1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) memiliki lebih kurang 17.500 pulau, dengan total panjang garis pantai mencapai 95.181 km dan laut merupakan bagian tidak terpisahkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena laut merupakan perekat persatuan dari ribuan kepulauan Nusantara yang terbentang dari ujung Sumatera sampai ke Papua. Dua pertiga dari luas wilayah Indonesia terdiri dari laut sehingga laut mempunyai arti dan fungsi strategis bagi bangsa dan negara Indonesia (Lemhanas RI, 2012). Dengan kondisi geografis yang demikian itu, kedudukan laut atau perairan mempunyai peranan penting, baik ditinjau dari aspek ekonomis, komunikasi dan transportasi, perdagangan, pariwisata, perlindungan dan pelestarian alam, maupun untuk kepentingan pertahanan keamanan, selain itu, letak geografis Indonesia yang berada pada persilangan alur lalu-lintas pelayaran internasional (Alur Laut Kepulauan Indonesia I-III), tentunya melibatkan bangsa dan negara Indonesia untuk dapat mengantisipasi lalu-lintas pelayaran internasional, baik dalam rangka perdagangan internasional melalui laut maupun dalam pelayaran untuk berbagai tujuan lainnya. Ditinjau dari aspek potensi dan pemanfaatannya, sumberdaya kelautan secara umum dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: potensi dan pemanfaatan sumberdaya hayati, potensi dan pemanfaatan sumberdaya non hayati, potensi dan pemanfaatan jasa kelautan. Keselamatan maritim merupakan suatu keadaan yang menjamin keselamatan berbagai kegiatan di laut termasuk kegiatan pelayaran, eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam dan hayati serta pelestarian lingkungan hidup. Untuk itu diperlukan tata kelautan dan penegakan hukum di laut dalam menjamin keselamatan, keamanan, ketertiban dan perlindungan lingkungan laut agar tetap bersih dan lestari guna menunjang kelancaran lalu lintas pelayaran. Konsep kriteria dan pengaturan di bidang kelautan mempunyai implikasi yang luas dan harus dipertimbangkan dalam pemanfaatan ruang laut nasional (Andry dan Yuliani, 2014). Dalam kaitannya dengan jasa kelautan, fungsi laut secara konvensional adalah sebagai media transportasi. Tidak terkecuali dalam era modern saat ini, dimana sarana transportasi cenderung lebih mengutamakan kenyamanan dan waktu tempuh yang relatif cepat, sarana pengangkutan laut masih tetap diperlukan. Sarana transportasi laut, yaitu kapal laut, masih menjadi alat yang belum tergantikan oleh sarana transportasi lain, seperti pesawat udara atau sarana transportasi darat, terutama dalam pengangkutan barang (cargo) baik itu domestik maupun internasional. Oleh karena itu pengembangan armada pelayaran masih penting diupayakan, baik dengan cara memodernisir sarana pelayaran maupun menambah jumlah armada kapal. Kondisi transportasi laut dalam negeri baik sarana maupun prasarana keselamatan pelayaran hingga saat ini belum mendukung tertibnya kelancaran
2 angkutan laut di Tanah Air. Di samping ketertiban pelayanan dan pengoperasian sarana dan prasarana relatif masih rendah, juga banyak faktor turut melingkupinya, seperti lemahnya kepedulian dari pemilik kapal dan perusahaan dalam menerapkan sistem keselamatan yang efektif serta implementasi di lapangan, kelaiklautan kapal yang lebih berorientasi pada sertifikasi yang notabene tidak didukung dengan pemeriksaan yang seksama, juga pengawasan yang dilaksanakan oleh pemerintah terhadap pelaksanaan pelatihan darurat di atas kapal dari persyaratan-persyaratan keselamatan pelayaran tidak konsisten. Faktor keselamatan kapal merupakan bagian yang sangat penting dalam menentukan kelaiklautan sebuah kapal. Oleh sebab itu persyaratan keselamatan kapal perlu diawasi secara ketat dan berkesinambungan mulai dari kapal itu dibangun sampai dengan beroperasi agar keselamatan kapal dapat tercapai. Kelaiklautan Kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan keselamatan kapal, pencegahan pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, garis muat, pemuatan, kesejahteraan awak kapal dan kesehatan penumpang, status hukum kapal, manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal, dan manajemen keamanan kapal untuk berlayar di perairan tertentu. Kelaiklautan kapal sangat ditentukan oleh kemampuan kapal dalam memenuhi ketentuan yang dihasilkan dalam konvensi tersebut, sehingga perlu pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah atau lembaga klasifikasi kapal yang ditunjuk baik nasional maupun internasional untuk melaksanakan pengklasifikasian kapal (Khafendi, 2011). Dalam hubungan ini fungsi Syahbandar sangat penting, dimana kelaiklautan kapal harus diawasi oleh Syahbandar selama kapal itu berada di pelabuhan yang secara teknis pelaksanaannya mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di samping konstruksi kapalnya sendiri dengan perlengkapannya, maka faktor sumber daya manusia yang mengawaki perlu memenuhi standar profesi kepelautan. Pengawakan kapal sebagai faktor penentu bagi keselamatan dan kelancaran angkutan laut memerlukan pengawasan dan pembinaan secara terus menerus baik dari aspek kesejahteraan, aspek pengetahuan, maupun dari aspek disiplin. Ketiga aspek tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya untuk menciptakan awak kapal menjadi tim yang tangguh serta bertanggungjawab baik sebagai salah satu faktor penentu keselamatan kapal (marine safety) dan sebagai pekerja. Surat Persetujuan Berlayar adalah dokumen Negara yang dikeluarkan oleh Syahbandar kepada setiap kapal yang akan berlayar meninggalkan pelabuhan setelah kapal memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal dan kewajiban lainnya. Dokumen ini menjadi begitu penting karena menyangkut kelancaran operasional kapal serta keselamatan kapal, Nakhoda maupun awak kapal (Sihaloho, 201). Keselamatan Kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan material, konstruksi, bangunan, permesinan dan perlistrikan, stabilitas, tata susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan radio, elektronik kapal, yang dibuktikan dengan sertifikat setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian. Disamping keselamatan untuk kapalnya sendiri, maka keselamatan berlayar yang berada di luar kapal merupakan aspek yang penting dalam menjamin keselamatan pelayaran secara luas. Keselamatan alur pelayaran ini meliputi alur pelayaran, Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP) dan Telekomunikasi Pelayaran, meskipun kapal sudah dinyatakan laik laut, hal itu
tidak menjamin bahwa kapal tersebut bebas dari kecelakaan kapal. Salah satu upaya yang harus dilakukan Pemerintah untuk menjamin keamanan dan keselamatan pelayaran, termasuk pelayaran rakyat, adalah mengeluarkan standar yang terkait dengan teknologi kapal, kelengkapan peralatan keselamatan di kapal dan sertifikasi awak kapal (Syafriharti, 2014). Prinsip dasar keselamatan pelayaran menyatakan bahwa kapal yang hendak berlayar telah berada dalam kondisi laik laut (seaworthiness), akan tetapi pada kenyataannya kecelakaan kapal cenderung meningkat sehingga perlu mencarikan upaya yang komprehensif agar dapat mengurangi tingkat kecelakaan yang terjadi. Disamping itu safety culture harus ditumbuhkembangkan dan menjadi pedoman dalam membantu menyelesaikan upaya penegakan hukum khususnya dalam upaya meningkatkan kenyamanan dan keselamatan pelayaran. Keselamatan pelayaran lazimnya dijamin oleh mutu kapal yang terawat baik disertai dengan adanya kecakapan dari seluruh awak kapal termasuk Nakhoda, perwira kapal ataupun kelasi harus memenuhi syarat-syarat tertentu, misalnya syarat pendidikan, kesehatan, pengalaman dan jam melaut (Malisan, 2010). Perihal keamanan dan keselamatan pelayaran telah diatur oleh suatu lembaga internasional yang mengurus atau menangani hal-hal yang terkait dengan keselamatan jiwa, harta laut, serta kelestarian lingkungan. Lembaga tersebut dinamakan International Maritime Organization (IMO) yang bernaung dibawah PBB. Guna menjamin keamanan dan keselamatan pelayaran, IMO telah mengeluarkan peraturan baru International Safety Management Code (ISM-Code) dengan resolusi A.741 (18) yang diterbitkan dalam edisi terakhir (November 199) International Management Code for the Safe Operation of Ship and Pollution Prevention yang dikenal sebagai ISM-Code, dan mulai diperlakukan sejak 1 Juli 1998, Sistim Manajemen ISM-Code wajib diaplikasikan secara mandatory di negara-negara yang meratifikasi SOLAS. Di Indonesia, ISM-Code diwujudkan dalam Keputusan Dirjen Perla No. PY 67/1/9-96, tanggal 12 Juli 1996. Pemenuhan ISM-Code mengacu kepada 1 elemen yang terdiri dari: (1) elemen umum; (2) kebijakan keselamatan dan perlindungan lingkungan; () tanggungjawab dan perlindungan lingkungan; (4) tanggungjawab dan wewenang perusahaan; (5) petugas yang ditunjuk di darat; (6) tanggungjawab dan wewenang nakhoda; (7) sumber daya dan tenaga kerja; (8) pengembangan rencana pengoperasian kapal; (9) kesiapan menghadapi keadaan darurat; (10) pelaporan dan analisis ketidaksesuaian, kecelakaan dan kejadian berbahaya; (11) pemeliharaan kapal dan perlengkapan; (12) verifikasi, tinjauan, dan evaluasi perusahaan; (1) sertifikasi, verifikasi dan pengawasan (Mandaku, 2012). Keamanan pelayaran merupakan faktor utama dalam sistem manajemen pelayaran. Bahaya pelayaran merupakan faktor yang tidak dapat tidak terjadi sama sekali, namun dapat dikurangi dan ditekan secara terus-menerus dengan berbagai upaya, yaitu dengan melaksanakan prosedur kerja dengan konsisten, melakukan komunikasi yang tepat dan benar, menggunakan alat-alat pelindung diri yang tepat, menyusun perencanaan kerja dan pemantauan hasil kerja, melatih personil secara rutin (Kusuma, 2014). Mahkamah Pelayaran merupakan lembaga pemerintah yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Menteri, melaksanakan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal setelah dilakukan pemeriksaan pendahuluan oleh Syahbandar. Pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal dapat dilakukan dengan memanggil
4 pejabat dan pelaksana pemerintah di lapangan yang berkaitan dengan keselamatan pelayaran, hal ini dilakukan dalam rangka untuk membuktikan bahwa kecelakaan kapal bukan hanya disebabkan oleh pelaku di atas kapal, tetapi dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, menyebutkan bahwa kecelakaan kapal merupakan kejadian yang dialami oleh kapal yang dapat mengancam keselamatan kapal dan/atau jiwa manusia berupa: 1. kapal tenggelam; 2. kapal terbakar;. kapal tubrukan; dan 4. kapal kandas. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang pemeriksaan kecelakaan kapal, Pasal 20, Mahkamah Pelayaran merupakan lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri. Adapun dalam Pasal 24, Anggota Mahkamah Pelayaran terdiri dari beberapa orang Sarjana Hukum, Ahli Nautika Tingkat I, Ahli Teknika Tingkat I dan Sarjana Teknik Perkapalan dengan jumlah sebanyak-banyaknya 15 (lima belas) orang. Dalam pemeriksaannya, Mahkamah Pelayaran meneliti apa yang menjadi penyebab kecelakaan kapal dan menentukan ada atau tidaknya kelalaian/kesalahan dalam penerapan standar profesi kepelautan yang dilakukan oleh nahkoda atau pemimpin kapal dan atau perwira kapal atas terjadinya kecelakaan kapal, penjatuhan sanksi administratif kepada Nakhoda/ pemimpin kapal dan atau perwira kapal yang memiliki sertifikat keahlian pelaut yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia yang melakukan kesalahan/ kelalaian dalam menerapkan standar profesi kepelautan. Berikut merupakan data rekapitulasi kecelakaan kapal (Gambar 1), data rekapitulasi berkas perkara yang diterima oleh Mahkamah Pelayaran (Gambar 2) dan data rekapitulasi berkas perkara yang telah diputus oleh Mahkamah Pelayaran (Gambar ). Tenggelam Terbakar Tubrukan Kandas Lain lain 58 49 41 41 5 5 2 0 26 22 19 16 18 17 14 57 49 7 8 7 24 25 20 19 17 2009 2010 2011 2012 201 Sumber: Direktorat KPLP Kemenhub tahun 2009-201 Gambar 1 Rekapitulasi kecelakaan kapal Direktorat KPLP Kemenhub
5 1 Tenggelam Terbakar Tubrukan Kandas Lain lain 17 17 15 14 5 5 4 4 4 4 2 5 2 8 6 4 10 10 8 7 6 6 6 2009 2010 2011 2012 201 Sumber: Mahkamah Pelayaran RI tahun 2009-201 Gambar 2 Rekapitulasi berkas perkara diterima oleh Mahkamah Pelayaran Tenggelam Terbakar Tubrukan Kandas Lain lain 16 14 11 9 5 5 5 4 6 1 4 8 8 7 6 5 2 2009 2010 2011 2012 201 Sumber: Mahkamah Pelayaran RI tahun 2009-201 Gambar Rekapitulasi berkas perkara diputus oleh Mahkamah Pelayaran Memperhatikan gambar di atas, menunjukkan bahwa jumlah kecelakaan yang masih tinggi di wilayah perairan Indonesia, menuntut Mahkamah Pelayaran memiliki perencanaan strategis untuk dapat melakukan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal secara efektif dan efisien. Visi Mahkamah Pelayaran adalah terwujudnya penyelenggaraan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal secara cepat, tepat dan adil berdasarkan kaidah hukum yang berlaku untuk meningkatkan keselamatan pelayaran, sedangkan misi Mahkamah Pelayaran adalah menyelenggarakan pelayanan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal oleh tenaga ahli dan profesional dalam bidangnya secara kualitatif sebagai pembinaan hukum dan penegakan hukum
6 perkapalan dan pelayaran serta tenaga profesi kepelautan agar angkutan laut di Indonesia dapat terselenggara dengan aman, selamat, lancar dan tertib. Adapun sesuai Rencana Pembangunan Jangka Panjang Mahkamah Pelayaran-Kementerian Perhubungan 2005-2025 adalah mempertegas kewenangan Mahkamah Pelayaran dengan harapan agar Mahkamah Pelayaran mampu melakukan penegakan hukum pelayaran secara cepat, tepat, adil dan independen; penataan kelembagaan Mahkamah Pelayaran secara menyeluruh, dimana dimungkinkan dapat membentuk perwakilan di daerah sesuai kebutuhan. Perumusan Masalah Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim. Keselamatan dan Keamanan Pelayaran adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan yang menyangkut angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan lingkungan maritim. Berdasarkan Pasal 220, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Syahbandar melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap setiap kecelakaan kapal untuk mencari keterangan dan/atau bukti awal atas terjadinya kecelakaan kapal. Hasil pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220 dapat diteruskan kepada Mahkamah Pelayaran untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan. Maksud dari kata dapat adalah apabila dari hasil pemeriksaan pendahuluan terdapat keterangan dan/atau bukti awal mengenai kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh Nakhoda dan/atau perwira kapal. Permasalahan kecelakaan kapal di wilayah perairan Indonesia masih tinggi, hal ini dapat dilihat dalam Gambar 1 Rekapitulasi kecelakaan kapal, Gambar 2 Rekapitulasi berkas perkara diterima oleh Mahkamah Pelayaran dan Gambar Rekapitulasi berkas perkara diputus oleh Mahkamah Pelayaran selama periode tahun 2009-201 masih terdapat perbedaan dari sisi kinerja Mahkamah Pelayaran dengan jumlah anggota Mahkamah sebanyak-banyaknya 15 (lima belas) orang sebagaimana ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal Jo. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 15 Tahun 1999 tentang Organisasi dan Tata Kerja Mahkamah Pelayaran. Mahkamah Pelayaran berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam melakukan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal dituntut mampu melaksanakan penegakan hukum pelayaran sesuai aturan hukum yang berlaku. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apa yang menjadi faktor internal dan eksternal penting pada instansi Mahkamah Pelayaran saat ini dan bagaimana statusnya? 2. Strategi apa yang tepat, agar instansi Mahkamah Pelayaran dapat menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara optimal dan efektif dalam upaya penegakan hukum pelayaran?
7 Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi dan menetapkan faktor - faktor internal dan eksternal utama yang berpengaruh penting pada instansi Mahkamah Pelayaran dalam melaksanakan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal untuk penegakan hukum pelayaran. 2. Merumuskan sasaran strategis untuk mengoptimalkan dan mengefektifkan tugas pokok dan fungsi Mahkamah Pelayaran dalam melaksanakan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal untuk penegakan hukum pelayaran. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai acuan dalam tugas pokok dan fungsi Mahkamah Pelayaran, dengan harapan agar Mahkamah Pelayaran mampu melakukan penegakan hukum pelayaran secara cepat, tepat, adil dan independen, sebagaimana visi dan misi Mahkamah Pelayaran di atas. 2. Mendukung kajian perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2004 tentang perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal.. Memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang perencanaan strategis. 4. Sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya dalam melakukan penelitian dimasa mendatang. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada ruang lingkup perencanaan strategis (penetapan strategi terpilih) dalam rangka penegakan hukum pelayaran di instansi Mahkamah Pelayaran dengan mengacu pada kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Pelayaran, melaksanakan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal dengan penerapan sanksi administratif dan peningkatan kompetensi dan kapasitas berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. 2 TINJAUAN PUSTAKA Kerangka Teoritis Perencanaan Strategis Perencanaan strategis adalah suatu proses yang mengarahkan organisasi dalam menggambarkan akan bagaimana organisasi di masa depan (envisioning) dan mengembangkan prosedur serta langkah operasional yang diperlukan untuk
Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan MB-IPB