BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Solo adalah sebuah desa kecil yang terletak di provinsi Jawa Tengah. Sebelum bergabung dengan Indonesia, Solo dipimpin oleh seorang sultan. Semasa dikuasai oleh Belanda, Solo dikenal sebagai sebuah Vorstenland atau kerajaan. Solo memiliki dua keraton yakni Keraton Kasunanan yang diperintah oleh Pakubuwono XIII dan Keraton Mangkunegaran yang diperintah oleh Mangkunegara IX. Kedua raja ini tidak memiliki kekuasaan politik di Surakarta. Tanggal 16 Juni merupakan hari jadi Pemerintahan Kota Solo. Secara de facto tanggal 16 Juni 1946 terbentuk Pemerintah Daerah Kota Solo yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sekaligus menghapus kekuasaan Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran. (Piliang, 2005:311) Solo memiliki semboyan "Berseri", akronim dari "Bersih, Sehat, Rapi, dan Indah", sebagai slogan pemeliharaan keindahan kota. Untuk kepentingan pemasaran pariwisata, Solo mengambil slogan pariwisata Solo, The Spirit of Java sebagai upaya pencitraan kota Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa. Selain itu Kota Solo juga memiliki beberapa julukan, antara lain Kota Batik, Kota Budaya, Kota Liwet. Penduduk Solo disebut sebagai wong Solo, dan istilah putri Solo juga banyak digunakan untuk menyebut wanita yang memiliki karakteristik mirip wanita dari Solo. (Djelantik,2003:117). Solo, kota yang juga masyhur karena Bengawan Solo, baik arti harafiah sebagai sungai, maupun sebagai lagu populer dari seorang maestro bernama Gesang. Solo merupakan kota yang penuh sejarah, dari Mataram, sampai reformasi, dari gegeran Pajang, sampai gegeran 98. Dengan sejarahnya yang 1
2 panjang, disertai berbagai intrik dan kekerasan, masyarakat Solo pernah terkenal dengan sebutan kota sumbu pendek. Sebutan ini bukan tanpa alasan, balaikota Solo pernah menjadi saksi, karena dua kali pernah di bakar massa. (Djelantik,2003:117) Solo dahulu dan sekarang sudah sangat berbeda, banyak hal yang berubah dari kota di pinggiran sungai Bengawan ini. Perubahan itu dibawa oleh sosok juragan mebel yang berhasil menjadi walikota, Joko Widodo atau lebih dikenal dengan Jokowi. Mendapat tentangan dan cibiran di awal kepemimpinannya, Jokowi berhasil membawa nama Solo tidak hanya di tingkat Nasional, namun sampai ke kancah internasional dengan masuknya Solo sebagai salah satu World Heritage Cities. Reformasi birokrasi benar-benar berjalan di Pemkot Solo, perbaikan infrastruktur, perbaikan pelayanan masyarakat, serta perbaikan citra Solo sebagai kota budaya berhasil membawa Jokowi dipilih kembali sebagai walikota periode ke 2 dengan suara mutlak lebih dari 90%. (Djelantik,2003:118) Terpilihnya Jokowi di periode kedua menumbuhkan kepercayaan dirinya untuk menjadikan Solo sebagai kota MICE (Meetings, Incentives, Conferences, and Exhibitions). Keberhasilan Solo menjadi tuan rumah Konferensi Organisasi Kota-Kota Warisan pada Oktober 2006 dan tuan rumah Music World Festival pada 2007 membuktikan bahwa kota yang mengusung moto Solo, The Spirit of Java layak menjadi kota MICE. Tujuan utama dengan menjadikan Solo sebagai kota MICE membuat perubahan di Solo mempunyai arah yang jelas. Berkembangnya infrastruktur yang sangat pesat dibarengi dengan perkembangan masyarakatnya yang semakin dewasa, sehingga masyarakat Solo di bawah kepemimpinan Jokowi seakan menemukan kembali kepribadiannya yang hilang. Sekarang, image kota dengan sumbu pendek perlahan-lahan mulai luntur, berganti dengan image kota yang santun dan ramah. Hal ini jelas terlihat dari gaya bangunan yang semakin terlihat ramah dan terbuka. Dahulu tembok tinggi dan bangunan model benteng merupakan hal yang banyak ditemui, namun sekarang banyak bangunan yang borderless, langsung berhadapan dengan citywalk atau trotoar. Taman kota semakin banyak dibuka sehingga kesempatan bertemu atau
3 srawung antar warga juga semakin baik. Dengan iklim masyarakat yang sangat kondusif ini, maka event nasional dan internasional semakin sering digelar sehingga semakin memantabkan Solo sebagai salah satu kota MICE di Indonesia. (Djelantik,2003:119). Dari berbagai macam terobosan yang dilakukan Jokowi terhadap Solo, ada satu hal mendasar yang berhasil dia lakukan, yaitu membangkitkan kecintaan masyarakat terhadap kotanya. Ya, masyarakat Solo sekarang sangat bangga kepada kotanya, bahkan setiap kelurahan berlomba-lomba untuk mengungkap potensi daerah dan industri kreatif masing-masing sehingga bisa digunakan untuk mempromosikan Solo lebih jauh lagi. Keikutsertaan masyarakat inilah yang mendasari berhasilnya berbagai perbaikan yang ada di Solo. Terobosan dan pembangunan yang diupayakan, niscaya tidak akan berhasil tanpa dukungan dari masyarakat luas. Kembalinya karakter masyarakat ke kejawaan nya semakin terlihat, walaupun cuaca panasnya tetap sama, namun masyarakatnya mulai tetap bisa adem dalam menyikapi setiap tantangan. Bukti terkini adalah sikap masyarakat dalam menyikapi kenaikan BBM, berbagai gejolak yang ada di daerah lain tidak menjalar di Solo, walaupun ada aksi namun tetap terkendali. Hal ini mungkin akan berbeda jika menilik karakter masyarakatnya 10 15 tahun yang lalu. (Piliang, 2005: 320) Solo memang hanya kota kecil di pinggiran sungai, namun sekarang telah menjelma menjadi destinasi baru, baik untuk wisata, untuk belanja, maupun untuk kegiatan lain. Solo telah menjelma menjadi kota yang nyaman, penuh taman dan pohon rindang yang menyandang sebutan sebagai Kota Budaya. (Piliang, 2005: 321) Mengapa Solo dikenal sebagai Kota Budaya? Menjawab pertanyaan tersebut tentu akan sangat menarik dan penuh kompleksitas yang ada dalam dinamika kehidupan masyarakat Kota Solo. Sebab dari sanalah semuanya berawal dan dari sana pulalah sebutan itu kemudian terjaga. (Piliang, 2005: 321)
4 Salah satu bagian dari kehidupan masyarakat yang memiliki kekuatan lebih dalam mendukung sebutan Kota Budaya adalah dinamika seni pertunjukannya (performing art). Kedahsyatan kekuatan itu bisa ditelusuri dari intensitas pergelaran yang menurut sejarah memang sudah sedemikian dinamis sejak masa lampau. (Piliang, 2005: 322) Menyebut seni pertunjukan, di Kota Solo tak sekadar ada. Namun dari kuantitasnya yang cukup beragam dengan mencakup berbagai wilayah kesenian, seni pertunjukan bahkan telah menjadi daya hidup dari masyarakatnya. Bisa dikatakan sudah sedemikian mengakar dalam kehidupan kota. (Piliang, 2005: 322) Bukti betapa dunia seni pertunjukan telah mengakar dalam kehidupan kota diantaranya tertengarai pada kehidupan kantong-kantong seni yang ada. Tidak hanya yang dikelola oleh lembaga pemerintah atau pun swasta, namun bahkan juga telah merambah dalam wilayah masyarakat yang mandiri. Kondisi yang demikian tentu menjadi aset yang tak ternilai bagi Kota Solo terkait dengan sebutan Kota Budaya, maka untuk lebih memaksimalkan energienergi itu maka dibutuhkan semacam terminal untuk menyatukan semangat yang sama. Termasuk dengan mencoba merelasikan dengan seni pertunjukan dari luar daerah bahkan dari mancanegara. Solo International Performing Arts (SIPA), adalah jawaban dari penyatuan semangat antar seni pertunjukan tersebut. Sebuah event berskala internasional yang di antaranya akan menyatukan semangat masyarakat pendukung seni pertunjukan untuk kemudian bersama membumikan Kota Solo sebagai Kota Budaya.. (Suara Merdeka, 29 November 2009). Walikota Solo, Bapak Jokowi melalui Pemkot Solo, Sanggar Semarak Candrakirana, dan SIPA Community di bawah asuhan Ibu Irawati Kusumorasri bersama-sama mewujudkan Solo International Performing Arts di tahun 2009. SIPA atau Solo International Performing Arts adalah sebuah ajang pergelaran seni budaya berskala internasional dengan materi berupa seni pertunjukan. Sedangkan
5 pertunjukan yang dimaksud wilayah genre seninya mulai dari seni tari, seni musik, hingga seni teater dan atau tidak menutup kemungkinan melebar ke wilayah seni yang lain.. (Suara Merdeka, 29 November 2009). Solo International Performing Arts tahun 2009 yang mengangkat tema Art Brings Unity, Unity Brings Harmony hadir untuk menjadikan performing art sebagai alat pemersatu semangat kebersamaan. Beragam sajian pertunjukan yang dilaksanakan pada tanggal 7-10 Agustus 2009 di Pamedan Mangkunegaran Solo ini diharapkan bisa menjadi jembatan bertemunya berbagai ragam dan jenis pertunjukan seni etnik (tradisi), modern atau pun kontemporer.. (Suara Merdeka, 29 November 2009). Sebagai salah satu bagian dari kehidupan budaya (intangible), SIPA 2009 juga dijadikan sebagai sarana untuk menjalin kekuatan-kekuatan komunitas dan masyarakat seni pertunjukan di Kota Budaya dengan daerah lain untuk kemudian melakukan relasi dengan masyarakat dari mancanegara. Selain itu, hadirnya delegasi-delegasi yang tampil di SIPA 2009, semakin menumbuh kembangkan kesatuan semangat bersama baik untuk seniman atau pun masyarakat, memberikan pendidikan kepada masyarakat luas akan kekuatan dunia seni pertunjukan sekaligus berharap munculnya multi efek dari kegiatan tersebut. Baik itu sosial, ekonomi atau pun politik terkait dengan ketahanan budaya.. (Suara Merdeka, 29 November 2009). Pamedan Pura Mangkunegaran sebagai tempat berlangsungnya SIPA 2009, memiliki nilai heritage yang tinggi, hal ini seiring dengan sejarah perkembangan kadipaten Mangkunegaran yang didirikan oleh Pangeran Sambernyawa pada bulan Maret 1757. Di luar itu letaknya juga strategis karena berada di tengah kota. Selain itu mengingat Pura Mangkunegaran sebagai salah satu tempat bersejarah maka diharapkan dapat sekaligus mempromosikan Pura Mangkunegaran kepada dunia. Tentu saja melalui partisipasi para delegasi yang menjadi peserta di SIPA 2009.. (Suara Merdeka, 29 November 2009).
6 Tidak hanya di tahun 2009, SIPA juga meraih kesuksesan luar biasa di tahun-tahun berikutnya. Hingga tahun 2014 SIPA masih terus menarik perhatian penikmat seni mulai dari masyarakat sekitar, wisatawan domestik, hingga wisatawan asing. Oleh karena itu penulis mengambil tema PERANCANGAN BILINGUAL COFFEE TABLE BOOK SOLO INTERNATIONAL PERFORMING ARTS (SIPA) DAN MEDIA PENDUKUNGNYA dengan tujuan dapat lebih memperkenalkan seni budaya yang selama ini disajikan melalui SIPA dengan menggunakan strategi presentasi yang kreatif, menarik, komunikatif, dan tepat. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana merancang konsep table book SIPA yang dapat menarik minat audience? 2. Bagaimana merancang desain cover dan isi dari table book SIPA agar efektif namun tetap memunculkan karakter etnik yang modern? 3. Bagaimana merancang media pendukung yang digunakan dalam launching / peluncuran table book SIPA yang efektif? C. Tujuan Perancangan Tujuan disusunnya proposal ini adalah: 1. Merancang konsep table book SIPA agar dapat menarik pecinta budaya dan tamu-tamu kedutaan besar berbagai negara yang ada di Indonesia.
7 2. Merancang desain cover dan isi table book SIPA yang mengenalkan perjalanan SIPA kepada masyarakat luas secara efektif dan tetap memunculkan karakter etnik. 3. Merancang media pendukung yang digunakan dalam launching / peluncuran table book SIPA yang efektif. D. Target Audiens 1. Geografis Primer Sekunder : Wilayah Kota Solo dan sekitarnya. : Wilayah Indonesia dan Mancanegara. 2. Demografis Umur : Semua umur Jenis Kelamin : Laki-laki dan Perempuan Pendidikan : SMA sampai Perguruan Tinggi
8 Agama Kelas Sosial : Semua Agama dan Kepercayaan : Menengah Keatas 3. Psikografis Dilihat dari tujuannya, maka Table Book SIPA menyasar audience dari kalangan pecinta budaya, tamu-tamu dari kedutaan besar berbagai negara yang ada di Indonesia, tamu undangan yang mendapatkan atau yang membeli tiket VVIP saat SIPA diadakan, baik laki-laki maupun perempuan yang senang menikmati sajian seni budaya kolaborasi kontemporer antara kesenian asli Indonesia dengan kesenian negara-negara asing. E. Metode Pengambilan Data Metode penciptaan dan perancangan yang penulis gunakan, yaitu: 1. Metode Pengumpulan Data a. Data Primer 1. Metode Wawancara Termasuk salah satu metode pengumpulan data dengan cara bertanya langsung kepada responden. Wawancara merupakan salah satu proses interaksi dan komunikasi secara langsung untuk mendukung metode observasi. Proses dilakukan secara formal dan nonformal, dengan suasana yang akrab, sifat pertanyaan yang santai namun fokus dengan ketua organisasi, penyelenggara event, para volunteer, panitia inti, serta beberapa masyarakat lokal, pendatang, wisatawan domestik, maupun
9 wisatawan luar negeri tentang pendapat seputar SIPA, performer di tiap tahunnya, hal yang ditunggu-tunggu maupun kekurangan yang ada. 2. Metode Observasi Pengumpulan data melalui observasi dengan kegiatan mengamati bagaimana perilaku, tanggapan, amigo, dan sikap antusias target audience. Mengamati hal-hal apa saja yang membuat target audience tertarik menikmati sajian performing SIPA tiap tahun. b. Data Sekunder 1. Metode Kepustakaan Kepustakaan dimaksudkan untuk mendapat data sekunder sebagai landasan teoritis yang menunjang data primer yang telah dikumpulkan. Dapat berupa media cetak seperti buku, majalah, koran, dan data-data yang terkait dan memuat informasi tentang event SIPA di tiap tahun. 2. Metode Analisis Data Dalam rangka perancangan Bilingual Coffee Table Book Solo International Performing Arts digunakan analisis kualitatif. Setelah proses pengumpulan data selesai, dianalisa secara deskriptif, komparatif, dan kemudian ditarik untuk menemukan kesimpulan, lalu divisualisasikan dalam media pendukung yang efektif dengan strategi presentasi yang kreatif, menarik, komunikatif, dan tepat.