Lex Crimen Vol. III/No. 4/Ags-Nov/2014

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2

NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

Lex Privatum, Vol. IV/No. 5/Juni/2016

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

BAB II PEMBERIAN GRASI TERHADAP TERPIDANA DI INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 3 TAHUN 1950 TENTANG PERMOHONAN GRASI

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PENUTUP. terdahulu, maka penulis menyimpulkan beberapa hal yaitu :

KEDUDUKAN PRESIDEN DALAM MEMBERIKAN GRASI 1 Oleh : Rezha Donald Makawimbang 2

Lex Administratum, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

DAFTAR PUSTAKA. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

BAB II. Prosedur Pengajuan Grasi Kepada Presiden Baik Tahap I. Maupun Tahap II

SANKSI PIDANA PELANGGARAN KEWAJIBAN OLEH APARATUR HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA 1 Oleh: Wailan N. Ransun 2

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan pemerintahan suatu negara. Salah satu hak prerogatif Presiden yang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

STANDAR PELAYANAN PERKARA PIDANA

BAB III PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis penulis yang telah dilakukan maka dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.155, 2009 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5074)

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan yang sudah diuraikan sebelumnya maka penulis. menyimpulkan bahwa :

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Privatum, Vol.II/No. 3/Ags-Okt/2014

2016, No tentang Grasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5150); 2. U

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ARTIKEL 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM

Lex Crimen Vol. V/No. 3/Mar/2016. Kata kunci: Penyelesaian sengketa, pelanggaran, hak cipta, pengadilan niaga

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) KEPANITERAAN PIDANA

2008, No.59 2 c. bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pem

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

BAB IV PENUTUP A. Simpulan

BAB I PENDAHULUAN. berlaku dalam kehidupan bermasyarakat yang berisi mengenai perintah-perintah

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. hukum tetap ini merupakan upaya hukum luar biasa, dalam memperoleh kekuatan


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Transkripsi:

PERMOHONAN GRASI TERPIDANA MATI ATAS PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH MEMPEROLEH KEKUATAN HUKUM TETAP 1 Oleh : Fernalia F. Sumampow 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah pengaturan hukum mengenai hak terpidana mati dalam mengajukan permohonan grasi dan bagaimanakah tata cara penyelesaian permohonan grasi oleh terpidana mati atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan : 1. Peraturan perundang-undangan mengatur hak terpidana mati pidana, penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun untuk dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden, berupa peringanan atau perubahan jenis pidana, pengurangan jumlah pidana atau penghapusan pelaksanaan pidana, terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. 2. Penyelesaian permohonan grasi dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi sebagaimana. Pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung. Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Presiden. Kata kunci: Grasi, Pidana, Mati PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Menurut Penjelasan Umum Atas Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, sebagaimana telah dilakukan perubahan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Grasi. Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur bahwa Presiden memberikan grasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Grasi, pada dasarnya, pemberian dari Presiden 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Deine R. Ringkuangan, SH, MH; Debby Telly Antow, SH, MH; Christine S. Tooy, SH, MH. 2 NIM. 100711104. Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat dalam bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana. Dengan demikian, pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana. 3 Dalam penulisan Skripsi ini penulis bermaksud untuk membahas mengenai hak terpidana mati untuk mengajukan permohonan grasi dan upaya penyelesaian permohonan grasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya mengenai batasan waktu untuk pengajuan permohonan grasi bagi terpidana mati agar dapat diperoleh kepastian hukum mengenai dikabulkannya atau ditolaknnya permohonan grasi oleh presiden sehingga pelaksanaan pidana mati dapat segera dilaksanakan untuk memberikan kepastian hukum. B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimanakah pengaturan hukum mengenai hak terpidana mati dalam mengajukan permohonan grasi? 2. Bagaimanakah tata cara penyelesaian permohonan grasi oleh terpidana mati atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap? C. METODE PENELITIAN Metode Penelitian yang digunakan dalam menyusun karya ilmiah dalam bentuk Skripsi ini, yakni metode penelitian hukum normatif. PEMBAHASAN A. HAK TERPIDANA MATI UNTUK MENGAJUKAN PERMOHONAN GRASI Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 4 menyatakan Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak hak manusia yang tidak dapat 3 Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. I. Umum. 178

dikurangi dalam keadaan keadaan apapun dan oleh siapapun. Penjelasan Pasal 4 menyatakan bahwa: yang dimaksud dengan dalam keadaan apapun termasuk keadaan perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat. Dengan demikian setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. Pasal 9 ayat (1) menyatakan bahwa: setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya Penjelasan Pasal 9 menjelaskan bahwa: Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus terpidana mati, maka tindakan aborsi atau terpidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Grasi, Pasal I menyatakan: Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4234) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 ayat: (1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden. (2) Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun. (3) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. Penjelasan Pasal I Angka 1. Pasal 2 ayat (1) Kata dapat dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada terpidana untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak untuk mengajukan permohonan grasi sesuai dengan Undang-Undang ini. Yang dimaksud dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah : 1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; 2. Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau 3. Putusan kasasi. Yang dimaksud dengan pengadilan adalah pengadilan di lingkungan peradilan umum atau pengadilan di lingkungan peradilan militer yang memutus perkara pidana. Ayat (3) Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan pengajuan permohonan grasi dan menghindari pengaturan diskriminatif. Grasi, Pasal 3: Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati. Pasal 4 ayat: (1) Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. (2) Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa: a. peringanan atau perubahan jenis pidana; b. pengurangan jumlah pidana; atau c. penghapusan pelaksanaan pidana. Grasi, mengatur mengenai Pengajuan Permohonan Grasi. Pasal 5 ayat: (1) Hak mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama. (2) Jika pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana tidak hadir, hak terpidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama. Penjelasan Pasal 5 ayat (2) Kewajiban panitera untuk memberitahukan secara tertulis hak terpidana untuk mengajukan grasi, berlaku pula dalam hal putusan dijatuhkan pada tingkat banding atau kasasi. Pasal 6 ayat: (1) Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya diajukan kepada Presiden. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh keluarga terpidana, dengan persetujuan terpidana. (3) Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana. Penjelasan Pasal 6 ayat (2) Yang dimaksud dengan keluarga adalah isteri atau suami, anak kandung, orang tua kandung, atau saudara sekandung terpidana. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan 179

Atas Grasi, Pasal I angka (2): menyatakan Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 6A, yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 6A ayat: (1) Demi kepentingan kemanusiaan dan keadilan, menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dapat meminta para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 untuk mengajukan permohonan grasi. (2) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang meneliti dan melaksanakan proses pengajuan Grasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 6A ayat (1) dan menyampaikan permohonan dimaksud kepada Presiden. angka (3) menyatakan: Ketentuan Pasal 7 ayat (2) diubah, sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 ayat: (1) Permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. (2) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Grasi, Pasal 8 ayat: (1) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden. (2) Salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. (3) Permohonan grasi dan salinannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat disampaikan oleh terpidana melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana. (4) Dalam hal permohonan grasi dan salinannya diajukan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada Presiden dan salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan salinannya. B. TATA CARA PENYELESAIAN PERMOHONAN GRASI OLEH TERPIDANA MATI Grasi, mengatur mengenai Penyelesaian Permohonan Grasi. Pasal 9 menyatakan: Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung. angka (4): Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10: Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Presiden. Grasi, Pasal 11 ayat: (1) Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. (2) Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi. (3) Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung. Pasal 12 ayat: (1) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) disampaikan kepada terpidana dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak ditetapkannya Keputusan Presiden. (2) Salinan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada: a. Mahkamah Agung; b. Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama; c. Kejaksaan negeri yang menuntut perkara terpidana; dan d. Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana. Penjelasan Pasal 12 ayat (2) huruf (b) dan huruf (c): Dalam hal terpidana anggota Tentara Nasional Indonesia, salinan keputusan grasi disampaikan kepada pengadilan di lingkungan Peradilan Militer yang memutus perkara pidana pada tingkat pertama dan oditurat militer yang menuntut perkara terpidana. Huruf (d): Dalam hal terpidana anggota Tentara Nasional Indonesia, salinan keputusan grasi disampaikan kepada Kepala Lembaga 180

Pemasyarakatan Militer tempat terpidana menjalani pidana. Pasal 13: Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana. Pasal 14 ayat: (1) Dalam hal permohonan grasi diajukan dalam waktu bersamaan dengan permohonan peninjauan kembali atau jangka waktu antara kedua permohonan tersebut tidak terlalu lama, maka permohonan peninjauan kembali diputus lebih dahulu. (2) Keputusan permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak salinan putusan peninjauan kembali diterima Presiden. (3) Ketentuan mengenai tata cara penyelesaian permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. angka (5): Di antara Pasal 15 dan Bab VI disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 15A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 15A ayat: (1) Permohonan grasi yang belum diselesaikan berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi diselesaikan paling lambat tanggal 22 Oktober 2012. (2) Terhadap terpidana mati yang belum mengajukan permohonan grasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, jangka waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dihitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku. Penjelasan Angka 5 Pasal 15A ayat (1): Perpanjangan waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal 22 Oktober 2002 sampai dengan tanggal 22 Oktober 2012 dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum bagi penyelesaian permohonan Grasi yang diajukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi dan telah diproses berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002, namun belum selesai. Pasal II: Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, disahkan di Jakarta pada tanggal 20 Agustus 2010 dan ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia, DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 Agustus 2010 dan ditandatangani oleh Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Patrialis Akbar serta dimasukkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 100. Menurut Poltaris, pada saat suatu undangundang dibahas dan dibicarakan oleh legislatif, semua berpendapat sudah baik dan sempurna, akan tetapi pada saat diundangkan, undang-undang tersebut langsung berhadapan dengan berbagai macam masalah konkreto yang tidak terjangkau dan tidak dipikirkan pada saat pembahasan dan perumusan. 4 Pidana mati memang suatu pidana yang memiliki ciri yang khas, bersifat istimewa, dan berbenda dengan jenis pidana pokok lainnya. Pidana mati sekali dijalankan, tidak munkin untuk diubah atau ndiperbaiki lagi, jika ternyata ada keliruan atau pun kekhilafan atau ditemukan unsur novum (baru) dalam kasus tersebut. Dengan perkataan lain, sekali eksekusi pidana mati telah dijalankan, orang yang sudah kehilangan nyawa itu, tidak munkin dihidupkan lagi. Ilmu kedokteran yang secanggih apa pun tidak mungkin bias menghidupkan orang yang telah ditembak mati. 5 Mungkin dengan pertimbangan yang demikian, meskipun untuk hal tersebut tidak diungkapkan secara jelas dan gamblang dalam undang-undang, maka dapatlah dimengerti mengapa eksekusi pidana mati tidak melaksanakan dengan segera dibandingkan dengan jenis pidana pokok lainnya, seperti pidana penjara dan pidana denda. Tidaklah mengerankan, mengapa bukan saja bertalina dengan jenis pidana mati orang berpolemik dalam arti pro dan kontra sampai masa kini, melainkan bertalian dengan kapan waktunya yang tepat pidana mati harus dilaksanakan, tetap merupakan suatu problematika yang belm dapat dipecahkan memuaskan pera pihak yang berpolemik. 6 4 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Cetakan Ketiga belas, Sinar Grafika, Agustus 2010, Jakarta hal. 12. 5 J.E. Sahetapy, Pidana Mati Dalam Negara Pancasila, Cetakan Ke-1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal. 67. 6 Ibid. 181

PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Peraturan perundang-undangan mengatur hak terpidana mati pidana, penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun untuk dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden, berupa peringanan atau perubahan jenis pidana, pengurangan jumlah pidana atau penghapusan pelaksanaan pidana, terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. 2. Penyelesaian permohonan grasi dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi sebagaimana. Pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung. Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Presiden. Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi. B. SARAN 1. Hak terpidana mati untuk mengajukan permohonan grasi perlu dimanfaatkan sebaiknya oleh terpidana mati, kusa hukumnya dan keluarga sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku karena kebebasan untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak untuk mengajukan permohonan grasi telah diatur oleh peraturan perundang-undangan, namun demikian dalam Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Dengan demikian bukan berarti hak untuk mengajukan permohonan grasi dipahami sebagai hak yang mutlak untuk memperoleh penghapusan pelaksanaan pidana mati yang harus dikabulkan. 2. Penyelesaian permohonan grasi bagi terpidana mati perlu dupayakan sesuai dengan waktu yang telah diatur dalam peraturan dalam peraturan perundang-undangan yang telah memberikan batasan waktu pengajuan permohonan grasi bagi terpidana mati, sehingga dalam pelaksanaannya eksekusi atau pelaksanaan pidana mati dapat dilaksanakan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan untuk memberikan kepastian hukum. DAFTAR PUSTAKA Anonim, Kamus Hukum, Penerbit Citra Umbara, Bandung, 2008. Eide Absjorn, Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Sebagai Hak Asasi Manusia, dalam Ifdhal Kasim dan Johanes de Masenus Arus (editor) Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Esai-Esai Pilihan, Buku II, Cet. Pertama, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta, 2001. Hamzah Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan III. Edisi Revisi. Rineka Cipta, Jakarta, 2008. Harahap Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Cetakan Ketiga belas, Sinar Grafika, Jakarta. 2010. Howard R.E.,, HAM Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2000. Huda Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan (Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana), Kencana, Jakarta, 2006. Manan Bagir, Perkembangan Pemikiran dan pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, PT. Alumni, Bandung. 2001. Masriani Tiena Yulies, Pengantar Hukum Indonesia, sinar grafika, Jakarta, cetakan kelima, November 2009. Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta. 2008. Prodjodikoro Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Cetakan Keempat, PT. Refika Aditama, Bandung, Februari, 2011. Sudarso Yus, Slamet Wahyudi dan Syahrial Yuska, Ilmu Hukum Dalam Perspektif Filsafat Ilmu, Dalam Trianto & Titik Triwulan Tutik, Bunga Rampai Hakikat Keilmuan Ilmu Hukum, Suatu Tunjauan Dari Sudut Pandang Filsafat Ilmu, Prestasi Pustaka, Cetakan Pertama, Jakarta, Maret 2007. Prasetyo Teguh, Hukum Pidana, Edisi Revisi, edisi 1. Cetakan ke-2. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. 2002. Sahetapy J.E., Pidana Mati Dalam Negara Pancasila, Cetakan Ke-1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007. SUMBER-SUMBER LAIN Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. I. Umum. Grasi. I. Umum. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi I. Umum. 182