BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. manusia itu, yaitu kebutuhan yang berhubungan dengan segi biologis, sosiologis dan teologis.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain,

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang datang dari dirinya maupun dari luar. Pada masa anak-anak proses

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. perempuan di Indonesia. Diperkirakan persen perempuan di Indonesia

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal ini adalah rumah tangga, yang dibentuk melalui suatu perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Hal

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maha Esa kepada setiap makhluknya. Kelahiran, perkawinan, serta kematian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan impian setiap manusia, sebab perkawinan dapat membuat hidup

BAB I PENDAHULUAN. telah memiliki biaya menikah, baik mahar, nafkah maupun kesiapan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. melainkan juga mengikat janji dihadapan Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup

Secara kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, saling

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Kelahiran, perkawinan serta kematian merupakan suatu estafet kehidupan

BABI PENDAHULUAN. Setiap pasangan suami isteri tentu berharap perkawinan mereka bisa

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan seperti firman Allah dalam Qur`an Surat Al- Baqarah ayat 36

BAB I PENDAHULUAN. sebuah hubungan keluarga. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Desa setempat:

STRATEGI COPING IBU DALAM MENJALANI PERAN SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maupun dengan lawan jenis merupakan salah satu tugas perkembangan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dianggap sebagai masa topan badai dan stres, karena remaja telah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah salah satu individu yang menjadi bagian dari ciptaan-

PENYESUAIAN DIRI REMAJA PUTRI YANG MENIKAH DI USIA MUDA

BAB I PENDAHULUAN. penuh kedamaian, kesejukan, dan ketenangan lahir batin dalam lingkungan

Bab 1. Pendahuluan. Ketika anak tumbuh didalam keluarga yang harmonis, ada satu perasaan yang

BAB I PENDAHULUAN. Demikian menurut pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang. manusia dalam kehidupannya di dunia ini. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga itu adalah yang terdiri dari orang tua (suami-istri) dan anak. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing tahap perkembangannya adalah pada masa kanak-kanak, masa

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun Dalam pasal 1 ayat 1

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia pada dasarnya mempunyai kodrat, yaitu memiliki hasrat untuk

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. terlupakan dalam perjalanan hidup seseorang dalam membentuk dan membina

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan demi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini seringkali ditemukan seorang ibu yang menjadi orang tua

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

I. PENDAHULUAN. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami

BAB I PENDAHULUAN. makhluk Tuhan, khususnya manusia. Dalam prosesnya manusia membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tuntutan kebutuhan yang makin maju dan sejahtera, tuntutan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL PASCA PERCERAIAN ANTARA WANITA BEKERJA DAN WANITA TIDAK BEKERJA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kejadian yang sakral bagi manusia yang menjalaninya.

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. matang baik secara mental maupun secara finansial. mulai booming di kalangan anak muda perkotaan. Hal ini terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN. akhirnya menikah. Pada hakikatnya pernikahan adalah ikatan yang

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. aturan agama dan undang-undang yang berlaku.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Aji Samba Pranata Citra, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pencapaian utama masa dewasa awal berkaitan dengan pemenuhan. intimasi tampak dalam suatu komitmen terhadap hubungan yang mungkin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Purwadarminta (dalam Walgito, 2004, h. 11) menjelaskan

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang membangun sebuah bangsa. Keluarga mempunyai andil yang besar dalam

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. Pada kodratnya Tuhan menciptakan manusia untuk saling berpasang-pasangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB V PENUTUP. Pada bab ini akan dijelaskan permasalahan penelitian dengan. kesimpulan hasil penelitian, diskusi, serta saran untuk penelitian sejenis

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia pada hakikatnya adalah mahkluk sosial dan mahkluk pribadi. Manusia sebagai mahluk sosial akan berinteraksi dengan lingkungannya dan tidak dapat hidup sendiri sedangkan manusia sebagai mahkluk pribadi adalah individu yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa membutuhkan orang lain untuk selalu berinteraksi, bersosialisasi, bertukar pengalaman maupun membuat keturunan baru. Secara psikologis manusia yang sehat secara lahir ataupun batin adalah manusia yang bisa menyelesaikan tugas perkembangannya dengan baik, teratur dan tepat pada masing-masing tahap perkembangannya yaitu masa kanakkanak, masa remaja dan masa dewasa. Santrock (2002) mengatakan salah satu tugas perkembangan pada masa dewasa awal yaitu hidup dengan pasangan yang artinya adalah menikah. Pernikahan merupakan suatu hal yang sakral serta sebuah konvensi yang menjadi harapan hampir setiap orang untuk menyempurnakan kehidupannya. Pernikahan merupakan awal dari kehidupan berkeluarga sesuai dengan ketentuan agama dan peraturan perundangan yang berlaku. Sebagai kegiatan yang sakral perkawinan dipercaya sebagai legitimasi Ilahi yang menyatukan dua (2) insan anak manusia yang berbeda ke dalam lembaga sosial yang disebut keluarga. Sebagai konvensi, perkawinan adalah ikrar, janji atau amanah yang dibangun diatas cinta dan komitmen yang kuat. Negara Indonesia adalah Negara hukum dimana segala unsur kehidupan bermasyarakat akan diatur dalam sebuah Undang-undang. Rumah tangga atau keluarga adalah salah satu unsur masyarakat yang diharapkan ikut andil membentuk ketentraman serta keteraturan didalam Negara. Seperti halnya disebutkan dalam UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Pasal 1 yang menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

2 dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Selain itu Negara Indonesia juga mengatur usia seseorang yang diperbolehkan untuk menikah. Undang-undang perkawinan No.1 tahun 1974 Bab1 pasal 1 menjelaskan secara rinci batasan usia menikah pria dan wanita mencapai usia lebih dari 18 tahun. Hal yang sama juga diatur dalam UU Komnas Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan, bahwa yang disebut anak-anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun, yang berarti ketika menikahi anak dibawah usia 18 tahun maka dianggap melanggar UU KPAI. Secara psikologis, seseorang bisa dikatakan cukup untuk menikah adalah ketika emosi seseorang sudah dikatakan stabil. Kestabilan emosi umumnya terjadi pada usia 24 tahun, karena pada saat itulah orang mulai memasuki usia dewasa. Pada masa itu, biasanya mulai timbul transisi dari gejolak remaja ke masa dewasa yang lebih stabil. Sehingga, ketika pernikahan dilakukan pada usia di bawah 20 tahun, secara emosi seseorang masih ingin menemukan jati dirinya sehingga cenderung mencoba karakteristik yang berubah-ubah. Banyaknya kasus pernikahan dibawah umur yang terjadi di Negara ini sebanding lurus dengan banyaknya angka perceraian. Seperti penelitian yang dilakukan ISI (Ikatan Sosiologi Indonesia) pada tahun 2004. Daerah tersebut antara lain Garut dengan 676 perkara, Cianjur 467 perkara, Majalengka 2.213 perkara, Sukabumi 169 perkara dan Indramayu ada di peringkat ke-3 (Nursobah, Asep, 2008). Banyaknya percerain dini yang dilakukan oleh pasangan suami-istri yang melakukan pernikahan dibawah umur membuat dampak negatif bagi berbagai pihak khususnya pada wanita itu sendiri atau istri. Perceraian juga dapat menimbulkan stres dan trauma untuk memulai hubungan baru dengan lawan jenis. Menurut penelitian Hetheringron perceraian adalah penyebab stres kedua paling tinggi, setelah kematian pasangan hidup (dalam Save, 2002).

3 Menurut hasil penelitian Hetherington (Save, 2002) peristiwa perceraian itu menimbulkan ketidak stabilan emosi, mengalami rasa cemas, tertekan, dan sering marah-marah pada suami maupun istri. Terutama bagi istri akan mengalami kesedihan yang dalam karena perceraian, begitu pula dengan anak mereka yang juga memiliki perasaan sedih, marah, penyangkalan, takut dan bersalah. Mereka akan menunjukkan kesulitan penyesuaian diri dalam bentuk masalah perilaku, kesulitan belajar atau penarikan diri dari lingkungan sosial. Hal di atas dapat dikuatkan dengan adanya penelitian dan studi ilmiah, bahwa wanitalah yang lebih sering merasakan kecemasan dan ketakutan dalam menghadapi masa depan setelah bercerai (Aqshari, 2007). Lodiana (2009) mengatakan, perceraian memang membuat pasangan suami-istri mendapat tantangan berat, baik itu dari masyarakat sekitar maupun dari keluarga. Keinginan untuk berusaha melanjutkan hidup setelah dihadapkan pada keretakan rumah tangga ternyata memiliki dampak sosial yang cukup besar, terutama bagi pihak perempuan. Argill (dalam Aqshari, 2007) memaparkan bahwa rata-rata kecemasan dan ketakutan akan masa depan pada wanita setelah bercerai semakin bertambah, karena mereka menghadapi masalah yang lebih banyak. Itu karena wanita lebih perasa. Artinya, pada tingkat tertentu mereka lebih sering terpengaruh dengan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sebagai orang tua tunggal (single parent). Selain sebagai orang tua tunggal (single parent) wanita juga mempunyai kesulitan dalam menghadapi masyarakat yang masih berpandangan negatif terhadap perceraian, sehingga hal ini dapat menimbulkan rasa malu dan keputusasaan pada wanita tersebut. Beberapa pemaparan tokoh di atas dikuatkan dengan hasil wawancara awal yang dilakukan pada tiga (3) wanita muda pasca bercerai. Wanita muda pertama (21) mengatakan bahwa setelah bercerai masyarakat cenderung mengabaikan keberadaannya sehingga ia mengakui kesulitan untuk bekerja mencari nafkah diluar rumah.

4 Wanita muda kedua (23) dan ketiga (24) mengatakan bahwa selain masyarakat yang menilai negatif terhadap dirinya, hal yang paling berat di hadapinya adalah keluarga. Kedua wanita muda ini mengakui bahwa segala aktivitasnya terbatas seperti mengikuti pengajian rutin desa dan kegiatan PKK, karena stigma negatif yang cenderung diberikan oleh pihak keluarganya. Padahal wanita muda kedua mengakui sebelum menikah dirinya termasuk anak muda yang tidak betah jika berdiam di rumah dan menyukai kegiatan yang menuntutnya bertemu dengan orang lain. Namun tidak semua wanita dewasa awal pasca perceraian mengalami dampak negatif seperti yang disebutkan diatas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fashihatin (2009) kepada wanita desa yang melakukan perceraian menyebutkan bahwa subjek penelitiannya memiliki penyesuaian diri yang baik pasca perceraian baik secara emosional maupun secara sosial. Dalam penelitian tersebut menyebutkan bahwa penyesuaian wanita desa terhadap masyarakat dan keluarga setelah bercerai tidak mengalami masalah atau kendala apapun sehingga tidak banyak mengubah keadaannya. Hasil survei yang dilakukan peneliti terhadap dua (2) wanita dewasa awal yang mengalami dampak positif setelah perceraian menghasilkan bahwa mereka cenderung bebas melakukan kegiatan di luar rumah. Wanita pertama (22) mengakui bahwa selama bersuami akses untuk mengembangkan potensi dirinya terbatas, sehingga setelah bercerai ia cenderung bebas melakukan kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan dirinya. Perubahan kondisi psikologis pada wanita dewasa awal setelah bercerai antara satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Sebagian wanita merasa bahwa setelah bercerai hidupnya berubah total karena sudah tidak ada lagi sandaran hidupnya. Banyaknya percerain dini yang dilakukan oleh pasangan suami-istri yang melakukan pernikahan dibawah umur membuat dampak negatif bagi berbagai yang dapat menimbulkan stres dan trauma untuk memulai hubungan baru dengan lawan jenis, merasakan kecemasan dan ketakutan dalam menghadapi masa depan setelah bercerai serta mengalami dissosial.

5 Namun ada sebagian wanita lainnya mengakui bahwa setelah bercerai ia merasakan baik-baik saja. Sebagian diantaranya memiliki penyesuaian diri yang baik setelah perceraian baik secara emosional maupun secara sosial, ia cenderung lebih mampu menguasai lingkungannya dan bebas untuk terus mengembangkan potensinya. Sehingga dari keadaan pasca bercerai tersebut secara tidak langsung dapat mempengaruhi psychological well being wanita dewasa awal dimana salah satu penyebab terbentuknya psychological well being adalah pengalaman hidup seseorang. Seperti yang dikatakan oleh Ryff (1989) bahwa pengalaman hidup seseorang dapat mempengaruhi psychological well being dalam dimensidimensi tertentu, apalagi penagalaman tersebut adalah pengalaman yang sulit dilupakan. Psychological well being (Ryff, 1989) adalah keadaan dimana individu mampu menerima dirinya apa adanya, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial mampu mengontrol lingkungan eksternal serta memiliki arti dalam hidup dan mampu merealisasikan potensi dirinya. Oleh karena itu berdasarkan dari segala permasalahan yang di paparkan diatas peneliti ingin mengetahui gambaran psychological well being pada wanita dewasa awal pasca perceraian. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana gambaran psychological well being pada wanita dewasa awal pasca bercerai? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran psychological well being pada wanita dewasa awal pasca bercerai.

6 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis peneliti ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam usaha memperoleh pemahaman, pengembangan teori, terutama pada bidang psikologi sosial serta psikologi perkembangan mengenai psychological well being pada wanita dewasa awal pasca bercerai dan mampu mengembangkan dirinya lebih baik. 2. Manfaat Praktis Bagi para wanita muda yang mengalami perceraian. Diharapkan dapat menambah wawasan mengenai psychological well being sehingga tidak ada lagi wanita yang merasa potensi dirinya pupus akibat perceraian dan mampu mengembangkan dirinya sesuai dengan tujuan hidup yang ingin dicapai. Bagi masyarakat. Mampu memberikan informasi dan pemahaman serta memperluas cara pandang bahwa wanita dewasa awal yang bercerai bukanlah seseorang yang pantas dinilai negatif, akan tetapi dengan status baru tersebut masyarakat diharapkan membantu memberikan ruang gerak kepada wanita dewasa awal pasca bercerai untuk mengembangkan potensinya dan mencapai tujuan hidupnya khusunya dalam hubungannya dengan lingkungan sosialnya.