KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM MENANGANI TINDAK KEKERASAN ANAK BERBASIS GENDER DI KOTA SURAKARTA

dokumen-dokumen yang mirip
PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. mengenai collaborative governance pada penyelenggaraan pelayanan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan.

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Tiongkok merupakan negara dengan populasi penduduk terbesar di dunia.

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DI KABUPATEN KENDAL

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN

PERATURAN MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2015

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONFLIK SOSIAL

WALIKOTA PEKALONGAN, PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

BUPATI POLEWALI MANDAR

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

WALIKOTA PEKANBARU PROVINSI RIAU PERATURAN WALIKOTA PEKANBARU NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender related

BAB I PENDAHULUAN. terwujudnya kota layak anak. Mewujudkan Kota Layak Anak merupakan hak

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan perempuan sampai saat ini masih menjadi wacana serius untuk

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN. penarikan kesimpulan dari keseluruhan paparan mengenai gambaran umum, mengenai collaborative governance pada PTPAS.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER KABUPATEN SINJAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI,

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKALAN

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 122 TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA DAN KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sektor yang paling strategis dalam. memberdayakan manusia menuju pembangunan adalah pendidikan.

I. PENDAHULUAN. subjek dan objek pembangunan nasional Indonesia dalam usaha mencapai aspirasi

BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

BAB I PENDAHULUAN. merupakan sofware dalam hidup dan kehidupan manusia darinya manusia hidup, tumbuh

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI DALAM NEGERI PADA

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan

BAB 12 PENINGKATAN KUALITAS KEHIDUPAN

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut

NOTA KESEPAHAMAN ANTARA KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA DENGAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena kaum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga di

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebenarnya bukan hal yang baru

I. PENDAHULUAN. Konsep good governance adalah konsep yang diperkenalkan oleh Bank Dunia

BUPATI SERANG PROVINSI BANTEN

JAWA TIMUR MEMUTUSKAN : PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki

BAB I PENDAHULUAN. dalam dan terjadi di seluruh negara di dunia termasuk Indonesia. Kekerasan

"PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUANSEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KABUPATEN LUWU TIMUR" BAB I PENDAHULUAN

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI & KEWENANGAN MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK UU NO. 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA

WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DARI TINDAK KEKERASAN

Kebijakan Jender. The Partnership of Governance Reform (Kemitraan) 1.0

I. PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah perang dunia ke-2 tanggal 10 Desember

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DEMAK,

BAB I PENDAHULUAN. Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan. kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

BAB I PENDAHULUAN. mencapai tujuan dan sasaran tertentu. Tujuan dan sasaran yang ingin dicapai setiap perusahaan

I. PENDAHULUAN. lain hal. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pengertian pernikahan

k. Urusan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan untuk meningkatkan wawasan, kepedulian, perhatian, kapasitas perempuan, dan perlindungan anak.

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta penegasan istilah. Bab ini ini akan

BAB I PENDAHULUAN. menempatkan posisi perempuan sebagai manusia tidak sejajar dengan posisi lakilaki.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lembaga Akademik dan Advokasi Kebijakan dalam Perlindungan Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender Margaretha Hanita

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN NEGARA PP&PA. Strategi Nasional. Sosial Budaya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

KERANGKA ACUAN KEGIATAN PENYUSUNAN MODUL PEMBANGUNAN KUALITAS KELUARGA YANG RESPONSIF GENDER PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2017

BAB I PENDAHULUAN. sehingga banyak perusahaan go publik yang ikut berperan dalam peningkatan

PENERAPAN PUG DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERATURAN BUPATI LUWU TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PUSAT PELAYANAN TERPADU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN ANAK KABUPATEN LUWU TIMUR DENGAN RAHMAT

BAB I PENDAHULUAN. kerja di dalam negeri sangat terbatas sehinga menyebabkan banyak Tenaga Kerja

GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2015

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. asasi perempuan dan anak diantaranya dengan meratifikasi Konferensi CEDAW (Convention

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

WALI KOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

1Konsep dan Teori Gender

DAFTAR TABEL. Tabel IV.1 Data Jumlah Penduduk Kota Medan berdasarkan Kecamatan Tabel IV.2 Komposisi pegawai berdasarkan jabatan/eselon...

BAB 9 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

BERITA NEGARA. No.1048, 2012 KEMENTERIAN NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Perdagangan Orang. Pencegahan. Penanganan. Panduan.

BAB I PENDAHULUAN. memberantas kemiskinan yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat.

Transkripsi:

KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDER DALAM MENANGANI TINDAK KEKERASAN ANAK BERBASIS GENDER DI KOTA SURAKARTA Disusun Oleh : ANDRE RISPANDITA HIRNANTO D 1114001 SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Politik Program Studi Ilmu Administrasi Negara FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2017 0

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam realitasnya ada kecenderungan bahwa kolaborasi penting dilakukan karena ada persoalan yang memang tidak bisa dihadapi atau ditangani hanya oleh satu institusi saja, dan dengan melakukan kolaborasi ini diharapkan persoalan yang dihadapi bisa diatasi. Kolaborasi antar institusi menjadi isu penting dalam administrasi publik mengingat banyak persoalan publik yang memiliki implikasi luas yang tidak bisa ditangani secara optimal dan dipecahkan secara tuntas jika hanya mengandalkan pada satu intitusi pemerintah saja. Melalui kolaborasi diharapkan persoalan atau masalah publik yang dihadapi bisa diatasi atau paling tidak bisa diminimalisir secara signifikan. (Sudarmo 2011: 100) Sebagai sebuah permasalahan sosial, kekerasan seksual yang dialami oleh berbagai kalangan masyarakat telah mencapai fakta yang cukup memprihatinkan. Kekerasan seksual pada dasarnya dapat dialami oleh siapa saja, baik perempuan maupun laki-laki. (http://m.hidayatullah.com) diakses 01 September 2016, pukul 23.18 WIB. Selama ini kita beranggapan bahwa perempuan adalah kaum yang lemah dan tak berdaya, berangkat dari konsep partiarkhi bahwasannya lakilaki memiliki kekuasaan atau kekuatan yang dominan dibandingkan dengan perempuan. Konstruksi pemikiran yang semacam ini membahayakan keberadaan perempuan dan acapkali menjadi korban tindak kekerasan fisik maupun seksual. Kekerasan seperti dijelaskan diatas disebut dengan

kekerasan yang terjadi akibat diskriminasi gender. (http://m.kompasiana.com) diakses 04 September 2016, pukul 13.00 WIB. yakni : Berbicara mengenai gender, Fakih (1996: 8-9) bahwa konsep gender Suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang di konstruksi secara sosial maupun kultural. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender. Sebagai contoh, misalnya bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Begitu pula dengan tindak kekerasan terhadap fisik maupun mental seseorang. Dari konsep diatas, peran gender membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminim sedangkan laki-laki dianggap maskulin, karakter semacam ini pada akhirnya membentuk paradigma kita bahwasannya laki-laki lebih tangguh dan kuat dibandingkan dengan perempuan yang dianggap lemah lembut. Perbedaan semacam itu sebenarnya tidak menjadi sebuah permasalahan, tapi ciri perempuan yang dianggap lemah itu menjadikan sebuah alasan untuk diperlakukan semenamena seperti kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan merupakan segala bentuk tindak kekerasan yang terjadi atas dasar perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan atau akan mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terhadap perempuan termasuk ancaman, paksaan, pembatasan kebebasan baik yang

terjadi di arena publik maupun domestik Annisa (2006: 1). Pengertian kekerasan terhadap perempuan tersebut menggambarkan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan kekerasan berbasis gender. Hal ini dijelaskan oleh Annisa (2006: 1-2) bahwa kekerasan terhadap perempuan berbasis gender bukan saja perempuan yang menjadi korbannya, namun juga karena ada kesenjangan relasi gender dan kuasa yang timpang antara perempuan dan laki-laki yang dibangun dan dipelihara melalui pembakuan peran gender di masyarakat. Komisi Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (KPK2BGA) Jawa Tengah menyatakan, bahwa angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jawa Tengah terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2012 ada 393 kasus kekerasan, 2013 meningkat menjadi 766 kasus, dan 2014 sebanyak 679 kasus. Dari kasus itu, yang paling banyak adalah kekerasan fisik, yakni 2012 sebanyak 322 kasus, 2013 (242 kasus), dan 2014 (429 kasus). Adapun kekerasan anak adalah 2012 ada 483 kasus dengan korban 78 anak laki-laki dan 405 anak perempuan. Pada 2013 ada 595 kasus dengan korban anak laki-laki 104 dan 491 anak perempuan. Adapun di tahun 2014 kasus meningkat menjadi 799 kasus dengan perincian yang menjadi korban 152 laki-laki dan 627 anak perempuan. Jawa Tengah berada pada posisi darurat untuk penyelamatan perempuan dan anak dari kasus kekerasan, kata Ketua KPK2BGA Jawa Tengah Soka Handinah Katjasungkana dalam acara ekspos kasus kekerasan berbasis gender dan anak di kantornya. TEMPO.CO, Semarang (Selasa, 01 desember 2015).

Surakarta sebagai salah satu kota di Jawa Tengah bahkan di dunia yang mendapat kesempatan berharga karena pada tanggal 13 Januari 2011 oleh United Nation Emergency Children s Fund (UNICEF) mendeklarasikan Kota Surakarta sebagai pilot project Kota Layak Anak (KLA) dan pada bulan Juli 2011 Kota Surakarta ditunjuk sebagai tuan rumah kota layak anak se- Asia Pasifik. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang dituangkan lewat program-program yang membangun dan melindungi hak anak. Menurut UNICEF, kota Solo telah memberikan pemenuhan hak-hak anak sesuai dengan kodrat yang seharusnya dimiliki oleh seorang anak dan kota Solo juga mempunyai kepedulian terhadap hak-hak anak yang sangat tinggi. Hak-hak anak itu adalah hak untuk hidup, hak untuk tumbuh kembang, hak mendapat perlindungan dan hak partisipasi. Selanjutnya dalam Peraturan Walikota Surakarta Nomor 17 Tahun 2010 menyatakan bahwa rencana aksi program-program pengembangan Kota Layak Anak (KLA) dibagi menjadi 4 bidang yaitu : 1. Bidang Kesehatan 2. Bidang Pendidikan 3. Bidang Perlindungan Anak 4. Bidang Partisipasi Anak Keempat bidang inilah yang seharusnya diwujudkan sehingga menjadi indikator suatu kota dalam pencapaiannya sebagai Kota Layak Anak (KLA). Kendati demikian, Surakarta pun tidak luput dari kasus kekerasan yang menimpa perempuan maupun anak-anak. Dari mulai usia kurang dari 18

tahun sampai usia 25 tahun ke atas menjadi korban tindak kekerasan. Dari data yang di dapat dari Bappermas PP, PA dan KB Kota Surakarta dapat dilihat jumlah korban berdasarkan usia dan tempat kejadian. Tabel. 1.1 Jumlah Korban Berdasarkan Usia dan Tempat Kejadian Kota Surakarta 2015 Usia No. Tempat Kejadian 0 - < 18 tahun Anak 18 25 tahun Remaja 25 tahun ke atas Dewasa Total 1 2 Rumah Tangga Tempat Kerja 49 3 40 92 0 0 1 1 3 Lainnya 29 13 0 42 Jumlah 78 16 41 135 Sumber : Bapermas PP PA dan KB Surakarta 2015 Kekerasan yang terjadi kebanyakan terjadi di ranah rumah tangga, itu artinya bahwa pelakunya sendiri bukanlah orang lain melainkan orang terdekat korban. Ini yang nantinya akan menjadi pekerjaan rumah paling berat bagi pemerintah khususnya pemerintah Kota Surakarta untuk menangani masalah kekerasan ini. Kekerasan yang menimpa para korban pun beragam, mulai dari kekerasan seksual, fisik, psikis, pelantaran dan eksploitasi. Pada dasarnya, kekerasan berbasis gender ini disebabkan oleh ketidakadilan atau ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam suatu masyarakat. Banyak macam

dan bentuk kekerasan berbasis gender, diantaranya kekerasan seksual dan kekerasan fisik. Kekerasan seksual dan fisik menjadi fokus dengan alasan bahwa jenis kekerasan ini mempunyai dampak yang sangat besar dalam hidup korban. Efek psikologis, bekas luka yang mungkin susah untuk dihilangkan dan bahkan hilangnya nyawa bagi para korban menjadi sebuah ketakutan yang mendesak pemerintah untuk segera bertindak. Adapun data tabel kasus kekerasan berdasarkan jenis kekerasan yang dialami korban. Tabel. 1.2 Jenis Kekerasan Yang di Alami Korban 2015 No. Jenis Kekerasan Jumlah 1 Seksual 30 2 Fisik/Psikis 73 3 Eksploitasi 3 3 Pelantaran 5 3 Lainnya 24 Total 135 Sumber : Bapermas PP PA dan KB Surakarta 2015.

Jenis Kekerasan Yang di Alami Korban Seksual Fisik/Psikis Eksploitasi Pelantaran Lainnya Sumber : Bapermas PP PA dan KB Surakarta 2015 Ada total 135 korban tindak kekerasan dari masing-masing jenis kekerasan yang dialaminya. Dari data tersebut, dapat dilihat bahwa ada 30 korban yang mengalami kekerasan seksual dan 73 korban mengalami tindak kekerasan fisik. Bila dibandingkan dengan eksploitasi dan pelantaran yang korbannya tidak lebih dari angka 10, kekerasan seksual dan fisik mempunyai jumlah korban paling banyak. Itu artinya mayoritas korban paling sering mengalami kekerasan berupa seksual dan fisik. Dimana kekerasan tersebut termasuk kekerasan yang dapat membahayakan psikologis maupun nyawa korban. Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW, Convention on the Elimination of All froms of Discrimination Against Women). Praktis kurang lebih 31 tahun

sudah implementasi Undang-Undang tersebut dijalankan. Secara spesifik Indonesia telah memberikan jaminan adanya penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang tertuang dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau yang biasa disebut UU PKDRT. Selain itu secara khusus juga ada UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 35 tahun 2014. Melihat fakta-fakta diatas tersebut, penting bagi negara untuk hadir secara maksimal, terlibat dalam hal pencegahan, penanganan serta tindakan strategis untuk menjamin rasa aman korban. Hal ini juga masih memungkinkan bagi pemerintah daerah untuk merumuskan sebuah kebijakan perlindungan terhadap korban masalah kekerasan. Terutama yang berhubungan dengan pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan. Begitu juga halnya di Kota Surakarta, Pemerintah Kota Surakarta secara khusus juga berupaya untuk mewujudkan kondisi ideal tersebut. Menjawab kebutuhan untuk mengatasi segala permasalahan sosial dari dampak ketimpangan gender khususnya yang berkaitan dengan permasalahan kekerasan yang terjadi terhadap anak-anak, pemerintah Kota Surakarta pun membuat suatu ikatan kolaborasi bersama stakeholder terkait. Berdasarkan Surat Keputusan Walikota Surakarta Nomor 462.05/84-A/1/2010 tentang Tim Pelayanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Kota Surakarta (PTPAS) dalam rangka memberikan perlindungan dan penanganan dari segala bentuk tindak kekerasan berbasis gender yang terjadi pada anak. Dalam hal ini,

stakeholder yang dilibatkan dalam ikatan kolaborasi adalah Badan Pemberdayaan Masyarakat Perlindungan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (Bappermas PP, PA dan KB) Surakarta sebagai koordinator program kegiatan, tim monitoring, evaluasi dan pelaporan dengan jejaring yang terkait meliputi SKPD/ RS/ Kepolisian/ Kejaksaan/ Pengadilan/ Instansi/ Organisasi dan LSM. Mereka semua memiliki tujuan yang sama dan saling berkolaborasi guna memberikan pelayanan, perlindungan, dan penguatan bagi perempuan korban kekerasan di Kota Surakarta. Dengan adanya kolaborasi tersebut, diharapkan pemerintah dan para stakeholder yang terkait dapat menciptakan dan memelihara komunikasi diantara para penyelenggara pelayanan, mengembangkan sistem rujukan, dan meningkatkan kapasitas para penyelenggara dalam memberikan pelayanan. Agar setiap keputusan bisa diterima oleh semua pihak, menuntut adanya collaborative governance dalam setiap pembuatan keputusan yang melibatkan partisipasi semua stakeholder dan mengakomodasi kepentingan semua kelompok. Ini untuk menggaris bawahi bahwa jika pemerintah daerah atau lembaga tertentu yang berafiliasi ke pemerintah mengambil keputusan yang bisa berpengaruh bagi kehidupan kelompok marginal, maka melakukan kolaborasi dengan kelompok tersebut adalah hal yang sangat penting agar tidak terjadi penolakan hasil keputusan tersebut oleh mereka. Atau pemerintah dan atau lembaga-lembaga swadaya yang memfokuskan pada persoalan-persoalan kaum marginal tersebut agar mampu memahami, mengidentifikasi dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh kelompok-kelompok tersebut secara efektif. (Sudarmo, 2011:101-104). Berdasarkan permasalahan diatas, Sobandi dan Sudarmadji (2015: 161-165), melakukan penelitian berkelanjutan mengenai perencanaan dan pengembangan berbasis stakeholder di Kota Solo. Periode kolaborasi, hubungan antar aktor bersifat formal dan informal. Pengetahuan dibagikan

secara internal antara pemangku kepentingan kota, oleh badan pemerintah daerah, akademisi, dan sektor swasta. Penelitian ini menunjukkan bahwa kepercayaan dari masyarakat terhadap balai kota adalah diakuisisi sebagai balai kota yang konsisten dengan proses kolaborasi dalam melaksanakan rencana implementasi. Kesediaan masyarakat setempat untuk berpartisipasi dan memberikan inovasi dalam prosesnya menunjukkan landasan yang mendukung bagi pertumbuhan kolaborasi. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh penulis berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Sobandi dan Sudarmadji, penelitian yang dilakukan penulis lebih menekankan pada proses kolaborasi dalam menangani tindak kekerasan anak berbasis gender di Kota Surakarta. Bahwa untuk mencapai suatu proses kolaborasi yang optimal harus mencapai lima dimensi kunci yang berkontribusi pada keseluruhan konstruksi kolaborasi yang dikemukakan oleh Thomson dan Perry (2006: 25-28): Dimana kolaborasi adalah proses dimana aktor otonom atau semi otonom berinteraksi, negosiasi formal dan informal, bersama-sama menciptakan peraturan dan struktur yang mengatur peraturan hubungan mereka dan cara untuk bertindak atau memutuskan isu-isu yang mempertemukan mereka. Hal tersebut adalah sebuah proses yang melibatkan norma bersama dan interaksi yang saling menguntungkan. Definisi diatas menekankan bahwa kolaborasi adalah konstruksi variabel multidimensional yang terdiri dari lima dimensi kunci, dua di antaranya bersifat struktural (governance dan administrasi), dua di antaranya adalah dimensi modal sosial (mutualitas dan norma), dan satu yang melibatkan agensi (organisasi otonomi). Oleh karena itu, penulis bermaksud untuk meneliti tentang proses kolaborasi yang dilakukan para stakeholders dalam hal penanganan, perlindungan, pendampingan, advokasi kebijakan guna menangani tindak

kekerasan terhadap anak di Kota Surakarta. Sehingga penulis memutuskan untuk mengambil judul KOLABORASI ANTAR STAKEHOLDERS DALAM MENANGANI TINDAK KEKERASAN ANAK BERBASIS GENDER DI KOTA SURAKARTA. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana proses kolaborasi antar stakeholders dalam menangani tindak kekerasan terhadap anak di Kota Surakarta? 2. Apa saja faktor penghambat dalam kolaborasi antar stakeholder dalam menangani tindak Kekerasan Berbasis Gender di Kota Surakarta? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan agar penelitian tersebut dapat memberikan manfaat sesuai yang dikehendaki. Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui proses kolaborasi yang dilakukan antar stakeholders yang tergabung di dalam jejaring PTPAS dalam menangani tindak kekerasan anak berbasis gender di Kota Surakarta. 2. Mengetahui faktor-faktor penghambat yang terjadi dalam proses kolaborasi dalam menangani tindak kekerasan anak berbasis gender di Kota Surakarta.

D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau manfaat sebagai berikut : 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan ilmu administrasi negara. 2. Secara Praktis Sebagai bahan masukan, pertimbangan dan bantuan pemikiran bagi pihak-pihak yang bersangkutan dalam menangani tindak kekerasan terhadap anak di Kota Surakarta. 3. Secara Individual Dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti, pembaca maupun pihak-pihak lain terkait dengan tindak kekerasan berbasis gender khususnya yang terjadi pada anakanak.