KETIKA GEMPA DAN TSUNAMI MELULUH- LANTAKKAN AMBON DAN SEKITARNYA Kepulauan Nusantara terletak di kawasan yang terkenal sebagai Cincin Api Pasifik (Pacific Ring of Fire). Julukan itu berkaitan dengan posisi Indonesia yang merupakan bagian dari rangkaian gunung api yang memanjang mulai dari New Zealand lewat kepulauan Nusantara terus ke utara sampai ke Jepang dan melanjut sepanjang pantai barat benua Amerika. Kawasan Cincin Api ini merupakan bagian kulit bumi yang sangat aktif secara geologi yang tercermin dari tingginya aktivitas vulkanisme dan kegempaan. Gempa kuat yang terjadi di dasar laut berpotensi menyebabkan terjadinya tsunami berupa gelombang dahsyat yang datang mendadak menhantam kawasan pantai yang tentunya dapat menimbulkan bencana besar di kawasan pantai. Gambar 1. Kiri: G. E. Rumphius (1627-1702). Kanan: Buku Rumphius Waerachtigh Verhael van der Schrickelijke Aerdbevinge (1675). 1
Telah banyak berita dan cerita tragis yang dikisahkan tentang fenomena alam ini yang terjadi di berbagai kawasan di Indonesia. Dari sekian banyak informasi tentang gempa dan tsunami yang melanda Kepulauan Nusantara ini, tercatat laporan tertulis tertua yang dibuat oleh Rumphius (1675) perihal gempa dan tsunami yang menghantam dan meluluh -lantakkan Ambon dan sekitarnya, peristiwa yang sangat mengerikan yang terjadi terutama pada tanggal 17 Februari 1674, atau lebih 340 tahun lampau. Rumphius (Georg ius Everhardus Rumphius) adalah seorang naturalis Belanda yang tersohor karena karya-karya besarnya mengenai biota di Ambon dan sekitarnya yang mulai digarapnya di pertengahan abad 17 dan kemudian dituangkannya dalam karya monumentalnya Hebarium Amboinense dan D Amboinsche Rariteikamer. Ia dilanda penyakit mata glaucoma yang mengakibatkannya buta sama sekali sejak tahun 1670. Tetapi kebutaannya tidak menghalanginya untuk meneruskan karyanya. Ia dibantu dengan mata dan tangan orang lain yang dengan setia mendampinginya menyelesaikan karya-karya besarnya. Oleh sebab itu ia sering dijuluki sebagai si buta yang bisa melihat dari Ambon ( The blind seer of Ambon). Kurang lebih 30 tahun dari bagian terakhir masa hidupnya dijalaninya dalam gelap gulita sampai akhir hayatnya di tahun 1702. Tampak ironis bahwa ia sendiri tak pernah mengetahui kalau mahakaryanya itu diterbitkan karena Kerajaan Belanda baru bersedia menerbitkannya lama kemudian (lebih 40 tahun setelah ia wafat) karena alasan pertimbangan dampaknya dalam politik perdagangan Belanda. Satu-satunya karya pentingnya yang diterbitkan semasa ia masih hidup adalah laporannya yang berjudul Waerachtigh Verhael van der Schrickelijke Aerdbevinge (Kisah Nyata tentang Gempa Bumi yang Dahsyat), yang dicetak tahun 1675. Laporan itu menguraikan secara rinci peristiwa gempa bumi dahsyat disertai tsunami yang meluluh-lantakkan Ambon dan sekitarnya pada tanggal 17 Februari 1674, yang merenggut korban sebanyak 2.322 jiwa. Karyanya itu, merupakan referensi penting dan historis karena merupakan laporan tertulis pertama mengenai gempa dan tsunami dahsyat yang melanda persada Nusantara. Bencana di Ambon itu terjadi pada hari Sabtu malam, di bawah sinar rembulan yang indah dan cuaca yang tenang. Ketika itu masyarakat Cina di Ambon sedang ramai merayakan hari raya Tahun Baru mereka dengan berbagai kemeriahan arak-arakan dan pertunjukan. Dilaporkan oleh Rumphius ketika itu bumi tiba-tiba bergerak dahsyat berayun-ayun naik-turun bagai gelombang laut, lonceng-lonceng di Benteng Victoria di Leitimor berdentang sendiri, orang-orang yang berdiri sambil mengobrol berjatuhan menimpa satu sama lainnya, rumahrumah batu tiba-tiba runtuh ambruk, bukit longsor, tanah merekah lebar dan dalam, jembatan runtuh, banjir dimana-mana. Laut pun mengering kemudian disusul gelombang dahsyat 2
menghantam desa-desa di tepi pantai. Mayat-mayat bergelimpangan dimana-mana, serta manusia yang panik tak berdaya. Kebanyakan orang yakin bahwa Hari Kiamat telah tiba. Bencana besar itu juga mengakibatkan Rumphius kehilangan istri dan seorang putrinya yang tertimpa reruntuhan dinding yang roboh. Adalah suatu hal yang menakjubkan bahwa Rumphius sendiri dapat luput dari bencana besar itu, dan kemudian dapat menuliskan laporannya mengenai kejadian yang luar biasa itu yang melanda Ambon dan sekitarnya. Gambar 2. Peta Pulau Ambon Pada awal kejadian bencana itu, air pasang naik melebihi normal. Beberapa sumur dalam terisi begitu cepat sehingga orang bisa menciduk airnya dengan tangan, tetapi sesaat kemudian sumur-sumur itu sudah kosong lagi. Di pantai timur air memuncrat keluar setinggi 18 sampai 20 kaki, melemparkan pasir berlumpur berwarna biru yang menurut kebanyakan orang hanya ditemukan pada kedalaman dua hingga tiga depa. Gempa dan air laut yang naik tiba-tiba menimbulkan ketakutan. Semua orang berlarian ke tanah yang lebih tinggi untuk menyelamatkan diri. Sementara itu orang terus-menerus mendengar letusan seperti bunyi merian dari kejauhan, menunjukkan bahwa beberapa gunung barangkali sedang meletus atau paling tidak, mungkin sedang terpecah-belah. Getaran-getaran keras terus berlanjut sepanjang malam, sehingga tak seorang pun dapat istirahat meski hanya sekejap. Kebanyakan guncangan 3
berasal dari dalam tanah seakan telapak kaki kami dihantam dengan balok-balok besar, tulis Rumphius. Tetapi di samping cerita bencana yang mengenaskan itu ada juga keajaiban luar biasa yang sangat menakjubkan. Tiga hari setelah kejadian gempa, seorang anak Cina, berumur sekitar satu bulan, ditemukan di antara puing-puing, masih hidup didekap ibunya yang sudah mati dan ia bisa diselamatkan. Demikian pula ada seorang bocah Papua, sehari setelah gempa masih ditemui hidup di bawah reruntuhan puing-puing. Dalam kondisi lingkungan yang serba kacau itu, banyak orang yang beribadah dan berdoa, bahkan lebih bersemangat dibandingkan dengan kesempatan lain, sementara gempa masih terus berlangsung tanpa berkurang kedahsyatannya. Gubernur dengan rombongan besarnya dalam pengungsian di bukit, memimpin umatnya untuk terus berdoa di bawah langit yang cerah. Rumphius lebih lanjut memaparkan pula secara rinci kejadian bencana yang menimpa berbagai desa (negeri) di pesisir Ambon seperti di desa-desa Larike, Nusatelu, Lima, Seit, Hila, Mamala, Tial, Paso, yang terutama disebabkan karena gempa dan tsunami yang berupa naiknya muka laut secara tiba-tiba, dan menyeret kembali kelaut berbagai benda, pepohonan bahkan juga bangunan. Di desa Nusatelu misalnya, dilaporkan air muncul tiba-tiba setelah semula mundur jauh sedemikian rupa, sehingga di pantai orang bisa melihat dasar laut yang terungkap, dan tampak kering hampir tidak ada airnya. Lalu tiba-tiba air kembali tiga kali dengan meninggi bagaikan tembok air dari dua arah sepanjang bagian terendah pulau. Kedua tembok air itu bergerak cepat saling berbenturan dengan dahsyat. Sungguh sangat mengerikan. Di desa Lima air naik sampai ke Benteng Haarlem seolah-olah sedang mendidih. Air itu penuh batu, lumpur, dan pasir, dan menutupi segala sesuatu. Batu-batu berukuran besar dihempaskan ke benteng itu dan menimbulkan kerusakan besar. Karena takut akan gempa semua prajurit yang ada dalam benteng berlarian ke lantai bawah tetapi malah mereka dihempaskan kesana kemari, ada yang tersangkut di atas pohon, yang lain ke atap rumah, atau terhempas ke tanah kering. Seorang anak berusia sekitar enam bulan dibawa arus tetapi ia kemudian ditemukan, sambil menangis tanpa cedera di pantai dan dapat diselamatkan. Lebih seratus orang di desa ini lenyap ditelan air yang mengamuk. Desa Seit kehilangan 619 orang. Banyak di antara mereka sebelumnya masuk ke dalam masjid ketika mereka merasakan getaran-getaran pertama, Mereka sembayang dan berdoa disana, dan mengira Hari Kiamat telah tiba. Tetapi kemudian semua mereka hanyut ke laut bersama masjidnya sekalian. 4
Demikianlah sekelumit cuplikan kisah gempa dan tsunami yang pernah meluluhlantakkan Ambon di tahun 1674, yang disarikan dari laporan tertulis tertua di Indonesia tentang gempa dan tsunami yang disusun oleh Rumphius (1675). Setelah itu beberapa kali tercatat juga kejadian gempa di Ambon tetapi tidak sedahsyat seperti yang dilaporkan oleh Rumphius. Sebagai negeri yang berada di kawasan Cincin Api, seharusnya kita selalu siap dalam mitigasi bencana gempa dan tsunami yang bisa datang sewaktu-waktu, peristiwa yang sulit untuk diramalkan. Anugerah Nontji 16/04/2018 ----- 5