BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Ketahanan Pangan Nasional

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. terdapat di Asia Tenggara. Indonesia dikenal sebagai negara dengan hutan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

Anita Dwijayanti, Teguh Hariyanto Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab II Tinjauan Pustaka

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sistem penambangan batubara pada umumnya di Indonesia adalah sistem

Indra Jaya Kusuma, Hepi Hapsari Handayani Program Studi Teknik Geomatika, FTSP, ITS-Sukolilo, Surabaya,

Oleh. Firmansyah Gusasi

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

adalah untuk mengendalikan laju erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

BAB I PENDAHULUAN. bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Analisis Perubahan Lahan Tambak Di Kawasan Pesisir Kota Banda Aceh

label 1. Karakteristik Sensor Landsat TM (Sulastri, 2002) 2.3. Pantai

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

I. PENDAHULUAN. masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di kuasai pepohonan dan mempunyai kondisi

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu kelompok tumbuhan berkayu, yang tumbuh di zona tropika dan subtropika terlindung dan memiliki semacam bentuklahan pantai, bertipe tanah anaerob (Snedaker, 1978 dalam Arief, 2003). Hutan mangrove merupakan ekosistem dengan produktifitas tinggi, yang tumbuh khas di zona pasang surut yang lemah, sepanjang garis pantai tropika dan subtropika (Lugo dan Snedaker 1974, Kathiresan dan Bingham 2001, dalam Yang, 2009). Mangrove merupakan objek terpenting dalam ekosistem lahan basah, yang diperlukan dalam memelihara ekosistem pantai (Kamal dan Phinn, 2011). Selain peranannya dalam fungsi ekologi, hutan mangrove juga penting bagi sosial ekonomi. Peran pentingnya dalam stabilitas garis pantai, mereduksi abrasi, penyimpan material sedimen dan nutrisi, pelindung badai, pengontrol aliran dan banjir, serta pengontrol kualitas air. Sementara itu Jia et al. (2014) menyatakan bahwa saat ini kondisi hutan mangrove merosot ditingkat yang menghawatirkan, bahkan penurunannya mungkin lebih cepat dibanding hutan tropis di daratan. Berdasarkan klasifikasi sistem lahan RePPProT (1985 1989), dan luas areal untuk masing-masing sistem lahan per provinsi berdasarkan Giesen, Baltzer dan Baruadi (1991) kecuali Sulawesi selatan, total luas hutan mangrove di Indonesia mencapai 4.098.500 ha, kemudian BAPLAN (2005) dengan data 2002/2003 menunjukkan luas hutan mangrove di Indonesia menurun, dan menjadi 3.163.000 ha (Noor et al., 2011). Menurut Hartono dan Bangun (1991), dalam hasil penelitiannya dengan studi kasus di Surabaya menyatakan bahwa dari hasil data yang diukur secara manual tahun 1981, dengan data pengukuran dengan pendekatan penginderaan jauh yang menggunakan data 1985 dan 1988, didapatkan bahwa dalam rentang waktu 1981 hingga 1988 terjadi penurunan luasan hutan mangrove sebesar 852 ha. Menurut Arief (2003), secara garis besar kerusakan mangrove dapat melipurti perubahan sifat-sifat fisika dan kimia (suhu air, salinitas, nutrisi, hidrologi, sedimentasi, kekeruhan, substansi beracun, dan 7

erosi tanah). Perubahan sifat-sifat biologis, meliputi terjadinya perubahan spesies dominan, densitas, populasi, serta struktur tumbuhan dan binatang. Perubahan keseimbangan ekologi, meliputi regenerasi, pertumbuhan, habitat, rantai makanan, baik pada ekosistem mangrove itu sendiri maupun pada daerah pantai yang bersebelahan. Pemetaan yang cepat dan akurat adalah kunci dasar konservasi yang berkelanjutan untuk hutan mangrove. Penginderaan jauh dikenal sebagai salah satu alat untuk tujuan tersebut. Instrumen penginderaan jauh konvensional telah beroperasional dan digunakan dalam pemetaan mangrove pada level luasan. Konservasi tentunya tidak hanya terkait informasi perubahan luasan namun juga informasi mengenai komposisi struktur di dalamnya (keanekaragamannya). Keanekaragaman hayati atau biodiversitas (biodiversity) mencangkup variasi organisme hidup pada tingkatan seperti genetik, spesies, dan ekosistem. Informasi spasial mengenai keanekaragaman jenis (spesies) tentunya sangat berguna mengingat beberapa spesies memiliki peranan dan fungsi tertentu seperti halnya Rhizophora sp. sebagai penahan abrasi dengan perakarannya. Selain itu, dalam kegiatan konservasi tentunya dilakukan pemudaan buatan kawasan mangrove, yang mencangkup kegiatan penanaman khususnya untuk jenis mangrove yang jumlah atau luasannya sangat minim. Penanaman jenis mangrove ini sebaiknya diusahakan sedemikian rupa sehingga mirip dengan kejadian alami di kawasan lainnya, untuk penyesuaian zonasi, pasang surut atau penggenangan, dan salinitas. Oleh karena itu, tentunya dibutuhkan adanya informasi spasial mengenai persebaran dan distribusi jenis (spesies) dalam pertimbangan kegiatan konservasi. Penelitian mengenai vegetasi mangrove menggunakan data dan teknik penginderaan jauh telah banyak dilakukan (Purwanto, 2014; Kamal dan Phinn, 2014; Vo et al., 2012). Penelitian sebelumnya menghasilkan berbagai tingkat akurasi klasifikasi. Wang et al. (2009) dalam penelitiannya yang berjudul Integration of object-based and piksel-based classification for mapping mangroves with IKONOS imagery menggunakan metode hibrida OBIA-MLC menyatakan bahwa akurasi untuk spesies individu masih berkisar antara 74% sampai 98%. Sedangkan, Huang et al. (2009) dan Myint et al. (2008) juga 8

mencoba identifikasi spesies mangrove, mendapatkan akurasi lebih dari 90% menggunakan data spasial sebagai bagian dari klasifikasi, atau sebagai masukan dalam proses segmentasi objek gambar. Penelitian lain yakni Heumann, (2011) menggunakan gabungan dari pendekatan decision-tree dan Support Vector Machine (SVM) dapat mengklasifikasi jenis mangrove sejati dan jenis mangrove asosiasi diklasifikasikan dengan akurasi 94% pada tingkat objek. Namun, klasifikasi pada tingkat spesies menghasilkan akurasi yang buruk untuk beberapa spesies seperti black and buttonwood mangrove yang masing-masing memiliki akurasi 29% dan 25%. Penelitian lain oleh Heenkenda et al. (2014) menunjukkan bahwa gabungan dari segmentasi dan algoritma SVM untuk pemetaan spesies mangrove, menghasilkan akurasi tertinggi (akurasi keseluruhan 89%). Penelitian tersebut menghasilkan tingkat akurasi yang dinilai cukup baik. Namun, penelitian tersebut dilakukan di hutan mangrove yang terletak di iklim subtropis, dengan tipikal zonasi mangrove bersifat hommogen dengan garis batas yang tegas. Penelitian ini, akan mencoba menerapkan metode yang sudah ada sebelumnya yakni hibrid Object-based Image Analysis (OBIA) dan Support Vector Machine (SVM) untuk pemetaan famili mangrove di kawasan Taman Nasional Alas Purwo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur yang diketahui merupakan hutan mangrove kawasan iklim tropis. Famili merupakan tingkatan taksonomi tumbuhan urutan ke-4 setelah divisio atau filum, kelas, dan ordo. Suatu famili memiliki ciri khas yang mudah dikenal, meskipun pada tingkat jenis atau spesies tentunya persamaan ciri tersebut semakin banyak dan lebih mudah dikenali. Pemilihan pemetaan pada tingkat famili, dilatarbelakangi oleh tingginya komposisi variasi spesies di lokasi kajian (sangat heterogen) dengan merujuk pada data Balai Taman Nasional Alas Purwo yang menyebutkan ada 15 spesies yang akan dijelaskan lebih lanjut pada bab metode (pemilihan lokasi penelitian), sehingga tentunya memerlukan jumlah sampel yang cukup banyak per spesiesnya, yang kemudian akan dikhawatirkan terhambat oleh faktor tertentu seperti halnya aksesibilitas. Famili dipilih karena dianggap cukup mewakili sebagai data awal inventarisasi dalam tahapan kegiatan konservasi. Selain itu, adanya keterbatasan resolusi spektral citra yang dipakai 9

yakni citra WorldView-3 yang digunakan dalam penelitian ini dengan 8 band multispektral saja sehingga dikhawatirkan akan kurang efektif jika sampai ke level jenis (spesies) maupun genus dikarenakan kemiripan pantulan spektral antar spesies ataupun genus yang berbeda. Citra satelit konvesional belum banyak digunakan untuk pemetaan famili mangrove karena terbatasnya resolusi spektral dan spasialnya. Mengingat ukuran patch kecil beberapa spesies/ famili mangrove, resolusi spasial memainkan peran yang lebih penting daripada resolusi spektral dalam diskriminasi famili mangrove. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa diskriminasi akurat antara spesies mangrove tidak mungkin dilakukan dengan data satelit konvensional, tetapi mungkin menggunakan data dari sensor udara (Green et al., 1998). Citra WorldView-3 menyediakan peluang dalam pemetaan jenis penutup lahan dengan resolusi spasial dan spektral yang cukup tinggi, sehingga memberikan peningkatan ketajaman gambar. Tentunya, hal tersebut memberikan peluang berbagai peningkatan aplikasi seperti vegetatif analisis, aplikasi terkait lingkungan pantai, maupun pengawasan lingkungan, termasuk pemetaan famili mangrove dan distribusinya. Klasifikasi berbasis objek merupakan alternatif ketika klasifikasi yang didasarkan pada nilai piksel tidak mampu mendefinisikan objek-objek spasial. Object-based Image Analysis (OBIA) merupakan pendekatan yang proses klasifikasinya tidak hanya mempertimbangkan aspek spektral namun aspek spasial objek (Hurd et al., 2006). Metode ini dipandang mampu mengatasi kelemahan metode klasifikasi yang selama ini beroperasi pada level piksel secara individual, di sisi lain disadari bahwa objek geografis dibedakan satu sama lain tidak hanya berdasarkan aspek spektral, melainkan juga aspek spasial seperti bentuk, pola, dan tekstur (Navulur, 2007). SVM merupakan teknik pembelajaran mesin yang bekerja dengan prinsip Structural Risk Minimization (SRM) dengan tujuan menemukan hyperplane terbaik yang memisahkan dua kelas pada input. Klasifikasi berbasis objek OBIA diharapkan mampu memberikan hasil yang maksimal untuk pembedaan objek mangrove dan non-mangrove yang kemudian 10

dilanjutkan dengan pendekatan algoritma SVM yang akan memisahkan objek mangrove ke tingkat famili. 1.2 Rumusan Masalah Kondisi hutan mangrove merosot ditingkat yang mengkhawatirkan, bahkan penurunannya mungkin lebih cepat dibanding hutan tropis di daratan (Jia et al., 2014). Banyaknya permintaan terkait konservasi dan usaha pemulihan mangrove membuka peluang baru untuk menemukan metode yang lebih efektif dan cepat. Dalam proses konservasi dan pemulihan, tidak hanya dibutuhkan data yang terbaru maupun data lampaunya, tetapi juga informasi lain seperti luasan, komposisi famili, spesies hutan dan distribusinya. Secara tradisional pembedaan untuk pemetaan hutan memerlukan kerja lapangan yang intensif, memerlukan waktu dan biaya yang lebih dan terkadang aksessibilitas sulit di area mangrove. Penginderaan jauh muncul sebagai alat untuk memetakan dan monitoring mangrove, terutama untuk pengumpulan informasi pada lingkungan yang susah terjangkau. Ketersediaan data penginderaan jauh resolusi tinggi termasuk citra WorldView-3 baik digunakan untuk pemetaaan ekosistem pesisir detail. Metode hard classification (konvensional) seperti maximum likelihood (ML) memandang setiap piksel mewakili satu kelas, namun sebenarnya mungkin saja suatu piksel memiliki nilai reflektansi lebih dari satu kelas (piksel campuran). Hutan mangrove merupakan hutan tertutup dengan kondisi padat, kemudian pada penelitian ini akan dipetakan famili mangrove yang artinya sangat mengantisipasi adanya piksel campuran. Menurut Henkeenda et al. (2014), teknik analisis citra metode hard classification tidak sepenuhnya memandang adanya variasi kontekstual dalam distribusi spesies (mangrove), sehingga digunakan alternatif soft classification yang memprediksi proporsi masing-masing kelas tutupan lahan dalam setiap piksel (lebih informatif). Metode SVM merupakan metode yang sudah dikembangkan sejak lama, namun belum banyak digunakan (kurang populer). Berbeda dengan metode maximum likelihood yang mengharuskan input data terdistribusi normal, metode SVM merupakan metode non-parameteretrik sehingga data masukan yang digunakan tidak harus terdistribusi normal. 11

Perbedaan tersebut yang menjadi salah satu dasar adanya pembandingan hasil klasifikasi dengan metode hibrid OBIA dan SVM dengan hibrid OBIA dan ML. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa metode bahwa SVM mencapai tingkat akurasi klasifikasi yang lebih tinggi dibanding maximum likelihood (Pal dan Mather, 2005), sehingga dapat disimpulkan rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut: 1. Masih perlu dikajinya akurasi citra WorldView-3 untuk identifikasi famili mangrove. 2. Masih perlu dikajinya akurasi citra WorldView-3 untuk pemetaan famili mangrove. 3. Perlu dlakukaannya perbandingan teknik analisis citra soft classification SVM yang diintegrasikan dengan klasifikasi berbasis objek (OBIA) dengan teknik analisis citra hard classification yakni Maximum likelihood (ML) untuk mengetahui informasi famili mangrove 1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, muncul pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana data WorldView-3 digunakan dalam identifikasi famili mangrove? 2. Bagaimana metode hibrid OBIA dan SVM digunakan dalam pemetaan mangrove pada level famili dengan menggunakan data WorldView-3? 3. Seberapa akurat informasi famili mangrove yang didapatkan dari hasil klasifikasi teknik analisis citra soft classification SVM yang diintegrasikan dengan klasifikasi berbasis objek (OBIA) dengan teknik analisis citra hard classification yakni maximum likelihood (ML)? 12

1.4 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi famili mangrove dengan menggunakan data WorldView- 3. 2. Memetakan famili mangrove dengan metode hibrid OBIA dan SVM menggunakan data WorldView-3. 3. Menghitung akurasi dari hasil teknik analisis citra soft classification SVM yang diintegrasikan dengan klasifikasi berbasis objek (OBIA) dengan teknik analisis citra hard classification yakni maximum likelihood (ML) untuk pemetaan famili. 1.5 Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan informasi mengenai kemampuan data citra WorldView-3 dengan analisis citra berbasis objek dan SVM dalam memberikan informasi famili mangrove sehingga diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan studi mangrove yang selanjutnya. 2. Menjadi masukan bagi pihak lain terutama pengelola wilayah pesisir dalam arahan pengelolaan hutan mangrove secara tepat dan berkelanjutan. 13