TUMPEK PENGARAH SEBAGAI SALAH SATU SARANA UNTUK MELESTARIKAN TUMBUH-TUMBUHAN Oleh Dra. Ni Luh Yaniasti, M.Hum. 9

dokumen-dokumen yang mirip
Desain Penjor, Keindahan Yang Mewarnai Perayaan Galungan & Kuningan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DUDONAN UPAKARA/UPACARA LAN RERAHINAN SUKA DUKA HINDU DHARMA BANJAR CILEDUG DAN SEKITARNYA TAHUN 2015

TUMPEK KANDANG SEBAGAI SARANA PELESTARIAN TERNAK Oleh Ni Putu Sri Wahyuni, S.P., M.M.A. 9

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Keindahan Desain Tamiang, Menghiasi Hari Raya Kuningan di Desa Penarungan

PERANCANGAN APLIKASI KALENDER BALI PADA SMARTPHONE BERBASIS ANDROID

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas yang masyarakatnya terdiri

HUBUNGAN TIGA PILAR AGAMA HINDU DILIHAT DARI ASPEK EKONOMI 1 I Made Sukarsa 2

UPACARA NGADEGANG NINI DI SUBAK PENDEM KECAMATAN JEMBRANA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Nilai Pendidikan Agama Hindu)

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL

Pengembangan Aplikasi Kalender Saka Bali pada Sistem Operasi Machintos

DEWATA NAWASANGA: Dewa Siwa sebagai Pusat Jagat Raya

ESTETIKA SIMBOL UPAKARA OMKARA DALAM BENTUK KEWANGEN

BAB IV ANALISIS DATA. A. Deskripsi aktivitas keagamaan menurut pemikiran Joachim Wach

Ilmu Pengetahuan Alam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan baik itu

GEGURITAN SUMAGUNA ANALISIS STRUKTUR DAN NILAI OLEH PUTU WIRA SETYABUDI NIM

Aplikasi Kalender Bali Berbasis Mobile Application pada Android Platform

TUGAS AGAMA DEWA YADNYA

DUDONAN KARYA PADUDUSAN AGUNG, TAWUR TABUH GENTUH, MAMUNGKAH LAN NGENTEG LINGGIH RING PURA DALEM, PRAJAPATI, SEGA, CATUS PATA, LAN PURA ULUN SUWI

PELAKSANAAN KEGIATAN PENGHIJAUAN UNTUK MENINGKATKAN KEPEDULIAN SISWA TERHADAP LINGKUNGAN DI SDN 112 PEKANBARU

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi suatu kawasan hunian yang berwawasan ligkungan dengan suasana yang

Geografi LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I. K e l a s. Kurikulum 2006/2013. A. Pengertian Lingkungan Hidup

KELAS IV SEMESTER 1 TUMBUHAN PENYUSUN : THERESIA DWI KURNIAWATI

BAB I PENDAHULUAN. keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara

HUBUNGAN SALING KETERGANTUNGAN ANTAR MAKHLUK HIDUP

BAB 1. Pendahuluan. Negara Indonesia selain terkenal dengan Negara kepulauan, juga terkenal dengan keindahan alam dan kekayaan hutan.

TRADISI NYAKAN DI RURUNG DALAM PERAYAAN HARI RAYA NYEPI DI DESA PAKRAMAN BENGKEL KECAMATAN BUSUNGBIU KABUPATEN BULELENG (Kajian Teologi Hindu)

I. PENDAHULUAN. kepercayaan, keyakinan dan kebiasaan yang berbeda-beda,karena kebudayaan

DESKRIPSI KARYA TARI KREASI S O M Y A. Dipentaskan pada Festival Nasional Tari Tradisional Indonesia di Jakarta Convention Centre 4-8 Juni 2008

I. Pilihlah jawaban yang paling tepat dengan memberi tanda silang (x) pada huruf a, b, c atau d pada lembar jawaban yang tersedia!

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 4 TAHUN 1998 TENTANG PENERTIBAN PENEBANGAN POHON DAN BAMBU DI LUAR KAWASAN HUTAN

PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP UPACARA MERTI DESA DI DESA CANGKREP LOR KECAMATAN PURWOREJO KABUPATEN PURWOREJO

POTENSI PENGEMBANGAN KEDELAI DI KAWASAN HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna

21. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Atas Luar Biasa Tunalaras (SMALB - E)

JURNAL PENELITIAN AGAMA HINDU 68

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. penelitian dan siklus PTK sebagai berikut : Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Untuk pelajaran IPA sebagai

A. Struktur Akar dan Fungsinya

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENERTIBAN PENEBANGAN POHON DAN BAMBU DI LUAR KAWASAN HUTAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) : Sebaran Flora dan Fauna Indonesia dan Dunia

A. Pengaruh Kegiatan Manusia terhadap Keseimbangan Ekosistem

16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMBANGUNAN APLIKASI MOBILE PEMBELAJARAN MANTRA HARI RAYA HINDU TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai di masyarakat. Karya sastra ini mengandung banyak nilai dan persoalan

17. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

BAB. Bagian-Bagian Tumbuhan dan Fungsinya

16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Dasar (SD)

BAB I PENDAHULUAN. nenek moyang yang memiliki nilai-nilai luhur budaya. Bali bukan hanya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dari beragamnya kebudayaan yang ada di Indonesia. Menurut ilmu. antropologi, (dalam Koentjaraningrat, 2000: 180) kebudayaan adalah

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Sosial, Budaya dan Ekonomi Masyarakat di Desa Kalimulyo

BAB V KESIMPULAN. 5.1 Alasan Kehadiran Rejang Sangat Dibutuhkan dalam Ritual. Pertunjukan rejang Kuningan di Kecamatan Abang bukanlah

DESKRIPSI KARYA SARADPULAGEMBAL THE SYMBOL OF TRI LOKA

INTEGRASI KEARIFAN LOKAL DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK SEKOLAH DASAR

I.G.N. KESUMA KELAKAN, ST, M.Si

BAB I PENDAHULUAN UKDW

Bagian-Bagian Tumbuhan dan Fungsinya IPA SD Kelas IV

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

16. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Hindu untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)

diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat

UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA JANMASTAMI. Oleh: Kadek Sumiasih

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing, baik itu tarian, lagu, seni rupa, karya sastra, kuliner, dan lain

RUANG LINGKUP EKOLOGI

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

MENGELOLA LINGKUNGAN HIDUP SEBAGAI UPAYA MEMPERBAIKI MUTU HIDUP

BAB I PENDAHULUAN. Telah disepakati oleh beberapa ahli bahwa ajaran agama merupakan aspek

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

KERUSAKAN LINGKUNGAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

Penganekaragaman Konsumsi Pangan Proses pemilihan pangan yang dikonsumsi dengan tidak tergantung kepada satu jenis pangan, tetapi terhadap

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. Tutur merupakan salah satu jenis teks sastra tradisional yang mengandung

SANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

KATA PENGANTAR Galeri Seni Kriya Logam, Kulit dan Rotan di Denpasar

JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN III (TIGA) ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) LINGKUNGAN ALAM DAN BUATAN

ABSTRAK. Kata kunci : inventarisasi, identifikasi, elemen lunak, tanaman obat.

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG LAMBANG DAERAH KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

KARYA ILMIAH : KARYA SENI MONUMENTAL JUDUL KARYA: RIAK KEHIDUPAN. PENCIPTA : IDA AYU GEDE ARTAYANI. S.Sn, M. Sn

LAPORAN HIBAH PENELITIAN KETEKNIKSIPILAN

Transkripsi:

TUMPEK PENGARAH SEBAGAI SALAH SATU SARANA UNTUK MELESTARIKAN TUMBUH-TUMBUHAN Oleh Dra. Ni Luh Yaniasti, M.Hum. 9 Abstrak: Pelestarian tumbuh-tumbuhan oleh umat Hindu di Bali, pada hakikatnya merupakan wujud keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan. Bentuk keselarasan hubungan ini, pada hakikatnya sudah tersurat dalam upacara tumpek pengarah, yang dilaksanakan oleh umat Hindu setiap saniscara kliwon wuku wariga. Oleh karena jatuh pada wuku wariga, maka tumpek pengarah ini juga dikenal dengan nama tumpek wariga. Tumpek pengarah tersebut pada hakikatnya dimaksudkan untuk mensyukuri atas diciptakannya aneka ragam tumbuh-tumbuhan oleh Sang Hyang Sangkara dan salah satu usaha untuk melestarikan tumbuh-tumbuhan, baik tumbuh-tumbuhan yang ada di bhuana agung maupun di bhuana alit. Kata kunci: Tumpek pengarah, pelestarian, tumbuh-tumbuhan. Pendahuluan Tumbuh-tumbuhan merupakan salah satu bagian dari ekosistem yang berfungsi sebagai produsen. Tumbuh-tumbuhan mampu melakukan proses fotosintesis dan hasil fotosintesis berupa tepung dapat digunakan sebagai bahan makanan bagi tumbuhan itu sendiri, hewan, termasuk manusia. Oleh karena itu, hewan dan manusia sangat bergantung hidupnya pada tumbuhtumbuhan. Dalam konteks hewan dan manusia memakan tumbuh-tumbuhan dikatakan sebagai golongan herbivora. Terkait dengan proses fotosintesis, Soemarwoto (1994) menyatakan fotosintesis merupakan proses esensial untuk menjaga kelangsungan hidup di bumi. Fotosintesis terutama dilakukan oleh tumbuhan hijau. Dalam proses ini energi matahari diubah menjadi energi kimia yang terkandung dalam bahan organik tumbuhan. Energi inilah yang dipakai untuk kehidupan makhluk hidup lain yang tidak dapat melakukan fotosintesis, antara lain manusia, hewan, dan jasad renik. 9 Dra. Ni Luh Yaniasti, M.Hum. adalah staf edukatif pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Panji Sakti Singaraja. 128

Demikian juga Irwan (2005) menyatakan dalam rangka pengembangan dan pembangunan sarana angkutan, antara lain pembangunan jaringan jalan telah menyebabkan banyak pohon di perkotaan yang ditebang. Oleh karena itu, pada jaringan jalan yang dibangun seperti pada pagar, tiang-tiang, atau di dinding jalan ditanami dengan tanaman merambat, tanaman menempel atau epifit, atau tanaman pot. Jika hal ini terjadi, fungsi tumbuh-tumbuhan seperti menyerap CO 2 dan mengeluarkan O 2, selalu terjadi dalam proses fotosintesis oleh tanaman. Pada setiap tanaman hijau akan terjadi proses fotosintesis di mana dalam proses ini akan mengambil CO 2 dan mengeluarkan O 2 dan menghasilkan karbohidrat sebagai sumber energi untuk makhluk lainnya. Selain itu, dicari jenis tumbuhan yang dapat menyerap polutan yang dikeluarkan oleh kegiatan industri dan kendaraan bermotor yang makin meningkat, seperti Pb yang banyak dikeluarkan oleh kendaraan bermotor atau gas-gas lain. Tumbuh-tumbuhan tersebut dapat menyaring debu atau meredam kebisingan, menurunkan suhu, dan dapat menjadi habitat untuk satwa liar serta memberikan pemandangan (estetika). Selain itu, perlu dikembangkan penataan lansekap atau hutan kota yang dapat mengundang satwa, terutama di kawasan industri. Satwa ini sekaligus mempunyai fungsi sebagai indikator, di mana gejala dan perilaku satwa tersebut sebagai petunjuk terjadinya pencemaran udara. Lansekap di sekitar industri atau pabrik selain memberi nilai keindahan, juga berfungsi untuk memonitor ketidakteraturan di dalam pabrik juga menyerap gas-gas buangan. Beberapa bagian tanaman, seperti batang, daun, bunga, dan buah dapat digunakan sebagai sarana upacara, yang sering dikenal dengan upakara. Hal ini sejalan dengan pernyataan Windia (2004), yang pada hakikatnya menyatakan orang Hindu-Bali tidak dapat melepaskan diri dari upakara (sesajen), karena upakara merupakan salah satu kerangka agama Hindu, di samping tatwa (filsafat), dan susila (etika). Salah satu kelengkapan upakara biasanya menggunakan bagian tertentu dari suatu tanaman atau tumbuh- 129

tumbuhan seperti batang, daun, bunga atau buahnya. Tanaman yang dapat dipergunakan sebagai kelengkapan upakara inilah yang disebut dengan tanaman upakara. Banyak sekali ragam tanaman yang dapat digunakan sebagai sarana upacara. Untuk menemukenali jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai sarana upacara, cara yang dapat ditempuh bila ingin mengetahui jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai kelengkapan upakara (tanaman upakara), antara lain dengan jalan menghubungi atau menanyakannya kepada seseorang yang dikenal menguasai filosofi sesajen. Contohnya para sulinggih atau pendeta (pedanda, sri empu, begawan, dukuh) dan para pinandita (pemangku Pura dan orang lain yang menjalankan fungsi pemangku). Cara lain adalah dengan menghubungi orang yang memiliki keterampilan membuat sesajen (tukang banten) atau warga yang biasanya mendapat tugas khusus di bidang kelengkapan upakara (dikenal dengan ancangan dan kasinoman desa). Dapat juga dilakukan dengan jalan membaca lontar, buku dan hasil penelitian tentang tanaman upakara, dan buku-buku sejenis lainnya. Pemanfaatan tumbuh-tumbuhan secara terus-menerus sebagai sarana upacara, tanpa ada upaya pelestarian dapat menimbulkan kepunahan atau kategori jarang (rare) dari suatu jenis tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki profesi sebagai tukang banten diwajibkan untuk menanam jenis-jenis tumbuhan yang sering digunakan sebagai sarana upacara. Dengan kata lain, wajib melestarikan jenis-jenis tumbuhan yang sering dimanfaatkan dalam membuat upakara sehari-hari. Dalam filsafat Hindu, upaya untuk melestarikan tumbuh-tumbuhan sudah lama dikenal. Bahkan umat Hindu sudah sering melakukan upacara yang berkaitan dengan pelestarian tumbuh-tumbuhan. Upacara yang berkaitan langsung dengan usaha pelestarian tumbuh-tumbuhan dikenal dengan tumpek pengarah. Tumpek pengarah ini jatuh pada saniscara kliwon wuku wariga. Oleh 130

karena wukunya adalah wariga, maka tumpek pengarah dikenal juga dengan nama tumpek wariga. Berkaitan dengan hal-hal yang sudah dikemukakan, dalam makalah ini dipertelakan mengenai keterkaitan antara tumpek pengarah dan usaha pelestarian tumbuh-tumbuhan, terutama tumbuhan upakara. Tumpek Pengarah Bali memang tidak lepas dari pelaksanaan upacara-upacara keagamaan Hindu, karena upacara memang merupakan salah satu unsur dari tiga kerangka agama Hindu (tatwa, susila, upacara). Semuanya dilaksanakan dengan ikhlas, dengan gembira. Upacara-upacara itu menggunakan upakara (sarana upacara) yang disebut banten. Konon, karena keikhlasan melaksanakan upacara itulah, yang sejatinya merupakan ungkapan bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), Bali mempunyai taksu (semacam inner beauty, kharisma) yang membuat orang takjub, kemudian terpikat. Bali memang tidak lepas dari upacara persembahan. Bahkan menurut Wiana (2004), dalam bukunya Mengapa Bali Disebut Bali? Bali berarti persembahan atau banten. Melakukan upacara merupakan salah satu bentuk dari pelaksanaan panca yadnya. Pelaksanaan upacara memerlukan banyak benda, baik benda hidup maupun benda mati. Benda hidup seperti hewan dan tumbuhan. Rangkaian banten dalam upacara sangat rumit dan untuk merangkainya perlu tatwa yang memadai. Para leluhur telah mewariskan alat upacara tersebut (banten dan perlengkapannya) yang perlu dihayati, diamalkan dengan hati yang mantap. Bukan mustahil banyak bahan upacara didatangkan dari luar Bali, baik karena jumlah maupun jenis sangat banyak yang diperlukan seperti daun kelapa, pisang dari Jawa, ijuk dari Sulawesi, dan kayu nangka dari Sumbawa. Bahan bisa dari luar Bali namun yang penting setelah dirangkai menjadi sesajen atau bangunan (barang jadi) nilai tambah (value added) jatuh pada 131

masyarakat Bali. Untuk membuat canangsari diperlukan enam jenis tanaman, mulai dari bunga, samsam, busung/ron, daun pisang, porosan, dan semat. Untuk daksina (alit) diperlukan tiga belas jenis bahan mulai dari kelapa, telor, uang kepeng sampai dengan tebu, benang, dan semat. Di antara ketiga belas jenis tanaman ini untuk bunga 10 gram, dan daun kelapa (janur) 80 gram. Untuk alat upacara pejati (alit) diperlukan 28 jenis tanaman. Mulai dari kelapa, tingkih, telor, tebu sampai dengan bunga, uang kepeng, dan dupa. Bunga diperlukan 30 gram dengan empat jenis bunga sedangkan janur sebanyak 360 gram. Jika tandingan banten untuk canangsari, rata-rata memerlukan bunga 8,5 gram dan busung 15 gram, maka untuk daerah bali dengan jumlah rumah tangga yang beragama Hindu sebanyak 656.734, total bunga diperlukan 20.498 ton setahun dan busung (janur) sebanyak 36.172,91 ton setahun (Windia, 2004). Salah satu jenis upacara Hindu yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali adalah tumpek pengarah. Menurut Udayana (2009), tumpek pengarah merupakan suatu upacara yang erat kaitannya dengan keberadaan tumbuhtumbuhan sebagai teman hidup manusia, dan juga untuk kehidupan manusia itu sendiri. Lebih lanjut Darma (2004) mendefinisikan tumpek pengarah sebagai upacara untuk memberitahukan pada tumbuh-tumbuhan bahwa akan digunakan sebagai sarana upacara pada perayaan hari raya galungan. Dari dua definisi secara teoretis dari tumpek pengarah yang dikemukakan, dapat dibuat definisi konseptualnya, yakni suatu upacara yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali sebagai ucapan syukur atas diciptakannya tumbuh-tumbuhan dan pemberitahuan pada tumbuh-tumbuhan untuk digunakan sebagai upakara pada hari raya galungan. Memang, dua puluh lima hari menjelang hari raya galungan, masyarakat Bali-Hindu menyelenggarakan upacara yang dikenal sebagai tumpek wariga, atau tumpek bubuh, tumpek pengatag, dan tumpek pengarah. Mungkin ada istilah-istilah lainnya yang kerap disesuaikan dengan keadaan setempat. 132

Upacara tumpek pengarah ini erat kaitannya dengan keberadaan tumbuhtumbuhan sebagai teman hidup manusia, dan juga untuk kehidupan manusia itu sendiri. Dengan upacara ini, masyarakat Hindu-Bali mengucapkan rasa syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, atas diciptakannya tumbuh-tumbuhan untuk kelangsungan hidup manusia. Tumpek pengarah atau tumpek bubuh itu, jatuh pada sabtu kliwon wuku wariga, yang datang sekali dalam enam bulan, atau 210 hari (dalam kalender Bali, satu bulan sama dengan 35 hari). Dalam istilah penanggalan Bali, sabtu kliwon dikenal sebagai tumpek, yaitu perpaduan saptawara (siklus tujuh harian) saniscara dan kliwon merupakan puncak dari siklusnya masing-masing. Demikian juga dengan wuku wariga, berakhir juga pada hari saniscara itu, yang merupakan puncak saptawara, sehingga juga merupakan puncak. Karena merupakan pertemuan dari tiga puncak, maka tidak ayal lagi tumpek pengarah dianggap sebagai salah satu upacara yang penting di Bali. Tumpek di Bali, dianggap sebagai puncak peradaban Bali, karena pada hari itu nemu gelang (bertemu) puncak-puncak dari saptawara dan pancawara, seperti yang dikemukakan oleh Sumarta (2006), bahwa tumpek jatuh manakala siklus tujuh harian (saptawara) terpuncak, saniscara (sabtu) bertemu dengan siklus lima harian (pancawara) terpuncak, yakni kliwon. Pertemuan puncak saniscarakliwon inipun niscaya terjadi saban lima wuku (35 hari), yaitu satu bulan menurut kalender pawukon Bali, sehingga dalam kurun waktu 30 wuku (210 hari) terjadilah enam kali tumpek. Ini dimulai dari tumpek landep, lalu tumpek pengarah, disambung tumpek kuningan, tumpek krulut, tumpek uye, dan terakhir tumpek wayang. Dari tumpek wayang siklus itu akan segera kembali nemu gelang (layaknya mata rantai, atau gelang yang tersambung) ke wuku paling awal, yaitu sinta. Titik-titik momentum peralihan dan pertemuan waktu ini dalam peradaban Bali dimaknai sangat istimewa. Di titik-titik momentum itu akumulasi energi, daya, kekuatan, material maupun nonmaterial bakal terjadi. 133

Seperti diketahui, saptawara terdiri dari tujuh hari, yaitu redite (minggu), soma (senen), anggara (selasa), buda (rabu), wraspati (kamis), sukra (jumat), dan saniscara (sabtu). Sedangkan pancawara terdiri dari lima wara, yaitu umanis, paing, pon, wage, dan kliwon. Akan halnya wuku, ada 30 wuku dalam perhitungan kalender Bali, yaitu sinta, landep, ukir, kulantir, tulu, gumbreg, wariga, warigadean, julungwangi, sungsang, dungulan, kuningan, langkir, medangsia, pujut, paang, krulut, merakih, tambir, medangkungan, matal, uye, menail, perangbakat, bala, ugu, wayang, kelawu, dukut, dan watugunung. Perhatikan patokan di atas, setiap saniscara kliwon wuku landep merupakan jatuhnya upacara tumpek landep, saniscara kliwon wuku wariga sebagai pelaksanaan upacara tumpek pengarah, saniscara kliwon wuku kuningan dikenal sebagai upacara tumpek kuningan, saniscara kliwon wuku krulut dikenal sebagai tumpek krulut, saniscara kliwon wuku uye dikenal sebagai tumpek kandangan, dan saniscara kliwon wuku wayang dikenal sebagai tumpek wayang. Dari tumpek wayang kembali ke tumpek landep. Tumpek Pengarah dan Pelestarian Tumbuhan Tumpek pengarah merupakan salah satu dari enam tumpek yang ada, yaitu selengkapnya adalah tumpek landep, tumpek pengarah, tumpek kuningan, tumpek krulut, tumpek uye, dan tumpek wayang. Secara kasat mata, masyarakat Bali-Hindu pada saniscara kliwon wuku wariga mengadakan upacara yang terkait dengan keberadaan tumbuh-tumbuhan. Mengenai cakupan tumbuh-tumbuhan yang dimaksud, ada persepsi yang agak berbedabeda. Ada yang menyebut hanya untuk tanem tuwuh, yaitu tanaman yang umurnya tahunan (seperti pohon buah-buahan, tanaman perkebunan, dan tanaman pangan seperti kelapa). Ada juga yang menulis bahwa rasa bersyukur pada hari itu ditujukan bukan untuk jenis tumbuhan tertentu saja, tetapi untuk keberadaan berbagai jenis rupa (semua) tumbuh-tumbuhan, mulai dari semak, 134

palawija, palabungkah (umbi-umbian), tanaman bunga, hingga pohon buahbuahan. Menurut Sudarsana (2003), tumpek pengarah merupakan upacara untuk bersyukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang maha Esa, dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Sangkara, dewa tumbuhtumbuhan, atas dianugerahkannya segala jenis tumbuh-tumbuhan untuk kehidupan dan kemakmuran manusia. Itu jelas tergambar dalam rangkaian upakara (sarana upacara) yang dipersembahkan, yang antara lain berupa bubuh (bubur) yang beraneka warna: putih, hijau, abang (merah), dan kuning. Bubur putih adalah sebagai simbolisasi dari tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan umbi (yang dapat dijadikan bubur, bubuh), misalnya ketela rambat, ketela pohon, keladi, dan ubi. Bubur abang (merah) adalah simbol bersyukur atas diciptakannya jenis padang-padangan (padi-padian dan palawija), seperi padi, jagung, godem, jagung gambah (sorghum), dan lain sebagainya. Berikutnya, sebagai simbol jenis tumbuh-tumbuhan pepohonan yang berbuah melalui penyerbukan (bunga putik) dipersembahkan bubur berwarna hijau, misalnya mangga. Terakhir, dipersembahkan bubur berwarna kuning sebagai rasa bersyukur atas diciptakannya tumbuh-tumbuhan berbuah yang buahnya keluar dari batang. Kerap terlontar pertanyaan, terutama dari mereka yang tidak atau tidak memahami, apakah segala rupa persembahan (pada upacara tumpek pengarah) ini adalah penyembahan terhadap tumbuh-tumbuhan? Jawabannya jelas tidak! Segala rupa persembahan ini, yang terkait dengan tumpek pengarah, adalah wujud rasa syukur masyarakat Bali-Hindu kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Sang Pencipta, atas dianugerahkannya segala jenis tumbuh-tumbuhan untuk kehidupan dan kemakmuran manusia. Adalah hal yang mustahil manusia dapat hidup tanpa tumbuh-tumbuhan. 135

Bahkan lebih lanjut dikatakan, tumbuh-tumbuhan bukan sekadar tumbuh-tumbuhan yang dapat dilihat di alam nyata (bhuana agung) tetapi juga tumbuh-tumbuhan yang ada di dalam bhuana alit (diri manusia) (Sukarda, 2008). Alasannya, manusia memakan tumbuh-tumbuhan, oleh karenanya ada unsur tumbuh-tumbuhan dalam tubuh manusia. Inipun harus ditumbuhkan. Artinya, semoga yang baik tumbuh dalam jiwa manusia. Jadi, dalam upacara tumpek pengarah, menurut Sudarsana, dan Sukarda, upacara itu ditujukan baik kepada bhuana agung maupun untuk bhuana alit. Sejatinya, segala aktivitas upacara yang dilakukan oleh masyarakat Bali- Hindu semata-mata tertuju, atau dipersembahkan, kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, sebagai Sang Ngardining Dumadi (mengadakan segala yang ada). Hanya ketidakmengertian, atau ketidakmaumengertian, yang bisa memberikan penilaian yang berbeda. Apapun itu, sebagai umat yang meyakini sepenuhnya keyakinan ini, wajib senantiasa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, atau yang dipikirkan. Bukankah sebuah keyakinan sejatinya ada di hati? Karena itu, paparan mengenai tumpek pengarah ini ditulis. Ada pertanyaan, apakah upacara tumpek pengarah ini dikenal di India, sebagai asal dari agama Hindu? Tidak, di India tidak dikenal adanya tumpek pengarah. Tumpek pengarah adalah sebuah kearifan lokal Bali yang tumbuh dalam khazanah budaya Bali, tetapi tetap mengacu kepada prinsip-prinsip Hindu. Implikasi dari tumpek pengarah dalam kaitannya dengan pelestarian tumbuh-tumbuhan adalah di dalam menanam dan menebang tumbuhtumbuhan pada masyarakat Bali-Hindu mengenal sistem Wariga, yang dipahami sebagai hari baik untuk melakukan sesuatu, dan atau tidak melakukan sesuatu. Menurut Arwati (2007), dalam masyarakat Bali-Hindu dikenal ala ayuning dewasa. Misalnya, dianjurkan untuk menanam padi pada hari kamis (wraspati), dan atau tidak menebang bambu pada hari minggu. Untuk menanam tumbuh- 136

tumbuhan sesuai hari yang bersangkutan (nandur manut saptawara), seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Menanam sesuai Hari dalam Seminggu (Nandur Manut Saptawara) Hari Tanaman yang Dianjurkan untuk Ditanam Redite (minggu) Tanaman berbuku: bambu, tebu, lengkuas. Soma (senen) Tanaman berumbi: kesela (ketela rambat), keladi. Anggara (selasa) Tanaman yang diambil daunnya: base (sisih), biyu (pisang). Buda (rabu) Tanaman berbunga: sandat (kenanga), cempaka, pacah (pacar). Wraspati (kamis) Tanaman berbiji: padi, jagung. Sukra (jumat) Tanaman berbuah (palagantung): nyuh (kelapa), gedang (pepaya), ceroring (duku). Saniscara (sabtu) Tanaman merambat (mebun): paya (pare), waluh (labu), jepang (labu siam). (Sumber: Arwati, 2007). Selain memperhatikan hari dalam seminggu (saptawara), dalam melakukan sesuatu, dalam hal ini menanam atau memanen sesuatu, masih harus memperhatikan rambu-rambu lainnya, misalnya ingkel. Contoh pelaksanaannya: tidak diperkenankan menebang serba berbuku (misalnya bambu) pada ingkel buku, atau tidak menebang pohon pada ingkel taru. Pedewasan ini memang sesuatu yang rumit, oleh karenanya hanya dikuasai (dipahami secara mendalam) oleh segelintir orang. Pesan positif yang dapat ditangkap dari kerumitan ini adalah betapa teraturnya masyarakat agraris di Bali dalam kaitannya dengan soal tanam-menanam, memanen hasil tanaman, dan yang lebih penting lagi dengan lingkungannya. Dalam membuat upacara agama Hindu di Bali, pasti menggunakan upakara (sarana upacara) yang disebut banten (atau bebantenan, jamak). Banten adalah media untuk mengucapkan rasa syukur (suksmaning manah) kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia yang dilimpahkan-nya untuk umat manusia. 137

Setiap upakara (dalam hal ini banten) yang dibuat pasti menggunakan tumbuh-tumbuhan (sarwa tumuwuh) sebagai sarana bahan dasarnya. Bagian yang utama digunakan adalah daun (patram), bunga (puspam), dan buah (phalam), meskipun ada juga bagian lainnya yang digunakan, seperti akah (akar), babakan (kulit batang), bahkan lublub (kambium). Pembuatan banten yang menggunakan sarwa prani, terutama tumbuhtumbuhan, sangat membantu pelestarian alam khususnya pelestarian tumbuhtumbuhan. Berbagai jenis tumbuh-tumbuhan digunakan dalam pembuatan banten, mulai dari tumbuhan pangan hingga semak, dari yang mudah ditanam hingga yang hampir punah. Ketika harus digunakan sebagai sarana pembuatan banten, tumbuh-tumbuhan harus dijaga keberadaannya (kelestariannya). Karena rutin digunakan, pastilah harus dipikirkan usaha-usaha melestarikan dan mengembangkan tanaman-tanaman upakara itu. Tampaknya, usahausaha itu secara sendiri-sendiri sudah dilakukan oleh masyarakat Bali. Namun yang ideal adalah adanya usaha-usaha yang terencana untuk melestarikan dan mengembangkan tanaman-tanaman upakara itu. Desa pakraman misalnya, dapat memanfaatkan tanah desa pakraman (tanah adat) untuk mengumpulkan tanaman upakara itu di satu tempat khusus. Dengan demikian krama (warga) akan mudah mendapatkan tanaman tertentu yang dibutuhkannya sebagai bahan banten (Suartha, 2009). Tumpek pengarah merupakan simbol dari kasih sayang terhadap tumbuh-tumbuhan. Kasih sayang terhadap tumbuh-tumbuhan harus berlanjut sepanjang massa (abadi). Keabadian semua jenis tumbuh-tumbuhan, terutama yang sering digunakan sebagai upakara oleh masyarakat Hindu merupakan sarana pelestarian flora. Jadi, tumpek pengarah yang jatuh pada saniscara kliwon wuku wariga pada hakikatnya mengandung makna pelestarian tumbuhtumbuhan (Wiana, 2009). Tumpek pengarah sebagai otonan (hari kelahiran) dari semua jenis tumbuh-tumbuhan merupakan wujud dari sosiosistem masyarakat Bali dalam 138

cara mereka memandang dan menghargai ekosistem dan teknosistemnya. Dalam posisinya sebagai sosiosistem, baik objek maupun subjek, di Bali dikenal dengan aku adalah kamu, kamu adalah aku Tat Twam Asi. Mereka sadar bahwa dengan luas pulau yang terbatas (5.632,86 km), itu berarti pula bahwa mengeksploitasi ekosistem maupun teknosistem harus dilakukan dengan arif dan bijaksana atau sesuai dengan daya dukungnya. Jadi, makna yang terdalam dari tumpek pengarah sebagai hari lahir oton tumbuh-tumbuhan adalah bahwa masyarakat Hindu di Bali mengakui ekosistemnya dan hubungan timbal baliknya. Artinya, bila manusia berlaku semena-mena terhadapnya, akan terjadi ketidakseimbangan dalam lingkungan hidup. Begitu pula tumbuhtumbuhan dengan makhluk hidup yang dapat diperbarui tidak akan produktif bila tidak ada pemeliharaan yang baik dan peremajaan (Salain, 2001). Menyimak makna tumpek pengarah yang dikemukakan oleh Wiana di atas dan bila dikaitkan dengan pelaksanaan upacara tumpek pengarah merupakan hari strategis untuk memberi pemahaman makna yang terkandung di dalam perayaan tumpek pengarah, yaitu dapat dilakukan melalui darmawacana atau pementasan seni, seperti topeng, wayang atau dengan kidung yang ceritanya dikaitkan dengan pentingnya arti tumbuh-tumbuhan dalam pelaksanaan upacara agama Hindu di Bali. Dapat kita bayangkan bagaimana pelaksanaan upacara agama Hindu di Bali bisa terlaksana tanpa tumbuh-tumbuhan dan bagaimana bisa terwujudnya ajeg Bali. Simpulan Tumpek pengarah yang dirayakan oleh umat Hindu di Bali jatuh pada saniscara kliwon wuku wariga. Sebetulnya saat perayaan tumpek pengarah, umat Hindu mempersembahkan banten (upakara) kepada Sang Hyang Sangkara (Dewanya tumbuh-tumbuhan) sebagai ucapan syukur atas diciptakannya aneka ragam tumbuh-tumbuhan. Secara lebih mendalam, makna dari perayaan tumpek pengarah adalah proses pelestarian tumbuhan, baik 139

tumbuhan yang ada di alam semesta (bhuana agung) dan yang ada di dalam diri kita (bhuana alit). Daftar Pustaka Arwati, N.M.S. 2007. Upacara Bercocok Tanam Padi di Sawah. Denpasar: Bali Post Offset. Darma, I Dewa Putu. 2004. Tumpek Wariga dan Usaha Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup. Dalam Prosiding Seminar Konservasi Tumbuhan Upacara Agama Hindu, yang Dilaksanakan Oleh UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali, Tanggal 7 Oktober 2004. Irwan, Zoer aini Djamal. 2005. Tantangan Lingkungan & Lansekap Hutan Kota. Jakarta: PT Bumi Aksara. Salain, P.R. 2001. Tumpek Wariga Sebagai Usaha Pelestarian Lingkungan Hidup di Bali. Dalam Wahana No. 33 Th. XVI Mei 2001: 22-24. Soemarwoto, Otto. 1994. Ekologi, Lingkungan Hidup, dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan. Suartha, Nyoman. 2009. Makna Perayaan Tumpek Wariga bagi Umat Hindu di Bali. Makalah yang Disampaikan dalam Seminar Ilmiah yang Dilaksanakan Oleh K3S SD di Kabupaten Karangasem, Tanggal 9 Maret 2009. Sudarsana, I.B.P. 2003. Ajaran Agama Hindu (Acara Agama). Denpasar: Yayasan Dharma Acarya. Sumarta, I K. 2006. Puncak Peradaban Bali Bernama Tumpek. Dalam Sarad No. 77 September 2006: 16-18. Sukarda, I Wayan. 2008. Tumpek Wariga dan Tumpek Kandang. Surabaya: Paramita. Udayana, I Dewa Gede Alit. 2009. Tumpek Wariga: Kearifan Lokal Bali untuk Pelestarian Sumber Daya Tumbuh-Tumbuhan. Surabaya: Paramita. Wiana, I Ketut. 2004. Mengapa Bali Disebut Bali? Surabaya: Paramita. -------. 2009. Makna Hari Raya Hindu. Surabaya: Paramita. Windia, Wayan P. 2004. Kebijakan Pemerintah dan Partisipasi Masyarakat dalam Upaya Mengonservasi Tanaman Upakara di Bali. Dalam Prosiding Seminar Konservasi Tumbuhan Upacara Agama Hindu, yang Dilaksanakan Oleh UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali, Tanggal 7 Oktober 2004. 140