korban yang mengungsi mencapai 208.475 jiwa (Satkorlak PB Provinsi Aceh, 2007). Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB) Kabupaten Pidie Jaya tahun 2010, Kecamatan Meureudu adalah wilayah yang sering terjadi banjir dalam beberapa tahun ini. Pada tahun 2009 yang lalu kecamatan ini di landa banjir bandang. beberapa Desa dan Kelurahan tergenang air sampai 3 meter, ada belasan kepala keluarga yang anaknya menderita diare perlu dirawat, bahkan tidak sedikit warga masyarakat mengungsi. Pada senin tanggal 25 April 2011 seperti berita yang dimuat pada surat kabar Harian Aceh bahwa: r ibuan warga di dua kecamatan Meurah Dua dan
Meureudu, Pidie Jaya panik setelah datangnya banjir yang merendam sebagai rumah warga akibat meluapnya sungai Meureudu, banyak penduduk terpaksa harus mengungsi. Menurut Bakornas PB (2008), paling tidak ada interaksi empat faktor utama yang dapat menimbulkan bencana-bencana tersebut menimbulkan banyak korban dan kerugian besar, yaitu: (a) kurangnya pemahaman terhadap karakteristik bahaya (hazards), (b) sikap atau perilaku yang mengakibatkan penurunan sumberdaya alam (vulnerability), (c) kurangnya informasi/peringatan dini (early warning) yang menyebabkan ketidaksiapan, dan (d) ketidakberdayaan /ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya. Bencana Banjir yang terjadi di Gampong Mesjid Tuha ini mengakibatkan banyak kerugian rumah tangga. Laporan hasil sementara yaitu: rusaknya perabot, alat-alat perkakas dapur, peralatan elektronik (televisi, listrik, kulkas, dispenser), dan selain itu pencemaran lingkungan rumah yang dapat menyebabkan penyakit menular pada keluarga. Tanggung jawab untuk melakukan kegiatan penanggulangan bencana dapat berbentuk kesiapsiagaan (preparedness), yaitu: tindakan-tindakan yang memungkinkan pemerintahan, organisasi, masyarakat, komunitas, dan individu untuk mampu menanggapi suatu situasi bencana secara cepat dan tepat guna (Carter, 1991). Ada 7 (tujuh) stakeholders yang berkaitan erat dengan kesiapsiagaan masyarakat, yaitu: individu dan rumah tangga, instansi pemerintah yang
berkaitan dengan pengelolaan bencana, komunitas sekolah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), kelembagaan masyarakat, kelompok profesi dan pihak swasta. Dari ke tujuh stakeholders tersebut, tiga stakeholders, yaitu: rumah tangga, pemerintah dan komunitas sekolah, disepakati sebagai stakeholders utama, dan empat stakeholders lainnya sebagai stakeholders pendukung dalam kesiapsiagaan bencana (LIPI, 2006). Menurut wawancara dengan salah satu warga desa, bila hujan lebat beberapa hari maka air akan melimpah ke kawasan desa, pada tahun lalu akibat melimpah air sungai itu rumah saya digenangi air saat itu saya dan keluarga saya sangat panik dan tidak tahu harus bagaimana dan berbuat apa, Mahdi (47) warga Gampong Mesjid Tuha Hal senada juga diungkapkan Salma (36), sungai itu kondisinya tersumbat tumbuhan-tumbuhan yang tumbuh sepanjang sungai, dia juga menyatakan bahwa akibat air sungai yang melimpah ke pemukiman warga. Desa kami sudah beberapa kali banjir, pernah rumah kami digenangi air saat tengah malam dan kami sangat panik sebut Salma. Sebagai ilustrasi sederhana, misalnya ketika banjir terjadi ditengah malam, secara mendadak, ketika seluruh keluarga masih tertidur pulas. Pada jam-jam seperti itu, peraturan dan perundangan tidak akan mampu segera bertindak cepat. Terlebih- lebih, petugas pemerintah juga sedang tidak berada di tempat kejadian barangkali sampai keesokan harinya masih belum juga datang. Siapa melakukan apa tidak jelas. Suara dan instruksi siapa yang harus
didengar, tidak jelas. Kemana keluarga hendak memohon bantuan cepat, tidak jelas. Kemana arah berlari dan tujuan evakuasi, tidak jelas. Jelas, yang terjadi adalah bencana dan malapetaka. Penting untuk diingat, saat- saat awal kepanikan dalam suatu kejadian bencana adalah saat-saat yang sangat menentukan tinggi rendahnya tingkat resiko yang terjadi. Menurut sejumlah catatan, banyak angka kematian dalam kejadian bencana justru terjadi pada saat-saat kepanikan meninggi dan tak terkendalikan yang seringkali terjadi justru kekalapan. Banjir yang setiap tahunnya di di Gampong Mesjid Tuha terjadi sampai 3 kali dalam setahun selama ini berujung pada penderitaan dan kerugian yang ditafsirkan oleh masing - masing kepala keluarga lebih kurang Rp.2.000.000 - Rp.9.000.000, mengalami dampak ekonomi, sosial, masalah lingkungan, masalah kesehatan timbulnya penyakit menular. Menurut Triutomo (2007), di Indonesia, masih banyak penduduk yang menganggap bahwa bencana itu merupakan suatu takdir. Pada umumnya mereka percaya bahwa bencana itu adalah suatu kutukan atas dosa dan kesalahan yang telah diperbuat, sehingga seseorang harus menerima bahwa itu sebagai takdir akibat perbuatannya. Sehingga tidak perlu lagi berusaha untuk mengambil langkah-langkah pencegahan atau penanggulangannya. Pengetahuan terkait dengan persiapan menghadapi bencana pada kelompok rentan bencana menjadi fokus utama. Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa kesiapan menghadapi bencana ini seringkali terabaikan pada masyarakat yang belum memiliki pengalaman langsung dengan bencana
(Priyanto, 2006). Riset yang dilakukan di New Zealand tahun 2006 memperlihatkan bahwa perasaan bisa mencegah bahaya gempa bumi dapat ditingkatkan dengan intervensi melalui pengisian kuesioner pengetahuan tentang gempa bumi yang di follow up dengan penjelasan-penjelasan yang ditujukan untuk menghilangkan gap atau miskonsepsi pengetahuan tentang gempa bumi. Hasil riset menunjukkan bahwa pengetahuan partisipan mengenai gempa bumi berhubungan dengan tingkat kesiapannya menghadapi gempa bumi. Dengan pengetahuan akan meningkatkan kemampuan penduduk mempersiapkan diri dengan lebih baik dari gempa bumi atau bencana lain (Priyanto, 2006). Dan diharapkan hal yang demikian dapat pula diterapkan pada kejadian banjir pada masyarakat di indonesia. Menurut Ma`mun (2007) pengetahuan lingkungan hidup perlu diberikan kepada anak-anak dan keluarga sehingga mereka belajar mencintai alam, contoh menanam pohon di sekitar rumah, tidak membuang sampah kesungai, tidak tinggal dibantaran sungai karena dapat menimbulkan permasalahan banjir dan lain-lain. Menurut Dekens (2007) Pengetahuan tentang kearifan lokal yang dimanfaatkan oleh masyarakat yang berperan meningkatkan kapasitas mereka untuk mengurangi risiko bencana mencakup Pengetahuan sejarah dan lingkungan. Masyarakat setempat memiliki pengetahuan tentang sejarah dan sifat banjir di daerah mereka sendiri dengan mengamati dan mengalami sendiri peristiwa banjir, dengan dasar pengamatan sehari-hari atas lingkungan di sekitar mereka, adanya
ikatan erat dengan lingkungan hidup agar dapat bertahan hidup, dan akumulasi pemahaman tentang lingkungan hidup yang disampaikan dari satu generasi ke generasi lainnya. Ini penting karena pengalaman dan pemahaman masa lalu tentang banjir pasti akan mempengaruhi pengalaman dan pemahaman di masa kini Keluarga diharapkan memiliki kemampuan untuk mengatasi banjir, karena peran keluarga dalam kesiapsiagaan sangat penting alasannya kepala keluarga berperan dalam menyampaikan informasi bagi keluargannya, mengambil keputusan yang cepat dapat mempengaruhi anggota keluarganya dan juga kepala keluarga sebagai sumber dukungan sosial bagi keluarganya. akibat pengaruhnya semua ucapan, tingkah laku dan tindakannya akan dijadikan panutan oleh keluarganya (Effendi, 2009). Kemampuan yang harus dimiliki kepala keluarga sebagai wujud dari kesiapsiagaan adalah mempunyai pengetahuan dan sikap terhadap bencana seperti ketrampilan pertolongan pertama, menggerakkan anggota keluarga untuk mengikuti latihan dan keterampilan evakuasi, menyiapkan kebutuhan makanan yang dapat disimpan dan tahan lama, menyiapkan kotak P3K dirumah (LIPI, 2006). Menurut LIPI (2006), tindakan kesiapsiagaan yang perlu dilakukan oleh masyarakat dan di rumah tangga, adalah: (a) Memahami bahaya yang timbul oleh bencana; masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana perlu memahami bahaya yang mungkin dialami ketika bencana datang, kapan bencana tersebut datang di daerah tersebut, daerah mana saja yang aman untuk menghindari
bencana. (b) Menyiapkan peta daerah rawan bencana; peta daerah rawan bencana didasarkan pada berbagai penyebab dan risiko bencana (geologis dan klimatologis) sebagai salah pertimbangan perencanaan pembangunan dan penanggulangan untuk pencegahan bencana, di dalam peta perlu dilampirkan keterangan seperti: tingkat risiko, jumlah penduduk, jumlah lahan, ternak, dan sebagainya serta sangat penting mencantumkan tempat aman dan jalur aman yang dapat dilalui untuk evakuasi. Sehubungan dengan latar belakang diatas sehingga dipandang penting dan penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh pengetahuan dan sikap kepala keluarga terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi banjir di Gampong Mesjid Tuha Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya. 1.2. Permasalahan Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: adakah pengaruh pengetahuan dan sikap kepala keluarga terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi banjir di Gampong Mesjid Tuha Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dan sikap kepala keluarga terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi banjir di Gampong Mesjid Tuha Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya.
1.4. Hipotesis Ada pengaruh pengetahuan dan sikap kepala keluarga terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi banjir di Gampong Mesjid Tuha Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya. 1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1 Ilmu Pengetahuan Secara teoritis, dapat bermanfaat untuk menambah khasanah ilmu kesehatan masyarakat khususnya tentang kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi bencana banjir. 1.5.2 Bagi Masyarakat Sebagai bahan pemikiran yang didasari pada teori dan analisis terhadap kajian praktis dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana banjir. 1.5.3 Pemerintah Sebagai bahan masukan bagi pemerintah terkait dalam menyusun program mitigasi bencana khususnya bidang yang mendasari pada pengendalian resiko bencana.