BAB III PEMBAHASAN 3.1 Definsi Pajak Pengertian Pajak

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. Berdasarkan pasal 1 undang undang No.6 tahun 1983 tentang kententuan

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS. memberikan berbagai definisi tentang pajak yang berbeda-beda, tetapi pada

BAB II LANDASAN TEORI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DAERAH DENGAN SURAT PAKSA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II LANDASAN TEORI. rakyat kepada Negara berdasarkan Undang-Undang yang dapat dipaksakan. ditunjuk atau digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. pajak, tentunya perlu dipahami dulu apa yang dimaksud dengan pajak.

BAB IV PEMBAHASAN. Realisasi Tunggakan Pajak yang Lunas Pada Kantor Pelayanan Pajak

BAB III GAMBARAN DATA. akan dapat membawa pengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) Dalam rangka mewujudkan cita-cita pembangunan nasional Negara Republik

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. untuk pencapaian tujuan yang telah dirumuskan. Implementasi merupakan tahap

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 561/KMK.04/2000 TENTANG

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DAERAH DENGAN SURAT PAKSA

Sistem pemungutan pajak dari Official Assesment System menjadi Self. administrasi di bidang perpajakan. Self Assessment System merupakan sistem

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

BAB II LANDASAN TEORI. Berikut ini beberapa pengertian pajak menurut beberapa ahli, salah. satunya menurut R. Santoso Brotodiharjo sebagai berikut:

Penagihan Pajak. a. Pengertian Penagihan Pajak b. Sifat Utang Pajak c. Tatacara Penagihan Pajak (siklus) d. Pencairan Tunggakan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1. Pajak Pengertian Pajak Rochmat Soemitro (1990;5)

: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENAGIHAN BEA MASUK DAN/ATAU CUKAI.

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. belum satu satunya. Dari berbagai alasan pengenaan pajak, kebijakan pajak di

BAB 2 LANDASAN TEORI. berbagai definisi tentang pajak yang berbeda-beda, tetapi pada dasarnya definisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2009 NOMOR 5 SERI E PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PAJAK DAERAH

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/PMK.03/2008 TENTANG

PENAGIHAN PAJAK DAN SURAT PAKSA DASAR HUKUM, PENGERTIAN, DAN JENIS-JENIS PENAGIHAN PAJAK

UU 19/2000, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 19 TAHUN 1997 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

BAB II LANDASAN TEORI. Pajak merupakan sumber pendapatan kas negara yang digunakan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengertian pajak sehingga mudah untuk dipahami. Perbedaannya hanya terletak

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pajak menurut beberapa ahli dalam Sari (2013:33) adalah

Pengertian Penagihan Pajak

BAB 2 LANDASAN TEORI Pengertian, Unsur, dan Fungsi Pajak. yang satu sama lain pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu merumuskan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Penelitian Terdahulu Erwis (2012) menyatakan, bahwa penagihan pajak dan pencairan

BAB 4 PEMBAHASAN. 4.1 Rencana Penerimaan Dan Realisasi Penerimaan PPh dan PPN Pada. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kemayoran

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani

BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN

ANALISIS EFEKTIFITAS PENERAPAN SURAT PENAGIHAN PAJAK TERHADAP PENERIMAAN PAJAK PADA KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA MEDAN POLONIA

PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG

BAB IV PEMBAHASAN. IV.I Realisasi Tunggakan Pajak yang lunas Pada Kantor Pelayanan Pajak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 3 TAHUN 1998 (3/1998) TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

BAB II LANDASAN TEORI. melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

NOMOR 19 TAHUN 1997 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2011 TENTANG

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI BANYUASIN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NO. PERDA NOMOR 2 TAHUN 2011 PERDA NOMOR 17 TAHUN 2016 KET 1. Pasal 1. Tetap

BAB I PENDAHULUAN. gencar melakukan beberapa upaya seperti halnya penentuan target penerimaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III PROSES DAN EFEKTIVITAS TINDAKAN PENAGIHAN PAJAK AKTIF

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Istilah pajak berasal dari bahasa Jawa yaitu ajeg yang berati pungutan

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESAWARAN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PESAWARAN,

BAB IV PEMBAHASAN. Surat Ketetapan Pajak (SKP) Dan Surat Tagihan Pajak (STP) Lebih Bayar (SKPLB) berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983

ANALISIS EFEKTIVITAS DAN KONTRIBUSI TINDAKAN PENAGIHAN PAJAK AKTIF DENGAN SURAT TEGURAN DAN SURAT PAKSA SEBAGAI UPAYA PENCAIRAN TUNGGAKAN PAJAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

BAB III PELAKSANAAN KULIAH KERJA PRAKTEK

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat mempengaruhi kemajuan suatu bangsa. 5 Guna mewujudkan hal. tersebut diperlukan adanya pemungutan pajak.

BAB II ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik kerja Lapangan Mandiri. memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Kondisi perkembangan negara dalam satu dekade terakhir ini menunjukkan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1997 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perpajakan. Menurut Soemitro (2010:1), pengertian pajak adalah sebagai berikut:

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN,

LANDASAN TEORI. dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah : menyelenggarakan pemerintahan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia bertujuan mewujudkan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR : 07 TAHUN 2012 TLD NO : 07

Sejak dilakukan reformasi perpajakan pada tahun 1983 yang ditandai dengan perubahan

PERATURAN WALIKOTA PARIAMAN NOMOR 33 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PENAGIHAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERKOTAAN DAN PERDESAAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN ROKAN HILIR NOMOR 2 TAHUN 2011

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat (1) mengatakan bahwa pengertian penghasilan adalah tambahan kemampuan

bahwa Penggugat memiliki tunggakan pajak sebagai berikut:

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESAWARAN NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PESAWARAN,

BAB II BAHAN RUJUKAN

A. Penagihan Pajak dengan Surat Paksa terhadap Penanggung Pajak di. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Sidoarjo Selatan.

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENAGIHAN PAJAK DAERAH DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK RESTORAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN,

BAB 4 PEMBAHASAN. 4.1 Surat Ketetapan Pajak (SKP) Dan Surat Tagihan Pajak (STP)

BUPATI TAPIN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK SARANG BURUNG WALET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berbeda-beda tetapi pada dasarnya definisi tersebut mempunyai tujuan dan

PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

a PEMERINTAH KOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

Transkripsi:

BAB III PEMBAHASAN 3.1 Definsi Pajak 3.1.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak dan pandangan para ahli dalam bidag tersebut memberikan berbagai definsi tentang pajak yang berbeda-beda, tetapi pada dasarnya definisi tersebut mempunyai tujuan yang sama. Untuk lebih jelasnya dan untuk memahami pengertian tentang apa yang dimaksud dengan pajak, maka dikemukakan beberapa definisi pajak sebagai berikut: a. Undang-undang no.28 Tahun 2007 tentang perubahan Ketiga atas Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum Perpajakan dan Tata Cara Perpajakan (KUP) bahwa: Pajak adalah kontribusi wajib pajak kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. b. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H., dalam bukunya Dasar- Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, mendefinisikan bahwa: Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontra-prestasi) yang langsung dapat ditujukan, dan yang digunakan untu membayar pengeluaran umum. Definsi-definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 1. Iuran atau kontribusi wajib rakyat kepada negara. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang). 2. Berdasarkan Undang-Undang 30

31 Dipungut oleh Pemerintah berdasarkan undang-undang sehingga bersifat memaksa sesuai aturan pelaksanaanya. 3. Tanpa jasa timbal atau kontra-prestasi secara langsung yang dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 4. Digunakan untuk membiayai pengeluaran umum sehubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan. 5. Secara khusus, undang-undang menambahkan bahwa penggunaan iuran pajak adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pemerataan kesejahteraan). 3.1.2 Fungsi Pajak Menurut Herry Purwono dalam buku Dasar-Dasar Perpajakan dan Akuntansi Pajak (2015:1) terdapat 2 fungsi ajak, yaitu: a. Fungsi Penerimaan (Revenue) Dikenal pula dengan istilah Fungsi Budgetair (Anggaran). Pajak yang berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. b. Fungsi Pemerataan (Redistribution) Pajak yang dipungut oleh negara selanjutnya akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk penyediaan fasilitas publik diseluruh wilayah negara 3.1.3 Sistem Pemungutan Pajak Menurut Mardiasmo (2009:7),Sistem pemumgutan pajak dapat dibagi menjadi 3 yaitu: a. Official Assesment System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.

32 b. Self Assesment System Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberikan wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. c. Withholding Tax System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. 3.2 Penagihan Pajak 3.2.1 Pengertian Penagihan Pajak Pelaksanaan penagihan pajak yang tegas, konsisten dan konsekuen diharapkan akan dapat membawa pengaruh positif terhadap kepatuhan Wajib Pajak dalam meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak sehingga tindakan penagihan pajak tersebut dapat menyelamatkan penerimaan pajak yang tertunda. Dalam pelaksanaannya penagihan pajak haruslah dilandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga mempunyai kekuatan hukum baik bagi wajib pajak maupun aparatur pajaknya. Kegiatan penagihan pajak dilakukan oleh bagian penagohan (seksi penagihan) di Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar. Penagihan pajak adalah tindakan penagihan yang dilakukan oleh fiskus atau juru sita pajak kepada penanggung pajak tanpa menunggu jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, masa pajak dan tahun pajak. Menurut Rusdji (2004:6), Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar Wajib Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau mempringatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan dan menjual barang yang telah disita. Sedangkan Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggungjawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan

33 hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Biaya Penagihan Pajak adalah biaya pelaksanaan surat paksa, surat perintah melakukan penyitaan, pengumuman lelang, pembatalan lelang, jasa penilai, dan biaya lainya sehubungan dengan penagihan pajak. 3.2.2 Dasar Penagihan Pajak Dalam buku KUP, Dasar penagihan pajak yaitu: 1. Pasal 18 ayat (1) UU KUP menyebutkan dasar penagihan pajak adalah: Surat Tagihan Pajak (STP) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Surat Keputusan Pembetulan, Surat keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. 3.2.3 Tindakan Penagihan Pajak Tindakan penagihan pajak dimulai dengan dikeluarkannya surat teguran, surat paksa, penyitaan, dan lelang. Urutan proses penagihan pajak menurut Rudy Suhartono dan Wirawan B Ilyas (2010:80) terlihat dalam Tabel 3.1. proses penagihan pajak berdasarkan urutannya diilustrasikan dalam Gambar 3.1

34 Urutan Tabel 3.1 Proses Penagihan Pajak Tahapan Waktu Kegiatan Pelaksanaan Penagihan Kegiatan Dasar Hukum 1. Penerbitan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo utang pajak penanggung pajak tidak melunasi utang pajaknya. 2. Penerbitan Surat Sudah lewat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterbitkannya Surat teguran atau surat peringatan dan penanggung pajak tidak melunasi pajak. 3. Penerbitan surat Setelah lewat 2 x perintah 24 jam surat paksa melaksanakan diberitahukan penyitaan kepada penanggung pajak dan utang pajak belum dilunasi. 4. Pengumuman Setelah lewat Lelang waktu 14 hari sejak tanggal Pasal 8 s.d 11 Permenkeu Nomor 24/PMK.03/2008 Pasal 7 UU Nomor 19/2000 dan pasal 15 s.d 23 peraturan menteri keuangan nomor 24/PMK.03/2008 Pasal 12 UU Nomor 19/2000 Pasal 26 Peraturan Menteri Keuangan

35 5. Penjualan / pelelangan barang sitaan pelaksanaan penyitaan dan penanggung pajak tidak melunasi utang pajak. Setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak pengumuman lelang dan penanggung pajak tidak melunasi utang pajaknya. Pasal 26 UU Nomor 19/2000 dan pasal 28 peraturan menteri keuangan nomor 24/PMK.03.2008 Tabel 3.1: Proses Penagihan Pajak

36 Gambar 3.1 Alur dan Jadwal Penagihan Pajak SKP SKPKB SKPKBT DLL SURAT TEGURAN SURAT PAKSA 7 Hari 21 Hari 2 x 24 Jam PELAKSANAAN LELANG PENGUMUMAN LELANG SPMP / PENYITAAN Tidak Lunas Lunas PENCABUTAN SITA

37 3.3 Surat Paksa 3.3.1 UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP) 1. Falsafah UU PPSP No.19/2000 a. Menampung perkembangan sistem hukum nasional perlunya dipertegaskan perolehan hak karena waris dan hibah wasiat yang merupakan objek pajak. b. Mendorong peningkatan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. c. Adanya kepastian hukum dan menegakkan keadilan. 2. Tujuan perubahan UU PPSP No.19/2000 a. Banyaknya tunggakan pajak dari waktu ke waktu menunjukkan jumlah yang semakin besar, untuk itu perlu dilaksanakan tindakan penagihan pajak yang mempunyai kekuatan hukum yang memaksa. b. Kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak merupakan posisi strategis dalam peningkatan penerimaan pajak. c. Penagihan pajak yang dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan merupakan wujud lawan enfercoment untuk meningkatkan kepatuhan yang menimbulkan aspek psikologi bagi wajib pajak. d. Memberikan perlindungan hukum, baik kepada penanggung pajak maupun kepada pihak ketiga berupa hak untuk mengajukan gugatan. 3. Hal-hal yang menjadi perhatian pada UU PPSP No.19/2000 a. Mempertegaska proses pelaksanaan penagihan pajak dengan menambahkan ketentuan Penerbitan Surat Teguran, Surat Peringatan dan Surat Lain yang sejenisnya sebelum Surat Paksa dilaksanakan. b. Mempertegas jangka waktu pelaksanaan penagihan aktif. c. Mempertegas pengertian penanggung pajak yang meliputi komisaris, pemegang saham, pemilik modal.

38 d. Menaikkan nilai peralatan usaha yang dikecualikan dari penyitaa dalam rangka menjaga kelangsungan usaha penanggung pajak. e. Menambah jenis barang yang penjualannya dikecualikan dari lelang. f. Mempertegas besarnya biaya penagihan pajak, yang didasarkan atas prosentase tertentu dari hasil penjualan. g. Mempertegas bahwa pengajuan keberatan atas permohonan banding oleh wajib pajak tidak menunda pembayaran dan pelaksanaan penagihan pajak. h. Memberi kemudahan pelaksanaan lelang dengan cara memberi batasan nilai barang yang diumumkan tidak melalui media massa dalam rangka efisiensi. i. Memperjelas hak penanggng pajak untuk memperoleh ganti rugi dan pemulihan nama baik dalam hal gugatannya dikabulkan. j. Mempertegas pemberian sanksi pidana kepada pihak yang sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pelaksanaan penagihan pajak. 3.3.2 Pelaksanaan Surat Paksa Surat Paksa diterbitkan apabila jumlah utang pajak tidak dilunasi oleh penanggung pajak setelah lewat 21 hari sejak tanggal disampaikan surat teguran kecuali apabila terhadap penanggung pajak telah diterbitkan surat penagihan seketika dan sekaligus, surat paksa dapat segera diterbitkan. UU PPSP tidak mengatur secara eksplisit kapan surat paksa paling lambat diterbitkan, namun dari bunyi ketentuan pasal 21 ayat (4) dan (5) huruf a UU KUP dapat diartikan bahwa surat paksa harus sudah diterbitkan sebelum lampau waktu 5 tahun sejak tanggal diterbitkannya STP, SKPKB, SKPKBT. Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau

39 Putusan Peninjauan kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. 3.3.3 Penerbitan Surat Paksa Menurut pasal 8 ayat (1) UU PPSP Surat Paksa diterbitkan apabila : 1. Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau Surat lain yang sejenis. 2. Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan pajak seketika dan sekaligus. 3. Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. 3.3.4 Tata Cara Pemberitahuan Surat Paksa Tata cara pemberitahuan Surat Paksa diatur dalam pasal 10 ayat (1) UU PPSP yaitu pemberitahuan Surat Paksa dilakukan oleh juru sita dengan pernyataan dan penyerahan Surat Paksa penanggung pajak yang dituangkan dalam berita acara. Pemberitahuan Surat Paksa kepada Orang Pribadi: 1. Penanggung pajak ditempat tinggal tempat usaha atau ditempat lain yang memungkinkan. 2. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun bekerja ditempat usaha penanggung pajak, apabila penanggung pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai. 3. Salah seorang ahli waris atau pelaksanaan wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, apabila wajib pajak meninggalkan dunia dan harta warisan belum dibagi. 4. Para ahli waris apabila penanggung pajak yang telah mennggal dunia dan harta warisan telah dibagi.

40 3.4 Penyitaan Penyitaan dilakukan berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan jika penanggung pajak tidak melunasi utang pajak setelah 2 x 24 jam setelah surat pajak diberitahukan. Dalam penagihan pajak dengan surat paksa, juru sita pajak berwenang melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan Wajib Pajak. Dalam melaksanakan penyitaan, juru sita pajak harus: 1. Memperlihatkan kartu tanda pengenal juru sita pajak. 2. Memperlihatkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. 3. Memberitahukan tentang maksud dan tujuan penyitaan. Penyitaan menurut Hadi (2001:4), yaitu serangkaian tindakan dari juru sita pajak yang dibantu oleh 2 orang saksi untuk menguasai barang-barang dari Wajib Pajak, guma dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak sesuai dengan perundang-undangan. Penyitaan dilaksanakan oleh juru sita pajak dengan disaksikan oleh sekuran-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa, penduduk indonesia, dikenal oleh juru sita pajak, dan dapat dipercaya. Setiap penyitaan Juru Sita membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita, ditandatangani oleh Juru Sita, penanggung pajak, dan saksi. Dalam hal penanggung pajak adalah badan maka Berita Acara Pelaksanaan Sita ditandatangani oleh pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal atau pegawai tetap perusahaan. Penyitaan dapat dilakukan meskipun penanggung pajak tidak hadir asalkan salah seorang saksi dari Pemda, Berita Acara Pelaksanaan Sita ditandatangani oleh penanggung pajak dan saksi-saksi. Berita Acara Pelaksanaan Sita tetap sah jika penanggung pajak menolak untuk menandatangani. Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita ditempelkan pada barang yang disita atau barang yang disita berada di tempat umum. Atas barang yang disita ditempel segel sita. Selain itu, Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita disampaikan kepada: 1. Penanggung Pajak 2. Polisi untuk barang bergerak yang kepemilikannya terdaftar.

41 3. Badan Pertanahan Nasional, untuk tanah yang kepemilikannya sudah terdaftar. 4. Pemerintah daerah dan Pengadilan Negeri setempat, untuk tanah yang kepemilikannya belum terdaftar. 5. Dirjen Perhubungan Laut, untuk kapal. 3.4.1 Objek Sita Undang-undang no.19 tahun 2000 Pasal 14 ayat 1 menjelaskan bahwa penyitaan dapat dilaksanakan terhadap milik Wajib Pajak berada ditempat tinggal, di tempat usaha, di tempat kedudukan atau di tempat lain termasuk penguasaannya yang berada di tangan pihak lain yang dibebani dengan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, berupa: 1. Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan dan kapal dengan isi kotor tertentu. 2. Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran ataupun bentuk lainnya. 3.4.2 Pengecualian Objek Sita Barang bergerak yang dikecualikan dari penyitaan adalah: 1. Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh penanggung pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya. 2. Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang berada dirumah. 3. Perlengkapan penanggung pajak yang bersifat dinas yang diperbolehkan dari Negara. 4. Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan penanggung pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan dan keilmuan. 5. Perlatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekrjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah).

42 Besarnya nilai perlatan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan atau Keputusan Kepala Daerah. 6. Peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh penanggung pajak dan keluarga yang menjadi tanggungan. Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap barang yang telah disita oleh Pengadilan negeri atau instansi lain yang berwenang. Terhadap barang yang telah disita tersebut, Jurusita Pajak menyampaikan Surat Paksa kepada Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang. Pengadilan Negeri dalam sidang berikutnya menetapkan barang tersebut sebagai jaminan pelunasan utang pajak. Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang menentukan pembagian hasil penjualan barang tersebut berdasarkan ketentuan hak mendahului Negara untuk tagihan pajak. 3.4.3 Hak Mendahulu Hak mendahului untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahului lainya, kecuali terhadap: 1. Biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan barang tidak bergerak. 2. Biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang tersebut. 3. Biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaina suatu warisan. Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan apabila: 1. Nilai barang yang disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak. 2. Hasil pelelangan barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak.

43 3.5 Daluwarsa Penagihan Pajak UU KUP juga mengatur mengenai jangka waktu bagi Dirjen Pajak untuk melakukan penagihan pajak. Apabila sudah melampaui jangka waktu yang ditentukan maka hak untuk melakukan penagihan pajak tersebut menjadi daluwarsa. 3.5.1 Jangka Waktu Hak Penagihan Pasal 22 UU KUP menyebutkan bahwa hak untuk melakukan penagihan pajak termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan: 1. Surat Tagihan Pajak 2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar 3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan 4. Surat Keputusan Pembetulan 5. Surat Keputusan Keberatan 6. Putusan Banding 7. Putusan Peninjauan Kembali Daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak Surat Tagihan Pajak dan Surat Ketetapan Pajak diterbitkan. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, keberatan, banding atau peninjauan kembali, daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. 3.5.2 Tertangguhnya Daluwarsa Penagihan Pajak Menurut Pasal 22 UU KUP, daluwarsa penagihan pajak tertangguh apabila: 1. Diterbitkan Surat Paksa 2. Ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung. 3. Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.

44 4. Dilakukan penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan. Daluwarsa penagihan pajak menjadi tertangguh dan dihitung 5 (lima) tahun sejak tanggal penerbitan atau pelaksanaan kegiatan tersebut diatas. 3.6 Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan Penyitaan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Semarang Barat. Penagihan dengan surat paksa dan penyitaan mempunyai peran yang cukup penting dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak. Hal ini dikarenakan dengan adanya penagihan, wajib pajak yang masih mempunyai utang pajak akan segera membayar utangnya sehingga penerimaan pendapatan dapat bertambah. Adapun data kegiatan penagihan pajak yang ada di Kantor Pajak Pratama Semarang Barat adalah sebagai berikut: Tabel 3.2 Data Kegiatan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa KPP Pratama Semarang Barat Tahun 2014, 2015 dan 2016 Tahun 2014 Tahun 2015 Tahun 2016 Lembar Nilai Lembar Nilai Lembar Nilai 334 27.171.877.582 478 24.812.774.303 584 12.493.002.250 Sumber: Seksi Penagihan Semarang Barat Tabel 3.3 Data Kegiatan Penagihan Pajak dengan Penyitaan KPP Pratama Semarang Barat Tahun 2014, 2015 dan 2016 Tahun 2014 Tahun 2015 Tahun 2016 Lembar Nilai Lembar Nilai Lembar Nilai 19 20.408.458.931 7 7.311.236.044 13 9.050.570.101 Sumber: Seksi Penagihan Semarang Barat Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa kegiatan penagihan pajak dengan surat paksa dari tahun 2014 sampai dengan tahun 2016 mengalami kenaikan. Tahun 2014 hingga tahun 2015 kegiatan penagihan dengan surat paksa mengalami kenaikan sebanyak 144 kegiatan. Sedangkan dari tahun 2015 ke tahun

45 2016 mengalami kenaikan sebanyak 106 kegiatan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak dari tahun 2014-2016 mengalami penurunan. Mengenai penagihan pajak dengan penyitaan dari tahun 2014 hingga tahun 2015 mengalami penurunan yaitu sebanyak 12 kegiatan. Sedangkan dari tahun 2015 ke tahun 2016 mengalami peningkatan sebanyak 6 kegiatan. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 2016 tingkat kepatuhan wajib pajak mengalami penurunan. Pada tahun 2014, jumlah penagihan dengan surat paksa adalah 334 surat dan penyitaan 19 surat. Hal ini menunjukkan bahwa ada 315 utang pajak yang telah dibayar oleh wajib pajak terutang. Sedangkan pada tahun 2015, jumlah penagihan dengan surat paksa adalah 478 surat dan penyitaan 7 surat. Hal ini menunjukkan bahwa utang pajak yang telah dibayar adalah 471. Dan pada tahun 2016 jumlah penagihan dengan surat paksa adalah 584 surat dan penyitaan 13 surat. Hal ini menunjukkan bahwa 571 utang pajak telah dibayar oleh wajib pajak terutang. Dalam hal efektivitas penerbitan surat paksa, maka rumusnya adalah perbandingan antara jumlah pencairan tunggakan pajak melalui penagihan dengan surat paksa dengan potensi pencairan tunggakan pajak dengan surat paksa, dengan asumsi bahwa potensi pencairan tunggakan pajak dengan surat paksa adalah semua tunggakan pajak yang diterbitkan surat paksa diharapkan dapat ditagih. Efektivitas penyampaian Surat Paksa dihitung dengan rumus berikut : Efektivitas : jumlah penagihan yang dibayar / pencairan x 100% jumlah penagihan yang diterbitkan Adapun data perbandingan target pencairan piutang dan pencairan dengan surat paksa dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama Semarang Barat adalah sebagai berikut:

46 Tabel 3.4 Data Perbandingan Target Pencairan Piutang dan Pencairan dengan Surat Paksa dari Kantor Pajak Pratama Semarang Barat TAHUN 2014 2015 2016 Target Pencairan Surat Paksa Target Pencairan Surat Paksa Target Pencairan Surat Paksa Piutang Piutang Piutang 109% 12% 82% 23% 41% 19% (Sumber: Data Sekunder Kantor Pelayanan Pajak Pratama Semarang Barat, diolah, 2017) Sedangkan data perbandingan target pencairan piutang, pencairan dengan surat paksa dan pencairan dengan SPMP dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama Semarang Barat pada tahun 2014 adalah sebagai berikut: Tabel 3.5 Data Perbandingan Target Pencairan Piutang, Pencairan dengan Surat Paksa dan SPMP dari tahun 2014 Target Pencairan Pencairan Surat Paksa Pencairan SPMP Piutang 109% 12% 11% (Sumber: Data Sekunder Kantor Pelayanan Pajak Pratama Semarang Barat,diolah,2017) Adapun data perbandingan target pencairan piutang, pencairan dengan surat paksa, dan pencairan dengan SPMP dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama Semarang Barat tahun 2015 adalah sebagai berikut :

47 Tabel 3.6 Data Perbandingan Target Pencairan Piutang, Pencairan dengan Surat Paksa dan SPMP dari tahun 2015 Target Pencairan Pencairan Surat Paksa Pencairan SPMP Piutang 82% 23% 9% (Sumber: Data Sekunder Kantor Pelayanan Pajak Pratama Semarang Barat, diolah, 2017) Tabel 3.7 Data Perbandingan Target Pencairan Piutang, Pencairan dengan Surat Paksa dan SPMP dari tahun 2016 Target Pencairan Pencairan Surat Paksa Pencairan SPMP Piutang 41% 19% 29% (Sumber: Data Sekunder Kantor Pelayanan Pajak Pratama Semarang Barat, diolah, 2017) Dari data-data diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan adanya penagihan dengan surat paksa dan penyitaan maka penerimaan pajak otomatis akan bertambah. Begitu juga sebaliknya bahwa apabila tidak ada penagihan dengan surat paksa dan penyitaan maka penerimaan tidak akan bertambah. Apabila dikaitkan dengan efektivitas hukum, Pasal 20 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta Pasal 8 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa masih kurang efektif dimasyarakat dalam hal upaya mengoptimalkan penerimaan pajak. Menurut Soekanto suatu hukum dapat dikatakan efektif apabila: a. Telah mencapai tujuan yang dikehendaki terutama pembentuk hukum serta pelaksana hukum yang bersangkutan. b. Masyarakat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan atau dikehendaki oleh hukum.

48 Dari kriteria diatas maka dapat dikatakan bahwa tindakan penagihan dengan surat paksa dan penyitaan sebagai pelaksanaan dari peraturan diatas masih kurang efektif. Peraturan ini dikatakan masih kurang efektif karena penerimaan pajak, masyarakat khususnya wajib pajak yang memiliki tunggakan pajak tidak semuanya mau membayar tunggakan pajaknya. Menurut Siagian, untuk mengukur tingkat efektivitas dari suatu sistem kerja dapat juga dengan memberikan peringkat dengan menggunakan skala peringkat. Skala peringkat yang digunakan adalah sebagai berikut: a. >100 sangat efektif; b. 90-100 efektif; c. 80-89 cukup efektif; d. 70-79 kurang efektif; e. <69 tidak efektif. Apabila pendapat Siagian dikaitkan dengan data terkait penagihan dengan surat paksa maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada tahun 2014 kegiatan penagihan yang dilakukan oleh KPP Pratama Semarang Barat tidak efektif. Karena prosentasenya sebesar 12% kurang dari 69% dan tidak semua wajib pajak mau membayar tunggakan pajaknya. Pada tahun 2015 kegiatan penagihan pajak dengan surat paksa juga tidak efektif. Karena prosentasenya sebesar 23% kurang dari 69%. Begitu pula pada tahun 2016, kegiatan penagihan pajak yang dilakukan KPP juga tidak efektif. Karena prosentasenya sebesar 19% kurang dari 69%. Sedangkan apabila teori efektivitas oleh Siagian dikaitkan dengan data terkait penagihan dengan penyitaan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada tahun 2014 kegiatan penagihan penyitaan di KPP Pratama Semarang Barat tidak efektif karena prosentasenya sebesar 11% belum mencapai 69%. Pada tahun 2015 kegiatan penagihan pajak tergolong lebih tidak efektif lagi karena prosentasenya lebih rendah dari tahun 2014 yaitu sebesar 9% masih dibawah 69%. Dan pada tahun 2016 prosentasenya meningkat menjadi 29% namun masih dibawah 69% dan termasuk tidak efektif.

49 Dari analisis diatas dapat disimpulkan bahwa jika data dikaitkan dengan teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dan Siagian, kegiatan penagihan pajak dengan surat paksa serta penyitaan tergolong tidak efektif dan penerimaan pajak pada KPP Pratama Semarang Barat menurun. 3.7 Hambatan dan Solusi Pelaksanaan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan Penyitaan dalam Upaya Optimalisasi Penerimaan Pajak. Dalam melaksanakan penagihan pajak dengan surat paksa dan penyitaan sebagai upaya optimalisasi penerimaan pajak, KPP Pratama Semarang Barat memiliki hambatan-hambatan sebagai berikut: a. Penanggung pajak tidak kooperatif. b. Wajib Pajak tidak ditemukan disebabkan karena adanya Wajib Pajak yang pindah tanpa memberikan pemberitahuan sehingga juru sita kesulitan mencari objek sita. Selain itu biasanya dalam menyampaikan Surat Paksa maupun Surat Teguran sering tidak sampai kepada Wajib Pajak yang bersangkutan karena ketidak jelasan alamat yang dituju. c. Sumber daya manusia yang berada di KPP Pratama Semarang Barat jumlahnya masih kurang. Dimana hanya terdapat dua juru sita pajak di KPP Pratama Semarag Barat. Untuk menghadapi hambatan-hambatan diatas, dapat dilakukan dengan upaya-upaya sebagai berikut: a. Berusaha meningkatkan kualitas pelayanan perpajakan terhadap masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas bagi wajib pajak yang dengan sengaja tidak membayar pajak. b. Koordinasi dengan Pemerintah Daerah setempat. c. Pengadaan pegawai atau penambahan pegawai sebagai jurusita pajak sesuai syarat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 562/KMK.04/2000, pasal 2.