BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

dokumen-dokumen yang mirip
Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB 4 ANALISA KASUS. Lihat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta tertanggal 27 Mei 2008, No. 06/Pid/Prap/2008/PN Jkt-Sel

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 95/PUU-XV/2017 Penetapan Tersangka oleh KPK Tidak Mengurangi Hak-hak Tersangka

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XI/2013 Tentang Frasa Pihak Ketiga Yang Berkepentingan

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

BAB I LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS. Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3. Sebagai Negara hukum

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017

Jokowi Diuji, KPK Diamputasi Selasa, 17 Pebruari 2015

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 102/PUU-XIII/2015

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pidana Bagi Penyedia Jasa dan Pemakai Pada Tindak Pidana Prostitusi

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong

BAB I PENDAHULUAN. yang diterapkan dapat sesuai dengan hukum positif dan nilai keadilan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 67/PUU-XII/2014

BAB IV PERKEMBANGAN PENGATURAN PRAPERADILAN TERHADAP PENETAPAN TERSANGKA DALAM KASUS PIDANA KORUPSI

I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

PUTUSAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 49/PUU-X/2012 Tentang Persetujuan Majelis Pengawas Daerah Terkait Proses Peradilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 016/PUU-IV/2006 Perbaikan 11 September 2006

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 123/PUU-XIII/2015 Hak Tersangka Untuk Diadili Dalam Persidangan

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006

Laporan Kasus Korupsi

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

MEDIA RELEASE DIREKTORAT JENDERAL PAJAK KEMENTERIAN KEUANGAN

Kasus PDAM Makassar, Eks Wali Kota Didakwa Rugikan Negara Rp 45,8 Miliar

Presiden, DPR, dan BPK.

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016 Perekaman Pembicaraan Yang Dilakukan Secara Tidak Sah

I. PENDAHULUAN. kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. manapun (Pasal 3 Undang -Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga independen,

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LATAR BELAKANG MASALAH

MENJAWAB GUGATAN TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) 1

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku

KADIS PENDIDIKAN MTB DAN PPTK RUGIKAN NEGARA Rp200 JUTA LEBIH.

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

2011, No b. bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang pemberantasannya perlu dilakukan secara luar biasa, namun dalam pelaksan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika

KUASA HUKUM Adardam Achyar, S.H., M.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 7 Agustus 2014.

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 65/PUU-VIII/2010 Tentang Pengajuan Saksi Yang Meringankan Tersangka/Terdakwa ( UU Hukum Acara Pidana )

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

Transkripsi:

BAB V ANALISIS A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam Perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan tersangka menjadi objek pra peradilan, hal itu menjadi pekerjaan rumah tidak hanya KPK, Kepolisian dan Kejaksaan pun terkena efeknya, karena harus menghadapi gelombang upaya dari orang yang di tetapkan tersangka kasus tindak pidana korupsi. Khusus Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan adanya Putusan MK tersebut menjadi pekerjaan baru karena sudah dapat di pastikan gelombang pra peradilan tidak dapat terbendung, sudah dapat di pastikan pelaku tindak pidana korupsi akan selalu menggunakan lembaga pra peradilan untuk menguji penetapan tersangka. Setelah memperhatikan pertimbangan-pertimbangan yang digunakan hakim tunggal Cepi Iskandar dalam mengadili kasus Setya Novanto dengan nomor register : 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL penulis berpendapat bahwa hakim telah menerapkan hukum secara benar. Pegangannya adalah rule of law, dan ia hanya menerapkan aturan hukumnya yang terdapat dalam UU kepada kasus Setya Novanto. Artinya ia tidak melakukan penemuan hukum terhadap kasus tersebut. Hal ini dapat dipahami bahwa berbagai keputusan yang diambil hakim, telah menggunakan landasan hukum secara cermat dan teliti. Masalah penetapan tersangka sebagai

objek praperadilan sebagaimana yang diajukan Setya Novanto mempunyai legalitasnya yaitu berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Dari putusan itu, Mahkamah Konstitusi memberikan perluasan objek praperadilan dengan menambahkan petetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Perluasan itu dikarenakan adanya pihak yang mengajukan judicial review terhadap Pasal 77 yang mengatur tentang objek praperadilan. Dalam Pasal 77 KUHAP hanya menyebutkan Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang: a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Bila diperhatikan ketentuan Pasal 77 KUHAP yang tidak mengatur tentang penetapan tersangka sebagai objek praperadilan, akan tetapi dengan diajukann judicial review terhadap Pasal tersebut, maka diberikan putusan oleh MK dengan memperluasn objek praperadilan dengan penambahan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan melalui putusan Nomor 21/PUU-XII/2014. Putusan tersebut berawal dari permohonan praperadilan kasus Budi Gunawan yang dikabulkan oleh Hakim Sarpin. Adanya putusan tersebut, dapat dijadikan rujukan oleh hakim-hakim lain dalam memutuskan perkara-peraka yang sama. Karena substansi keputusan tersebut sama kedudukannya dengan Undang-Undang yang ditetapkan oleh lembaga legislatif. Untuk itu, sangat beralasan bagi hakim Haswandi mengutip putusan tersebut sebagai dasar dalam mengadili kasus praperadilan.

Penerapan itu sesuai dengan asas legalitas yang terdapat dalam hukum pidana yang menyatakan bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dipidina kecuali atas kekuatan Undang- Undang pidana yang ada sebelum perbuatan dilakukan.karenanya, apa yang dijadikan landasan yuridis oleh hakim memang sudah ada ketentuan hukum yang mengaturnya. Dalam kasus yang menjerat Setya Novanto Hakim Cepi Iskandar berpendapat bahwa penetapan tersangka Setya Novanto cacat hukum, bahwa adapun alat-alat bukti yang telah diperoleh oleh penyidik KPK merupakan hasil penyelidikan dan penyidikan dalam perkara orang lain: Irman dan Sugiharto, Andi Narogong. Bahwa dari perumusan pasal 1 butir 16 dan beberapa pasal KUHAP sebagaimana diterangkan di atas dapat disimpulkan bahwa benda sitaan yang berstatus sebagai barang bukti tersebut adalah berfungsi untuk kepentingan pembuktian. Namun apabila dikaitkan dengan keberadaan alat-alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP, maka dapat diketahui secara jelas bahwa barang bukti tidak termasuk sebagai alat bukti yang sah, namun apakah di dalam permohonan praperadilan Pemohon di dalam alat bukti yang mana KPK tidak membedakan antara barang bukti dan alat bukti yang sah, hal tersebut tidak dijelaskan maka harus dikesampingkan. B. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dikabulkannya gugatan pra peradilan Praperadilan adalah satu mekanisme hukum pidana yang bisa ditempuh seseorang untuk melawan perlakuan atau keputusan pihak lain. Perlakuan dan keputusan itulah yang menjadi objek praperadilan. Selama ini berkembang pemikiran bahwa objek praperadilan bersifat limitatif. Artinya, hanya terbatas pada apa yang disebut Pasal 1 angka 10 dan Pasal 77 KUHAP. Jika pemikiran ini diikuti, maka praperadilan hanya terbatas untuk

mempersoalkan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan. Demikian pula keabsahan ganti kerugian, atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Tidak bisa dipungkiri, hari ini, praperadian menjadi hal yang menarik untuk didiskusikan oleh khalayak ramai, terutama para ahli hukum di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari adanya perkembangan hukum yang terjadi dalam konteks praperadilan di dalam beberapa putusan pengadilan, yaitu masuknya pengujian sah tidaknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Fenomena ini memancing reaksi yang beragam dari berbagai pihak, banyak yang memuji dgn alasan bahwa hal tersebut merupakan suatu kemajuan dalam hukum acara pidana yang semakin melindungi hak asasi manusia, di sisi lain, banyak juga yang mencaci maki dnegan alasan bahwa hal tersebut sudah melanggar prinsip legalitas, dimana seharusnya hanya yang tertera di dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) saja lah, yang diatur sebagai objek praperadilan, yang bisa diajukan ke acara praperadilan, sedangkan sah tidaknya penetapan tersangka tidak lah masuk ke dalam objek yang dapat diajukan ke praperadilan dalam KUHAP. Putusan MK yang menyatakan bahwa penetapan tersangka termasuk salah satu objek yang dapat diperiksa keabsahannya dalam praperadilan. Namun, perlu diingat, pernah ada putusan MK nomor 003/PUU-IV/2006 tertanggal 26 Juli 2006 yang pada intinya menyatakan bahwa penggunaan ajaran sifat melawan hukum materiil yang tercantum dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU 31/1999 jo. UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak boleh dilakukan.

Polemik mengenai pemeriksaan sah tidaknya penetapan tersangka kemudian memasuki area hukum materiil dari praperadilan itu sendiri, yaitu apa objek yang diperiksa dalam praperadilan atas sah tidaknya penetapan tersangka Kalau kita berpegang secara legal formalistik, maka yang diperiksa dalam praperadilan atas sah tidaknya penetapan tersangka adalah syarat dari penetapan tersangka itu sendiri, yang berdasarkan Pasal 1 angka 14 KUHAP, yang berbunyi: Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana, adalah apakah bukti permulaan yang ada cukup berkualitas untuk digunakan sebagai dasar untuk menetapkan seseorang tersebut menjadi tersangka. Namun, apabila kita melihat dalam beberapa perkara yang menerima praperadilan atas sah tidaknya penetapan tersangka, pemeriksaan dalam perkara tersebut tidak lagi hanya menyasar kepada bukti permulaan yang ada, namun sampai kepada keabsahan dari aparat bahkan lembaga penyelidikan dan/atau penyidikannya. Misalnya, dalam perkara praperadilan Budi Gunawan. Dalam perkara tersebut, Hakim Sarpin pada dasarnya tidak memeriksa mengenai bukti permulaan yang digunakan KPK dalam menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, namun memeriksa apakah KPK berwenang melakukan proses hukum terhadap Budi Gunawan dan pada akhirnya Hakim Sarpin memutuskan bahwa KPK tidak berwenang memproses Budi Gunawan secara hukum karena Budi Gunawan tidak memenuhi kualifikasi pihak-pihak yang dapat diproses hukum oleh KPK berdasarkan Pasal 11 UU 30/2002 tentang KPK, yaitu aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara, mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan melibatkan. kerugian Negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,-

(satu milyar rupiah), sehingga seluruh proses hukum yang dilakukan KPK dianggap tidak sah, termasuk penetapan tersangka yang dilakukan KPK terhadap Budi Gunawan. Dalam perkara yang lain, yaitu atas pemohon Hadi Poernomo, Hakim Haswandi juga pada dasarnya tidak memeriksa bukti permulaan yang ada untuk membuktikan sah tidaknya penetapan tersangka yang dilakukan KPK. Hakim pada saat itu membuktikan bahwa penyelidik dan penyidik yang melakukan proses hukum terhadap Hadi Poernomo adalah penyelidik dan penyidik independen, yang mana menurut hakim, penyelidik dan penyidik independen adalah tidak sah keberadaannya, sehingga seluruh proses hukum yang dilakukan oleh penyelidik dan penyidik independen juga harus dianggap tidak sah, termasuk penetapan tersangka nya, sehingga penetapan tersangka yang dilakukan harus lah dibatalkan. Hakim pada saat itu mendasarkan kepada ketentuan Pasal 39 Ayat (3) UU 30/2002, yang berbunyi: Penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Materi praperadilan yang tercantum dalam Pasal 77 KUHAP sebelum adanya putusan MK mengenai perluasan objek praperadilan di atas, baik untuk pengujian sah tidaknya penangkapan, penahanan, pengehentian penyidikan, maupun penghentian penuntutan, Indonesia, khususnya MA, belum memiliki aturan yang jelas mengenai objek pemeriksaan, teknis pemeriksaan, dan juga beban pembuktian dari objek pemeriksaan itu sendiri. Syarat untuk di kabulkannya gugatan praperadilan adalah bilamana serangkaian tindakan penyidik cacad hukum atau tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, berkaitan dengan perkara gugatan praperadilan yang diajukan Setya Novanto Hakim tunggal Cepi Iskandar berpendpat bahwa penetapan tersangka terhadap Setya Novanto adalah cacad hukum, Bahwa Setya Novanto baru menerima SPDP tersebut dari KPK pada tanggal 18

Juli 2017 pukul 19.00 WIB, sehingga dengan demikian jelas bahwa penetapan Setya Novanto sebagai tersangka oleh KPK dilakukan sebelum KPK melakukan proses penyidikan,yaitu tanpa terlebih dahulu memeriksa saksi-saksi dan alat bukti lainnya sebagaimana ditentukan Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dengan kata lain Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka tanpa melalui proses penyidikan. Bahwa oleh karena itu, penetapan Setya Novanto sebagai tersangka sebagaimana disebutkan dalam SPDP tanggal 18 Juli 2017 dengan dasar SPRINDIK tanggal 17 Juli 2017 tidak didasarkan atas bukti permulaan yang sah, sebab KPK belum melakukan penyidikan untuk mencari dan mengumpulkan bukti-bukti guna membuat terang suatu tindak pidana. Dengan demikian penetapan tersangka atas diri KPK jelas-jelas tidak melalui prosedur sebagaimana yang telah ditentukan dalam KUHAP, UU KPK, dan SOP Penyidikan KPK sendiri, sehingga SPRINDIK dan SPDP yang diterbitkan oleh KPK tidak sah dan cacat hukum C. Upaya yang dilakukan oleh KPK dalam menyikapi putusan perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL Setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka penetapan tersangka menjadi objek pra peradilan, hal itu menjadi pekerjaan rumah tidak hanya KPK, Kepolisian dan Kejaksaan pun terkena efeknya, karena harus menhadapi gelombang upaya dari orang yang di tetapkan tersangka kasus tindak pidana korupsi. Khusus Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan adanya Putusan MK tersebut menjadi pekerjaan baru karena sudah dapat di pastikan gelombang pra peradilan tidak dapat terbendung, sudah dapat di pastikan pelaku tindak pidana korupsi akan selalu menggunakan lembaga pra

peradilan untuk menguji penetapan tersangka seperti yang dilakukan Setya Novanto yang mengajukan pra peradilan ke Pengadilan Negeri Kelas 1 A Jakarta Selatan dan telah di putus oleh Hakim tunggal Cepi iskandar Setelah memperhatikan pertimbangan-pertimbangan yang digunakan hakim tunggal hakim Haswandi dalam mengadili kasus Setya Novanto dengan Nomor register perkara No. 97/PID.PRAP/PN.JKT.SEL penulis berpendapat bahwa hakim tunggal Cepi Iskandar telah menerapkan hukum secara benar. Pegangannya adalah rule of law, dan ia hanya menerapkan aturan hukumnya yang terdapat dalam UU kepada kasus Setya Novanto. Artinya ia tidak melakukan penemuan hukum terhadap kasus tersebut. Hal ini dapat dipahami bahwa berbagai keputusan yang diambil hakim, telah menggunakan landasan hukum secara cermat dan teliti. Masalah penetapan tersangka sebagai objek praperadilan sebagaimana yang diajukan Setya Novanto, mempunyai legalitasnya yaitu berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Dari putusan itu, Mahkamah Konstitusi memberikan perluasan objek praperadilan dengan menambahkan petetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Perluasan itu dikarenakan adanya pihak yang mengajukan judicial review terhadap Pasal 77 yang mengatur tentang objek praperadilan. Dalam Pasal 77 KUHAP hanya menyebutkan Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang: a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Bila diperhatikan ketentuan Pasal 77 KUHAP yang tidak mengatur tentang penetapan tersangka sebagai objek praperadilan, akan tetapi dengan diajukann judicial review terhadap Pasal tersebut, maka diberikan putusan oleh MK dengan memperluasn objek praperadilan dengan penambahan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan melalui putusan Nomor 21/PUU-XII/2014. Putusan tersebut berawal dari permohonan praperadilan kasus Budi Gunawan yang dikabulkan oleh Hakim Sarpin. Adanya putusan tersebut, dapat dijadikan rujukan oleh hakim-hakim lain dalam memutuskan perkaraperaka yang sama. Karena substansi keputusan tersebut sama kedudukannya dengan Undang-Undang yang ditetapkan oleh lembaga legislatif. Untuk itu, sangat beralasan bagi hakim Haswandi mengutip putusan tersebut sebagai dasar dalam mengadili kasus praperadilan. Penerapan itu sesuai dengan asas legalitas yang terdapat dalam hukum pidana yang menyatakan bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dipidina kecuali atas kekuatan Undang-Undang pidana yang ada sebelum perbuatan dilakukan.karenanya, apa yang dijadikan landasan yuridis oleh hakim memang sudah ada ketentuan hukum yang mengaturnya. Pasal 77 huruf (a) KUHAP mengatur kewenangan praperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan. Maka melalui putusan ini, Mahkamah Konstitusi memperluas ranah praperadilan termasuk sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Mahkamah konstitusi membuat putusan ini dengan mempertimbangkan Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga asas due process of law harus dijunjung tinggi oleh seluruh pihak

lembaga penegak hukum demi menghargai hak asasi seseorang. Menurut Mahkamah Konstitusi, KUHAP tidak memiliki check and balance system atas tindakan penetapan tersangka oleh penyidik karena tidak adanya mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti. Hukum Acara Pidana Indonesia belum menerapkan prinsip due process of law secara utuh karena tindakan aparat penegak hukum dalam mencari dan menemukan alat bukti tidak dapat dilakukan pengujian keabsahan perolehannya. Dalam kasus Setya Novanto hakim mengabulkan permohonan praperadilan. Sehingga menyisakan tanda tanya besar bagi pengamat hukum Indonesia. Hal ini dikarenakan, hakim menyatakan bahwa penetapan Setya Novanto sebagai tersangka tidak sah dikarenakan barang butki yang digunakan penyidik kpk terhadap Setya Novanto adalah barang bukti yang telah dipakai pada kasus lain. Selain itu penetapan Setya Novanto sebagai tersangka sebagaimana disebutkan dalam SPDP tanggal 18 Juli 2017 dengan dasar SPRINDIK tanggal 17 Juli 2017 tidak didasarkan atas bukti permulaan yang sah, sebab KPK belum melakukan penyidikan untuk mencari dan mengumpulkan bukti-bukti guna membuat terang suatu tindak pidana. Dengan demikian penetapan tersangka atas diri KPK jelas-jelas tidak melalui prosedur sebagaimana yang telah ditentukan dalam KUHAP, UU KPK, dan SOP Penyidikan KPK sendiri, sehingga SPRINDIK dan SPDP yang diterbitkan oleh KPK tidak sah dan cacat hukum. Tapi itulah kelemahan UU KPK yang mengatur tentang penyidikan dan penyelidik. Pasal 44 UU Nomor 30 Tahun 2002 menyatakan bahwa : 1) Jika Penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. 2) Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila ditemukan sekurangkurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data

yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optic 3) Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan penyelidikan; 4) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik Kepolisian atau Kejaksaan; 5) Dalam hal penyidikan dilimpahkan kepada Kepolisian atau Kejaksaan sebagaimana ayat (4), Kepolisian atau Kejaksaan wajib melaksanakan koordinasi dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut Pasal 44 Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih khusus menjelaskan makna 2 (dua) alat bukti, karena Pasal 1 butir 5 KUHAP hanya memberikan pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang di atur dalam udang-undang ini, bahwa yang menjadi permasalahan adalah sebagaimana telah disebutkan di atas dengan diperolehnya 2 (dua) alat bukti permulaan yang cukup pada tahap penyelidikan atau dalam tahap penyidikan apakah telah dapat ditetapkan tersangkanya. Meskipun sebagian dari putusan hakim yang telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, tapi ada juga yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku yakni ada beberapa point yang menentukan penyidikan terhadap Setya Novanto dihentikan. Padahal dalam UU KPK tidak membenarkan penghentian penyidikan bila telah ditetapkan sebagai tersangka. Di samping itu, putusan tersebut memutuskan lebih dari yang dimintakan oleh pemohon (ultra petita). Hal ini sangat bertentangan dengan hukum acara yang berlaku yang tidak boleh mengabulkan selain yang dimintakan. Dalam

kasus tersebut, pemohon hanya memintakan agar penetapan tersangka dinyatakan tidak sah. Sebaliknya hakim mengabulkan melebihi dari itu dengan memerintahkan menghentikan penyidikan terhadap kasus Setya Novanto. Melihat putusan yang demikian, sebenarnya KPK memiliki peluang untuk mempersoalkan hakim Cepi Iskandar melalui Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal itu disebutkan bahwa Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp 600 juta. Tapi nyata belum dipersoalkan sampai saat ini. Upaya lainnya adalah dengan mengeluarkan sprindik yang kedua akan tetapi harus dilengkapi dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam hukum acara pidana.