BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dalam menyelesaikan tulisan ini, saya menemukan banyak sekali pengalaman yang tidak terduga. Saya bertemu dengan orang-orang yang dulunya saya abaikan. Maksudnya, sebelum melakukan penelitian ini, saya pernah melihat pengikut Jama ah Tabligh di masjid-masjid, tetapi tidak sedikitpun ada rasa ingin tahu muncul dalam diri saya tentang mereka. Bahkan kadang muncul rasa sinisme, di mana saya menganggap kehidupan mereka jauh dari dunia modern. Dengan gaya pakaian gamis, baju terusan, memakai sorban, tentu berbeda dengan masyarakat pada umumnya yang memakai celana, baju, dan juga dasi. Bagi wanita memakai jilbab panjang dan cadar, tentu berbeda dengan wanita pada umumnya. Harus saya akui bahwa saya sering membatin dan mempertanyakan pakaian kelompok yang cenderung berbeda dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Dalam hal ini adalah mereka yang sering menggunakan gamis, bagi pria, dan menggunakan jilbab panjang dan cadar, bagi perempuan. Saya merasa jika berpakaian demikian akan membatasi gerak, ribet, terutama bagi yang perempuan. Saya juga kerap membatin, ini kan Indonesia, bukan Timur Tengah. Gamis dan cadar itu kan pakaian Timur Tengah. Kita punya tradisi berpakaian sendiri. 116
117 Setelah melakukan penelitian ini, saya merasa harus ada yang diubah dari cara berpikir di atas. Saya harus berpikir ulang berkenaan dengan pandangan bahwa berpakaian ala Timur Tengah adalah ribet dan membatasi ruang gerak sehingga menjadi tidak nyaman. Kenapa? Menurut saya, apa yang saya utarakan pada paragraf sebelumnya mengandung unsur justifkasi-subjektif, tanpa mempertimbangkan subjek yang menjadi perbincangan. Saya tidak sadar bahwa saya sedang melakukan klaim, tetapi tidak melibat mereka sebagai pelaku dalam pandangan yang saya kemukakan. Dalam beberapa kesempatan, ketika mengikuti kegiatan bersama pengikut Jama ah Tabligh, saya melihat mereka tidak tampak susah dalam berpakaian, bahkan mereka menikmatinya. Mereka merasa bangga dengan pakaian yang mereka gunakan. Bangga karena menurut mereka pakaian yang mereka gunakan adalah pakaian yang dulu juga digunakan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Kami ingin sedekat mungkin dengan apa yang Rasulullah pakai. Demikian ucap salah seorang dari mereka. Berkenaan dengan ritual khuruj, saya melihat seluruh pengikut Jama ah Tabligh sangat ingin dan senang menunaikannya. Mereka menikmati dan bahkan berlomba-lomba untuk bisa menyelesaikan semua tahapan yang sudah ditentukan sebagaimana sudah saya sebutkan pada bab-bab terdahulu. Mereka rela mengorbankan waktu dan uang untuk melakukan khuruj. Mereka menganggap khuruj adalah bagian dari pelaksanaan sunnah-sunnah Nabi. Karena Nabipun dahulu melakukannya, dalam artian mengajak masyarakat Mekkah untuk kebaikan. Mereka yakin untuk melaksanakan khuruj hanya perkara waktu saja,
118 kalau usaha dan niat kita kuat, insyaallah ada jalannya. Demikian salah seorang meyakinkan saya. Saya melihat untuk ritual khuruj ini memang terkadang ditemukan kendala dalam praksisnya. Terutama untuk khuruj yang memakan waktu lama. Dan ini umumnya terjadi bagi Jama ah yang sudah berkeluarga. Mereka harus mempertimbangkan bagaimana anak dan istri pada saat khuruj. Juga keadaankeadaan tertentu yang tidak terduga. Untuk penyelesaian problem, biasanya didiskusikan pada saat pertemuan halaqah. Mereka yang akan melakukan khuruj tingkat lanjut mengungkapkan problem-problem apa saja yang dihadapi. Hal lain berkenaan dengan khuruj, yang menurut saya penting untuk diketahui oleh banyak orang, bahwa mereka mengajak warga sekitar masjid untuk shalat berjama ah tidak dengan paksaan. Prinsipnya adalah mengajak, merangkul, urusan mau atau tidak, mereka tidak peduli. Yang paling penting bagi mereka adalah mengajak kepada kebaikan. Jika orang yang diajak tidak berkenan, itu urusan pribadi masing-masing. Saya pernah bertanya, kenapa demikian. Bagi saya itu sia-sia. Tapi tidak dengan mereka. Tugas kami ini hanya mengajak dan mengingatkan saja. Kami hanya bercerita tentang kisah Rasulullah dan para sahabatnya yang pantas untuk dteladani. Kalau mereka tidak mau ikut, kami tidak paksa. Itu pilihan saja. Prinsip inilah yang bagi saya merupakan kekuatan Jama ah Tabligh. Mereka mengajak dengan baik. Tidak memaksakan. Cara ini menurut saya relatif berhasil karena seperti yang saya alami di masjid al-muhtadin Karangbendo, jumlah jama ah bertambah ketika mereka secara langsung memanggil ke rumah-
119 rumah warga. Walaupun sebetulnya ini tidak bertahan lama. Ketika Jama ah Tabligh ini pergi, jama ah masjidpun berkurang. Yang saya sebutkan di atas adalah dimensi ideal, atau normatifnya. Ada sisi lain yakni sebagai fungsi sosial. Pertama, menjadi arena berkumpul dan silaturrahmi. Silaturahmi menjadi kata kunci penting dalam Jamaah Tabligh. Silaturahmi adalah mengikat tali pertemanan, membangun tali persahabatan. Mereka membangun hubungan kepada siapa saja dan selalu terlihat akrab. Pertemanan ini dibangun atas dasar sesama muslim dan dibawah paying Jamaah Tabligh. Kedua, menunjukkan eksistensi (identitas). Fungsi ini mungkin dilakukan tidak sengaja atau tanpa sadar. Tapi ketika mereka melakukan hal yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya, maka disitulah fungsi eksistensi berlaku. Mereka menggunakan gamis adalah salah satu cara untuk menunjukkan keberadaan mereka. Mereka melakukan khuruj adalah bagian dari sosialisasi gerakan Jamaah Tabligh di kalangan masyarakat. Ketiga, fungsi belajar mengajar (edukatif). Fungsi ini adalah bagian penting dari ritual khuruj. Di samping mengajak masyakarat untuk shalat berjamaah di masjid/mushallah, mereka juga menyampaikan pesan-pesan kebaikan di dalam ceramahnya. Dan mereka akan sangat senang sekali jika ada masyarakat yang bertanya tentang apa yang mereka lakukakn (baca: khuruj). Keempat, menggerakkan organisasi. Dalam kajian antropologis, Jamaah Tabligh disebut sebagai organisasi sosial atau lembaga sosial yang di dalamnya terdapat sekelompok orang yang mengusung nilai-nilai tertentu untuk tujuan
120 tertentu. Setidaknya ada empat syarat agar terbentuknya sebuah organisasi sosial (dalam Pujileksono, 2015: 54). Pertama, adanya visi dan misi. Biasanya visi dan misi ini menjadi ciri khas sehingga menjadi pembeda dengan organisasi sosial lainnya. Kedua, adanya struktur atau hierarki kedudukan, baik itu tertulis secara formal ataupun informal. Ketiga, adanya keselarasan tujuan di antara para anggota. Dan keempat, adanya wilayah kerja yang jelas. Maksudnya berdasarkan hierarki kedudukan, jelas siapa mengerjakan apa. Kelima, membangun soliditas. Soliditas adalah keteguhan dan kekokohan. Yang dimaksud di sini ialah dengan menjalankan ritual khuruj mereka tengah membangun jejaring sosial untuk kemudian dengan sendirinya terbentuk soliditas. Soliditas ini terwujud jika ada sikap saling percaya di antara para anggota. Saling percaya ini bentuknya menerima dan memberi. Berkenaan dengan peran keluarga, hampir tidak saya temukan ada yang menolak ritual khuruj. Ini karena memang keluarga memiliki beberapa fungsi, yaitu, pertama adalah fungsi agama. Ini menjadi fungsi utama bagi keluarga Jamaah Tabligh. Keluarga harus menjadi media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Keluarga harus menjadi sarana untuk menyebarkan kebaikan-kebaikan yang diajarkan oleh agama. Kedua, fungsi dakwah. Peran keluarga untuk menyampaikan pesan-pesan agama dan kebaikan adalah hal yang niscaya dalam keluarga Jamaah Tabligh. Keluarga akan dimaksimalkan perannya dalam mengajak orang lain untuk mengamalkan apa-apa yang sudah ditentukan oleh Nabi Muhammad. Dakwah menjadi ruh daripada keluarga.
121 Ketiga, fungsi edukatif. Keluarga menjadi tempat di mana proses pendidikan berjalan. Istri dan anak-anak diajarkan hal-hal yang menurut bapak adalah baik dan sesuai dengan praktik Nabi Muhammad. Nilai-nilai tabligh biasanya masuk kepada anak-anak melalu pintu keluarga. Anak diajarkan prinsipprinsip yang ada dalam Jamaah Tabligh. Keempat, fungsi biologis. Fungsi ini nyaris luput dari amatan saya. Ada satu prinsip yang masih kuat mengakar di kalangan Jamaah Tabligh yakni, banyak anak, banyak rejeki. Pandangan ini berkembang hampir merata. Sehingga tidak heran kemudian anggota Jamaah Tabligh memiliki banyak anak, dan bahkan juga istri. Berpoligami adalah hal yang disunnahkan jika syarat dan ketentuannya bisa dipenuhi. Dan yang kelima adalah fungsi soliditas. Keluarga dibangun dan dijaga sedemikian rupa sehingga ia menjadi kokoh dan kuat. Keluarga menjadi unit terkecil dari terbentuknya soliditas di kalangan Jamaah Tabligh. Misalnya saja keluar A bertemu dengan keluarga B. Kemudian saling kenal dan berinteraksi. Dan dari situ dibangun soliditas. Bapak kepada istri dan anaknya menanamkan rasa ikatan batin dan emosional kepada aktfitas-aktfitas ketablighan yang ditekuni olehnya. B. Saran-saran Setelah melewati proses penelitian ini, ada beberapa hal yang menjadi catatan saya. Catatan ini semacam bentuk saran atau rekomendasi bagi penelitipeneliti berikutnya jika ingin mengambil topik pembahasan yang sama dengan
122 apa yang saya lakukan. Sudah barang tentu saran-saran ini dimaksudkan agar penelitian berikutnya bisa lebih komprehensif dan sempurna. Pertama, untuk mendapatkan gambaran secara utuh dan komprehensif, disarankan kepada peneliti-peneliti selanjutnya untuk mengikuti secara sempurna ritual khuruj. Hal ini untuk mendapatkan suasan kebatinan yang dialami oleh Jama ah Tabligh yang itu tidak diperoleh oleh mereka yang tidak berada dalam lingkar Jamaah tabligh. Menurut saya ini penting karena beberapa hal yang awalnya tampak tidak logis, ketika dapat mengikuti secara lengkap, maka pada saat itu juga kita akan merasakan hal yang sama seperti yang mereka rasakan. Kedua, perlu membekali diri dengan teknik-teknik penelitian antropologis dengan baik dan benar. Ini akan sangat membantu dalam mengumpulkan data dan bagaimana menatanya dalam sebuah tulisan yang apik. Insting antropologis yang kuat adalah modal yang sangat baik. Apalagi memasuki wilayah yang tidak semua orang bisa menyentuhnya. Demikian tulisan ini saya buat, semoga bermanfaat.