BAB V PENUTUP. dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1. Realitas Patriarkhi dalam Pesantren di Kabupaten Kediri

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP. kalangan masyarakat, bahwa perempuan sebagai anggota masyarakat masih

LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU. DINA MARTIANY, S.H., M.Si.

BAB I PENDAHULUAN. dari tulisan-tulisan ilmiah. Tidak juga harus masuk ke dalam masyarakat yang

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan

BAB V PENUTUP. ini. Varian fundamentalisme sudah banyak dikategorisasikan oleh para

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB VII PENUTUP. 1. Konstruksi pemahaman aktivis organisasi keagamaan Muhammadiyah,

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB IV ANALISIS KEPEMIMPINAN PEREMPUAN MENURUT MASDAR FARID MAS UDI DAN KIAI HUSEN MUHAMMAD

Kiprah Edisi 17: Menggalang Solidaritas Melalui Forum Selapanan. Ditulis oleh Titik Rahmawati & Ulfah Mutia Hizma Jumat, 03 Juli :12 -

Merupakan metodologi penafsiran Al Qur an Bertujuan untuk menghasilkan produk tafsir berkeadilan Gender Kerangka berpikir didasari oleh Pemikiran

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN DAN MANSOUR FAKIH TENTANG KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM: SEBUAH PERBANDINGAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari kondisi sosial kultural masyarakat. Pendidikan memiliki tugas

BAB IV PENUTUP. (tradisional) adalah pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab

BAB I PENDAHULUAN. masih dapat kita jumpai hingga saat ini. Perbedaan antara laki- laki dan

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki

yang mungkin selama ini belum banyak yang membaca pertarungan wacana semacam ini sebagai sebuah fenomena politis. Kontribusi Teoritik

BAB I PENDAHULUAN. antara lain sepeda, sepeda motor, becak, mobil dan lain-lain. Dari banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan yang ada dalam

BAB III METODE PENELITIAN. pustaka baik berupa konsep, teori-teori dan lain-lainnya yang berhubungan

BAB V PENUTUP. perempuan di Pondok Pesantren yang meliputi proses, peran, tipologi dan hasil. kepemimpinan dan kuasa perempuan di pesantren, bahwa:

BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR

2016 EKSISTENSI MAHASISWI D ALAM BERORGANISASI D I LINGKUNGAN FAKULTAS PEND ID IKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi dalam suatu dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai satu atau. lebih, sehingga terjadi interaksi antar individu.

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu sastra pada hakikatnya selalu berkaitan dengan masyarakat. Sastra

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di

( aql) dan sumber agama (naql) adalah hal yang selalu ia tekankan kepada

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan dan tradisinya masing-masing. Syari at Islam tidak

BAB 4 PENUTUP. yang terus berkembang hingga saat ini. Sejak kemunculan pertamanya di India

I. PENDAHULUAN. dalam keluarga dibanding pria. Wanita di mana-mana mencurahkan tenaganya

POLA KEPEMIMPINAN K. H. M. THOHIR ABDULLAH, A.H DALAM UPAYA PENGEMBANGAN PONDOK PESANTREN RAUDLOTUL QUR AN DI MANGKANG SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. jasmaniah dan rohaniah berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. (Jakarta: Amzah, 2007), hlm Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur an,

BAB I PENDAHULUAN. aspek, termasuk dalam struktur sosial, kultur, sistem pendidikan, dan tidak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB VI PENUTUP. Setelah melihat data tentang relasi jender pada tafsir al-sya`râwî, dan

BAB IV MEMAKNAI HASIL PENELITIAN BUDAYA POLITIK SANTRI

BAB V PENUTUP. Simpulan dan Saran. Keduanya merupakan bagian penutup dari tesis ini.

Pemberdayaan KEKUASAAN (POWER)

Assalamu alaikum wr. wb.

BAB I PENDAHULUAN. cukup menggembirakan. Kini setiap saat telah lahir karya-karya baru, baik dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dunia anak sering diidentikkan dengan dunia bermain, sebuah dunia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. hadis Nabi yang paling populer menyatakan bahwa ulama adalah pewaris para

BAB 5 PENUTUP 5.1. KESIMPULAN. Teologi feminis dibangun berdasarkan keprihatinan terhadap kaum perempuan.

BAB I PENDAHULUAN. sangat besar terhadap dunia pendidikan dan pembentukan sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. pekerja dan itu menjadi penanda waktu yang beremansipasi.

BAB VI ANALISIS PEREMPUAN MENURUT HAMKA. perempuan dalam al-quran telah banyak, disebutlah dalam surat an-nisa masalah

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan produk tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. perempuan sudah lama berlangsung dalam sejarah kehidupan manusia. Perkembangan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

BAB VI P E N U T U P

BAB I PENDAHULUAN. kepemimpinan

PERGESERAN PERAN WANITA KETURUNAN ARAB DARI SEKTOR DOMESTIK KE SEKTOR PUBLIK

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

BAB I PENDAHULUAN. memiliki visi, misi dan tujuan yang berbeda. Organisasi adalah sebuah wadah

1 Pasal 105 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam 2 Salinan Putusan nomor 0791/ Pdt.G/2014/PA.Kab.Mlg, h. 4.

KAJIAN FEMINIS CITRA AQIDAH WANITA TOKOH UTAMA DALAM NOVEL GADIS PENGHAFAL AYAT KARYA M. SHOIM HARIS DAN RELEVANSI PEMBELAJARANNYA DI SMA

BAB I PENDAHULUAN. Islam sebagai agama tidak dapat dipisahkan dari politik. Dalam artian

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. 7.1 Kesimpulan. mobilisasi tidak mutlak, mobilisasi lebih dalam hal kampanye dan ideologi dalam

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. paling berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan 1. Mulyasa

BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. Berdasarkan kajian dan penelitian tentang studi deskriptif kondisi sosial

barakah sesuai dengan sosio-kultural yang membentuknya dan mendominasi cara

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HAK NAFKAH PEREMPUAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM DALAM PERSPEKTIF FEMINISME

BAB I PENDAHULUAN. itu jelas menuntut kita untuk menyelidiki dan menimbang sekali lagi berbagai hal

1.1 Latar Belakang Masalah

Issue Gender & gerakan Feminisme. Rudy Wawolumaja

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM. ISLAM DAN ISU-ISU KONTEMPORER Oleh E.S

BAB I PENDAHULUAN. dan pengurus pondok pesantren tersebut. Pesantren memiliki tradisi kuat. pendahulunya dari generasi ke generasi.

BAB V PENUTUP. di lapangan mengenai rekonstruksi kurikulum Ponpes Salafiyah di Ponpes

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan agama khususnya Pendidikan agama Islam sangat dibutuhkan

Media massa berperon dalam menanamkan false consciousness,

RINGKASAN DAN SUMMARY

BAB V PENUTUP. yang berbeda. Muhammadiyah yang menampilkan diri sebagai organisasi. kehidupan serta sumber ajaran. Pada sisi ini, Muhammadiyah banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. individu untuk dapat bersaing di zaman yang semakin maju. Pendidikan juga

PERAN PENDIDIKAN MUSLIMAH DALAM MENGEMBANGKAN KEBUDAYAAN, PENDIDIKAN DAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT ISLAM 1

BAB I PENDAHULUAN. Ibid hlm. 43

BAB I PENDAHULUAN. Artinya : Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (Q.S.Adz-Dzariyat: 49).

BAB IV ANALISIS PROBLEMATIKA PENGAJIAN TAFSIR AL-QUR AN DAN UPAYA PEMECAHANNYA DI DESA JATIMULYA KEC. SURADADI KAB. TEGAL

BAB IV FUNGSI KORPS PMII PUTRI (KOPRI) WILAYAH LAMPUNG DALAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. non-formal, dan informal (ayat 3) (Kresnawan, 2010:20).

BAB V MENGANALISA PEMIKIRAN REKONSTRUKSI TRADISI PEWAYANGAN. Setelah memperhatkan secara seksama atas data-data yang penulis dapatkan

I. PENDAHULUAN. oleh Durkheim (Betty Schraf, 1995), bahwa fungsi agama adalah. mempertahankan dan memperkuat solidaritas dan kewajiban sosial pada

Sedangkan bumi adalah penerima atau penampung sumber yang diturunkan. Secara kualitatif langit adalah sesuatu yang tinggi dan bumi adalah sesuatu

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR GAMBAR... viii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulisan berdasarkan

Transkripsi:

198 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan data yang telah dipaparkan pada bab terdahulu dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1. Realitas Patriarkhi dalam Pesantren di Kabupaten Kediri Pondok pesantren di Kabupaten Kediri senantiasa melestarikan sistem kepemimpinan patriarkhis dalam menjalankan operasional lembaganya, seluruh posisi tertinggi kepemimpinan lembaga diduduki penuh oleh kalangan laki-laki (kiai) dan tidak memberi ruang bagi kalangan perempuan dalam mengisi posisi kepemimpinan. Dalam musyawarah ataupun pengambilan kebijakan pesantren, keberadaan nyai juga tidak terlalu diperhitungkan, sehingga keadaan tersebut menempatkan kalangan perempuan pesantren pada posisi yang tersubordinasi. Dalam pandangan mayoritas kiai pesantren di Kabupaten Kediri, superioritas laki-laki merupakan keputusan agama yang tidak bisa diganggu gugat, mereka membenarkan bahwa kualitas laki-laki jauh di atas perempuan dan laki-laki memiliki jangkauan yang lebih luas dari pada perempuan. Bahkan ada yang berpandangan bahwa selamanya kalangan perempuan pesantren tidak akan pernah bisa melampaui superioritas kaum laki-laki pesantren

199 Keterikatan pondok pesantren di Kabupaten Kediri pada kitab kuning yang kaya akan nuansa patriarkhi pada gilirannya juga menjelma menjadi suatu tradisi yang kaku. Jika kiai mendapatkan nilai lebih dari hasil kajian tersebut, sedangkan nyai dan santri putri dipastikan mendapatkan implikasi negatif dari konstruksi pemahaman mereka akan hak dan kewajiban seorang wanita dan posisinya di antara laki-laki. Mayoritas pengasuh pesantren di Kabupaten Kediri sebagai pemegang kendali otoritas pesaantren cenderung memilih tertutup dan mengamini karya-karya yang banyak mengandung unsur misioginistik tersebut daripada mengadakan kajian secara mendalam baik secara filosofis, teologis maupun historis. Bahkan tidak jarang di antara pengasuh yang mengharamkan untuk berfikir kritis-transformatif terutama bagi komunitas pesantren, karena hal tersebut dianggap sebagai budaya barat yang akan merusak tatanan keislaman yang telah mapan. 2. Respon Bu Nyai atas Dominasi Kiai dalam Kepemimpinan Pesantren di Kabupaten Kediri Dominasi laki-laki secara berlebihan dalam pesantren yang hampir tidak memberikan kesempatan serta peluang bagi kalangan perempuan menimbulkan kekuatan tersendiri bagi kelas yang tersubordinasi (nyai), karena menurut Gramsci dominasi harus melalui konsensus yang disepakati oleh seluruh kelas baik yang memimpin atau yang dipimpin. Namun sistem dominasi laki-laki dalam pesantren hingga saat belum

200 mampu merefleksikan bentuk kepemimpinan yang disepakati oleh dua kelas berbeda (kiai dan nyai). Ketimpangan gender yang terjadi dalam pesantren tersebut pada akhirnya memunculkan apa yang disebut oleh Gramsci sebagai intelektual organik, yaitu mereka yang mampu merasakan emosi, dan semangat yang dirasakan kaum tertindas, memihak dan mengungkapkan apa yang dialami mereka dalam bentuk gerakan resistensi. Dalam konteks ini intelektual organik tersebut adalah para bu nyai yang memiliki kemampuan serta keberanian dalam berkata dan bertindak dalam upaya melawan ketidakadilan gender yang sedang berlangsung di pesantren. Dari penelitian ini ditemukan 2 (dua) jenis tipologi resistensi yang dilakukan oleh bu nyai pondok pesantren di Kabupaten Kediri sebagai bentuk perlawanan atas dominasi kiai dalam kepemimpinan pesantren: a. Tipologi Idealis -Dialogis Jenis resistensi idealis -dialogis ini adalah resistensi sederhana yang mengupayakan adanya keterbukaan dan kesadaran antara lakilaki (kiai) dan perempuan (nyai) dalam konsep kepemimpinan yang ideal dan berasaskan keadilan. Jenis resistensi dialogis nampak dari gerakan yang dilakukan oleh nyai pondok pesantren Darussalam Sumbersari dan Pondok pesantren al-ishlah Bandar Kediri. Dalam upaya menegakkan keadilan gender dalam pesantren, dua pondok tersebut tidak harus menunjukkan gerakan-gerakan

201 perlawanan yang bersifat aksi nyata, akan tetapi lebih mengutamakan adanya pemahaman-pemahaman gender melalui kegiatan pembelajaran dan diskusi. Dalam konteks tersebut di atas, proses pembelajaran di pesantren yang sebelumnya mayoritas di bawah kendali aktor lakilaki seperti kiai dan ustadz, sekarang sudah mulai terbuka dan memberikan banyak ruang terhadap kalangan perempuan pesantren untuk dapat mengaktualisasikan keilmuannya. Hal tersebut ditandai dengan keikutsertaan nyai dan ustadzah dalam proses belajar mengajar dengan menempatkan mereka sebagai pembaca atau pengajar kitab-kitab di pesantren. Bahkan kitab yang dianggap sangat sensitif bias gender seperti uqu>d al-lijjali>yn sudah mulai dibaca oleh mereka di depan santri laki-laki dan perempuan. Progresifitas yang demikian memberikan potensi yang besar terhadap terciptanya keadilan gender di dalam pesantren secara ideal. b. Tipologi Idealis-Praktis Berlainan dengan tipologi idealis-praktis, tipologi idealispraktis tidak hanya melakukan dialog atau wacana dalam gerakannya, namun lebih menekankan adanya gerakan-gerakan perlawanan yang bersifat aksi nyata sesuai dengan kapasitas kemampuannya. Tipologi resistensi idealis-praktis ingin menunjukkan bahwa perempuan pesantren (nyai) juga tidak kalah dari laki-laki (nyai) dalam berbagai hal termasuk dalam memimpin

202 dan mengelola pesantren. Tidak hanya itu, gerakan resistensi idealispraktis juga memperlihatkan betapa perempuan pesantren (nyai) sebenarnya juga mempunyai kemampuan intelektual dan spiritual yang tinggi bahkan bisa melampaui ekspektasi yang dimiliki oleh kiai. Gerakan resistensi idealis-praktis ini nampak pada gerakan yang dilakukan oleh nyai pondok pesantren ar-risalah Lirboyo dan pondok pesantren al-hikmah. Gerakan resistensi dalam kategori tersebut sebenarnya tidak menolak secara general terhadap kepemimpinan laki-laki atas perempuan pesantren, namun hanya sebagai usaha pembuktian dan penegakan hak perempuan yang telah terdistorsi oleh pakem pesantren. Artinya, bagi mereka kepemimpinan tidak harus di bawah kendali laki-laki, namun siapa saja baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki kualitas serta kapabelitas untuk menjadi pemimpin maka berhak untuk mendapatkannya. Bukan hanya itu, mereka juga sebenarnya ingin menjawab berbagai macam tuduhan terhadap perempuan yang dianggap second class atas laki-laki dalam berbagai hal. Bagi mereka, tidak ada beda antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai hal kecuali hanya kodrat fisik dan status keluarga. B. Implikasi Teoritik Penelitian kepemimpinan pada pesantren ini merupakan penguatan dari beberapa pendapat para pemikir gender yang menganggap bahwa tidak

203 adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan akibat dari kekeliruan mendasar dalam memahami al-qur-an, sebagaimana penafsiran oleh para ulama salaf yang karya misioginisnya dilestarikan sampai sekarang khususnya oleh para kalangan pesantren. Aminah Wadud Muhsin menjelaskan bahwa kekeliruan penafsiran terhadap ayat-ayat al- Qur an tentang wanita lantaran ditafsirkan oleh kaum pria, bukan ditafsirkan oleh kaum wanita itu sendiri. Akibatnya, penafsiran yang dibuat hanya berdasarkan persepsi, pengalaman, dan pikiran kaum pria saja. Akibat lebih lanjutnya adalah terjadinya kekeliruan penafsiran yang menyebabkan wanita dalam posisi lemah, rendah, serta kurang dalam berbagai bidang dibanding kaum laki-laki 1. Tidak jauh berbeda yang terjadi di pesantren, bahwa pemahaman kepemimpinan partiarkhis juga diakibatkan oleh pemahaman individu dalam mentafsirkan sebuah teks. Pendapat Zamakhsyari Dhofir yang mensinyalir bahwa kebanyakan Kiai di Jawa beranggapan bahwa suatu pesantren dapat diibaratkan kerajaan kecil dimana Kiai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam kehidupan dan lingkungan pesantren 2. Pendapat tersebut telah diyakini kuat oleh mayoritas kalangan pesantren. Kedua pendapat tersebut di atas yang muncul dari tokoh feminisme dan pemerhati pesantren sudah menjadi paradigma tersendiri dari para kalangan pesantren dalam waktu yang cukup lama sehingga dengan sendirinya telah menjadi budaya yang baku. 1 Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam al-qur an, terj. Yasir Rodiah (Yaziar Radianti; Bandung Pustaka, 1994). 125-127. 2 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 74.

204 Namun dewasa ini, munculnya beberapa nyai dari kalangan perempuan pesantren yang sudah berani melakukan sebuah resistensi atas hegemoni kepemimpinan pesantren yang bersifat patriarkhis sedikit banyak telah meruntuhkan pendapat-pendapat di atas. Resistensi yang dilakukan oleh beberapa nyai dari pondok pesantren di Kediri telah menjadi titik klimaks dari frustasi akibat keterbatasan mereka untuk mengaktualisasikan diri dalam mengembangkan bakat dan potensi perempuan dalam segala bidang. Jika resistensi yang dilakukan oleh nyai merupakan sebuah penolakan terhadap pendapat-pendapat kepemimpinan dalam pesantren yang sudah mapan, maka resistensi yang dilakukan oleh nyai dalam konteks memperjuangkan keadilan gender dalam pesantren juga merupakan hasil temuan yang sesuai dengan teori gramsci, bahwa hegemoni yang tidak berasaskan keadilan dan konsensus kelas, maka menimbulkan sebuah counter hegemoni, yakni perlawanan dari pihak yang tersubordinasi, dalam konteks kepemimpinan pesantren adalah bu nyai. Dengan demikian, dalam usaha mengupayakan kesetararaan gender yang bernuansa keadilan khususnya di lingkungan pesantren salaf tidak tepat lagi apabila hanya mengkritisi kitab kuning, dan merekonstruksi kurikulum pembelajaran yang terdapat di pesantren, melainkan perlu adanya usaha lain yang lebih dari semua itu, termasuk mengadakan penyuluhan pendidikan kepemimpinan bagi putra-putra kiai yang nantinya akan melanjutkan roda kepemimpinan pesantren tersebut, juga adanya dialog yang lebih terbuka antara beberapa pihak yang terkait khususnya kiai dan nyai, sehingga konsep

205 kepemimpinan pesantren bisa diterima oleh kedua pihak. Diharapkan pada periode berikutnya pesantren yang selama ini adalah salah satu pusat pembelajaran dan penyebaran patriarkhi bisa berubah menjadi pusat pendidikan yang berkeadilan dan bijaksana. C. Rekomendasi Dalam rangka untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam yang sebenarnya, maka lembaga seperti pesantren mempunyai posisi yang sangat strategis dalam mensosialisasikan ajarannya. Dengan potensi besar yang dimiliki lembaga ini, pesantren seharusnya bisa dimanfaatkan untuk memperdayakan kaum perempuan secara optimal. Streotipe negatif yang selama ini dianggap lahir dari bias penafsiran teks keagamaan dapat dirubah oleh kalangan pesantren dengan melakukan dakwah yang berkesataraan dan berkeadilan. Apalagi, di daerah Jawa kepercayaan masyarakat kepada para Kiai dan ulama sangatlah besar. Dengan demikian, pesantren dapat menjadi motor penggerak terciptanya masyarakat yang berbudaya berdasarkan asas persamaan dan keadilan. Berangkat dari keterangan di atas maka peneliti merekomendasikan beberapa poin sebagaimana berikut: 1. Para Kiai hendaknya lebih terbuka dalam menerima kritik dan saran dari berbagai pihak yang telah menadakan kajian mendalam terhadap pesantren dan realitas di dalamnya, terutama dalam masalah praktik kepemimpinan patriarkhi dalam pesantren yang sebenarnya tidak sesuai

206 dengan ruh ajaran Islam. Karena dengan sikap terbuka tersebut diharapkan mampu menjembatani adanya jalur dialog yang sehat antara Kiai dan para pemerhati pesantren. Sebaliknya, jika Kiai selalu tertutup dan apatis terhadap kritik dan saran bahkan terlebih dahulu mengecap sesat kepada kajian-kajian ilmiah yang secara langsung atau tidak lansung mengkritiknya sebelum menelaah lebih dalam, maka dapat dipastikan selamanya kajian-kajian tersebut hanya menjadi tulisan hampa. 2. Para aktor pengendali pesantren juga harus meredesain kurikulum pembelajarannya dengan tidak hanya menggunakan kitab kuning yang bersifat normatif, ritualistik dan eskatologis saja, namun juga harus mulai mengenalkan pemahaman-pemahaman yang bersifat filosofis, antropologis, sosiologis, dan landasan ilmu-ilmu modern lainnya. Dengan demikian diharapkan pemahan para santri tidak cenderung konservatif dalam melihat, menela ah dan menafsiri sebuah realitas patriarkhi yang terjadi. 3. Sebagai agent of culture dan agent of change Para Kiai hendaknya berani mensosialisasikan upaya keadilan gender dan menghapus tradisi patriarkhi yang selama ini tumbuh subur di lungkungan masyarakat. Melalui dakwah, pengajian dan khutbah Kiai harus merubah maenseatnya yang dulunya memarjinalkan perempuan, sekarang harus mengangkat derajat perempuan sama dengan derajat laki-laki.

207 Dari rekomendasi tersebut jika para aktor pesantren mampu untuk merealisasikannya dengan hati lapang dan sebenarnya maka dapat dipastikan keberadaan atau posisi perempuan di pesantren khususnya dan masyarakat muslim pada umumnya akan memiliki harapan dalam mengaktualisasikan dirinya seperti laki-laki. Dengan demikian sedikit banyak akan memberikan peluang terhadap terciptanya sebuah keadilan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia ini.