264 BAB V PENUTUP 5. 1 Kesimpulan Warna lokal Jawa, dalam novel Indonesia periode 1980 1995, cukup banyak dan dominan. Warna lokal tersebut tersebar dalam novel-novel yang ditulis oleh para pengarang yang berasal dari Jawa. Deskripsi warna lokal Jawa dalam novel Indonesia terdiri atas (a) tempat kejadian peristiwa dalam novel di Jawa, (b) latar waktu, (c) kepercayaan dan upacara adat, (d) status sosial masyarakat Jawa, (e) kesenian Jawa yang terdiri atas seni ronggeng, wayang, seni tari, tembang, dan seni musik, dan (f) penggunaan bahasa Jawa. Warna lokal Jawa banyak diungkap dalam novel Indonesia periode 1980-1995 sebagai upaya pengarang untuk menghindari pembredelan karya sastra karena dianggap dapat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat; adanya kesempatan untuk mengembangkan budaya lokal dalam rangka memperkuat budaya nasional; adanya kesadaran masyarakat bahwa budaya nasional Indonesia terdiri atas berbagai budaya lokal termasuk budaya lokal Jawa.
265 Warna lokal Jawa yang berupa tempat kejadian peristiwa dalam novel, adalah daerah Jawa, khususnya Surakarta, Yogyakarta, dan Jawa Tengah. Pada Novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus ini Hari, dan Jantera Bianglala latar tempatnya di Dukuh Paruk sekitar daerah Banyumas Jawa Tengah. Novel Para Priyayi, tempat kejadian peristiwanya di Wanagalih sekitar daerah Madiun, Jawa Timur, Surakarta, dan Yogyakarta. Dalam novel Burung- Burung Manyar, sebagian besar peristiwanya terjadi di daerah Magelang, Surakarta, dan Yogyakarta. Novel Durga Umayi peristiwanya banyak terjadi di daerah Magelang dan Yogyakarta. Pada novel Canting, sebagian besar peristiwa dalam novel terjadi di daerah Surakarta dan Yogyakarta. Peristiwa dalam novel Pasar banyak terjadi di daerah Gemolong Jawa Tengah. Novel Tirai Menurun tempat kejadiannya banyak di daerah Semarang, Salatiga, Madiun, Muntilan, dan Yogyakarta. Warna lokal yang berupa tempat kejadian peristiwa tersebut sesuai dengan daerah asal pengarang. Pemilihan warna lokal berupa latar tempat yang sesuai dengan tempat pengarang dilahirkan dan dibesarkan menjadikan pelukisan latar tempat menjadi lebih cermat dan alami. Dari warna lokal Jawa yang diungkapkan dalam latar tempat dapat diketahui identitas pengarangnya atau daerah tempat
266 pengarang lahir dan dibesarkan. Ahmad Tohari berasal dari Banyumas Jawa Tengah menulis novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang berlatar di Dukuh Paruk, daerah Banyumas Jawa Tengah. Umar Kayam yang lahir dan dibesarkan di Ngawi menulis novel Para Priyayi yang berlatar kota Wanagalih daerah Madiun, sekitar Ngawi. Arswendo Atmowiloto yang lahir dan dibesarkan di Surakarta juga menulis novel Canting yang berlatar di seputar Pasar Klewer Surakarta. Demikian juga dengan NH. Dini yang lahir dan dibesarkan di Semarang juga menulis novel Tirai Menurun yang berlatar kota Semarang Jawa Tengah. Kepercayaan masyarakat Jawa, kepada tempat-tempat keramat dan roh nenek moyang yang memiliki pengaruh dalam kehidupan, diungkapkan pada novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Kepercayaan masyarakat terhadap mantra dan benda-benda pusaka, diungkapkan pada novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, Jantera Bianglala, Para Priyayi, Canting, dan Durga Umayi. Kepercayaan Islam Abangan diungkapkan dalam novel Para Priyayi, Canting, dan Tirai Menurun. Upacara adat, kelahiran, dan kematian diungkap pada novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, Jantera Bianglala, Para Priyayi, Canting, dan novel Tirai Menurun.
267 Status sosial masyarakat sebagai priyayi dan masyarakat kecil diungkap pada novel Para Priyayi, Canting, dan Pasar. Status orang kecil atau wong cilik banyak diungkap pada novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, Jantera Bianglala, Para Priyayi, Canting, Durga Umayi, Pasar, dan Tirai Menurun. Kesenian Jawa, berupa seni ronggeng dan musik calung, diungkap pada novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Seni wayang, gamelan, dan tembang Jawa banyak diungkap pada novel Jantera Bianglala, Para Priyayi, Canting, Burung-Burung Manyar, Durga Umayi, Pasar, dan Tirai Menurun. Seni tayub atau ledek diungkap pada novel Para Priyayi, Canting, dan Tirai Menurun. Warna lokal Jawa yang berupa penggunaan bahasa Jawa, pasemon, penamaan tokoh, dan ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jawa terdapat pada novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, Jantera Bianglala, Para Priyayi, Canting, Durga Umayi, Pasar, dan Tirai Menurun. Penggunaan tulisan Jawa, dalam hubungan antaranggota masyarakat, diungkap pada novel Pasar. Fungsi deskripsi warna lokal Jawa dalam novel Indonesia periode 1980 1995, sebagian besar berfungsi sebagai masalah pokok atau isi keseluruhan cerita dalam novel. Warna lokal Jawa menjadi masalah pokok yang diceritakan dalam novel. Fungsi ini
268 terdapat pada novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, Jantera Bianglala, Para Priyayi, Canting, Pasar, dan novel Tirai Menurun. Selain sebagai masalah pokok cerita, deskripsi warna lokal Jawa juga ada yang berfungsi sebagai hipogram alur dan karakter tokoh novel. Fungsi hipogram karakter ini terdapat pada novel Burung-Burung Manyar dan Durga Umayi yang berhipogram pada karakter tokoh cerita wayang. Pengungkapan warna lokal Jawa dalam novel yang berfungsi sebagai penguat pelukisan latar cerita terdapat pada novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, Jantera Bianglala, Para Priyayi, Canting, Burung-Burung Manyar, Durga Umayi, Pasar, dan novel Tirai Menurun. Wayang menjadi salah satu bentuk warna lokal Jawa yang banyak digunakan oleh para pengarang novel Indonesia periode 1980-1995. Seluruh novel yang diteliti memanfaatkan wayang hanya kadar pemanfaatannya yang berbeda-beda. 5. 2 Saran Penelitian terhadap warna lokal Jawa dalam novel Indonesia periode 1980 1995 ini hanya untuk mendeskripsikan warna lokal Jawa yang terungkap dalam novel, dan juga untuk melihat fungsi penggunaan warna lokal Jawa tersebut dalam novel. Hal ini dapat dilanjutkan pada novel-novel lain, dengan subjek penelitian yang
269 lebih banyak, dan rentang waktu yang lebih panjang sehingga hasilnya lebih lengkap. Selain itu, penelitian ini juga baru dilakukan dengan subjek penelitian yang terbatas pada novel dengan cakupan yang masih terbatas juga. Oleh karena itu, penelitian terhadap warna lokal Jawa ini perlu dilakukan dengan subjek penelitian bentuk sastra yang lain, yaitu pada puisi, cerpen, dan drama sehingga hasil penelitian menjadi lebih lengkap.