BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bekerja merupakan salah satu dasar manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tuntutan pekerjaan kerap kali membuat manusia lupa akan batas kemampuan tubuhnya. Dunia perindustrian menuntut para pekerjanya menggunakan teknologi maju dan canggih, yang di satu sisi akan memberikan kemudahan dalam prosesnya. Namun di lain pihak juga meningkatkan resiko kecelakaan dan penyakit yang timbul sehubungan dengan pekerjaannya yaitu bahaya fisik, kimia, biologi, ergonomi dan psikososial yang berdampak pada kesehatan pekerja. Bahaya tersebut biasanya saling terlibat yaitu antara pekerja, alat yang digunakan dalam melakukan pekerjaan maupun lingkungan pekerjaan. Keterlibatan tersebut menghasilkan dampak langsung maupun tidak langsung terhadap pekerja yang meliputi bahaya terhadap keselamatan kerja maupun kesehatan pekerjanya, salah satu contoh yaitu pada cara, sikap dan posisi kerja yang tidak benar serta fasilitas kerja yang tidak sesuai dan faktor lingkungan kerja yang kurang mendukung. Secara tidak langsung ini akan berpengaruh terhadap produktivitas, efisiensi dan efektivitas pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya (Budiono, et al., 2003). Salah satu pekerjaan yang menuntut aktivitas berlebih yaitu pekerja dalam industri laundry. Perkembangan industri laundry ini sangat berkembang pesat setiap 1
2 tahunnya, khususnya pada wilayah perkotaan. Pada awalnya industri ini umumnya dikelola oleh hotel, rumah sakit, dan lain-lain. Namun seiring dengan tingginya kebutuhan akan jasa laundry ini, maka industri ini mulai dikelola oleh masyarakat umum khususnya sektor informal (Angkoso, 2012) Pekerja industri laundry seringkali kita tidak menyadari melakukan aktivitas yang tidak sesuai dengan ergonomi seperti duduk ataupun berdiri statis ketika bekerja, tempat kerja yang didesain tidak secara ergonomis seperti meja yang tidak sesuai tingginya maupun rendah sehingga menyebabkan forward head position, bahu yang terlalu tinggi atau rendah dan sebagainya. Apabila kebiasaan tersebut dilakukan dalam jangka waktu yang lama dan secara berulang (repetitive) maka dapat menimbulkan keluhan muskuloskeletal yang bisa menurunkan kinerja seseorang (OHSAH, 1999). Aktivitas kerja berlebihan akan menimbulkan efek kepada pekerja, seperti keluhan pada sistem otot (musculoskeletal) berupa keluhan rasa sakit, nyeri, pegalpegal dan lainnya pada sistem otot (musculoskeletal) tendon, pembuluh darah, saraf dan lainnya yang disebabkan oleh aktivitas kerja. Berdasarkan lokasi keluhan yang sering timbul pada pekerja adalah nyeri punggung, nyeri leher, nyeri pada pergelangan tangan, siku dan kaki (Departemen Kesehatan, 2004). Pusat Kesehatan Kerja menyatakan tiga pertimbangan utama terjadinya gangguan leher pada waktu kerja, yaitu (1) beban pada struktur leher dalam waktu yang lama berkaitan dengan tuntutan yang tinggi dari pekerjaan dan kebutuhan stabilisasi daerah leher dan bahu
3 dalam bekerja, (2) secara psikologis pekerjaan dengan konsentrasi tinggi, tuntutan kualitas dan kuantitas secara umum mempengaruhi otot leher, (3) discus dan sendi pada leher sering mengalami perubahan degeneratif yang prevalensinya meningkat sesuai umur (Departemen Kesehatan, 2004). Pekerja laundry lebih banyak melakukan pekerjaannya dengan berdiri dan melakukan pekerjaan berulang-ulang terutama pada lengan saat menyeterika serta posisi statis pada leher yang mempertahankan agar tetap pada posisi normal saat proses menyetrika secara berlangsung. Azami, et al., (2004), menambahkan bahwa sikap kerja yang demikian ini dapat menimbulkan pembebanan otot secara statis (static muscular loading) yang jika dipertahankan dalam waktu yang cukup lama akan mengakibatkan RSI (Repetition Strain Injuries) yaitu nyeri otot, tulang, dan tendon yang diakibatkan oleh jenis pekerjaan yang bersifat berulang-ulang Menurut laporan data OHSAH (1999) selama tahun 1995 sampai 1999, terdapat kurang lebihnya 577 kasus gangguan muskuloskeletal pada para pekerja di sektor industri jasa laundry, di mana 491 kasus tersebut disebabkan oleh gerakan yang berlebihan (overexertion), gerakan yang berulang-ulang (repetitive motions) dan postur yang janggal. Pada kasus ini biaya kompensasi untuk keluhan muskuloskeletal tersebut mencapai 3.666.260 dollar. Gangguan musculosceletal yang dialami oleh pekerja laundry akibat ergonomi sikap maupun alat pekerjaan pendukung salah satunya adalah Myofascial Pain Syndrome (OHSAH, 1999).
4 Myofascial Pain syndrome adalah gangguan nyeri musculoskeletal yang terjadi akibat adanya myofascial trigger point. Gangguan ini dapat menyebabkan nyeri lokal atau reffered pain, tightness, stiffness, spasme, keterbatasan gerak, respon cepat lokal dari otot tersebut (Hurtling, et al., 2005). Faktor pencetus terjadinya myofascial pain syndrome adalah beban berlebihan yang akut pada jaringan myofascial, repetitif mikrotrauma, kebiasaan postur yang jelek, menurunnya aktivitas, dan stress emosional yang tinggi (Tammy Lee, 2009). Salah satu penelitian melaporkan bahwa myofascial pain syndrome yang memiliki trigger point menjadi penyebab utama nyeri pada 85% pasien yang mengunjungi klinik-klinik nyeri di Amerika. Kemudian penelitian yang lainnya menunjukkan bahwa myofascial pain berkaitan dengan beberapa kondisi nyeri, di antaranya neck-shoulder pain sekitar 10% (International Association for The Study of Pain, 2009). Pada kasus myofascial pain syndrome ini dapat ditangani dengan melakukan fisioterapi. Teknik fisioterapi yang dapat diterapkan pada kasus myofascial pain syndrome adalah menggunakan teknik Deep Transverse Friction, dan Massage Effleurage. Teknik Massage Effleurage adalah suatu pergerakan stroking dalam atau dangkal, effleurage pada umumnya digunakan untuk membantu pengembalian kandungan getah bening dan pembuluh darah di dalam ekstremitas tertentu (Hollis 1998), sedangkan Deep transverse friction merupakan sebuah teknik yang untuk kondisi nyeri dan inflamasi muskuloskeletal menggunakan aplikasi gesekan dan tekanan pada kedalaman lesi tertentu yang dianggap menjadi penyebab rasa nyeri
5 (Brosseau, et al., 2009). Kedua teknik ini dapat meningkatkan lingkup gerak sendi (LGS) dan mengurangi nyeri akibat spasme, pemendekan otot, atau akibat fibrosis. Deep transverse friction merupakan sebuah teknik yang dipopulerkan Dr. James Cyriax untuk kondisi nyeri dan inflamasi muskuloskeletal (Brosseau, et al., 2009). Deep transverse friction menggunakan aplikasi gesekan dan tekanan pada ke dalaman lesi tertentu yang dianggap menjadi penyebab rasa nyeri atau penurunan fungsi yang digunakan untuk mengurangi perlengketan fibrosa yang abnormal (Doley, et al., 2013). Hasil penelitian menurut Tanifia (2015) pemberian deep transverse friction menyebabkan terjadinya peradangan akut pada otot tetapi efek penurunan nyeri jangka panjang (kronis) serta penurunan disabilitas pada Myofascial Pain Syndrome Otot Trapezius bagian atas. Teknik Massage Effleurage adalah suatu pergerakan stroking dalam atau dangkal, effleurage pada umumnya digunakan untuk membantu pengembalian kandungan getah bening dan pembuluh darah di dalam ekstremitas tersebut. Effleurage juga digunakan untuk memeriksa dan mengevaluasi area nyeri dan ketidak teraturan jaringan lunak atau peregangan kelompok otot yang spesifik (Hollis 1998). Menurut hasil penelitian Fatmawati (2013) terjadi penurunan nyeri dan penurunan disabilitas pada Myofascial Pain Syndrome Otot Trapezius bagian atas. Melihat dari latar belakang tersebut, maka peneliti ingin melakukan penelitian dengan judul Pemberian Deep Transverse Friction Lebih Baik Daripada Massage
6 Effleurage Dalam Meningkatkan Lingkup Gerak Sendi Cervical Akibat Myofascial Pain Syndrome Otot Upper Trapezius Pada Pegawai Laundry di Denpasar Timur. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah yang disampaikan adalah sebagai berikut: 1. Apakah intervensi Deep Transverse Friction dapat meningkatkan Lingkup Gerak Sendi Cervical akibat Myofascial Pain Syndrome Otot Upper Trapezius Pada Pegawai Laundry di Denpasar Timur? 2. Apakah intervensi Massage Efflurage dapat meningkatkan Lingkup Gerak Sendi Cervical akibat Myofascial Pain Syndrome Otot Upper Trapezius Pada Pegawai Laundry di Denpasar Timur? 3. Apakah intervensi Deep Transverse Friction lebih baik dalam meningkatkan Lingkup Gerak Sendi Cervical Akibat Myofascial Pain Syndrome otot Upper Trapezius daripada Intervensi Massage Efflurage Pada Pegawai Laundry di Denpasar Timur? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui gambaran umum mengenai Intervensi Deep Transverse Friction Lebih Baik Dalam Meningkatkan Lingkup Gerak Sendi Cervical Akibat Myofascial Pain Syndrome otot Upper Trapezius daripada Intervensi Massage Efflurage.
7 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk membuktikan intervensi Deep Transverse Friction Lebih Baik dalam meningkatkan Lingkup Gerak Sendi Cervical Akibat Myofascial Pain Syndrome otot Upper Trapezius pada pegawai Laundry di Denpasar Timur. 2. Untuk membuktikan intervensi Massage Efflurage dalam meningkatkan Lingkup Gerak Sendi Cervical Akibat Myofascial Pain Syndrome otot Upper Trapezius pada pegawai Laundry di Denpasar Timur. 3. Untuk membuktikan Intervensi Deep Transverse Friction dapat Lebih Baik Dalam meningkatkan Lingkup Gerak Sendi Cervical Akibat Myofascial Pain Syndrome otot Upper Trapezius daripada Intervensi Massage Effleurage pada pegawai Laundry di Denpasar Timur. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Dapat digunakan sebagai bahan referensi atau bahan tambahan dalam mengetahui dan memahami Intervensi Deep Transverse Friction Lebih Baik Dalam meningkatkan Lingkup Gerak Sendi Cervical Akibat Myofascial Pain Syndrome otot Upper Trapezius daripada Intervensi Massage Efflurage pada pegawai Laundry secara mendalam agar dapat dikembangkan dalam studi ilmiah untuk mendapatkan intervensi fisioterapi.
8 1.4.2 Manfaat Praktis Dipergunakan sebagai bahan pertimbangan untuk memberikan pelayanan fisioterapi dalam hal pemilihan teknik Deep Transverse Friction dan Massage Effleurage dalam menangani kasus Myofascial Pain Syndrome Otot Upper Trapezius.