BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. STATUS GIZI Status gizi anak pada dasarnya ditentukan oleh dua hal yaitu makanan yang dikonsumsi dan kesehatan anak itu sendiri. Kualitas dan kuantitas bahan makanan yang dikonsumsi tergantung pada nilai gizi. Zat gizi makanan tersebut, ada tidaknya pemberian makanan tambahan keluarga, daya beli keluarga, pemeliharaan kesehatan serta adat istiadat, pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan. Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan cara antropometri lebih mudah dilakukan dibanding cara penilaian status gizi lain. Masalah penilaian ukuran antropometri dianggap sebagai hal yang sangat penting, diidentifikasi tiga hal yaitu berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas. Status gizi merupakan keseimbangan tubuh antara intake makanan dengan aktivitas tubuh. Masalah gizi yang terjadi berpengaruh pada status gizi individu. Faktor-faktor timbulnya masalah gizi yaitu : kekurangan konsumsi makanan (ASI pada bayi) : infeksi (infeksi pada saluran nafas, infeksi saluran cerna, infeksi cacing) : factor ekologis (sosial budaya), ekonomi, produksi makanan, pelayanan kesehatan dan pendidikan. (Roedjito, 2004). Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi dikategorikan menjadi tiga yaitu status gizi buruk, baik, kurang dan lebih (Almatsier S, 2002). Suhardjo (1996) menguraikan bahwa status gizi adalah keadaan kesehatan individu-individu atau kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari konsusi makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri. (Suhardjo, 1996). B. PENILAIAN STATUS GIZI Ukuran ukuran tubuh antropometri merupakan refleksi darik pengaruh faktor genetik dan lingkungan yang 4 berkaitan langsung dengan gizi antara lain
konsumsi makanan dan penyakit infeksi, pola perkembangan tubuh menurut umur dan jenis kelamin. Atas dasar itu, ukuran ukuran antropometri diakui indeks yang baik dan dapat diandalkan bagi penentuan status gizi bagi negara negara berkembang. Hal ini sangat penting karena cara penilaian status gizi yang lain sukar dilakukan dan mahal, terutama kalau digunakan didaerah pedesaan. Status gizi mempunyai andil yang cukup besar dalam menciptakan status kesehatan. Status gizi buruk pada masa anak anak terutama ketika perkembangan otak sedang berlangsung menyebabkan cacat menetap, antara lain gangguan pada perkembangan intelektualitas. Disamping itu makin buruk tingkat keadaan gizi, makin besar peluang kematian anak. Pertumbuhan dan perkembangan badan mencerminkan kecukupan gizi dan kesehatan. Bila zat gizi yang dibutuhkan tidak mencukupi akan menimbulkan masalah masalah gizi. Pada umumnya gambaran status gizi yang diperoleh dari hasil pengukuran antropometri adalah KEP. Menurut Supariasa, Bakri dan Fajar (2002) di dalam bukunya menjelaskan bahwa penilaian status gizi ada dua macam, yaitu : 1. Penilaian Status Gizi secara Langsung Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik 2. Penilaian Status Gizi secara Tidak Langsung Penilaian status gizi secara tidak langsung dibagi menjadi tiga, yaitu : survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Adapun cara pengukuran yang paling sering digunakan adalah Antropometri karena lebih praktis, cukup teliti, serta lebih mudah dilakukan oleh siapa saja dengan bekal latihan sederhana. (Jahari, 1998). Status gizi dapat diklasifikasikan menjadi empat yaitu : Gizi lebih, gizi baik, gizi kurang dan gizi buruk. Baku rujukan yang digunakan adalah WHO NCHS dengan indeks berat badan menurut umur. Pada dasarnya cara penggolongan indeks sama dengan cara Waterlow. Indikator yang digunakan
BB/TB, BB/U dan TB/U. Standar yang digunakan NCHS (National Center for Health Statistic, USA). Berdasarkan diskusi pakar di bidang gizi yang diselenggarakan oleh PERSAGI bekerjasama dengan UNICEF-Indonesia dan LIPI tentang keseragaman istilah gizi dan buku antropometri yang dipakai telah direkomendasikan status gizi menurut BB/U sebagai berikut : BB/U - Gizi lebih : > 2,0 SD baku WHO-NCHS - Gizi baik : - 2,0 SD + 2 SD - Gizi kurang : < - 2,0 SD - Gizi buruk : < - 3,0 SD Sumber : Widya Karya Pangan dan Gizi VII, 2000 C. PENDIDIKAN IBU Pendidikan orang tua merupakan salah satu unsur penting dalam menentukan status gizi anak. Tingkat pendidikan ibu lebih penting dalam menentukan status gizi anak daripada tingkat pendidikan ayah. Tingkat pendidikan yang rendah akan menyebabkan keterbatasan seperti pengetahuan sikap, tindakan-tindakan dalam menangani masalah dalam keluarga, khususnya masalah kesehatan. (Depkes, 1998). Tinggi rendahnya pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengertiannya terhadap perawatan kesehatan, hygiene, perlunya pemeriksaan kehamilan dan pasca persalinan serta kesadarannya terhadap kesehatan anak dan keluarga. Disamping itu pendidikan berpengaruh pula pada faktor sosial ekonomi lainnya seperti, pekerjaan, pendapatan, kebiasaan hidup, makanan dan perumahan (Kardjati, 1991). Pendidikan gizi bertujuan mengubah perbuatan orang yang keliru yang mengakibatkan bahaya kurang gizi. Pengajaran untuk mengubah perilaku perlulah memberikan pengertian dan pengetahuan tentang mengapa sesuatu harus dilakukan atas dasar pengetahuan tentang mengapa sesuatu harus dilakukan atas dasar pengetahuan dan pengertiannya. Perbuatan orang yang kurang benar sering didasarkan oleh keyakinan seseorang yang keliru atas sesuatu hal yang seakan-akan tidak dapat diubah dengan pendidikan. (Waridjan, 1991).
D. PENGETAHUAN GIZI IBU Pengetahuan gizi yang diperoleh ibu dari posyandu, puskesmas maupun media massa lain perlu diterapkan dan dijadikan untuk meningkatkan konsumsi anak. (Depkes, 1998). Pengetahuan dan pendidikan sangat penting dalam menentukan status kesehatan keluarga. Kejadian gizi buruk dapat dihindari apabila ibu mempunyai pengetahuan tentang cara mengatur makanan untuk bayi dan anak. (Handayani, 1994). Menurut Lampau dan Juwita (1992) mengemukakan bahwa pengetahuan gizi ibu sangat berhubungan dengan tingkat pendidikan kepada kepala keluarga maupun ibu. Pengetahuan merupakan hasil dari pengalaman sendiri atau org lain, artinya mengakui sesuatu dari pengetahuan orang lain sehingga pada dasarnya putusan dan pengetahuan ini sama. (Sajogyo, 1995). Pengetahuan dibagi menjadi dua yaitu pengetahuan yang didapat dari pengalaman dan pengetahuan yang didapat dari keterangan. Pengetahuan yang didapat dari pengalaman atau singkatnya pengetahuan (knowledge). Sedangkan pengetahuan yang didapat dari keterangan disebut ilmu pengetahuan (Science). (Djunaesih, 1991). Seseorang yang berpendidikan rendah belum tentu kurang mampu memahami tentang hasil penimbangan balita pada Kartu Menuju Sehat (KMS) dibandingkan dengan orang lain yang berpendidikan lebih tinggi, karena sekalipun berpendidikan rendah tetapi kalau orang tersebut rajin mendengarkan penyuluhan-penyuluhan atau selalu memperhatikan informasi tentang cara membaca hasil penimbangan balita pada Kartu Menuju Sehat (KMS), bukan mustahil pengetahuannya akan lebih baik. Namun orang yang tingkat pendidikannya lebih tinggi akan lebih mudah menyerap dan memahami pengetahuan yang diperoleh, sehingga pengetahuan tentang hasil penimbangan balita pada Kartu Menuju Sehat (KMS) serta mampu mengambil tindakan. Keikutsertaan ibu dalam kegiatan Posyandu, Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) serta adanya kemauan ibu menggunakan kesempatan
untuk mendapatkan pengetahuan baru tentang Kartu Menuju Sehat (KMS) dari kegiatan penyuluhan-penyuluhan dan dari informasi yang disampaikan melalui media massa, juga akan mempengaruhi tingkat pengetahuan tentang Kartu Menuju Sehat (KMS) dari tindakannya (Rahardjo, 1989). E. MENYUSUI DAN PENYAPIHAN Menyusui adalah suatu cara yang tidak ada duanya dalam memberikan makan yang ideal bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi yang sehat. Zat-zat anti infeksi yang terkandung dalam air susu ibu (ASI) melindungi bayi terhadap penyakit (WHO/UNICEF, 1989). ASI adalah makanan terbaik untuk bayi, ibu perlu menyusui bayinya sedini mungkin. ASI mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan oleh bayi sampai 4 bulan, setelah itu pemberian ASI saja tidak mencukupi kebutuhan gizi bayi (Depkes, 2000). Penyapihan adalah masa diberhentikannya pemberian ASI kepada bayi. Masa ini merupakan masa yang sangat kritis dalam kehidupan bayi. Penyapihan yang dipaksakan akan menyebabkan terhentinya secara paksa kontak fisik antara anak dan ibu (Moehji S, 1992). Waktu penyapihan adalah masa yang sangat kritis karena masa ini terjadi masa perpindahan dari ASI ke makanan dewasa. Pada masa transisi itu bayi umumnya cepat dan mudah terkena gangguan gizi. Pengaruh penyakit infeksi dan kurangnya makanan sebagai pendamping ASI menyebabkan turunnya status kesehatan dan gizi bayi. Ibu tidak tahu kapan harus disapih dari ASI, tidak diketahui dengan tepat, tetapi saat dimana proses menyusui berakhir itulah yang disebut waktu penyapihan. (Winarno, 1998). F. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI USIA PENYAPIHAN Menurut Syahmin Moehji (1992) mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi usia penyapihan dini adalah : a. Adanya rasa kurang percaya diri bahwa bayi mendapat cukup makanan sehingga ibu merasa perlu memberi tambahan makanan selain ASI.
b. Ibu terpengaruh oleh berbagai promosi bahan makan pengganti ASI yang menggambarkan keunggulan bahan makanan tersebut untuk pertumbuhan bayi. c. Karena faktor ekonomi, sering memaksa ibu untuk mencari nafkah di luar rumah dan bayi ditinggalkan dengan anggota keluarga lain, sehingga ASI diganti dengan makanan lain. d. Masih sering ditemukan dokter atau perawat yang mendorong ibu menggunakan susu sapi sebagai pengganti ASI. Bahkan di rumah sakit dan rumah bersalin memberikan susu botol pada hari pertama setelah bayi lahir. e. Faktor lain, ibu khawatir jika terlalu lama menyusui kecantikan ibu akan berkurang, gengsi dan sebagainya. G. UMUR PENYAPIHAN Menyapih bukanlah soal mudah yang dapat dilakukan begitu saja. Sebaiknya bayi harus dipersiapkan secara berangsur-angsur sehingga pada waktunya, bayi sudah siap dan sudah terbiasa dengan makanan selain ASI. Mencapai usia 9 bulan, bayi sudah harus dikenalkan dengan makanan sapihan. Pada bayi yang menerima ASI selama persiapan penyapihan, frekuensi menyusu dikurangi secara berangsur sampai pada akhirnya bayi disusui hanya pada waktu bangun pagi dan menjelang tidur malam hari. Menjelang usia 2 tahun jika ASI masih keluar bayi dapat disusui hanya satu kali saja menjelang tidur malam hari sehingga setelah usia 2 tahun bayi benar-benar sudah dapat dihentikan pemberian ASI-nya. Dalam Qur an surat Al-Baqoroh ayat 233, yaitu mengenai anjuran menyusui selama dua tahun, itu bukanlah semata-mata karena Air Susu Ibu (ASI) sangat baik sebagai makanan anak, akan tetapi praktek menyusui anak itu sendiri memberikan arti yang dalam bagi hubungan kasih, cinta dan tanggung jawab antara ibu dan anak. Masa usia kurang dari lima tahun merupakan masa usia pengenalan penyesuaian dan memberikan pengalaman bagi anak terhadap lingkungan sekelilingnya, terutama terhadap manusia yaitu ibu, ayah dan saudara-saudaranya. Dalam masa ini anak memerlukan tuntunan dan kasih sayang yang mendalam. Karena itu, dianjurkan agar setiap ibu menyusui anaknya selama mungkin apabila air susu Ibunya masih ada.
H. KERANGKA TEORI Ketersediaan Pangan Kebiasaan Kebudayaan Sosial Pekerjaan Lingkungan Usia Penyapihan Variable tidak diteliti Pendidikan Formal Ibu Pengetahuan Gizi Ibu Tingkat Konsumsi Infeksi Status Gizi (Almatsier, 1991 Modifikasi) I. KERANGKA KONSEP Pendidikan Formal Ibu Pengetahuan Gizi Ibu Status Gizi Balita J. HIPOTESIS Usia Penyapihan 1. Ada hubungan pendidikan formal ibu dengan status gizi balita 2. Ada hubungan pengetahuan gizi ibu dengan status gizi balita 3. Ada hubungan usia penyapihan dengan status gizi balita