BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Budaya Menurut Marvin Harris (dalam Spradley, 2007:5) konsep kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompokkelompok masyarakat tertentu, seperti adat (kostum) atau cara hidup masyarakat. Bidang cakupannya meliputi seluruh pikiran, rasa, karsa dan hasil karya manusia. Kebudayaan selalu menunjukkan adanya derajat menyangkut tingkatan hidup dan penghidupan manusia. Dengan menciptakan adat, budaya serta lingkungan sosial yang berbeda-beda yang ditumbuh kembangkan dan diwariskan kepada generasi ke generasi. Kebudayaan juga mencakup aturan, prinsip, dan ketentuan-ketentuan kepercayaan yang terpelihara rapi yang secara turun temurun diwariskan kepada generasi ke generasi. Oleh karena itu kebudayaan dapat dipandang sebagai sebuah sistem, dimana sistem tersebut terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Hal ini berkaitan erat dengan adanya pergerakan dalam masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dan dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam kumpulan masyarakat. Menurut Said (2004:3) Kebudayaan sendiri merupakan kesatuan dari gagasan simbol-simbol dan nilai-nilai yang mendasari hasil karya dan perilaku 6
manusia, sehingga tidaklah berlebihan apabila dilanjutkan bahwa begitu eratnya kebudayaan dan simbol-simbol yang diciptakan oleh manusia sehingga manusia disebut sebagai Homo Simbolicum. Untuk memahami simbol-simbol yang terdapat dalam masyarakat tradisional yang telah diwariskan oleh secara turun temurun, maka dibutuhkan pengetahuan mengenai sistem budaya yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Mengkaji kebudayaan tidak dapat terlepas dari data yang dapat dikategorikan kedalam lima jenis, yaitu, artefak, perilaku kinetis yang digerakkan oleh otot manusia, perilaku verbal yang mewujudkan diri ke dalam dua bentuk yaitu tuturan yang terdiri atas bunyi bahasa dan teks yang terdiri atas tanda-tanda visual (dalam Liri 2012). 2.2 Nilai Kebudayaan Masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu sistem yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena tidak ada kebudayaan yang tidak bertumbuh kembang dari suatu masyarakat. Sebaliknya, tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan karena tanpa kebudayaan tidak mungkin masyarakat dapat bertahan hidup, masyarakat adalah wadah, dan budaya adalah isi. Terdapat hubungan timbal balik antara manusia dengan kebudayaan, yakni manusia menciptakan budaya kemudian budaya memberikan arah dalam hidup dan tingkah laku manusia. Kebudayaan merupakan hasil dari ide-ide dan gagasangagasan yang akhirnya mengakibatkan terjadinya aktivitas dan menghasilkan suatu 7
karya (kebudayaan fisik) sehingga manusia pada hakekatnya disebut makhluk sosial (Sujarwa 2010). Koentjoroningrat membagi wujud kebudayaan dalam tiga bentuk : pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan nilai-nilai, normanorma, peraturan dan sebagainya ; kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, ; ketiga, wujud kebudyaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. (Sujarwa 2010 : 32). Ketiga wujud tersebut menandakan bahwa kebudayaan manusia tidak dapat terlepas dari peran anggota masyarakat sebagai agen pewaris kebudayaan melalaui cara belajar. Sistem budaya yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat tidak lepas dari nilai-nilai yang telah dikembangkan oleh masyarakatnya sendiri. Nilainilai tersebut ada yang berpengaruh langsung namun juga ada yang pengaruhnya tidak langsung terhadap masyarakat, nilai-nilai budaya tersebut merupakan konsep yang dalam pikiran masyarakat terhadap sesuatu yang mereka anggap bernilai, berharga atau penting dalam kehidupan, sehingga masyarakat menjadikan hal tersebut sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan pada warga masyarakatnya. Kluckhohn menjelaskan, bahwa terdapat lima masalah pokok kehidupan dalam sistem nilai budaya pada kebudayaan, yaitu : 1. Masalah hakekat dari makna hidup manusia 2. Masalah hakekat dari karya atau fungsi kerja manusia 8
3. Masalah hakekat dan kedudukan manusia dalam ruang dan waktu 4. Masalah hakekat manusia hubungan dengan alam sekitar, 5. Masalah hakekat manusia hubungannya dengan sesama manusia. Meskipun cara mengkonsepsikan lima masalah pokok dalam kehidupan manusia yang universal itu sebagaimana yang tersebut diatas berbeda beda untuk tiap masyarakat dan kebudayaan, namun dalam tiap lingkungan masyarakat dan kebudayaan tersebut lima hal tersebut di atas selalu ada. Kebudayaan manusia bukanlah suatu hal yang hanya timbul sekali atau bersifat sederhana. Setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang berbeda dari kebudyaan masyarakat lain. Sesuatu dapat dikatakan sebagai bentuk kebudyaan apabila nilai dan norma yang diciptakan dapat mempengaruhi pola perilaku suatu kelompok masyarakat. Oleh karena itu kebudayaan selalu dihubungkan dengan nilai, norma, sikap dan perilaku berpola dari sebagian besar anggota kelompok masyarakat tertentu. Kebudayaan merupakan suatu kumpulan yang berintegrasi dari cara-cara berlaku yang dimiliki bersama, dan kebudayaan yang bersangkutan secara unik mencapai penyesuaian kepada lingkungan tertentu. Kebudayaan juga tidak bersifat statis, melainkan selalu mengalami perubahan (Sujarwa 2010 : 40) 2.3 Mitos Mitos adalah suatu bentuk pesan atau tuturan yang harus diyakini kebenarannya tetapi tidak dapat dibuktikan. Mitos bukanlah konsep atau ide melainkan suatu cara pemberian arti. Secara etimologis, mitos merupakan suatu jenis tuturan yang bukan sembarang tuturan. Pengertian mitos dalam konteks 9
mitologi-mitologi lama mempunyai pengertian suatu bentukan dari masyarakat yang berorientasi pada masa lalu atau dari bentukan sejarah yang bersifat statis, kekal. Mitos dalam pengertian lama identik dengan sejarah bentukan masyarakat pada masanya. Lévi-Strauss memandang mitos sama dengan bahasa. Bahasa adalah sebuah media, alat, atau sarana untuk berkomunikasi, untuk menyampaikan pesan dari satu individu ke individu lain, dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain. Demikian pula halnya dengan mitos, mengandung pesan-pesan yang terungkap dalam penceritaan. Di satu sisi mitos menunjuk pada peristiwa di masa lampau, namun disisi lain, mitos juga menampilkan pola-pola relasi yang tetap ada sampai sekarang (Kristanto 2005 :137). Dalam semiotika Barthes juga melihat mitos sebagai salah satu bentuk bahasa, sebagai suatu cara mengedarkan makna di masyarakat terutama pada struktur masyarakat yang kapitalis. Bagi Barthes, mitos sebagai cara berfikir kebudayaan tentang sesuatu, sebuah cara mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu hal. Barthes menyebutnya sebagai rangkaian konsep yang saling berkaitan (Sobur, 2004 : 224). Roland Barthes menjelaskan bahwa mitos bukanlah pembicaraan yang sembarangan, bahasa membutuhkan kondisi kondisi khusus untuk menjadi mitos. Pada awalnya secara tegas mitos adalah merupakan sistem komunikasi dan mitos adalah suatu pesan. Mitos bisa dipahami bukan sebagai suatu objek, konsep atau gagasan tetapi mitos merupakan mode pertandaan ( a mode of signification ) dan 10
suatu bentuk ( a form ). Dapat dilihat bahwa mitos menurut substansinya merupakan hal yang menyesatkan karena mitos adalah semacam wicara yang akan menjadi mitos apabila disampaikan lewat wacana (Barthes, 2007 : 295). 2.4 Semiotika Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimnya, dan penerimanya oleh mereka yang mempergunakannya. Semiotika atau dalam istilah Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai halhal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objekobjek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau ide dari suatu tanda. Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa (Barthes, 2001:180). 11
Semiotika yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna. Menurut Charles S. Pierce (1986:4) maka semiotik tidak lain daripada sebuah nama lain bagi logika, yakni doktrin formal tentang tanda-tanda. Sementara bagi Ferdinand de Saussure (1966:16) semiology adalah sebuah ilmu umum tentang tanda, suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat (Budiman, 2004:4). Konsep dasar semiotika mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas, yang berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk nonverbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda disusun. Secara umum studi tentang tanda merujuk pada semiotika (Sobur, 2004:15-16). 1. Simbol Titik sentral kebudayaan Geertz terletak pada simbol, bagaimana manusia berkomunikasi lewat simbol. Di satu sisi, simbol terbentuk melalui dinamisasi interaksi sosial, merupakan realitas empiris, yang kemudian diwariskan secara historis, bermuatan nilai-nilai, dan disisi lain simbol merupakan acuan wawasan, memberi petunjuk bagaimana warga budaya tertentu menjalani hidup, media sekaligus pesan komunikasi, dan representasi realitas sosial (Geertz,1992:149). Selain itu Geertz menambahkan bahwa yang dimaksud dengan sistem simbol yaitu, pertama 12
segala sesuatu yang memberikan seseorang ide-ide, kedua, saat dikatakan bahwa simbol-simbol tersebut menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang (Sobur, 2003:179). Dalam pandangan religius simbol dipandang sebagai ungkapan indrawi atas realitas yang transenden. Akan tetapi dari berbagai definisi yang ada, terdapat suatu kesepakatan bahwa simbol berbeda dengan tanda. Perbedaan mendasar antara simbol atau lambang dengan tanda adalah penggunaan simbol atau lambang selalu untuk mengungkapkan atau mengekspresikan sesuatu diluar simbol itu sendiri. Simbol tidak menunjuk langsung pada apa yang ditandakan. Dalam memahami simbol-simbol religius maupun mistik ada tiga simbol yang harus dipahami diantaranya adalah pertama, simbol yang berwujud barang (visual) misalnya:abu, air, hewan, buah-buahan, dan sebagainya. Kedua, simbol yang berwujud kegiatan (mitoris), misalnya cara berdoa, ataupun peringatan-peringatan religius maupun mistik, yang biasanya menghadirkan masa lampau sebagai daya dorong dalam perjuangan hidup selanjutnya. Ketiga, simbol yang bersifat bunyi (auditif), misalnya: musik, syair, atau lonceng. Simbol merupakan representasi dari realitas empiris, maka jika realitas empiris berubah, simbol-simbol budaya itu pun akan mengalami perubahan. Di sini kebudayaan adalah suatu proses yang selalu tumbuh dan 13
berkembang, dengan demikian kebudayaan adalah sesuatu yang terus menerus bergerak secara dinamis dan pendek. 2. Makna Makna adalah hubungan antara suatu objek dengan lambangnya. Makna pada dasarnya terbentuk berdasarkan hubungan antara lambang komunikasi (simbol), akal budi manusia penggunanya (obyek). Dalam bukunya The Meaning Of Meaning, Ogden dan Richards (1972, 186-187) telah mengumpulkan tidak kurang dari 22 batasan mengenai makna. Bentuk makna diperhitungkan sebagai istilah, sebab bentuk ini mempunyai konsep dalam bidang tertentu, yakni dalam bidang linguistik (Sobur, 2001:255). Pada sistem budaya, semakin banyak orang berkomunikasi semakin banyak pemahaman suatu makna yang kita peroleh. Penafsiran akan sesuatu makna pada dasarnya dinilai bersifat pribadi oleh setiap orang. Dalam hal ini Brodbeck (1963) membagi makna pada tiga corak, sebagai berikut: 1) Makna inferensial, yaitu makna satu kata (lambang) adalah objek, pikiran, gagasan, konsep yang dirujuk oleh kata tersebut. Dalam uraian Ogden dan Richards (1946), proses pemberian makna (reference process) terjadi ketika kita menghubungkan lambang dengan yang ditunjukkan lambang (disebut rujukan atau referent). 2) Makna yang menunjukkan arti (significance) yaitu suatu istilah sejauh dihubungkan dengan konsep-konsep yang lain, 14
3) Makna intesional, yaitu makna yang dimaksud oleh seorang pemakai lambang. Makna ini tidak dapat divalidasi secara empiris atau dicarikan rujukan. Makna ini tidak terdapat pada pikiran orang yang dimiliki dirinya saja (Sobur, 2004:262). Makna itu sendiri timbul juga dikarenakan pengalaman hidup yang berbeda. Orang mempunyai makna masing-masing untuk kata-kata tertentu, inilah yang disebut sebagai makna perorangan. Tetapi bila semua makna itu bersifat perorangan, tentu tidak terjadi komunikasi dengan orang lain. Ini berarti ada makna yang dimiliki bersama (shared meaning). Makna dapat digolongkan kedalam makna denotatif dan konotatif. Makna denotatif adalah makna yang sebenarnya (factual), seperti yang kita temukan dalam kamus. Makna denotatif bersifat publik, terdapat sejumlah kata yang bermakna denotatif namun ada juga yang bermakna konotatif, lebih bersifat pribadi yakni makna diluar rujukan objektifnya. Dengan kata lain makna konotatif lebih bersifat subyektik daripada makna denotatif (Sobur, 2003:263). 2.5 Roland Barthes Semiotika, atau istilah Barthes semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, 15
tetapi juga mengkonstitusi system terstruktur dari tanda (Sobur,2003:15). Dalam teorinya tersebut Barthes membagi semiotika menjadi dua tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi ; menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi ; menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti. Jika Sauusure mengatakan bahwa makna adalah apa yang didenotasikan oleh tanda, Barthes menambah pengertian ini menjadi makna pada tingkat konotasi. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu. Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Penanda-penanda konotasi, yang dapat disebut sebagai konotator, terbentuk dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan petanda) dari sistem yang bersangkutan. Petanda konotasi karakternya umum, global, dan tersebar sekaligus menghasilkan fragmen ideologis. Konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos adalah muatannya. Ideologi, secara semiotis, adalah penggunaan makna-makna konotasi tersebut di masyarakat, dengan kata lain makna pada makna tingkat ketiga. Pendekatan semiotik Roland Barthes secara khusus tertuju kepada sejenis tuturan yang disebutnya sebagai mitos. Menurut Barthes (Budiman, 2003:63), bahasa membutuhkan kondisi tertentu untuk dapat menjadi mitos, yaitu yang secara semiotis dicirikan oleh hadirnya sebuah tataran signifikasi yang disebut sebagai 16
sistem semiologis tingkat kedua. Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan order of signification, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya (Sobur, 2004:69). Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. 17
2.6 Kerangka Konsep Sepu Semiotika ; Roland Barthes Makna Sepu Model Warna Motif Bahan Aksesoris Makna Sepu bagi masyarakat Toraja di Salatiga 18