KOPI - Ada beberapa pertanyaan sederhana yang bisa menimbulkan berbagai tafsir, jika kita bicara soal wibawa Polri (Kepolisian Republik Indonesia). Terutama pasca reformasi, yang justru banyak terlibat dan malah jadi sumber masalah. Pertanyaannya adalah: Mengapa zaman dulu masyarakat lebih segan, bahkan lebih takut terhadap polisi? Mengapa belakangan ini justru polisi diejek, dikeroyok, bahkan ditembaki? Tapi kenapa juga masyarakat selalu mencari, mengadu, bahkan membutuhkan polisi jika ada masalah? Apa yang salah di kepolisian? Dimana letak kesalahannya? Sungguh ironis, jika kepolisian mengalami dilematis dalam posisinya, sebagai penegak hukum, sementara disisi lain sekaligus jadi pelindung dan pengayom masyarakat. Mungkin, disinilah letak permasalahannya. Ada peran ganda yang bertolak belakang. Jika zaman dulu, katakanlah misalnya dari tahun 70-an hingga tahun 90-an, polisi demikian disegani antara lain karena figur-figur yang menjadi pemimpinnya di berbagai jenjang kepangkatan maupun wilayahnya, mampu menyelesaikan berbagai masalah pelik. Selain itu, kemampuan polisi sering menjadi tumpuan masyarakat, untuk penyelesaian berbagai ketidak-adilan maupun kesewenang-wenangan misalnya, para bandit maupun preman, atau para penguasa yang bukan penegak hukum. Bahkan dulu, kalau dikatakan urusannya ke polisi, banyak masyarakat yang tidak mau. Karena bayangannya akan serba sulit, tegas, dan bahkan dianggap kejam. Karena unsur ketegasan maupun kewibawaannya masih kental. Banyak urusan yang kalau ke polisi, dirasakan menjadi berat dan sulit. Unsur penegakan hukumnya, masih sangat kental. Bahkan zaman dulu, rata-rata polisi pegang pistol. Jangankan polisi di bagian reserse maupun intel. Polisi lalu-lintas yang urusannya dominan mengatur lalulintas-pun, dipersenjatai pistol. Sehingga makin menjadikannya sebagai orang yang pantas menggunakan pistol sewaktu-waktu, jika situasi mendesak. 1 / 5
Demikian banyak simbol-simbol yang dapat dijadikan sebagai ukuran, sehingga polisi zaman dulu dipandang jauh lebih disegani. Belum lagi kalau masuk menjadi perwira polisi, yang demikian ketat dan selektif. Seolah-olah hanya orang pilihan yang bisa masuk. Namun, perlahan tapi pasti, sejak adanya Undang-undang No. 2/2002 tentang Polri, yang terutama berkaitan dengan tugas dan fungsi Polri, nampaknya ada perubahan signifikan. Kendati belum ada penelitian yang benar-benar sahih, untuk mendeteksi perubahan tersebut. Kebanyakan masyarakat lebih menganggap, polisi sekarang tidak berwibawa. Polisi tidak profesional. Polisi biang kerok banyak masalah, dan sederet tudingan jelek. Jika kita coba identifikasi, persoalan yang bersumber dari Polri sendiri seperti: Adanya bawahan yang berani menembak atasannya; Adanya Rekening gendut para perwira tinggi; Polisi yang menjadi dalang pembunuhan isterinya; Polisi yang dituding menembaki para demonstran secara membabi-buta; Polisi yang menjadi backing cukong judi gelap; Polisi yang pacaran dengan isteri orang lain; Kasus korupsi simulator yang merugikan Negara hingga ratusan miliar; dan sejumlah masalah yang buruk lainnya. Dan yang lebih parah lagi, beberapa peristiwa belakangan ini, polisi secara beruntun ditembak oleh orang-orang tak dikenal. Pertanyaannya, mengapa polisi jadi sasaran tembak? Padahal, harusnya polisi berada di posisi mencari sasaran tembak, khususnya bagi para bandit dan preman? Semakin parah lagi, ketika ada himbauan dari pimpinan Polri, untuk tidak menggunakan seragam, diluar dinas? Cilaka! Apakah karena takut jadi sasaran tembak? Bukankah itu malah berkontribusi menurunkan citra dan wibawa polisi, yang terkesan takut terhadap sekelompok orang yang dianggap sebagai teroris, misalnya? Idealnya, situasinya harus dibalik. Bukan menunjukkan rasa gentar. Bila perlu, polisi justru harus menunjukkan keberingasannya memberantas manusia-manusia tak bertanggungjawab itu. Kejar, buru dan tangkap. Justru polisi seharusnya menunjukkan kepiawaiannya menaklukkan mereka-mereka yang menembaki polisi itu. 2 / 5
Alangkah miris, jika kita dengan masyarakat berkata-kata, misalnya: Polisi saja jadi sasaran tembak. Apalagi masyarakat? ; Polisi saja terancam. Bagaimana dengan masyarakat yang terancam? ; atau bahkan dikatakan Polisi sudah tidak aman, bagaimana mereka bisa mengamankan? ; Polisi saja sudah tak ditakuti teroris, apalagi masyarakat?. Dan masih banyak perbincangan yang menjadi keseharian, yang biasanya berangkat dari kemurnian berpikir masyarakat. Oleh sebab itu, jelas ada banyak masalah di internal kepolisian itu sendiri. Bahkan sebuah hasil survei lembaga berkompeten tahun 2012 membuktikan, lembaga Kepolisian adalah lembaga yang paling korup. Sementara, kewibawaan itu bersumber dari kepercayaan masyarakat terhadap polisi. Yang jadi persoalan, bagaimana bisa kewibawaan tercipta, sementara polisi itu sendiri sekarang ini jadi sumber masalah? Dengan Zero Case Kembalikan Wibawa Ada beberapa hal penting yang menjadi tugas korps kepolisian diseluruh jajarannya, jika ingin masyarakat kembali percaya. Selain meningkatkan profesionalisme, masalah rekrutmen yang harus diperketat kembali, bahwa seharusnya, polisi tidak bisa menjadi sumber masalah. Polisi tidak menjadi biang masalah. Polisi harus mengacu kepada zero case atau tidak ada masalah. Atau boleh dikatakan nol masalah. Hal ini juga tentu berlaku bagi penegak hukum lainnya seperti: Hakim; Jaksa dan penegak hukum lainnya. Sebab, jika polisi sebagai penegak hukum, atau pihak yang harus menyelesaikan masalah, ternyata penuh permasalahan, bagaimana masyarakat bisa percaya? Cap bermasalah ini, justru menjadi masalah utama yang sangat berpengaruh terhadap kewibawaan polisi. Akhirnya, kredibilitasnyapun diragukan. 3 / 5
Sebaliknya, jika polisi yang seharusnya sebagai pihak yang menyelesaikan masalah, secara umum bersih dari berbagai masalah, maka dengan sendirinya masyarakat akan makin percaya terhadap polisi. Tentu, untuk mengacu kepada zero case tidak mudah. Yang paling utama dibutuhkan adalah, komitmen dan kejujuran sebagai penegak hukum. Polisi harus membiasakan diri untuk mengatakan salah, jika salah, dan mengatakan benar, jika memang benar. Termasuk jika polisi sendiri melakukan kesalahan, harus berani mengatakan salah. Jangan malah terkesan dibuat berbelit-belit, atau melindungi sesama korps. Hal lain yang penting adalah, menegakkan kedisiplinan di kalangan internal. Akan tetapi, kedisiplinan yang benar-benar konsekwen dijalankan. Bukan sekedar disiplin yang terlihat keluar saja. Bukan sekedar disiplin yang dilihat publik serbagai pemantas atau bahkan hanya pencitraan semata. Yang tak kalah pentting memang, polisi itu harus siap untuk tidak serakah, atau tidak buru-buru kaya. Sebab, dalam banyak kasus, arogansi dan keserakahan ini menjadi biang kerok permasalahan di kalangan polisi. Banyaknya perwira menengah hingga perwira tinggi yang tersandung kasus suap-menyuap, sangat signifikan memperburuk citra dan wibawa polisi. Sementara di kalangan bawah, polisi dengan berbagai macam ulah dan tingkah laku, membuat masalah dengan gayanya sendiri. Toh sama-sama menciptakan masalah, dengan sikap arogansi. Dengan momentum pergantian Kapolri dari Jend. Pol Timur Pradopo kepada calon Kapolri, Komjen. Pol Sutarman, diharapkan dapat mengembalikan citra dan kewibawaan polisi ke depan. Polri ke depan diharapkan tidak lagi bergelimang masalah. Akan tetapi, jika polisi dituntut tidak banyak masalah, tidak arogan dan harus sabar dengan pendapatan yang ada, maka sebaiknya Pemerintah juga harus memperhatikan tingkat kesejahteraan polisi. Polisi harusnya diberi insentif atau semacam renumerasi tambahan, jika dalam kurun waktu tertentu, mampu menjalankan tugas dengan baik, dengan tanpa ada 4 / 5
masalah, atau zero case itu tadi. Hal ini dapat dipandang menjadi kebijakan khusus, yang diupayakan Kapolri terhadap Pemerintah, dalam rangka mendukung kebijakan penegakan disiplin internal, dengan segala konsekwensinya. Termasuk membuat para polisi yang baik, tidak tergoda korupsi. Sebab, jika soal kesejahteraan polisi juga layak dalam berbagai jenjang karir maupun prestasinya, maka niscaya polisi akan melakukan tugas dengan sesungguhnya, dan sebenar-benarnya. Ibaratnya, polisi tidak akan curang dengan kewenangannya, jika mereka juga aman dalam kehidupan keluarganya. Coba saja ditanya, apakah ada polisi yang mau cari-cari masalah? Sebab, sebagai penegak hukum, polisi sangat tahu persis risiko yang muncul, jika dirinya cari masalah. Semua atribut, pangkat dan harga diri, bisa berantakan jika tersandung masalah. Bagaimanapun, polisi juga manusia. Apalagi, ada berbagai disiplin yang selalu mengikat dalam kewenangannya. Sehingga, ada koridor yang selalu menjadi demarkasi perilakunya. Nah, jika demikian halnya, maka sebenarnya, arah zero case akan mampu mendongkrak profesionalisme, citra dan kewibawaan polisi, baik dari dukungan personil maupun secara institusi. Bagaimana Polri tercinta, mampukah? Penulis: Danny PH Siagian, SE, MBA, MM; Pemerhati Kepolisian RI/ Dosen 5 / 5