BAB I PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia. Menurut UN Women, diperkirakan 35 persen perempuan di

dokumen-dokumen yang mirip
Journal of International Relations, Volume 4, Nomor 1, 2018, hal Online di

Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat kerja. Lusiani Julia Program Officer ILO Jakarta April 2017


BAB V PENUTUP. kriminalitas namun perdagangan anak juga menyangkut tentang pelanggaran terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

Institute for Criminal Justice Reform

BAB I PENDAHULUAN. melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah

Peran United Nations High Commissioner for Refugee (UNHCR) dalam Menangani Pengungsi Suriah Korban Sexual and Genderbased Violence (SGBV) di Lebanon

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions)

KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM MENANGANI TINDAK KEKERASAN ANAK BERBASIS GENDER DI KOTA SURAKARTA

Harkristuti Harkrisnowo KepalaBPSDM Kementerian Hukum & HAM PUSANEV_BPHN

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peacebuilding. Tulisan-tulisan terebut antara lain Aid, Conflict, and Peacebuilding

Bagaimana Kebebasan Menyikapi Prostitusi di Indonesia? Oleh: Fadly Noor Azizi

BAB V KESIMPULAN. diskriminasi antar etnis yang telah berlangsung sejak lama merupakan salah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. International Committee of the Red Cross (ICRC) dalam usahanya menegakkan

MASALAH KEWARGANEGARAAN DAN TIDAK BERKEWARGANEGARAAN. Oleh : Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H, M.H. 1. Abstrak

Indeks Keamanan Manusia Indonesia (IKMI) Dimensi, Variabel, dan Indikator

PEMERKOSAAN,PERBUDAKAN SEKSUALITAS

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK

BAB I PENDAHULUAN. gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender related

Bentuk Kekerasan Seksual

BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN

KONVENSI HAK ANAK : SUATU FATAMORGANA BAGI ANAK INDONESIA?

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG

GEMA BHAKTI 15 Civil-Military Coordination Lane

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sesuai dengan isi Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1

BAB V PENUTUP. memiliki beberapa kesimpulan terkait dengan fokus penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. di dunia. Masalah kemiskinan telah menyebabkan masalah lain muncul, salah

BAB II UNITED NATION HIGH COMISSIONER FOR REFUGEES (UNHCR) DAN PENANGANAN MASALAH PENGUNGSI

merupakan masalah klasik yang telah menjadi isu internasional sejak lama. Sudah berabad-abad negara menerima dan menyediakan perlindungan bagi warga

Oleh: Dr. Makarim Wibisono Direktur Eksekutif ASEAN Foundation Seminar KOMNAS Perempuan Hotel Kartika Chandra, 12 Maret 2012

PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,

Heru Susetyo, SH. LL.M.M.Si. Anak & Prinsip-Prinsip Perlindungan Anak. Konvensi Hak Anak. FHUI, Juni 2011

-2- Selanjutnya, peran Pemerintah Daerah dalam memberikan pelindungan kepada Pekerja Migran Indonesia dilakukan mulai dari desa, kabupaten/kota, dan p

BAB IV ANALISIS MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK JALANAN ATAS EKSPLOITASI DAN TINDAK KEKERASAN

BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan aset masa depan dalam kehidupan berbangsa. Anak

BAB I PENDAHULUAN. jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri (Astuty, 2011).

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

BAB I PENDAHULUAN. harus dilindungi hak-haknya sebagai manusia yang tertindas. Sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan

23 Oktober Kepada Yth: Ibu Retno L.P. Marsudi Menteri Luar Negeri Republik Indonesia

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

MAKALAH. CEDAW: Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Oleh: Antarini Pratiwi Arna, S.H., LL.M

BAB I PENDAHULUAN. ECPAT USA, Statistics(daring), < diakses 22 Juni

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dian Kurnia Putri, 2014

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

DEKLARASI TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN. Diproklamasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

BAB I PENDAHULUAN. asasi perempuan dan anak diantaranya dengan meratifikasi Konferensi CEDAW (Convention

BAB I PENDAHULUAN. dan pelanjut masa depan bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia masih dan terus

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. adalah penyebab sepertiga kematian pada anak-anak muda di beberapa bagian

JURNAL. ( Studi Kasus Eks Pengungsi Timor Timur) Diajukan Oleh : MARIANUS WATUNGADHA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BALITA SEBAGAI KORBAN PERDAGANGAN ORANG DI TINJAU DARI ASPEK VIKTIMOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang tidak semua orang ambil pusing untuk mengatasi fenomena tersebut,

PELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at

2017, No Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235), sebagaimana telah beberapa kali diubah, tera

BAB I PENDAHULUAN. sebagai tempat berlindung bagi seluruh anggota keluarga. Maka rumah tangga

BAB I PENDAHULUAN. pelanggaran HAM, karena anak adalah suatu anugerah yang diberikan oleh Allah

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Hak Anak atas Perlindungan dari Tindak Kekerasan 1. Oleh: Adzkar Ahsinin

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

BAB I PENDAHULUAN. Tidak jarang terlihat dalam keluarga kelas bawah untuk menambah pendapatan seluruh

RechtsVinding Online Pengaturan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia serta Peraturan yang Diharapkan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-undang no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, kesehatan

MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA!

BAB 1 : PENDAHULUAN. dibutuhkan oleh manusia. Menurut World Health Organization (WHO) sehat itu

LATAR BELAKANG. Click to edit Master subtitle style

BAB I PENDAHULUAN. dasar dari susunan masyarakat, untuk itulah lahir Undang-undang Nomor 1

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONFLIK SOSIAL

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK [LN 2002/109 TLN 4235]

BAB I PENDAHULUAN. kaum perempuan yang dipelopori oleh RA Kartini. Dengan penekanan pada faktor

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

KEGIATAN YANG TIDAK BOLEH DILAKUKAN ANAK-ANAK

HAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN

Perilaku mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan di Manado

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis

PERANAN MORAL DALAM SISTEM POLITIK INTERNASIONAL YANG ANARKI

MODEL PERLINDUNGAN HAK PEREMPUAN KORBAN TINDAK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

KARAKTERISTIK DAN VARIASI DIAGNOSIS KUNJUNGAN PASIEN DI POLIKLINIK JIWA RSUP SANGLAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Sistem patriarki menempatkan perempuan berada di bawah sub-ordinasi

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekerasan seksual khususnya terhadap wanita bukanlah fenomena baru, dan terjadi di seluruh dunia. Menurut UN Women, diperkirakan 35 persen perempuan di seluruh dunia telah mengalami kekerasan fisik maupun seksual di satu titik dalam hidup mereka. Kekerasan seksual masih marak terjadi disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah keengganan korban untuk melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya. Hal ini dikarenakan korban kekerasan seksual seringkali terpaksa menghadapi stigma dari masyarakat, dan bahkan diskriminasi (Josse, 2010). Karena stigma dan rasa takut akan sanksi sosial yang akan diberikan, seringkali korban urung melaporkan tindakan kekerasan yang dialaminya. Kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk sexual and gender-based violence. Sexual and gender-based violence adalah segala bentuk tindakan yang membahayakan yang dilakukan berdasarkan gender (Tol, dkk., 2013). UNHCR sendiri menggunakan definisi sexual and gender-based violence yang sudah diperluas berdasarkan Majelis Umum PBB Declaration on the Elimination of Violence against Women 1, sebagai berikut: 1 Declaration on the Elimination of Violence against Women adalah instumen internasional pertama yang secara eksplisit membahas tentang kekerasan terhadap perempuan. Instrumen ini juga 1

gender-based violence is violence that is directed against a person on the basis of gender or sex. It includes acts that inflict physical, mental or sexual harm or suffering, threats of such acts, coercion and other deprivations of liberty. Tindak kekerasan yang ditujukan pada seseorang atas dasar gender atau jenis kelamin termasuk diantaranya pemerkosaan, eksploitasi seksual, prostitusi paksa, pernikahan paksa, dan pernikahan anak merupakan jenis-jenis SGBV (UNHCR, 2003). Yang seringkali menjadi masalah dalam penanganan SGBV adalah banyak korbannya yang tidak melaporkan tindak kekerasan yang dialami mereka, yang menyebabkan tindakan kekerasan seperti ini seringkali luput dari perhatian. Dikutip dari buku yang dipublikasikan oleh United Nations Population Fund (UNFPA) dan Women Against Violence Europe (WAVE) yang berjudul Strengthening Health System Responses to Gender-Based Violence in Eastern Europe and Central Asia, World Health Organization menjelaskan risk factor yang mendorong terjadinya kekerasan seksual. Faktor-faktor tersebut dipaparkan dalam tabel berikut. memberikan framework nasional maupun internasional dalam menangani kekerasan terhadap perempuan dan disahkan pada tahun 1993. (unwomen.org) 2

Tabel 1.1 Faktor Pendorong Terjadinya Tindak Kekerasan Seksual Level Individual level Relationship level Faktor pendorong tindakan kekerasan oleh laki-laki Demografis: - Pendapatan rendah - Pendidikan rendah Perlakuan kejam terhadap anak: - Kekerasan seksual - Kekerasan intra-parental Kelainan mental: - Anti-social personality disorder Penyalahgunaan zat: - Konsumsi alkohol berlebihan - Obat-obatan terlarang Menerima bahwa kekerasan adalah wajar Mempunyai lebih dari satu pasangan: - Perlawanan lemah terhadap peer pressure Community level - Sanksi yang lemah - Kemiskinan Societal level - Norma tradisional dan sosial yang mendukung kekerasan Sumber: UNFPA dan WAVE 2014 Faktor pendorong yang meningkatkan resiko perempuan Demografis: - Usia muda - Pendidikan rendah - Status pernikahan telah bercerai Perlakuan kejam terhadap anak: - Kekerasan intra-parental Kelainan mental: - Depresi Penyalahgunaan zat: - Konsumsi alkohol berlebihan - Obat-obatan terlarang Menerima bahwa kekerasan adalah wajar - Sanksi yang lemah - Kemiskinan - Norma tradisional dan sosial yang mendukung kekerasan Seperti dapat dilihat dari tabel diatas, tabel tersebut menunjukkan faktorfaktor pendorong atau faktor-faktor yang meningkatkan resiko terjadinya kekerasan seksual. Tabel diatas menjelaskan faktor pendorong pria melakukan kekerasan seksual dan faktor yang meningkatkan resiko wanita menjadi korban. Faktor-faktor 3

ini terbagi 4 yaitu tingkat individu, tingkat hubungan, tingkat masyarakat, dan tingkat komunitas. Tingkat individu adalah riwayat psikologis dan biologis seseorang yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kekerasan. Hal-hal ini misalnya tingkat pendidikan yang rendah, dan pendapatan yang rendah. Hal ini dikarenakan rendahnya pendidikan berarti kurangnya akses seseorang terhadap informasi-informasi terkait seperti misalnya jenis-jenis SGBV dan bahayanya. Lebih lanjut, pendapatan yang rendah juga merupakan faktor resiko terjadinya SGBV dimana anggota keluarga yang berpendapatan rendah seringkali melampiaskan kekecewaannya dengan melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Untuk wanita, usia menikah yang muda, khususnya jika dengan pasangan dengan jarak umur yang berjauhan juga dapat meningkatkan resiko terjadinya kekerasan seksual. Faktor berikutnya adalah faktor-faktor pada tingkat hubungan. Hubungan yang dimaksud adalah hubungan korban maupun pelaku dengan pasangan, keluarga, dan teman sebaya. Faktor-faktor pada tingkat hubungan termasuk diantaranya tindak kekerasan baik kekerasan seksual maupun kekerasan orangtua terhadap anak. Hal ini dikarenakan jika seseorang mengalami atau menyaksikan kekerasan maka kemungkinan seseorang tersebut untuk melakukan kekerasan juga akan meningkat. Lemahnya perlawanan terhadap peer pressure juga mendorong pelaku untuk berhubungan dengan lebih dari satu pasangan, yang meningkatkan resiko terjangkitnya HIV/AIDS. Faktor berikutnya adalah faktor pada tingkat komunitas yang mengacu pada sejauh mana tingkat toleransi komunitas tersebut terhadap 4

tindakan kekerasan seksual. Semakin tinggi tingkat toleransi suatu komunitas terhadap kekerasan seksual, semakin tinggi pula tingkat terjadinya tindak kekerasan seksual. Faktor keempat adalah faktor pada tingkat masyarakat yang termasuk diantaranya norma sosial dan budaya yang membentuk peran-peran gender dan distribusi kekuasaan yang tidak seimbang anatara perempuan dan laki-laki. Dalam situasi yang kompleks seperti konflik bersenjata atau bencana alam, faktor-faktor pendorong tersebut juga hadir seperti misalnya pada tingkat komunitas dimana situasi perang membuat toleransi akan kekerasan seksual meningkat dan sanksi sosial menurun. Hal ini menyebabkan wanita dan anak-anak menjadi lebih rentan akan sexual and gender-based violence (SGBV). Sexual and gender-based violence telah sejak lama menjadi bagian dari konflik bersenjata. Dilaporkan sebanyak 11 persen dari wanita yang disurvei yang terpaksa meninggalkan rumah mereka saat konflik di Kolombia, 19 persen wanita yang disurvei di Burundi, 25 persen wanita yang disurvei di Azerbaijan, dan 39 persen wanita yang disurvei selama genosida di Rwanda mengalami tindak kekerasan seksual pemerkosaan (Tol, dkk. 2013). Diperkirakan setidaknya 1 dari 5 orang pengungsi mengalami kekerasan seksual di situasi konflik (Raistick, 2014). Tindakan kekerasan ini tidak hanya terjadi saat konflik, melainkan juga saat proses melarikan diri dari konflik dan di tenda pengungsi, situasi dimana struktur sosial mengalami disintegrasi (Hynes dan Cardozo, 2000). Pada Januari 2015, salah satu pengungsian di Nigeria dilaporkan telah melakukan pemerkosaan dan 5

perdagangan anak (Dickson, 2015). Di tahun yang sama, tentara Perancis juga dilaporkan melakukan tindak kekerasan seksual dengan memaksa anak-anak untuk berhubungan seksual demi mendapat makanan (Withnall, 2015). Hal tersebut lah yang sedang terjadi di Suriah. Konflik yang terjadi di Suriah sudah berlangsung sejak tahun 2011, yang dipicu oleh Arab Spring. Konflik yang berkepanjangan ini memaksa warga Suriah untuk melarikan diri dari rumah untuk berlindung. Mereka mencari perlindungan baik di dalam negeri maupun ke negara tetangga seperti Turki dan Lebanon. Menurut data dari UNHCR, pada Februari 2017 terdapat sekitar 3,2 juta pengungsi Suriah yang melarikan diri dari rumah mereka dan mengungsi baik di dalam negeri maupun luar negeri. Di Lebanon sendiri terdapat 1.031.303 pengungsi dari Suriah yang terdaftar oleh UNHCR. Di Lebanon, untuk setiap 1.000 populasi warga Lebanon, terdapat 172 pengungsi Suriah. 6

Grafik 1.1 Jumlah Pengungsi Suriah di Lebanon 1,400,000 1,200,000 1,000,000 862,526 1,167,179 1,088,231 1,031,303 800,000 600,000 400,000 200,000 0 135,852 2012 2013 2014 2015 2016 Sumber: diolah dari UNHCR Dengan terus meningkatnya jumlah pengungsi Suriah yang mencari perlindungan di Lebanon, maka pemerintah Lebanon membuat sedikit penyesuaian dalam kebijakannya dalam menerima pengungsi dari Suriah. Melalui situs Lebanese General Security, Lebanon mengumumkan instruksi baru mengenai prosedur tinggal bagi pengungsi dari Suriah yang berlaku mulai bulan Januari tahun 2015. Instruksi ini menyebutkan bahwa Lebanon sudah tidak menerima warga Suriah sebagai pengungsi. Untuk warga Suriah yang ingin mengungsi di Lebanon, harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan visa (Library of Congress, 2016). Untuk 7

pengungsi yang sudah berada di Lebanon, disebutkan bahwa untuk memperbarui izin tinggal mereka, seluruh pengungsi Suriah yang terdaftar sebagai pengungsi harus membayar biaya perpanjangan izin tinggal sebesar US$ 200 atau sekitar Rp 2.676.000,- 2 dan juga sertifikat bukti registrasi dari UNHCR, surat pernyataan tempat tinggal yang ditandatangani oleh pemilik rumah/tanah dan kepala daerah setempat, pernyataan untuk tidak bekerja, dan dalam beberapa kasus, pernyataan untuk segera meninggalkan Lebanon jika masa tinggal sudah habis dan/atau diperintahkan demikian oleh pemerintah Lebanon (UNHCR, 2015). Jumlah tersebut bukanlah jumlah yang sedikit mengingat 70 persen pengungsi Suriah di Lebanon hidup di bawah garis kemiskinan, dan hampir 90 persen terjerat hutang untuk bertahan hidup (Human Rights Watch, 2016). Di Lebanon, terdapat situasi yang mengharuskan pengungsi Suriah untuk memiliki penyokong yang berkewarganegaraan Lebanon untuk mendapatkan status pengungsi membuat pengungsi Suriah rentan terhadap eksploitasi tenaga kerja maupun seksual. Hal ini disebabkan karena tidak adanya status pengungsi yang membuat pengungsi bersangkutan tidak memiliki perlindungan hukum. Pengungsi yang mempunyai penyokong pun tetap menghadapi resiko eksploitasi, seperti dilaporkan oleh Human Rights Watch bahwa 5 pengungsi Suriah melapor tentang pelecehan seksual namun tidak melaporkannya ke pihak yang berwenang demi mempertahankan izin tinggal mereka. Beberapa pekerja kemanusiaan juga berkata 2 Kurs tertanggal 30 Juni 2015 8

bahwa mereka menerima lusinan laporan perlakuan kasar dan tidak menyenangkan oleh penyokong mereka (Human Rights Watch, 2016). Berangkat dari kondisi pengungsi di daerah konflik maupun paska-konflik, khususnya wanita dan anak-anak, yang rentan bahaya SGBV dan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) sebagai agensi utama PBB dalam penanganan pengungsi, khususnya perlindungan, maka penulis mengangkat penelitian yang berjudul: Peran United Nations High Commissioner for Refugee (UNHCR) dalam Menangani Pengungsi Suriah yang Merupakan Korban Sexual and Genderbased Violence (SGBV) Lebanon 1.2. Rumusan Masalah Bagaimana peran United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dalam menangani pengungsi Suriah yang merupakan korban sexual and gender-based violence (SGBV) di Lebanon? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan peran UNHCR sebagai aktor humanitarian diplomacy dalam menangani dan melindungi pengungsi di Lebanon yang mengalami atau rentan akan bahaya SGBV. 9

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoretis Secara teoretis, peneliti berharap penelitian ini akan menambah literatur tentang pengungsi khususnya dalam kaitannya terhadap sexual and gender-based violence (SGBV). Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan bagi perkembangan studi terkait dengan pengungsi. 1.4.2. Manfaat praktis Secara praktis, peneliti berharap penelitian ini dapat menjadi masukan bagi para praktisi seperti negara dan agensi-agensi terkait seperti UNHCR dalam menindaklanjuti sexual and gender-based violence yang terjadi dalam lingkup pengungsi. 1.5. Kerangka Konsep 1.5.1 Organisasi Internasional Dikutip dari Archer (2001), Selznick berpendapat bahwa organisasi internasional adalah salah satu bentuk institusi yang merujuk pada sistem aturan dan tujuan, dan merupakan sebuah institusi administratif yang rasional. Duverger menambahkan bahwa organisasi internasional juga mempunyai teknis dan materi organisasi yang formal yang terdiri dari: konstitusi, local chapter, perlengkapan fisik, mesin, kop surat, pegawai, hierarki administrasi, dan sebagainya. 10

Organisasi internasional sendiri mempunyai 3 peran utama, yaitu instrumen, arena dan aktor. Myrdal menyatakan bahwa organisasi berperan sebagai instrumen dimana organisasi internasional hanyalah merupakan instrumen kebijakan dan sarana diplomasi bagi beberapa negara. Di saat sebuah organisasi antarnegara dibentuk, hal ini mengimplikasikan bahwa telah terjadi kesepakatan antarnegara yang membutuhkan organisasi tersebut untuk melakukan aktivitas multilateral di bidang tertentu. Organisasi tersebut hanya berfungsi sebagai upaya mencapai tujuan negara. Selain itu Archer turut menambahkan bahwa sebuah instrumen dapat menunjukkan tujuannya jika instrumen tersebut dapat menunjukkan kegunaannya setelah jangka waktu tertentu kepada pihak-pihak yang membentuknya (Archer, 2001). Peran yang kedua adalah arena dimana organisasi internasional menjadi wadah atau forum terjadinya kegiatan. Dalam hal ini, organisasi sebagai wadah memberikan ruang atau forum untuk rapat dimana anggota dapat berdiskusi, berargumen, dan berdebat. Archer juga menegaskan bahwa arena adalah netral. Peran ketiga dan terakhir adalah aktor. Dijelaskan bahwa peran organisasi internasional dalam sistem internasional adalah aktor independen. Yang dimaksud sebagai aktor independen adalah organisasi internasional dapat bergerak dalam ranah internasional tanpa dipengaruhi secara signifikan oleh tekanan dari luar. Atau seperti definisi independen yang ditawarkan oleh Karl Deutsch yaitu mempunyai sistem pembuatan keputusan yang stabil dan koheren. 11

Dalam pemilihan teori tersebut, diharapkan dapat menjelaskan peran UNHCR baik sebagai instrumen, aktor, maupun arena. Akan dianalisa juga peran UNHCR mmana yang palng dominan dalam kasus di Lebanon. 1.5.2 Humanitarian Diplomacy Istilah diplomasi berasal dari bahasa Perancis yang mempunyai makna literal dokumen izin perjalanan. Dokumen ini biasanya diberikan oleh kerajaan untuk pejabat istana. Lambat laun, istilah ini diasosiasikan dengan istilah hubungan internasional, dan istilah diplomat kemudian digunakan untuk merujuk kepada orang yang diberikan wewenang oleh suatu negara untuk bernegosiasi dengan negara lain. Hingga menghasilkan diplomasi klasik yang bertujuan untuk mewakilkan negara (represent), mendorong kepentingan negara (promote), dan melaporkan keadaan negara penerima (report) (Marks & Freeman, 1998). Humanitarian diplomacy sendiri merujuk pada kebijakan dan tindakan dari agensi-agensi nasional maupun internasional yang aktif dalam kegiatan kemanusiaan. Tidak seperti diplomat dalam artian konvensional yang bertugas untuk menjalin dan menjaga hubungan satu negara dengan negara lain, humanitarian diplomacy berfokus pada usaha memaksimalkan bantuan dan menjalin rekanan yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan kemanusiaan (Regnier, 2011). Mengingat bahwa konsep ini merupakan konsep yang baru, masih banyak perdebatan terkait konsep ini. Banyak pekerja kemanusiaan yang tidak menganggap 12

diri mereka sebagai diplomat karena lingkup pekerjaan mereka yang berbeda. Definisi dari konsep ini juga masih berkembang. Minear dan Smith (2007) menawarkan konsep humanitarian diplomacy sebagai berikut: to encompass the activities carried out by humanitarian organizations to obtain the space from political and military authorities within which to function with integrity. These activities comprise such efforts as arranging for the presence of international humanitarian organizations and personnel in a given country, negotiating access to civilian populations in need of assistanceand protection, monitoring assistance programmes, promoting respect for international law and norms, supporting indigenous individuals and institutions, and engaging in advocacy at a variety of levels in support of humanitarian objectives. Lebih lanjut dijelaskan oleh Minear bahwa humanitarian diplomacy dan aktornya mempunyai tujuan yang lebih fokus; bahwa kepentingan kemanusiaan adalah prioritas. Tidak seperti diplomat pada umumnya yang mempunyai fokus yang luas dari mulai politik hingga ekonomi. Hal inilah yang membuat kebanyakan pekerja kemanusiaan tidak merasa atau menganggap diri mereka sebagai diplomat. Pekerja kemanusiaan juga tidak dibatasi oleh aturan-aturan kenegaraan layaknya seorang diplomat yang dapat di-persona non grata-kan jika melanggar aturan-aturan tertentu. Namun, walaupun banyak pekerja sosial tidak menganggap diri mereka diplomat, agensi-agensi kemanusiaan internasional sudah menganggap bahwa agensi mereka memang mempunyai fungsi diplomasi. Seperti misalnya International Committee of the Red Cross (ICRC) yang memiliki definisi sendiri akan humanitarian diplomacy, yaitu: 13

The ICRC s humanitarian diplomacy consists chiefly in making the voices of the victims of armed conflicts and disturbances heard, in negotiating humanitarian agreements with international or national players, in acting as a neutral intermediary between them and in helping to prepare and ensure respect for humanitarian law. It is defined by four specific traits: it consists of relations with a wide range of contacts, including non-state players; it is limited to the humanitarian sphere and the promotion of peace is not its primary objective; it is independent of State humanitarian diplomacy; and lastly, it often takes the form of a series of representations which, depending on events, may remain confidential or require the mobilization of a network of influence. Walaupun masih mempunyai tujuan humanitarian diplomacy yang sama dengan agensi lain yaitu untuk mencegah dan mengurangi penderitaan yang disebabkan oleh konflik bersenjata, namun definisi yang ditawarkan ICRC lebih spesifik mengingat definisi tersebut memang khusus disesuaikan dengan mandat ICRC. Karena itu, dalam menulis penelitian ini penulis akan menggunakan konsep humanitarian diplomacy yang ditawarkan oleh Larry Minear dan Hazel Smith. Diharapkan penggunaan konsep ini dapat menjelaskan kegiatan humanitarian diplomacy yang dilakukan oleh UNHCR di Lebanon. I.6. Metodologi Penelitian I.6.1. Metode Penelitian Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif mempunyai beberapa sifat diantaranya adalah bersifat subjektif, holistik, dan deskriptif. Penelitian kualitatif mempunyai empat tipe penelitian, yaitu 14

phenomenology, ethnography, grounded theory, dan studi kasus. Karena penelitian ini merupakan studi kasus dan bersifat deskriptif, maka penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif (Hancock, 1998). I.6.2. Definisi konseptual I.6.2.1. Pengungsi Definisi pengungsi dijelaskan dalam Refugee Convention tahun 1951 pasal 1A ayat (2) adalah: owing to wellfounded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, is outside the country of his nationality and is unable or, owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country; or who, not having a nationality and being outside the country of his former habitual residence as a result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it. Demikian status pengungsi berlaku kepada siapapun yang merasa keamanan dan keselamatannya terancam jika tetap tinggal di negara asalnya. Batasanbatasan berlaku dalam beberapa kasus seperti jika seseorang tersebut telah melakukan kejahatan yang dianggap serius di negara asalnya. Penentuan status pengungsi lebih lanjut akan dilakukan oleh UNHCR sebagai pihak yang berwenang (UN General Assembly, 1951). I.6.2.2. Sexual and Gender-Based Violence Gender-based violence adalah segala bentuk tindakan yang membahayakan yang dilakukan berdasarkan gender (Tol, et al., 2013). 15

UNHCR sendiri menggunakan definisi sexual and gender-based violence yang sudah diperluas berdasarkan Majelis Umum PBB Declaration on the Elimination of Violence against Women, sebagai berikut: gender-based violence is violence that is directed against a person on the basis of gender or sex. It includes acts that inflict physical, mental or sexual harm or suffering, threats of such acts, coercion and other deprivations of liberty. Tindak kekerasan yang ditujukan pada seseorang atas dasar gender atau jenis kelamin termasuk diantaranya pemerkosaan, eksploitasi seksual, prostitusi paksa, pernikahan paksa, dan pernikahan anak merupakan jenis-jenis SGBV (UNHCR, 2003). I.6.3. Operasionalisasi Konsep I.6.3.1. Pengungsi Dalam penelitian ini, pengungsi yang dimaksud adalah pengungsi Suriah yang berlindung di Lebanon. Lebih spesifik, penelitian ini berfokus pada pengungsi yang mengalami sexual and gender-based violence (SGBV) baik di negara asal, saat dalam pelarian, maupun saat berada di negara penampung. I.6.3.2. Sexual and gender-based violence Sexual and gender-based violence dalam penelitian ini adalah segala bentuk kekerasan seksual maupun kekerasan yang berdasarkan gender yang 16

sering terjadi dalam situasi kemanusiaan yang kompleks seperti situasi di Lebanon. Termasuk diantaranya adalah pernikahan paksa, eksploitasi seksual, pemerkosaan, dan survival sex. I.7. Tipe Penelitian Tipe penelitian ini merupakan tipe penelitian kualitatif deskriptif dimana penelitian ini akan memaparkan dan menganalisa peran UNHCR sebagai organisasi internasional dan aktor humanitarian diplomacy dalam menangani pengungsi korban sexual and gender-based violence (SGBV). I.8. Jangkauan Penelitian Jangkauan penelitian ini mencakup tahun 2012 sampai 2016 mengingat tahuntahun tersebut terjadi peningkatan yang signifikan dalam jumlah pengungsi Suriah yang mengungsi di Lebanon. I.9. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini akan menggunakan studi pustaka sebagai sumber data primer. Studi pustaka akan dilakukan dengan membaca dan menganalisis literatur-literatur yang berkaitan dengan UNHCR, pengungsi, dan sexual and gender-based violence serta laporan-laporan khususnya yang dirilis oleh UNHCR. 17

I.10. Teknik Analisis Data I.10.1. Reduksi data Peneliti akan melakukan reduksi data terhadap data-data yang telah dikumpulkan sebelumnya melalui studi pustaka dan wawancara dengan mengkaji dan memilih data agar data yang disampaikan relevan dengan isu yang diusung. I.10.2. Penyajian data Data-data yang telah direduksi secara ketat akan disajikan untuk dianalisis sesuai dengan kerangka teori. I.10.3. Penarikan kesimpulan Peneliti akan menarik kesimpulan dari data-data yang telah disajikan dengan meninjau ulang data-data yang telah diperoleh dan disajikan. 18