I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi sampai ke Papua (Spalding et al., 2010). Mangrove adalah tumbuhan berkayu yang hidup diantara daratan dan lautan daerah pasang surut, kondisi tanah berlumpur dan salinitas tinggi di daerah tropis dan subtropis (Duke et al., 2007). Mangrove merupakan salah satu ekosistem yang paling produktif di bumi dibandingkan dengan ekosistem lainya (Clough et al., 2000), dan memberikan sumbangan sangat potensial untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) (Bouillon, 2011). Hutan mangrove memainkan peranan penting dalam strategi mitigasi terhadap perubahan iklim, yaitu kemampuannya menyimpan lima kali lebih banyak karbon dibandingkan tipe hutan lainnya sekitar 1,023 ton karbon atau setara 3,750 ton CO 2 /ha (sekitar 60% berada di dalam tanah/lumpur) di hutan mangrove yang masih utuh di kawasan Indo-Pacific (Donato et al., 2011). Namun hutan mangrove terus mengalami kerusakan dengan cepat, sejalan dengan persoalan meningkatnya emisi GRK yang menekankan perlunya hutan mangrove dilindungi sebagai bagian dari upaya global mitigasi perubahan iklim. Keberadaan hutan mangrove sangat menentukan dan menunjang tingkat perkembangan sosial dan perekonomian masyarakat pantai. Dari segi ekonomis, hutan mangrove merupakan sumber penghasil produk hasil
hutan yang bernilai ekonomis tinggi, seperti kayu, sumber pangan, bahan kosmetika, bahan pewarna dan penyamak kulit, serta sumber pakan ternak dan lebah. Selain itu, hutan mangrove merupakan tempat pemijahan berbagai jenis ikan dan udang, yang diharapkan dapat mendukung peningkatan hasil tangkapan ikan dan budidaya tambak yang diusahakan oleh para nelayan dan petani tambak. Pada beberapa tipe ekologi wilayah pantai, hutan mangrove sangat berperan penting bagi perlindungan wilayah dari abrasi pantai, pencegah intrusi air laut, serta sebagai penyangga terhadap sedimentasi dari daratan ke lautan. Keanekaragaman jenis flora dan fauna serta keunikan ekosistem mangrove, dapat dikembangkan dan dilestarikan untuk ekowisata atau bahkan taman nasional di beberapa wilayah pantai (Departemen Kehutanan, 2005). Kondisi hutan mangrove sampai saat ini masih mengalami tekanan - tekanan akibat pemanfaatan dan pengelolaannya yang kurang memperhatikan aspek kelestarian. Tuntutan pembangunan yang lebih menekankan pada tujuan ekonomi dengan mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik seperti konversi hutan mangrove untuk pengembangan kota-kota dan pemukiman pantai, perluasan tambak dan lahan pertanian serta adanya penebangan yang tidak terkendali, telah terbukti menjadi faktor - faktor penyebab kerusakan ekosistem hutan mangrove dan degradasi lingkungan pantai. Kondisi seperti ini diperberat lagi dengan terjadinya pencemaran air sungai, laut dan eksploitasi sumberdaya laut yang tidak ramah lingkungan, sehingga kualitas lingkungan pantai saat ini umumnya berada dalam kondisi
yang cukup mengkhawatirkan. Indikasi adanya ancaman terhadap degradasi hutan mangrove masih berlangsung pada hampir semua wilayah pantai. Secara umum, hal ini disebabkan oleh adanya peraturan perundangan dan penegakan hukum yang masih kurang tegas. Di samping itu, kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi dan perlindungan ekosistem mangrove masih lemah sebagai akibat kurangnya intensitas penyuluhan dan kurang optimalnya pengembangan kapasitas dan kapabilitas kelembagaan (Departemen Kehutanan, 2009). Keberadaan hutan lindung mangrove di Pelabuhan Kuala Langsa, Kota Langsa, Aceh, telah memberikan dampak yang signifikan pada pertumbuhan dan perkembangan ekonomi masyarakat Langsa. Hutan mangrove yang dilindungi oleh peraturan daerah atau qanun Kota Langsa tersebut, berfungsi sebagai ekowisata bagi masyarakat setempat (Bappeda Kota Langsa, 2012). Mengingat pentingnya keberadaan dan peranan ekosistem hutan mangrove bagi daerah pantai, maka penataan dan pengelolaan hutan mangrove yang sesuai dengan sifat dan karakteristiknya sangat perlu dilakukan. Dalam hal ini, salah satu upaya yang diperlukan adalah kegiatan rehabilitasi hutan mangrove. Untuk mendukung kegiatan tersebut, diperlukan adanya kegiatan inventarisasi dan identifikasi jenis di hutan mangrove yang dapat memberikan dasar dan arahan bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan rehabilitasi hutan mangrove (Departemen Kehutanan, 2009).
Penelitian tentang estimasi stok karbon pada tegakan mangrove diperlukan untuk mengetahui jumlah karbon yang diserap oleh mangrove, kita akan lebih memahami manfaat ekologi mangrove sebagai penyerap karbon sehingga usaha konservasi mangrove dalam rangka mengurangi pemanasan global serta sebagai usaha perdagangan karbon dapat lebih ditingkatkan. 1.2. Kerangka Pemikiran Alur berpikir di dalam melakukan penelitian ini merujuk pada Gambar 1: Hutan Mangrove Kota Langsa - Aceh Pemilihan lokasi penelitian (Hutan Lindung Mangrove Kuala Langsa- Aceh ) Analisis Keanekaragaman Mangrove Tingkat Kerusakan Potensi Karbon Baik Rusak Gambar 1. Kerangka berfikir dalam penelitian 1.3. Tujuan Penelitian 1. Diperoleh data tentang kondisi aktual keanekaragaman jenis mangrove. 2. Mendapatkan nilai potensi karbon tersimpan dalam kawasan hutan lindung mangrove Kuala Langsa.
3. Mendapatkan nilai tingkat kerusakan di hutan lindung mangrove Kuala Langsa. 1.4. Mafaat Penelitian 1. Memberikan informasi tentang kondisi aktual keanekaragaman jenis vegetasi penyusun hutan lindung mangrove Kuala Langsa. 2. Diharapkan dapat digunakan sebagai informasi bagi peneliti dan semua pihak yang berkepentingan dalam rangka pengelolaan dan pengembangan cadangan karbon tersimpan pada pohon di kawasan hutan lindung mangrove khususnya Kuala Langsa yang dapat digunakan untuk rencana aksi daerah dalam penurunan emisi GRK.